Semangat nasionalisme telah mengilhami pemuda pada
masa itu, hingga mereka mampu menjadi pilar penting dan berada pada garda
terdepan dalam merintis perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia. Menarik untuk
mempertanyakan bagaimana pula dengan semangat nasionalisme dan kepeloporan
pemuda hari ini? Pertanyaan ini acap kali muncul di tengah keprihatinan
berbagai kalangan yang mengkhawatirkan semakin lemahnya eksistensi dan posisi
politik pemuda masa kini, terutama dalam mengemban misi kebangsaan.
Nasionalisme pemuda Nasionalisme merupakan suatu
kehendak untuk bersatu sebagai bangsa. Kehendak ini tumbuh karena didorong
kesadaran akan adanya riwayat atau pengalaman hidup yang sama dan dijalani
bersama. Demikian pengertian yang diberikan oleh Ernest Renan yang sering
disebut sebagai bapak nasionalisme.
Peristiwa kongres pemuda tanggal 28 Oktober 1928
yang kemudian kita peringati sebagai Sumpah Pemuda adalah manifestasi tumbuhnya
kesadaran nasional (nasionalisme) dalam perjuangan menghadapi kolonialisme dan
imperialisme Belanda waktu itu. Langkah ini menjadi semacam titik balik dari
pola perlawanan sebelumnya yang lebih bersifat lokal. Tidak bisa dipungkiri
bahwa tumbuhnya kesadaran tersebut secara nasional tidak bisa dilepaskan dari
kontribusi pemuda pada masa tersebut dengan idealisme dan paradigma barunya.
Demikianlah seterusnya, sejarah panjang bangsa ini
mencatat konstribusi yang diberikan kaum muda di setiap persimpangan sejarah.
Hingga wajar jika banyak pengamat sejarah yang menyatakan bahwa sejarah suatu
bangsa sesungguhnya adalah sejarah kaum muda. Pemuda hadir pada titik
persimpangan sejarah dan memberi arah bagi perjalanan bangsa ini. Sekadar
menjadi catatan, perjuangan kaum muda di panggung sejarah juga terjadi di
hampir seluruh belahan dunia.
Sejarah mereka adalah sejarah perlawanan dan
pembelaan. Seperti ada benang merah bahwa gerakan pemuda biasanya lahir dari
kondisi yang dihadapi masyarakat yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita
negara dan harapan masyarakatnya. Mereka merespons berbagai situasi dan kondisi
tersebut atas dasar kesadaran moral, tanggung jawab intelektual, pengabdian
sosial, dan kepedulian politik. Tidak jarang pula ditemukan bahwa situasi
global sering menjadi faktor yang memicu dan mematangkan kekuatan aksi mereka.
Semangat zaman
Lantas
muncul pertanyaan bagaimana dengan pemuda masa kini? Bagaimana kita menakar
nasionalisme mereka saat ini? Bagaimana pula kita memaknai peran, posisi dan
kontribusi politik generasi yang sekarang ini lebih dikenal sebagai generasi
anak nongkrong itu dalam panggung sejarah perubahan?
Louis
Gottschalk dalam bukunya yang berjudul Mengerti
Sejarah, memperkenalkan istilah zeigest
yang biasa diartikan sebagai semangat zaman. Setiap zaman, diidentifikasi
memiliki karakteristiknya sendiri.
Ada tiga unsur yang
mempengaruhi karakteristik semangat zaman.
Pertama, ia bisa didesain oleh
manusia sebagai pelaku atau tokoh sejarah. Kedua,
semangat zamanlah yang membentuk manusia. Ketiga, semangat zaman lahir dari sturuktur politik dan
kebijakan negara. Dalam sejarah perjalanan bangsa yang menempatkan sosok kaum
muda sebagai instrumen perubahan, peran politik kaum muda setidaknya
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: mainstream isu yang berkembang, kepandaian
menerjemahkan semangat zaman, dan ketepatan merumuskan strategi perjuangannya.
Pemuda Indonesia dalam sejarahan cukup memainkan perannya dalam 'mendesain'
setiap peristiwa besar perubahan bangsa ini, bahkan sekaligus menjadi aktor
utama dalam peristiwa perubahan tersebut. Dalam hal ini bisa katakan bahwa
pemuda telah memiliki daya responsivitas yang tinggi dalam menerjemahkan
semangat zamannya masing-masing. Namun di sisi lain, kenyataan memilukan yang
juga sering mengemuka di setiap panggung sejarah perubahan adalah bahwa kaum
muda seperti kurang memiliki energi untuk mengarahkan perubahan serta kurang memiliki kesiapan kompetensi untuk mengisi
perubahan tersebut.
Di
situlah letak tantangan yang harus dihadapi oleh kaum muda saat ini dihadapkan
pada berbagai persoalan, baik di tingkat lokal seperti korupsi, kemiskinan,
pengangguran, kemandirian dan lain-lain maupun di tingkat global seperti
isu-isu lingkungan hidup, pemanasan global, terorisme, dan sebagainya. Itu
semua tentu saja tidak bisa diselesaikan oleh para pemuda yang hanya bisa
bernostalgia dan beromantisme mengenang masa yang telah berlalu.
Setiap
perubahan perlu energi besar yang lahir dari jiwa yang senantiasa menggelora
khas anak muda, cerminan dari hati yang bersih serta nurani yang senantiasa
berkobar. Jadi bukan munculnya generasi anak nongkrong yang jadi persoalan.
Namun, intinya adalah ketika sensitivitas krisis dari generasi muda terus
melemah serta kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan besar telah terkikis,
maka tunggulah saat di mana pemuda akan semakin menepi dan terpinggirkan dari
panggung sejarah peradaban.
Zaman
mungkin boleh berubah, semangat zaman yang menyertainya pun mungkin saja
berbeda. Tetapi sekali lagi, akan selalu ada cahaya di ujung lorong yang gelap
jika tetap ada sekelompok pemuda di setiap zaman yang tidak kehilangan SENSITIVITAS DAN KEPEDULIANNYA. Dua hal
ini merupakan substansi dari nasionalisme yang dapat dipakai sebagai syarat
minimal guna menakar nasionalisme kaum muda di setiap zaman.
Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata ”Nation” dalam bahasa Inggris yang berarti
bangsa. Nation dalam bahasa latin yang berarti kelahiran kembali, suku, bangsa.
Bangsa adalah sekelompok orang/ iman yang mendiami wilayah tertentu dan
memiliki hasrat dan kemauan bersama untuk bersatu karena adanya persamaan
nasib, cita-cita, kepentingan, dan tujuan yang sama.
Sehingga Nasionalisme dapat diartikan:
a. Paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada
negara danbangsa (pengertian menurut Hans Kohn).
b. Semangat atau perasaan kebangsaan, yaitu semangat/ perasaan cinta terhadap
bangsa dan tanah air.
c. Suatu sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang
mempunyai kesamaan kebudayaan, bangsa dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan
tujuan sehingga merasakan adanya kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa
itu.
Fase
Terbentuknya Nasionalisme
Terbentuknya
nasionalisme melalui beberapa fase, yaitu :
a.
Nasionalisme awalnya muncul pada masa kerajaan Yunani, yaitu cita-cita
sebagai bangsa terpilih, kenangan masa lampau, dan harapan masa depan, serta
peran terdepan bangsa mereka. Sebagai bangsa pembangun peradaban.
b.
Munculnya benih kesadaran Nasional
setelah adanya peristiwa Renaissance dan Reformasi pada abad ke-14.
c.
Pada abad ke-17 muncul nasionalisme di Inggris yang diikuti dengan
munculnya nasionalisme di Amerika dan Perancis pada abad ke-18.
d.
Pada pertengahan abad ke-19 nasionalisme semakin berkembang di Eropa dari
nasionalisme yang awalnya bersifat kemanusiaan berubah menjadi agresif dan
memusuhi bangsa lain. Sejak itu muncullah negara-negara yang berusaha melakukan
imperialisme dan kolonialisme. Nasionalisme Eropa terjadi pada masa transisi
dari masyarakat feodal ke masyarakat industri yang menghasilkan paham
kapitalisme dan liberalisme.
e.
Nasionalisme yang muncul di Eropa berbeda dengan nasionalisme yang muncul
di Asia sebab Nasionalisme di Asia muncul sebagai reaksi terhadap kolonialisme
dan imperialisme bangsa Eropa. Mereka menumbuhkan nasionalisme untuk melawan
penjajahan.
f.
Sementara itu nasionalisme di Indonesia terasa pengaruhnya saat perang
untuk memeproleh dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Secara imperatif pendidikan karakter bukanlah hal
baru dalam sistem pendidikan nasional kita karena tujuan pendidikan nasional
dalam semua undang-undang yang pernah berlaku (UU 4/1950, 12/1954, 2/89) dengan
rumusannya yang berbeda secara substantive memuat pendidikan karakter. Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional komitmen tentang pendidikan karakter tertuang
dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungjawab”. Jika dicermati semua elemen dari tujuan tersebut terkait
erat dengan karakter.
Secara
substantive character terdiri atas tiga operative values in action, atau tiga
unjuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan, yakni moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Ditegaskan lebih
lanjut (Lickona,1991:51) bahwa karakter yang baik atau good character terdiri atas proses psikologis knowing the good, desiring the good, and doing the good-habit of the
mind, habit of the heart, and habit of action.
Ketiga
substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada kehidupan moral dan
kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter kita maknai sebagai
kualitas pribadi baik, dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata
berprilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari olah piker,
olah hati, olah raga, dan olah rasa dan karsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar