Peta politik internasional, khususnya kawasan Timur Tengah, akhir tahun
70-an mengalami pergeseran signifikan. Di tengah perang dingin antara kekuatan
Amerika dengan sekutunya, NATO, via-a-vis Uni Soviet dengan Pakta Warsawa,
muncul fenomena mengejutkan, yaitu tampilnya kekuatan tradisional Islam-Syi’ah
Iran ke pentas politik menggulingkan pemerintahan sekuler Muhammad Reza Pahlevi
(Syah Iran).
Revolusi Islam Iran (11 Februari 1979) menarik untuk dikaji. Setidaknya, ada
tiga alasan mengapa Revolusi Islam Iran itu layak untuk dicermati: Pertama,
fenomena Revolusi Islam Iran merupakan salah satu bentuk kontradiksi-paradoksal
dari proses modernisasi di negara dunia ketiga, terutama di Iran. Kontradiksi-paradoksal
dalam arti bahwa proses modernisasi yang memangkas peran agama dalam fungsi
sosial-politik, ternyata, di satu sisi menyebabkan peran agama terpinggir,
tetapi di sisi lain mengentalkan sentimen keagamaan para pemeluknya.
Keotentikan dan identitas kaum beragama yang terancam modernisme mengkristal
menjadi gerakan-gerakan sosial, politik, dan kultural yang tidak
sungkan-sungkan menggunakan simbol-simbol agama sebagai basis aktivitasnya.
Kedua, pengaruh Revolusi Iran telah menerobos seluruh penjuru dunia Islam,
mulai dari Maroko sampai ke Indonesia, dari Bosnia di jantung Eropa sampai ke
Afrika. Oleh karena itu, dampak revolusi tersebut sangat berpotensi mengubah
peta konstelasi politik regional, khususnya kawasan Timur Tengah, maupun
internasional.
Ketiga, Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in the Modern
World, mengategorikan Revolusi Islam Iran sebagai salah satu revolusi
sosial terbesar di samping Revolusi Prancis, Rusia dan Cina. Revolusi Islam
Iran adalah akumulasi kekecewaan dan ketidakpuasan seluruh komponen bangsa
Iran, bukan hanya ketidakpuasan kelompok elit mullah (religious scholars)
dan intelektual.
Citra yang tertangkap secara umum ketika kita menelaah Revolusi Islam Iran
adalah citra sebuah revolusi para mullah dengan instrumen ideologi religius
murni. Citra tersebut mengakibatkan pemerintahan Iran pasca Revolusi Februari
1979 kerap dituding dengan istilah mullahocracy (kekuasaan kaum
mullah). Namun, bila disorot secara lebih tajam dan cermat, sesungguhnya, ada
pula konstruk ideologis semi-religius.
Secara simplistik, ada dua gugus ideologi yang menjadi pilar Revolusi Islam
Iran, yaitu: ideologi religius tradisional Syi’ah yang diusung oleh para ulama
atau mullah, dan ideologi semi-religius yang tetap berbasis atas
peristilahan-peristilahan Syi’ah, tetapi dibawa oleh para intelektual berlatar
pendidikan sekuler. Dalam kategori pertama bisa disebut dua nama yang paling
populer, yaitu Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini dan Ayatullah Murtadha
Muthahhari. Pada kategori kedua yang paling menonjol adalah Ali Syari’ati,
Mehdi Bazargan, dan Bani Sadr. Meski punya misi-praktis yang sama, yaitu
menggulingkan rezim represif Syah Iran, kedua kelompok ideologis ini kadang
saling berhadap-hadapan.
Yang paling sering disinggung dalam studi-studi tentang para ideolog
Revolusi Iran adalah Khomeini. Tokoh-tokoh yang lain seakan tenggelam di bawah
bayang-bayang nama besarnya. Memang harus diakui, dengan berbekal kecerdasan
dan kharismanya, Khomeini mampu menyatukan gerakan-gerakan revolusioner yang
berbeda-beda di Iran saat itu yang menuntut penghapusan monarki. Lalu, apakah
fungsi Khomeini dan Syari’ati dalam Revolusi Iran tersebut? Sebagaimana
diungkap John L. Esposito, Khomeini, dalam Revolusi Islam Iran, lebih berperan
sebagai pemimpin revolusi, sedangkan perumus dan penyedia ideologi revolusinya
sendiri adalah Ali Syari’ati. Bahkan menurut Nikki R. Keddie, "Ali
Syari’ati-lah yang telah sangat mempersiapkan (secara ideologis, MS) orang muda
Iran untuk perjuangan revolusioner itu". Tulisan ini akan mencoba
menelusuri basis pemikiran sosial Syari’ati tentang polaritas masyarakat dan
membandingkannya dengan gagasan Imam Khomeini seraya mencari titik temu, benang
merahnya.
Kutub Habil Versus Kutub Qabil
Inti filsafat sosial Syari’ati adalah polarisasi masyarakat menjadi dua
kutub dialektis. Pandangan tentang polarisasi masyarakat merupakan wujud
konsistensi Syari’ati dalam mempertahankan kaca mata analisis dialektika.
Secara lebih spesifik, Syari’ati menyatakan, "Sosiologi pun berdasarkan
dialektika." Jadi, dialektika sosiologi adalah refleksi atas masyarakat
(sosiologi) yang didasarkan pada konsep dialektika.
Masyarakat, seperti telah dikemukakan di muka, memiliki super-struktur, yang
di dalamnya terdapat struktur dan mekanisme ekonomi (cara produksi, relasi
produksi, alat-alat dan barang). Struktur tidak ditentukan oleh mekanisme
ekonomi. Struktur bersifat mandiri (independent) terhadap semua
kinerja dan mekanisme ekonomi. Dalam masyarakat, terdapat dua struktur tetap,
yang dalam konsep Syari’ati disebut sebagai struktur Habil dan struktur Qabil,
mengambil dua sosok anak Adam. Sisi beda kedua struktur itu dapat dilihat dalam
tabel berikut ini:
Kategori Perbedaan
|
Struktur Habil
|
Struktur Qabil
|
Posisi Individu
|
Individu menentukan nasibnya
sendiri (otonom)
|
Nasib individu ditentukan oleh
kelompok pemilik modal
|
Kepentingan yang diperjuangkan
|
Kepentingan masyarakat
|
Kepentingan pribadi atau pemiliki
modal (kapitalis)
|
Oleh karena masyarakat memiliki dua struktur tersebut, maka masyarakat pun
terbagi menjadi dua kutub, yaitu kutub Qabil dan kutub Habil. Syari’ati memakai
istilah "kutub masyarakat" dalam pengertian "kelas sosial".
Jadi, kutub masyarakat sama dengan kelas sosial, juga sebaliknya. Syari’ati,
dalam On Sociology of Islam, mengunakan kedua istilah ini secara
bergantian.
Kutub Qabil : Kelas Penguasa
Kutub Qabil adalah kutub penguasa atau raja, pemilik (owner), dan
aristokrat. Kutub Qabil merupakan pemilik kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang
disebutkan oleh Syari’ati, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan
kekuasaan religius. Kemudian, manifestasi ketiga kekuasaan kutub Qabil tersebut
dalam pentas sejarah sosial mengambil bentuk yang berbeda-beda, tergantung
tingkat perkembangan masyarakatnya.
Pada tahap-tahap perkembangan sosial yang masih primitif dan terbelakang,
kutub ini memanifestasikan diri dalam bentuk pemusatan kekuasaan pada seorang
individu. Individu tersebut menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik dan
aristokrat) pada dirinya. Ia mewakili muka Qabil. Sementara itu, dalam tahap
evolusi sosial yang lebih maju, ketiga kekuasaan tersebut dipisahkan, yaitu
kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius.
Al-Quran, sebagai salah satu dasar epistemologis filsafat sosial Syari’ati,
menyinggung ketiga wajah kekuasaan tersebut dengan memperkenalkan simbol-simbol
khas untuk ketiga manifestasi Qabil tersebut. Ada tiga istilah yang melukiskan
sifat tiga wajah kekuasaan tersebut, yaitu mala’ (yang serakah dan
kejam), mutraf (yang rakus dan bermewah-mewahan), dan rahib
(kependetaan). Personifikasi ketiga sifat tersebut disimbolkan dengan nama-nama
tokoh. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Fir'aun, kekuasaan ekonomi
dilambangkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuasaan religius dilambangkan
oleh tokoh Balaam Bauri. Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil.
Syari’ati menjelaskan ketiga manifestasi Qabil secara panjang lebar dalam Haji.
Di sepanjang sejarah, anak-cucu Qabil telah berperan sebagai pemimpin umat
manusia. Begitu masyarakat-masyarakat manusia bertambah besar, berubah dan
sistem-sistemnya menjadi lebih rumit; dan begitu timbul pembagian-pembagian,
spesialisasi-spesialisasi, dan klasifikasi-klasifikasi, Qabil, sang pemimpin,
mengubah wajahnya! Sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah
basis, di dalam masyarakat-masyarakat modern Qabil menyembunyikan wajah aslinya
di balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah
kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan despostisme;
eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi. Ketika kekuatan ini dapat
dijelaskan dengan istilah-istilah monoteisme (tauhid). Fir'aun: lambang
penindas; Qarun (Kroesus): lambang kapital dan kapitalisme; Balaam: lambang
kemunafikan (religius).
Dalam realitas konkret, Fir'aun diwujudkan oleh orang-orang yang
berkepentingan dengan politik, dan hidup di bawah despotisme, militerisme dan
fasisme. Qarun diwujudkan oleh orang-orang yang berkubang dalam ekonomi pasar.
Mereka memandang ekonomi sebagai dewa penentu nasib masyarakat. Sedangkan
Balaam diwujudkan oleh kaum intelektual yang yakin bahwa perubahan sosial tidak
mungkin tercipta tanpa melawan kebodohan, kelemahan, dan kondisi yang
menyebabkan manusia menganut politeisme yang berselimutkan monoteisme.
Ketiga poros kekuasaan tersebut saling menunjang. Fir'aun merestui
perampokan sistematis dan prosedural yang dilakukan Qarun. Lalu, Qarun pun
mendukung kerja intelektual Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Fir'aun
menyokong Balaam dengan jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan basis
doktrin untuk melegitimasikan rezim Fir'aun, bahwa keberadaan Fir’aun kekuasaan
Tuhan. Ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil itu disebut trinitarianisme-sosial.
Kutub Habil: Kelas yang Dikuasai
Berseberangan dengan kutub Qabil, kutub Habil adalah representasi kelas yang
dikuasai, yang ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (al-nas).
Syari’ati menggambarkan ketertindasan kutub Habil ini secara dramatik dalam
beberapa karyanya, seperti Yea, Brother! That's the Way It Was. Dalam
buku itu Syari’ati menceritakan tentang kekagumannya pada monumen-monumen
besar, seperti Piramida di Mesir. Namun, kekaguman tersebut mendadak sirna
ketika ia menyadari bahwa monumen-monumen itu dibangun di atas penderitaan para
budak yang dengan tenaga, keringat, bahkan nyawanya terpaksa mengikuti
keinginan penguasa untuk menciptakan simbol budaya tersebut. "Aku benci
dan marah! Kulihat peradaban sebagai suatu kutukan. Ia dihasilkan dari ribuan
tahun penindasan dan perbudakan," tulis Syari’ati. Para budak adalah wujud
nyata kelas Habil, penghuni kutub Habil.
Selanjutnya, yang menarik dari pandangan Syari’ati adalah bahwa Allah Swt
—dalam konfrontasi kedua kutub masyarakat itu— memihak pada kutub rakyat
(Habil). Bahkan, Syari’ati berpendapat bahwa Allah Swt, dalam al-Quran menjadi
sinonim dengan al-nas. Menurutnya, kedua ungkapan tersebut kerap
saling menggantikan dan semakna. Umpamanya, Syari’ati memberi contoh QS.
Al-Taghabun ayat 17 yang berbunyi, "Jika kalian meminjamkan pinjaman
yang baik kepada Allah". Syari’ati menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Allah adalah al-nas, manusia atau rakyat, karena Allah sama
sekali tak membutuhkan pinjaman dari kita.
Masalah sinonimasi Allah dan al-nas perlu diklarifikasi karena bisa
mengundang kesalahpahaman. Syari’ati menyamakan kata al-nas dengan
Allah dalam wacana sosial, bukan wacana akidah seperti tata kosmos. Jelas,
Syari’ati membedakan ranah (domain) diskursus. Dalam ranah teologis, Allah
berbeda dengan al-nas. Namun, pada ranah sosiologis, istilah Allah dan
al-nas adalah sinonim.
Lebih jauh Syari’ati memaparkan bahwa sinonimasi kata Allah dan al-nas
tersebut bermakna: bila disebutkan "kekuasaan berada di tangan Allah",
maka berarti kekuasaan berada di tangan rakyat bukan di tangan mereka yang
mengaku dirinya sebagai wakil atau anak Tuhan, atau kerabat Tuhan atau sebagai
Tuhan itu sendiri. Bila dikatakan bahwa, "hak milik adalah kepunyaan
Allah", maka bermakna bahwa kapital adalah kepunyaan rakyat, bukan milik
Qarun. Selanjutnya, bila dituturkan, "agama adalah kepunyaan Allah",
maka itu bermaksud bahwa keseluruhan struktur dan isi agama diperuntukkan bagi
rakyat banyak, bukan demi kelompok, lembaga tertentu yang memonopoli otoritas
keagamaaan, seperti pendeta (clergy) atau gereja (church).
Jadi, konsep utama tentang kutub Habil adalah konsep al-nas. Kata al-nas
memiliki makna yang dalam dan khas. Kekhasan tersebut diungkap Syari’ati.
Menurut Syari’ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah (the representatives
of God) sekaligus keluarga-Nya (al-nas iyalu 'Llah). Syari’ati
menandaskan pula dengan adanya fakta bahwa al-Quran dibuka dengan nama Allah
dan diakhiri dengan nama rakyat (al-nas). Lalu, Ka’bah, kiblat umat
Muslim saat shalat, adalah rumah Allah (house of God), tapi juga
sekaligus disebut sebagai rumah rakyat (house of people) dan rumah
kebebasan (free house atau al-bayt al-'atiq).
Kata al-nas, meskipun berbentuk tunggal, namun bermakna jamak. Kata
al-nas tidak berarti kumpulan perorangan, namun dalam pengertian
masyarakat atau, lebih tepat, massa. Oleh karena itu, kata al-nas,
bagi Syari’ati, memiliki konotasi unik yang mewakili konsep rakyat.
Mustadafin versus Mustakbirin
Pandangan
Syari’ati di atas bertitik temu dengan pemikiran Imam Khomeini. Imam Khomeini
membagi masyarakat secara dikotomis, terutama pada periode 1970-1982. Salah
satu buku yang memadai untuk mengungkap pandangan Imam Khomeini tentang
masyarakat tersebut adalah Khomeinism:
Essays on the Islamic Republic (1993), karya Ervand Abrahamian.
Dalam buku tersebut, Abrahamian membagi tiga tahap pemikiran Imam Khomeini yang
terkait dengan pandangannya tentang masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar