ABSTRACT
Indonesia is the world’s largest
archipelagic nation, with more than 17,000 islands and 18,000 kilometers (km)
of coastline. The coastal zone is a highly productive ecosystem that serves as
an important base for the country’s economic growth. Further, Indonesia’s coral
reef form the key ecosystem on which the majority of the coastal inhabitants of
the country rely for food, income generation, construction materials, and
coastal protection. They are also of critical significance for science,
education, pharmaceuticals, and global conservation and heritage. Healthy coral
reefs can produce marine products worth USA $ 15,000 per km2 per
year, and are an important source of food and economic opportunities for about
67,500 coastal resident. Other wise more than 70% coral reed of Indonesia has
been destroyed by several ways. Coastal habitats play an important role in the
daily lives of the people in terms of livelihood, economic output, and food
production. Therefore Coral Reef Thabilitation and Management Program Phase Two
(COREMAP II) funded by Asian Bank Development (ADB) with community-based coral
reef management has been implemented since 2004 in Riau and North Sumatra and
as well as West Sumatra Province.
Further, the main problems in
management of coral reef in Indonesia are (1) coastal resident with under
poverty line and lack of knowledge and skill; (2) destroyed coastal biophysics;
(3) unsustainable fisheries industries; (4) illegal fihing; (5) lack of
regulations and law enforcement; (6) limited scientific information of marine
and coastal source and (7) trunami. Based on the main problems previously
described, community-based coral reef management has program consists of four
components: (1) community empwerment, (2) community resource management, (3)
community social service and infrastructure development, (4) community
livelihood and income generation. Furthermore, the more detailed program for
implementing four components are: development of national and regional
policies, laws and guidelines for sustainable coral reef use and protection;
development of marine action strategy and district spatial plant;
community-based simple research; human resource development thogh trainings and
extensions; community empowerment (community) organizing, training, and
capacity building; participatory planning at local level); identification and
establishment of village and community development facilities and services;
idetification, feasibility studies, development, pilot-testing, and
implementation of livelihood development and income generation, training of
community froups in microenterpise development and management and procurement
of early warning and communication equipment for natural disaster.
_________
Keywords : Community-Based
Coral Reef Management, Coastline, Habitats, Livelihood, Development, Training.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Indonesia sebagai
Negara kepulauan memiliki luas laut lebih besar dari pada luas daratan. Jumlah pulau di Negara
inin sebanyak 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km atau 18.4 %
dari garis pantai dunia (Wirayawan dkk, 2005). Wilayah laut Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa
terkenal memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam, baik sumberdaya
alam yang dapat pulih seperti perikanan, hutan mangrove, terumbu karang dan
lainnya, maupun yang tidak dapat pulih seperti tambang. Wilayah pesisir yang merupakan wilayah
peralihan antara ekosistem darat dan laut, memiliki potensi sumberdaya alam dan
jasa lingkungan yang mengundang daya tarik berbagai pihak untuk
memanfaatkannya.
Sumberdaya pesisir terdiri dari
sumberdaya hayati (ikan, terumbu karang, mangrove), non hayati (mineral) dan
jasa lingkungan. Sumber daya pesisir
mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar,
beraneka ragam dan laut tropis yang terkaya. Sumberdaya pesisir merupakan salah
satu kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Akan tetapi pemanfaatan sumberdaya
tersebut sampai saat ini kurang
memperhatikan kelestariannya, akibatnya terjadi penurunan fungsi, kualitas
serta keanekaragaman hayati yang ada.
Sebagai contoh adalah degradasi ekosistem terumbu karang yang telah
teridentifikasi sejak tahun 1990-an.
Dari hasil penelitian P2O-LIPI (2001) diketahui bahwa terumbu karang
Indonesia dalam kondisi sangat baik hanya 6.41 %, kondisi baik 24,3 %, kondisi
sedang 29,22 % dan kondisi rusak 40,14 %.
Data ini menunjukkan sebagian besar kondisi terumbu karang di Indonesia
dalam keadaan rusak. Kerusakan tersebut
pada umumnya disebabkan oleh kegiatan perikanan destruktif, yaitu penggunaan
bahan peledak, racun sianida, penambangan karang, pembuangan jangkar perahu dan
sedimentasi. Pelaku kerusakan tidak hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan
tradisional, juga oleh nelayan-nelayan modern dan nelayan asing.
Dalam rangka mengatasi degradasi
sumberdaya pesisir termasuk terumbu
karang di Indonesia, diperlukan suatu desain pengelolaan yang
komprehensif. Desain pengelolaan ini
diharapkan dapat menyatukan beberapa kebijakan yang ada sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan
masyarakat.
1.2. Tujuan
Tulisan ini
merupakan pengkajian strategi
pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat yang bertanggung
jawab dan berkelanjutan. Kajian tersebut akan diuraikan lebih mendetail dan
holistik di halaman berikutnya.
2. ISU DAN PERMASALAH PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
Hasil Focused Group Disscussion (FGD) dan survey
lapangan memperlihatkan isu utama
dan permasalahan dalam pengelolaan
terumbu karang, antara lain:
1.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, marginalisasi dan
kemiskinan serta pertumbuhan penduduk yang tinggi di pesisir
2.
Degradasi biofisik lingkungan pesisir (mangrove,stok ikan, erosi pantai,
pencemaran, sedimentasi, abrasi pantai dan intrusi air laut)
3. Belum optimalnya pengelolaan perikanan
tangkap
4.
Belum tercapainya industri ikan atau lestari
5. Kasus pencurian ikan (Illegal Fishing)
6.
Sangat terbatasnya sistem informasi sumberdaya pesisir
dan laut
7.
Kurangnya peraturan dan penegakan hukum
8.
Adanya tsunami dan gempa
2.1. Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia dan
Kemiskinan
Masalah sumberdaya
manusia menyangkut aspek potensi kependudukan, pendidikan, kesehatan dan
ketenagakerjaan. Salah satu tantangan
mendasar dalam pembangunan adalah dalam hal mengatasi masalah kependudukan dan
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Oleh karena itu dalam setiap perencanaan pembangunan di kawasan pesisir
persoalan sumberdaya manusia perlu mendapat perhatian.
Rendahnya kualitas
sumberdaya manusia tidak hanya terjadi pada masyarakat wilayah pesisir saja
tetapi juga pada sumberdaya manusia instansi terkait yang sangat erat kaitannya
dengan tingkat pendidikan yang rendah, baik pendidikan formal maupun non
formal.
Penyebab utama rendahnya
kualitas sumberdaya manusia antara lain karena: (1) rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat; (2) terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan serta
tenaga pendidik; (3) rendahnya tingkat pendapatan masyarakat, sehingga sebagian
besar masyarakat tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi; (4) rendahnya tingkat kesehatan lingkungan pemukiman masyarakat; (5) minimnya sarana dan
prasarana kesehatan serta kurangnya tenaga medis
Konsekuensi rendahnya kualitas sumberdaya
manusia antara lain: (a) sumberdaya alam
wilayah pesisir belum dapat
dimanfaatkan secara optimal; (b) pola pemanfaatan sumberdaya alam tidak memperhatikan aspek-aspek kelestarian
lingkungan; (c) penguasaan teknologi pemanfaatan sumberdaya pesisir masih
rendah, (d) partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir
masih rendah; (e) sanitasi lingkungan pemukiman wilayah pesisir masih buruk.
Permasalahan lain dari
sumberdaya manusia adalah sebagian besar masyarakat pesisir asih dililit
kemiskinan. Hasil Focused Group
Discussion (FGD) terhadap stakeholder di beberapa daerah memaparkan bahwa
berbagai fenomena kerusakan terumbu karang bukan hanya disebabkan oleh
industrialisasi, tetapi juga seringkali diakibatkan oleh penduduk miskin yang
karena keterpaksaan (ketiadaan alternatif mata pencaharian) harus mengekplotasi
sumberdaya pesisir dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti
penggunaan bahan peledak dan racun untuk menangkap ikan. Lebih anjut hasil FGD menyatakan bahwa salah
satu penyebab dari kemiskinan masyarakat pesisir adalah karena tidak adanya
konsep dan program pengembangan masyarakat pesisir sebagai subyek dan obyek
dari pembangunan khususnya pembangunan masyarakat pesisir.
2.2. Degradasi Biofisik Lingkungan
Pesisir
a. Mangrove
Ekosistem mangrove
merupakan habitat bagi beragam jenis ikan, kepiting, udang, kerang, reptil dan
mamalia. Detritus dari mangrove
merupakan dasar pembentukan rantai makanan bagi banyak organisme pesisir dan
laut. Penurunan luas hutan mangrove dari
tahun ke tahun dan dampaknya sudah mulai dirasakan. Penyebab utama hilangnya mangrove adalah
antara lain:(a) konversi lahan mangrove untuk tambak udang; (b) pengelolaan
pertambakan tidak berwawasan lingkungan; (c) tidak ada kebijakan yang jelas mengenai
penguasaan dan pemanfaatan lahan pesisir di desa; (d) kurangnya kesadaran
masyarakat mengenai pentingnya pelestarian mangrove dan kondisi sosial-ekonomi
masyarakat di sekitar hutan mangrove masih rendah. Selanjutnya penebangan hutan mangrove secara besar-besaran mempunyai dampak terhadap (1) penurunan luas vegetasi
mangrove; (2) penurunan kualitas air
terutama meningkatnya sedimentasi yang berakibat negative terhadap kehidupan
terumbu karang; (3) penurunan hasil tangkapan, terutama kepiting, kerang dan
udang
b. Penurunan Stok Ikan
Ada kecnderungan stok
ikan di pantai Nias menurun, khususnya komunitas ikan karang
disebabkan oleh adanya penggunaan bom ikan (blast fishing) dan bahan beracun
(cyanide fishing) dalam kegiatan penangkapan ikan di sekitar karang. Penggunaan bom ikan dan bahan beracun ini
menyebabkan terdegradasinya ekosistem karang yang sangat potensial sebagi
spawning , nursery area dan feeding area.
Selanjutnya, dengan
kondisi armada penangkapan yang didominasi oleh usaha skala kecil (perikann
rakyat) dengan permodalan yang terbatas, maka konsentrasi daerah penangkpan
sangat terbatas di wilayah pantai. Akibatnya, intensitas penangkapan di sekitar
pantai cukup tinggi untuk memanfaatkan potensi yang relative terbatas, yang
selanjutnya mengakibatkan over fishing.
c. Pencemaran
Pencemaran air merupakan
salah satu masalah serius yang bisa mengganggu kesehatan manusia, lingkungan
bahkan bisa mempengaruhi kegiatan ekonomi.
Bahan pencemaran atau polutan
di perairan pantai berasal dari kegiatan
rumah tangga, daerah aliran sungai, pertanian, dan lain-lain.
Penyebab utama pencemaran
wilayah pesisir adalah: (1) masih
rendahnya kepedulian industri sepanjang DAS dan pesisir terhadap sistem
pengolahan limbah cair yang masuk ke perairan umum ; (2) kurang ketatnya pengawasan
limbah oleh instansi terkait ; (3) belum jelasnya penerapan sanksi terhadap industri yang
melanggar isi dokumen Amdal dan peraturan perundangan yang berlaku (PP 27/99
tentang Amdal dan UU 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) ; (4) rendahnya kepedulian
masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan
sekitarnya serta pola bangunan yang membelakangi pantai; (5) rendahnya
pengetahuan masyarakat pantai tentang pengetahuan lingkungan.
Pencemaran perairan
pantai dapat mengakibatkan (a) rendahnya daya dukung lingkungan dan kualitas
perairan pesisir ; (b) menimbulkan bau yang tidak menyenangkan untuk
daerah kunjungan wisata ; (c) meningkatnya wabah penyakit menular terhadap
kehidupan masyarakat pesisir ; (d) menurunnya tingkat keberhasilan
budidaya perikanan (tambak dan mariculture) dan kegiatan ekonomi lainnya
(pariwisata).
d. Sedimentasi , Abrasi Pantai dan Intrusi Air
Laut
Penyebab utama
meningkatnya sedimentasi di perairan pantai antara lain: (1) penebangan hutan
di daerah aliran sungai; (2) penambangan pasir di sepanjang aliran sungai; (3)
curah hujan yang tinggi. Selanjutnya sedimentasi dapat mengakibatkan pendangkalan muara sungai dan alur pelayaran;
kekeruhan air di muara sungai dan laut serta rusaknya terumbu karang
Proses terjadinya abrasi
pantai dan intrusi air laut sangat kompleks karena tidak hanya mencakup hal-hal
yang bersifat alami tetapi terkait juga dengan beberapa kegiatan manusia. Intrusi air laut ke areal persawahan akibat
konversi sawah jadi tambak udang dibeberapa lokasi. Namun permasalahan ancaman abrasi pantai
dengan intrusi air laut dapat dipahami dan dicegah atau dikurangi dengan
tindakan relatif sederhana. Penyebab utama intrusi air laut adalah : (1)
penebangan mangrove untuk pemukiman; (2) masuknya air laut ke sawah; (3) eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Sedangkan Akibat yang ditimbulkannya adalah degradasi kualitas air tanah dan korosi
konstruksi bangunan pipa logam di bawah tanah.
2.3. Belum
Optimalnya Pengelolaan Perikanan Tangkap
Walaupun teknologi di
bidang penangkapan telah berkembang namun pemanfaatannya masih didominasi oleh
perusahaan-perusahaan perikanan.
Sedangkan perikanan rakyat skala kecil belum dapat memanfaatkan
teknologi maju tersebut oleh karena adanya berbagai kendala antara lain
(1) terbatasnya/lemahnya permodalan yang dimiliki oleh nelayan (2) taraf
pendidikan nelayan kecil umumnya masih rendah sehingga belum menguasai
teknologi maju.
Penyebab utama isu perikanan tangkap antara lain, (1)
rendahnya kegiatan pembinaan dan sarana pengawasan; (2) tidak terkontrolnya
peningkatan jumlah dan jenis alat tangkap,; (3) tidak dipatuhinya jalur-jalur penangkapan ikan yang telah
ditetapkan;
(4) program
pembangunan sarana/prasarana perikanan kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
nelayan; (5)
perikanan rakyat skala kecil belum dapat memanfaatkan teknologi maju. Hal ini
dapat mengakibatkan (a) aktivitas penangkapan secara ilegal seperti penggunaan
jaring trawl, bahan peledak, potas; (b) konflik antara nelayan dengan nelayan
lain yang menyalahi jalur penangkapan, (c) belum optimalnya pengelolaan
perikanan tangkap sehingga produktivitasnya rendah..
2.4. Belum Tercapainya Industri Budidaya Ikan Lestari
Industri budidaya
ikan di perairan Nias belum berkembang karena disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu : (1) masyarakat masih memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan
dalam budidaya ikan, (2) belum adanya fasilitas budidaya antara lain pembenihan
ikan, penyediaan pakan buatan, (3) belum
berkembangnya infrastruktur dan pemasaran hasil.
2.5.
Pencurian Ikan (Illegal Fishing))
Potensi perikanan tangkap di kawasan
wilayah pantai Nias sangat besar seperti ikan pelagis (tuna)
serta demersel cukup besar karena daerah tersebut merupakan jalur ikan tuna di
Samudra Hindia. Namun permasalahannya
adalah kasus pencurian ikan di setiap propinsi pantai Barat Sumatra oleh
nelayan luar propinsi atau kapal negara asing
masih sering terjadi, yaitu
akibat (1) masih lemahnya sistem
Monitoring Controling and Surveillance
(MCS) dan penegakan hokum; (2) terbatasnya kemampuan nelayan tradisional dengan kapal
yang sangat sederhana untuk mengontrol dan mengawasi pencurian ikan dengan
kapal yang lebih modern; (3) belum berkembangnya organisasi nelayan seperti Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) maupun organisasi nelayan lokal; (4) belum effektifnya kewenangan
pengawasan sumberdaya kelautan yang dilakukan oleh TNI-AL berkordinasi dengan
Dinas Perikanan.
2.6. Sangat Terbatasnya Sistem Informasi Sumberdaya
Pesisir dan Laut
Fasilitas sistem informasi sumberdaya pesisir
dan laut di Indonesia sangat kurang sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan
di wilayah pantai dan laut tidak optimal dan tidak berkelanjutan. Sebagai contoh, gagalnya industri tambak udang
di daerah pesisir akibat kurangnya data base tentang potensi sumberdaya alam,
system dan teknologi pengolahan tambak di suatu daerah. Dengan demikian
keterpurukan usaha budidaya udang di Indonesia
sudah dapat dipastikan akibat kurangnya database dari hasil penelitian tentang system dan teknologi budidaya udang. Umumnya
teknologi budidaya udang “diimport” dari negara asing tanpa ada suatu
penelitian adaptasi terhadap lingkungan Indonesia dan pemilik atau perusahaan
tambak udang kurang peduli terhadap kegiatan penelitian. Sehingga ada kecenderungan pengusaha tidak
memikirkan bagaimana mempertahankan produksi dalam jangka panjang melainkan
hanya memikirkan masa kini.
Contoh lainnya adalah
belum terdatanya hasil sumberdaya ikan yang ditangkap secara baik, sehingga
tidak dapat diketahui secara pasti
apakah sumberdaya ikan yang terdapat di perairan sudah melampui potensi yang
tersedia atau masih dalam batas-batas potensi lestari. Hal itu terjadi karena banyaknya
tangkahan-tangkahan yang sulit dikontrol oleh dinas terkait sehingga jumlah dan
jenis ikan yang didaratkan tidak diketahui.
Selain itu juga karena banyaknya nelayan-nelayan yang melakukan
transaksi jual beli ikan di laut sehingga sulit sekali dilakukan pengkontrolan.
2.7. Kurangnya
Peraturan dan Penegakan Hukum
Rendahnya
peraturan dan penegakan hukum tidak
terlepas dari rendahnya kualitas SDM baik dikalangan masyarakat maupun aparat
hukum yang berada di wilayah pesisir.
Lemahnya peraturan dan penegakan hukum tercermin dari sikap dan
pengetahua masyarakat tentang hukum yang masih rendah, khususnya yang
berhubungan dengan UU No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati Dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup serta UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Demikian juga halnya dengan penaatan terhadap
peraturan tentang jalur-jalur penangkapan ikan yang tertuang dalam Kepmentan
No. 392/kpts/IK 120/4/99.
Beberapa masalah yang
sering timbul berkaitan dengan rendahnya ketaatan dan penegakan hukum, antara
lain banyaknya nelayan yang menangkap ikan dengan alat yang tidak ramah
lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau racun, serta perambahan hutan
mangrove secara ilegal di daerah jalur hijau (green belt).
Disamping itu pelanggaran
terhadap jalur-jalur penangkapan oleh kapal-kapal perikanan berukuran besar
sering memicu terjadinya konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan
modern. Penyebab utama rendahnya penaatan dan penegakan hukum antara lain:
(1) rendahnya pengetahuan
masyarakat tentang hukum dan peraturan; (2) terbatasnya sarana dan prasarana petugas
penegak hukum; (3) masih
lemahnya pelaksanaan sosialisasi produk hukum ; (4) belum transparannya proses
pembuatan produk hukum (tanpa konsultasi publik); (5) belum terpadunya pengelolaan sumberdaya
pesisir antar sektor. Dan tentu hal ini dapat mengakibatkan (a) meningkatnya
kegiatan Illegal Fishing; (b)
terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir; (c)
berkurangnya hutan mangrove; (d) terjadinya pencemaran air laut; (e) konflik
kewenangan antar instansi; (f) menurunnya keamanan di wilayah pesisir dan laut
3. PENGELOLAAN
TERUMBU KARANG BERBASIS MASYARAKAT
3.1.
Prinsip Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Partisipasi secara aktif
masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya terumbu karang sangat diperlukan pada saat ini. Dengan demikian masyarakat lokal dapat lebih aktif ikut
berperan dalam menangani permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan mereka. Dalam keadaan
pemerintah sangat terbatas kemampuannya untuk membangun, maka kesadaran
masyarakat untuk mengembangkan lingkungan sekitarnya akan sangat meringankan
beban pemerintah.
Pengelolaan sumberdaya terumbu
karang berbasis masyarakat harus berorentasi terhadap beberapa hal antara
lain:
Kebutuhan
(need oriented), yaitu model pengembangan masyarakat pesisir hendaknya
didasarkan pada kebutuhan kelompok masyarakat pesisir. Prakarsa lokal (local
inisiatives) baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, yakni keterampilan
serta budaya. Hal ini dilakukan dalam
rangka untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas keterampilan maupun
budidaya kelompok masyarakat pesisir.
Berorentasi pasar (market oriented), artinya model pembangunan
masyarakat pesisir berbasis masyarakat yang diterapkan harus berorentasi pasar,
baik domestik maupun ekspor dengan cara membangun jaringan ekonomi masyarakat
lokal yang berorientasi global yang didukung oleh kemampuan teknologi
komunikasi dan informasi.
Prinsip utama pengelolaan berbasis masyakat
adalah, masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pengelolaan
mulai dari penyusunan rencana, pelaksanaan, pemantauan pelaksanaan, hingga
evaluasi terhadap hasil-hasil yang dicapai.
Dengan demikian pola pendekatan
yang dilakukan adalah dari bawah ke atas (bottom up) yang dipadukan dengan dari
atas ke bawah (top down), hal ini belajar dari pengalaman kegagalan pembangunan
pada masa lalu yang cenderung menggunakan top down saja, dan sejalan dengan
paradigma baru pembangunan sekarang prinsip aspiratif dan partisipatif
masyarakat lebih ditonjolkan. Program
ini akan lebih terjamin keberlanjutannya karena masyarakat pesisir sebagai
kelompok yang paling mengetahui kondisi wilayah pesisir dan lautan sekitarnya
menjadi diberdayakan dan didudukkan sebagai subyek dalam proses kegiatan
program sehingga mereka memiliki dan bertanggung jawab akan program-program
yang dilakukan.
Pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat secara
garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu: (i) perencanaan; (ii) pengelolaan;
(iii) pengawasan dan pengendalian yang dipaparkan secara mendetail di bawah
ini.
3.2. Tahapan Pengelolaan Berbasis Masyarakat
a.
Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya
Terumbu Karang Berbasis Masyarakat
Perencanaan diatur melalui
pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management)
yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah
sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan
wilayah pesisir terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi
pemanfaatan sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan dengan
mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat
pemerintahan; antara ekosistem darat dan laut serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen. Perencanaan pengelolaan sumberdaya terumbu karang dilakukan agar
dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian
sumberdaya pesisir dengan memperhatikan karateristik dan keunikan wilayah
pesisirnya.
Perencanaan terpadu ini merupakan
suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir
secara optimal agar dapat menghasilkan
keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai dengan
upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan
mempertahankan kelestarian sumberdayanya.
Misalnya perencanaan wilayah pesisir yang diatur dibagi ke dalam empat
tahapan: (i) Rencana Strategis; (ii) Rencana Zonasi; (iii) Rencana Pengelolaan;
dan (iv) Rencana Aksi/ Tahunan, harus melibatkan semua stakeholder yang
termasuk mayarakat lokal, tokoh agama dan adat daerah pesisir dan laut
b. Implementasi Pengelolaan Terumbu Karang
Berbasis Masyarakat
Pengelolaan terumbu karang dilaksanakan secara terpadu dengan
mengakomodasikan berbagai kepentingan menjadi suatu sistem yang serasi dan saling
menguntungkan, sehingga kegiatan masing-masing sektor dapat saling mengisi dan
mendukung, serta saling melengkapi dengan kegiatan pembangunan daerah dan
masyarakat pesisir.
Pengelolaan terumbu karang
dilakukan secara terencana dengan memperhatikan karakteristik wilayah pesisir,
keunikan, geomorphologi pantai dan kondisi ekosistem pesisir serta ukuran
pulau. Dengan demikian, pengelolaan terumbu karang di suatu wilayah akan
bervariasi sesuai dengan perbedaan karakteristik dan keunikan wilayah pesisir
tersebut.
Sumberdaya pesisir yang relatif kaya sering
menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan padat populasi penduduknya. Namun,
sebagian besar penduduknya relatif miskin, dan kemiskinan tersebut memicu
tekanan terhadap sumberdaya pesisir yang menjadi sumber penghidupannya. Bila
hal ini diabaikan akan berimplikasi meningkatnya kerusakan ekosistem pesisir
terutama terumbu karang. Selain itu masih terdapat kecenderungan bahwa
industrialisasi dan pembagunan ekonomi di wilayah pesisir seringkali
memarjinalkan penduduk setempat. Oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan
masyarakat pesisir dan laut.
c. Pengawasan dan Pengendalian Berbasis Masyarakat
Terumbu karang yang ada di perairan pantai
Nias banyak mendapat tekanan akibat
aktivitas masyarakat. Kerusakan terumbu
karang di perairan pantai Barat Sumatra misalnya Nias juga
diakibatkan oleh penggunaan bom dan racun ikan, pengoperasian alat tangkap trawl. Selanjutnya,
kasus pencurian ikan di pantai Barat Sumatra Utara oleh nelayan luar propinsi atau kapal
negara asing masih sering terjadi.
Pemaparan tentang kerusakan lingkungan dan pencurian ikan di wilayah
Kabupaten Nias terjadi akibat masih lemahnya sistem Monitoring Controliing dan
Surveilance (MCS) berbasis masyarakat.
Masalah tersebut hanya effektif dapat diatasi dengan cara pengawasan dan pengendalian berbasis
masyarakat , yaitu melalui:
Pemantauan dan pengawasan
dilakukan untuk mengetahui kenyataan apakah terdapat penyimpangan pelaksanaan
dari rencana strategis, rencana mintakat, rencana pengelolaan, serta bagaimana implikasi penyimpangan
tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir.
Pengendalian dilakukan untuk
mendorong agar pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir yang sesuai dengan
rencana pengelolaan wilayah pesisirnya. Penegakan hukum dilaksanakan untuk
memberikan sanksi terhadap pelanggaran baik berupa sanksi administrasi misalnya
pembatalan izin atau pencabutan hak; sanksi perdata misalnya pengenaan denda
atau ganti rugi; dan sanksi pidana baik penahanan maupun kurungan.
Selanjutnya pengelolaan sumberdaya terumbu karang
berbasis masyarakat yang bertanggung
jawab dapat tercapai melalui
implementasi serangkaian strategis
seperti dipaparkan secara mendetail di bawah ini.
1. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Agar pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang bertanggung jawab dapat
dicapai maka kualitas sumberdaya
manusia baik sebagai pengelola langsung
maupun sebagai penentu kebijakan sudah
sangat penting untuk ditingkatkan melalui (1) peningkatan program pelatihan dan keterampilan secara
rutin kepada masyarakat dan staf instansi dalam hal pengelolaan sumberdaya alam
pesisir yang berkelanjutan misalnya system dan teknologi penangkapan dan budidaya ikan; (2) peningkatan sarana dan prasarana pendidikan termasuk tenaga
guru; (3) peningkatan sarana dan prasarana kesehatan; (4) peningkatan taraf
hidup atau pendapatan masyarakat melalui
penciptaan matapencaharian alternative.
2.
Pemulihan Biofisik Lingkungan Pesisir yang Terdegradasi
Pengelolaan perikanan pesisir yang
lestari dan bertanggung jawab tercipta jika biofisik lingkungan pesisir yang
telah rusak sangat penting untuk dipulihkan atau direhabilitasi yaitu melalui
sejumlah aktivitas antara lain:
o
Rehabilitasi
mangrove
o Mengembangkan pola
pemanfaatan hutan mangrove berwawasan lingkungan
o
Rehabilitasi terumbu karang
o
Membuat
pedoman rehabilitasi dan pengelolaan hutan mangrove dan terumbu karang
o Melakukan pelatihan
pengelolaan dan rehabilitasi hutan
mangrove dan terumbu karang
o
Membuat
Perda dan mensosialisasikan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove dan terumbu karang.
o Mengembangkan
program penanggulangan erosi pantai secara terpadu
o Sosialisasi dan
standarisasi konstruksi bangunan pengaman pantai
o
Penanggulangan
limbah domestic (sampah) dan pelabuhan
o
Penanggulangan
abrasi pantai
o
Pengembangan
mata pencaharian alternative bagi nelayan yang melakukan perusakan terhadap
sumberdaya alam (terumbu karang dan mangrove.
3.
Pengembangan Industri Perikanan
Tangkap yang Lestari
Pola pemanfaatan sumberdaya alam
di wilayah pesisir dan lautan selama ini khususnya pemanfaatan pantai atau laut
cenderung dilakukan dengan menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan,
misalnya penggunaan trawl, potassium dan
pengeboman untuk menangkap ikan di laut. Dengan demikian industri perikanan
tangkap lestari atau berkelanjutan dapat
dicapai melalui serangkaian program,
yaitu:
o Melakukan identifikasi
berbagai jenis alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan merusak sumberdaya
alam wilayah pesisir dan lautan
o Meningkatkan pengawasan
dan penegakan hukum terhadap penggunaan berbagai alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan
o Pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut untuk industri perikanan tangkap
o Melakukan inventarisasi
potensi pantai dan perairan untuk kegiatan budidaya.
o Mengadakan pelatihan
secara rutin kepada masyarakat nelayan
konsep-konsep industri perikanan tangkap yang berkelanjutan..
o Mengembangkan dan
memperkenalkan system pengolahan yang lebih higienis dan menghindari bahan
pengawet
o Pelatihan tenaga pengawas
mutu hasil perikanan
o Mengembangkan upaya-upaya
perlindungan hak-hak buruh nelayan dan nelayan tradisional dengan pola
kemitraan
o Mengadakan pelatihan
managemen usaha perikanan tangkap skala
rumah tangga
o Mengembangkan skim-skim
perkreditan usaha perikanan yang sederhana
o
Mengembangkan
pemasaran usaha perikanan
4.
Pengembangan Industri Budidaya
Ikan yang Lestari
Aspek yang sangat urgent dilakukan agar budidaya ikan atau udang yang lestari
tercapai di Indonesia, antara lain:
1. Penanaman mangrove di sekitar pantai sangat
penting juga mengingat mangrove merupakan biofilter atau buffer alami untuk
memperbaiki kualitas air. Hasil
penelitian juga menyatakan bahwa
sisa-sia daun mangrove yang telah membusuk sangat dibutuhkan oleh udang untuk
hidup dan bertumbuh
2.
Mengembangkan pembenihan ikan dan pembuatan pakan ikan.
3. Mediversifikasi jenis-jenis ikan asli
(native species) untuk dibudidayakan secara komersil
4. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum
terhadap aktivitas budidaya ikan yang tidak ramah lingkungan
5.
Melakukan inventarisasi potensi pantai dan perairan untuk
kegiatan budidaya
6.
Mengadakan pelatihan secara rutin kepada masyarakat petani ikan tentang konsep-konsep
industri budidaya yang berkelanjutan..
7.
Mengembangkan dan memperkenalkan system pengolahan yang
lebih higienis dan menghindari bahan pengawet
8.
Mengembangkan skim-skim perkreditan usaha perikanan yang
sederhana
9. Mengembangkan pemasaran usaha perikanan
5. Pencegahan Kasus
Pencurian Ikan (Illegal Fishing)
Kasus pencurian ikan (illegal fishing) dapat dicegah melalui pembangunan sistem
Monitoring Controling and
Surveillance (MCS) berbasis masyarakat
dan penegakan hukum, yang memerlukan langkah-langkah sebagai berikut:
o Melakukan identifikasi
kegiatan pencurian ikan atau illegal fishing dan penggunaan teknologi
penangkapan yang tidak ramah lingkungan
o Sosialisasi dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan illegal fishing dan penggunaan teknologi
penangkapan yang tidak ramah lingkungan
o Sosialisasi produk-produk
hukum yang berkaitan dengan illegal fishing dan penggunaan teknologi
penangkapan yang tidak ramah lingkungan terhadap masyarakat pesisir pada
umumnya dan nelayan khususnya
o Menyusun rencana sistem
Monitoring Controling and Surveillance
(MCS) sesuai dengan skala masalah yang ada dengan tetap mempertimbangkan
aspirasi masyarakat perikanan dan stakeholders lainnya
o Menetapkan mekanisme dan
prosedur pelaksanaan Monitoring
Controling and Surveillance (MCS) yang memberdayakan masyarakat.
o Membentuk koordinasi yang
solid antar instansi terkait yang ada hubungannya dengan keamanan laut.
o Melakukan tindakan sanksi
yang tegas dan konsisten terhadap kegiatan Monitoring Controling and Surveillance (MCS). Sebaliknya memberikan
rangsangan penghargaan terhadap masyarakat yang tingkat keperduliannya cukup
tinggi untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan perairan.
6. Pengembangan Sistem Informasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Berbasis Ekosistem Terpadu.
Walaupun perairan Indonesia pada umumnya dan Sumatra Utara pada khususnya
memiliki sumberdaya alam pesisir dan laut berlimpah namun potensi sumberdaya
tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan devisa negara
maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh keterbatasan data base, standarisasi dan
system informasi yang menjadi system pendukung dalam merencanakan pengelolaan
dan program pembagunan yang akan dilaksanakan.
Dengan demikian pengembangan system informasi sumberdaya alam dan
lingkungan sangat diperlukan dalam pencapaian pengelolaan sumberdaya pesisir
yang terpadu baik secara sektoral maupun
regional serta yang bertanggung jawab
dan berkelanjutan. Pengembangan system
informasi mencakup pengembangan data base, inventarisasi, standarisasi system
perencanaan pengelolaan.
Sudah dapat
dipastikan bahwa system informasi tersebut dapat dikembangkan apabila ada suatu
riset dan pengembangan yang dilakukan oleh masyarakat ilmiah yang diinisasi oleh masyarakat dalam isu pengelolaan
perikanan pantai. Sebagai contoh,
informasi yang berkualitas baik dari hasil penelitian dapat digunakan untuk
memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi di budidaya udang. Perlu diingatkan bahwa fungsi utama lembaga
penelitian dan pengembangan adalah untuk memperoleh informasi yang sangat
berguna dalam memecahkan berbagai masalah di budidaya udang.
Umumnya negara maju
selalu memiliki agroindustri lestari (sustainable agroindustry) karena
semua aktivitas dalam industri tersebut
selalu didasarkan atau didukung oleh hasil penelitian yang berkualitas
bagus. Sebagai contoh, sekarang ini
Australia sangat giat melakukan penelitian sendiri di bidang bioteknologi udang
windu walaupun budidaya udang windu masih baru di Australia. Indonesia suatu saat akan ketinggalan di bidang
budidaya udang dengan Australia, jika pemerintah dan para pengusaha tidak
memberikan perhatian terhadap penelitian.
Penelitian-penelitian
yang dimaksud harus dilakukan tersendiri di Indonesia karena hal itu sangat
lebih bermanfaat. Industri budidaya
udang tidak boleh disamakan dengan
industri komputer, mobil dan industri lain karena faktor lingkungan sangat
mendominasi proses-proses biologi di dalam tambak. Untuk mencapai keberhasilan
usaha budidaya udang, semua teknologi budidaya udang yang diimpor harus
diadaptasikan terhadap lingkungan Indonesia terlebih dahulu. Selanjutnya masalah-masalah yang timbul di
tambak udang di Indonesia sangat kecil kemungkinannya dapat diatasi dengan
hanya menerapkan informasi dari hasil penelitian negara lain.
Alasan yang paling
umum kenapa perusahaan dan pemerintah kurang perhatian terhadap penelitian,
yaitu (a) terbatasnya dana dan (b) tersedianya teknologi hasil penelitian yang
diimpor dari negara asing. Memang untuk
melakukan penelitian dibutuhkan sarana, prasarana baik berupa fisik maupun
berupa sumberdaya manusia yang berkualitas.
Ha ini semuanya memerlukan dana, akan tetapi dapat dipastikan bahwa
industri budidaya udang yang ditopang oleh kegiatan-kegiatan penelitian yang
berkualitas akan berproduktivitas tinggi dan menjadi tambak udang lestari
(memiliki produktivitas tinggi dalam
jangka panjang). Sebagai pertanyaan sekarang apakah para
pengusaha ingin memiliki tambak udang lestari? Jika jawabannya ya, para
pengusaha harus bersedia mengalokasikan dana untuk menyediakan prasarana
penelitian termasuk peningkatan
sumberdaya manusia.
Penerapan secara langsung teknologi yang
“diimpor” dari negara asing tanpa adanya kegiatan penelitian adaptasi dapat
memiliki resiko yang besar, yaitu alasannya seperti telah diterangkan di
atas. Kebenaran pernyataan ini
seharusnya sudah dapat dievaluasi oleh perusahaan udang yang telah mengimpor teknologi hasil
penelitian negara asing. Pertanyaan
sekarang adalah seberapa efisien dan efektif penggunaan teknologi import
tersebut dapat mengatasi masalah-masalah udang di Indonesia . Pertanyaan tersebut sangat perlu direnungkan
dan digumulkan.
Pemaparan
di atas menggambarkan dengan jelas bahwa
pengembangan system informasi melalui
sejumlah kegiatan penelitian
sangat besar peranannya dalam mewujudkan industri perikanan tangkap dan tambak
udang lestari di Indonesia . Oleh karena itu Indonesia harus berperan aktif
sebagai pelaku penelitian dan bukan hanya sebagai objek peneliti bagi para ahli
negara lain seperti terjadi sekarang ini.
7.
Pembuatan Peraturan dan Penegakan
Hukum
Industri perikanan pesisir berkelanjutan hanya dapat tercapai apabila Pemerintah
Propinsi Sumatra Utara
bersama Pemerintah Kabupaten di sekitar wilayah Sumatra Utara membuat
sejumlah peraturan. Selanjutnya Pemerintah
harus tegas dan berwibawa mengontrol implementasi peraturan tersebut.
Misalnya ada suatu peraturan yang
mengatur bahwa petani ikan yang tidak punya pengetahuan dan keterampilan tentang budidaya ikan berwawasan lingkungan
atau tidak dibimbing oleh seseorang ahli perikanan, tidak diperbolehkan untuk
memelihara ikan atau udang di
tambak karena petani tersebut sudah
pasti akan merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian yang sangat besar
terhadap petani yang lain. Sebagai
contoh, di negara maju setiap petani ikan bertanggung jawab terhadap limbah
dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Pembuatan peraturan dan penegakan
hukum dapat terlaksana , yaitu dengan
cara:
o Pengadaan latihan-latihan
yang teratur tentang hokum lingkungan, konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistem serta undang-undang perikanan bagi aparat penegak hokum
o Penambahan jumlah
personil, sarana dan prasarana penegak hokum
o
Pengadaan
pelatihan dan simulasi proses peradilan bagi aparat hokum
o Pengintensifan sosialisasi/konsultasi
public terhadap draft dan produk hokum
o Peningkatan pengadaan
sarana dan prasarana pengawasan
o Peningkatan frekuensi
operasi pengawasan di aut
o Pemasangan rambu-rambu
dan penetapan jalur penangkapan ikan dan penggunaannya
o Melibatkan masyarakat dalam
proses pembuatan produk hukum.
8. Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang dengan Pendekatan Mitigasi Bencana
Melihat dampak tsunami dan gempa
yang besar serta efek negatif yang ditimbulkannya maka sudah seharusnya
pemerintah memperhatikan penataan wilayah yang berpotensi mendapatkan bencana
tsunami dan gempa. Memang diakui bahwa perencanaan tata ruang di Indonesia selama ini seringkali tidak memperhatikan
aspek mitigasi bencana serta lingkungan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil,
padahal hampir seluruh wilayah Indonsia, terutama di wilayah pesisir berpotensi
untuk terjadinya bencana. Untuk itu
sebaikknya dalam perencanaan tata ruang ada keseimbangan dalam
mengoptimalisasikan ruang yaitu dengan mempertimbangkan aspek “ekonomi” dan
lingkungan, serta juga memperhatikan faktor mitigasi bencana. Berdasarkan hal tersebut maka perlu
penyusunan suatu rencana detail tata ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil
yang didasarkan atas mitigasi bencana (gempa, tsunami dan lain-lain).
3.3.
Monev Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat
Parameter
kunci yang digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi pengelolaan terumbu
karang berbasis masyarakat antara lain:
1.
Meningkatnya Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. Sebagai Contoh COREMAP II memakai indikator
keberhasilan, yaitu Income per Capita Naik 20 % Selama Empat Tahun
2.
Adanya Perbaikan Kerusakan Biofisik. Live coral cover
meningkat 2 % per tahun merupakan salah satu indikator keberhasilan COREMAP II.
3.
Berkurangnya Aktivitas Penambangan, Pemboman dan
Penggunaan Racun di Perairan Laut
4.
Terciptanya Industri Penangkapan dan Budidaya Ikan yang
Lestari
5. Terbangunnya Sistem Monitoring Controlling
Surveillance
6. Adanya, Renstra, Rencana Penyusunan
Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang,
PERDA dan Penegakan Hukum tentang Pengelolaan Terumbu Karang
7. Adanya POKMAS dan Lembaga Pengelola
Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) yang mandiri.
4. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan
bahwa perikanan pantai Indonesia pada umumnya dan Sumatra Utara pada khususnya belum dikelola secara
bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Dengan demikian implementasi konsep pengelolaan sumberdaya terumbu
karang yang lestari harus sesegera
mungkin dilakukan, yaitu melalui (1) peningkatan kualitas sumberdaya manusia; (2). pemulihan biofisik lingkungan
pesisir yang terdegradasi ; (3) pengembangan
industri perikanan tangkap dan budidaya ikan yang lestari; (4) pencegahan kasus pencurian
ikan; (5) pengembangan sistem informasi
sejumlah kegiatan penelitian;
(6) pengadaan peraturan dan peningkatan penegakan hukum; serta (7) penyusunan
rencana detail tata ruang dengan pendekatan mitigasi bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, C.E., 1992. Shrimp pond bottom soil
and sediment management. In: Wyban, J. (Ed.), In: Proceedings of the Special Session on Shrimp farming. World
Aquaculture Society, Baton Rouge ,
USA .
Boyd, C.E., Musig, Y., 1992. Shrimp pond
effluents:Observation of the nature of the problem on commercial farms. In:
Wyban, J. (Ed.), Proceeding of the
Special Session on Shrimp Farming. World Aquaculture Society, Baton Rouge , LA ,USA , pp. 195 - 197.
Boyd, C.E., Tucker, L., 1998. Ecology of
aquaculture ponds, Pond aquaculture water quality management. Kluwer Boston,
Inc 101 Philip Drive Norwell MA 02061 USA., pp. 8-86.
Briggs, M.R.P., Funge-Smith, S.J., 1994. A
nutrient budget of some intensive marine shrimp farms in Thailand . Aquaculture and Fisheries Management 25, 789-811.
Burford, M.A., Thompson, P.J., McIntosh,
P., Bauman, R.H., Pearson , D.C. , 2003. Nutrient and microbial dynamics
in high-intensity, zero-exchange shrimp ponds in Belize . Aquaculture 219, 393 -
411.
Chamberlain, G.W., 2001. Managing zero
water –exchange ponds. In: Rosenberry, B.(Eds.). World shrimp farming 2001. Published Annually
Shrimps News International 14, 11-18
Charles, W., 2002. Fish farming
international: Shrimp update.June 2002, p14.
Duraiappah, A.K.,
Israngkura, A.,Sae-Hae,S.,2000. Sustainableshrimp
farming: Estimations of survival function.
International Institute for Environment and Development, London and Institute for Environmental Studies,
Amterdam. Working paper No.31:21 pp.
Eng, C.T., Paw, J.N., Guarin, F.Y., 1989.
The environmental impact of acuaculture and the effect of pollution on coastal
aquaculture development in southeast Asia. Mar. Pollut. Bull 20, 335 - 343.
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI (2001) Inventarisasi
dan Penilaian Potensi Kawasan Konservasi Laut Baru Pulau Derawan, Kakaban dan
Maratua, Kecamatan Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan
Timur. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta .
Wiryawan, B.,Hkazali,M., dan Knight, M. 2005.
Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau Kalimantan
Timur: Satus sumberdaya pesisir dan proses pengembangan KKL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar