I.
PENDAHULUAN
Berbicara masalah reorientasi dan reformulasi dalam sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perspektif kebijakan kriminal dan kebijakan pidana tidak dapat
dilepaskan dengan pengertian kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan
kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat
masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa
tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “Perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian dapatlah
dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian
integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai
kesejahteraan sosial). Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) harus
menunjang tujuan (“goal”),”social welfare (SW) dan “ social defence” (SD). Aspek sosial welfare (SW) dan social defence (SD) yang sangat penting
adalah aspek kesejahteraan/ perlindungan masyarakat yang bersifat immateriel
terutama nilai kepercayaan, kebenaran/ kejujuran/keadilan.
Pencegahan dan Penanggulangan
Kejahatan (PPK) harus dilakukan dengan “pendekatan integral”; ada
keseimbangan antara “penal” dan “non-penal”.[2]
Pencegahan dan Penanggulangan
Kejahatan (PPK) dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal-law
enforcement Policy” yang fungsionalisasi/opresionalisasinya melalui
beberapa tahap:[3]
1)
formulasi (kebijakan
Legislatif/legislasi);
2)
aplikasi (Kebijakan
yudikatif/yudicial);
3)
eksekusi (kebijakan
eksekutif/administratif).
Tahap formulasi,yaitu
tahap penegakkan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap
ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislative/legislasi.
Kebijakan
legislatif/legislasi adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat
undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem
tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah
direncanakan atau diprogramkan itu.[4]
Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak
hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan.Tahap kedua ini dapat pula
disebut tahap kebijakan yudikatif.
Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan
hukum pidana secara konkrit oleh
aparat-aparat pelaksana pidana.Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan
eksekutif atau administratif.[5]
Dengan adanya tahap “formulasi”,maka upaya pencegahan
dan Penanggulangan kejahatan (PPK) bukan hanya tugas aparat penegak/penerap
hukum,tetapi juga tugas aparat pemuat hukum(aparat legislatif);bahkan kebijakan
legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya Pencegahan dan
Penanggulangan Kejahatan (PPK) melalaui “penal policy”.Oleh karena itu,kesalahan/kelemahan
kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menghambat upaya Pencegahan dan
Penanggulangan Kejahatan (PPK) pada tahap aplikasi dan eksekusi.
Sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam perspektif kebijakan kriminal dan kebijakan pidana,
tidak lepas dari tahap formulasi yang di dalamnya menyangkut tentang definisi
dari korporasi, latar belakang tahap perkembangan korporasi sebagai subjek
hukum pidana, perkembangan teori-teori pertanggungjawaban pidana dan model
pengaturan jenis sanksi pidana untuk korporasi juga merupakan hal yang sangat
penting, karena apabila terdapat kelemahan perumusan dapat menghambat penegakan
hukum dalam rangka pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Di samping
itu berbicara masalah sistem pertanggungjawaban pidana dalam perspektif
kebijakan kriminal dan kebijakan pidana tidak dapat dilepaskan bagaimana
melakukan reorientasi dan reformulasi
kebijakan legislasi terhadap sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.
Hal ini sebagai penegasan bahwa kelemahan kebijakan legislasi dapat menghambat upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan
(PPK) pada tahap aplikasi dan eksekusi.
II. DEFINISI KORPORASI
MENURUT HUKUM PIDANA
Pengertian/definisi
korporasi, erat kaitannya dengan bidang hukum perdata. Sebab pengertian
korporasi merupakan terminologi yang erat dengan istilah badan hukum (rechtspersoon), dan badan hukum itu
sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata.
Menurut Subekti dan Tjitrosudibio, korporasi adalah
suatu perseroan yang merupakan badan hukum.[6]
Sedangkan Rudi Prasetyo menyatakan :
“kata korporasi sebutan yang lazim
dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam
bidang hukum lain ,khususnya bidang hukum perdata,sebagai badan hukum,atau yang
dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam
bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.”[7]
Badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban
berdasarkan hukum yang bukan manusia,yang dapat menuntut atau dapat dituntut
subjek hukum lain di muka pengadilan. Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah
: (a).memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang
menjalankan kegiatan dari badan –badan hukum tersebut; (b).memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban
orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut; (c) memiliki tujuan
tertentu; (d ) berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya
tidak terikat pada orang-orang tertentu ,karena hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya
berganti.[8]
Pembahasan tentang badan hukum ternyata tidak hanya
monopoli bidang hukum yang modern saja . Akan tetapi, apabila diteliti lebih
lanjut dalam beberapa literatur hukum adat, banyak lembaga yang dikenal dalam
hukum adat Indonesia, seperti desa, suku, nagari, wakaf dan akhir-akhir ini
juga yayasan dapat disamakan dengan subjek hukum berupa badan hukum/korporasi.Hal
ini ditetapkan dalam Lembaran Negara (staatsblad) tahun 1927 Nomor 91
Pasal 1 (periksa juga Pasal 3).Di Jawa Tengah mengakui juga sebagai badan
hukum, perkumpulan-perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan
tegas dan rapi. Di pulau Bali terdapat pula
badan-badan hukum adat seperti sekaha subak, sekaha banjar yang berarti
perserikatan subak , perserikatan banjar.[9]
Ter Haar ,juga menyatakan bahwa :
“Dalam peraturan-peraturan wet maka adanya badan-badan hukum pribumi
ini sudah sejak lama mendapat pengakuan ( landschap-landschap,
masyarakat-masyarakat wilayah, dusun-dusun, jemaah-jemaah Kristen, bagian-bagian
berdiri sendiri daripada gereja, kerabat-kerabat
Minangkabau, perkumpulan-perkumpulan koperasi.”[10]
Apabila diamati penjelasan di atas lembaga tradisional ,yang sudah
lama di kenal di dalam masyarakat adat di Indonesia,ternyata cara
pengelolaannya mirip dengan lembaga hukum modern ,dalam hal ini badan hukum
dalam bentuk yang modern.
Pengertian korporasi dalam hukum perdata berdasarkan uraian
sebelumnya ternyata dibatasi , sebagai badan hukum. Sedangkan apabila ditelaah
lebih lanjut, pengertian korporasi dalam hukum pidana ternyata lebih luas. Di
Indonesia perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana terjadi di luar
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dalam perundang-undangan khusus. Sedangkan
KUHP sendiri masih tetap menganut subjek tindak pidana berupa “orang” (lihat
Pasal 59 KUHP). Subjek tindak pidana korporasi , dapat ditemukan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka
13,Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 19, Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 1 angka 1
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 15 Tahun
2002,Pasal 1 angka 2, tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang pada intinya
mengatakan:
“Korporasi
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.”
Ketentuan
yang hampir sama juga dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 15 ayat (1),menyatakan bahwa:
“Jika
suatu tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama suatu badan hukum, suatu
perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, (kursif, oleh penulis) maka….
dan seterusnya.”
Rumusan hampir sama juga
ditemukan dalam Pasal 51 W.v.S (KUHP Belanda), yang telah diperbaharui pada
tahun 1976.
Konsekuensi logis tentang kedudukan korporasi sebagai badan hukum, membawa pengaruh terhadap tindak
pidana yang dapat dilakukan korporasi terdapat beberapa pengecualian. Sehubungan
dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief menyatakan, walaupun pada
asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun
ada beberapa pengecualian,yaitu:
1.
Dalam perkara-perkara yang
menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi,misalnya bigami, perkosaan,
sumpah palsu.
2.
Dalam perkara yang satu-satunya
pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi misal
pidana penjara atau pidana mati.[11]
Senada
dengan pendapat tersebut di atas Michael J.Allen, dalam bukunya
yang berjudul Textbook on Criminal Law, menyatakan lebih lanjut :
“Thus a corporation cannot be tried for murder or
treason as the only punishments available to the court on conviction are life
imprisonment or death. Where a corporation is convicted of an offence it will
be punished by the imposition of a fine and/or compensation order.”[12]
Akan tetapi Michael
J. Allen, juga mengatakan pada tahun
1994, OLL Ltd, dan Managing Director, yang bernama Peter Kite , keduanya dipidana karena melakukan pembunuhan yang
tidak direncanakan ( manslaughter)
terhadap empat orang remaja, dalam kasus “canoeing
tragedy” di Lyme Bay. Keberhasilan dalam penuntutan ini disebabkan karena
OLL Ltd adalah perusahaan yang kecil dan
Peter Kite sudah diperingatkan oleh mantan instruktur yang bertugas dalam “Canoe expeditions” , bahwa ekspedisi tersebut sangat berbahaya
untuk keselamatan jiwa , karena kurangnya alat penyelamat yang memadai.[13]
Konsekuensi logis lainnya yaitu apabila korporasi
diartikan luas yaitu mempunyai kedudukan sebagai badan hukum dan non badan
hukum, seperti yang dianut di Belanda dan di Indonesia (dalam
perundang-undangan khusus di luar KUHP). Maka secara teoritis dapat melakukan
semua tindak pidana, walaupun dalam proses penegakan hukumnya dilandaskan
kepada praktek pengadilan.
III. TAHAP PERKEMBANGAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM PIDANA
Tahap-tahap perkembangan korporasi
sebagai subjek tindak pidana, secara garis besarnya dibagi menjadi tiga tahap.
Tahap pertama , ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan
korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Apabila suatu
tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi,maka tindak pidana
tersebut dianggap dilakukan oleh
pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht)
kepada pengurus. [14]
Tahap ini, sebenarnya merupakan dasar bagi Pasal 51 W.v.Sr Ned (Pasal 59 KUHP)
, yang sangat dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest”
yaitu badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.
Tahap kedua , korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana , adalah para pengurusnya yang secara
nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini dinyatakan secara tegas dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut.[15] Dalam tahap ini pertanggungjawaban
pidana korporasi secara langsung masih belum muncul. Contoh peraturan perundang-undangan dalam tahap ini
:
Undang-undang Nomor
12/Drt/1951,LN.1951-78 Tentang Senjata Api.
Pasal 4
ayat (1) : “Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-undang
ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan dapat
dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya
setempat.”(kursif oleh penulis)
Ayat (2)
“Ketentuan pada ayat (1) di muka berlaku juga terhadap badan-badan
hukum,yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.”
Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari
korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia Kedua.Dalam tahap
ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggung-jawabannya menurut hukum pidana. Peraturan perundang-undangan yang
menempatkan korporasi sebagai subjek
tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana adalah Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan
Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang lebih dikenal dengan nama
Undang-undang tentang Tindak Pidana Ekonomi.Pasal 15 ayat (1), Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos, Pasal 19 ayat (3), Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo.Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 20 ayat (1) tentang Tindak
Pidana Korupsi, Pasal 4 ayat (1), Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 jo.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 , tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tahap-tahap perkembangan korporasi
sebagai subjek tindak pidana berpengaruh juga terhadap kedudukan korporasi sebagai pembuat dan sifat
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan yaitu, terdapat tiga
model pertanggungjawaban pidana korporasi :
a.
Pengurus korporasi sebagai
pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
b.
Korporasi sebagai pembuat dan
pengurus bertanggungjawab;
c.
Korporasi sebagai pembuat dan
juga sebagai yang bertanggungjawab.
IV.
PERKEMBANGAN TEORI-TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
A. Negara Eropa Kontinental
Teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang
berkembang di Negara Eropa Kontinental terutama di Negeri Belanda teori yang
dikemukakan oleh Remmelink Teori dari Ter Heide,Teori
dari ‘t Hart. Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J.Remmelink,yang
berpendapat bahwa hukum pidana memandang manusia sebagai makhluk rasional dan
bersusila (redelijk zedelijk wezen).[16] Remmelink , memilih
cara pendekatan atas hukum pidana yang bersifat “psikologis”,maka hampir tidak
mungkin dapat dirumuskan aturan-aturan yang dapat dipergunakan sebagai dasar
untuk menggariskan batas-batas penetapan badan hukum sebagai pelaku. Hal ini
terjadi karena dengan pendekatan “psikologis”, permasalahan dapat atau tidaknya
badan hukum dipidana tidak mungkin ditempatkan dalam rangka dogmatika hukum
pidana yang berlaku.Hal ini juga menimbulkan permasalahan bahwa menurut
pandangan ini ,pemidanaan harus didasarkan pada unsur kehendak manusia. Hal ini
dapat menimbulkan masalah apabila yang harus dipidana adalah badan hukum.Dapat ditemukan
penulis-penulis yang mencoba menempatkan pemidanaan badan hukum, dalam konteks
pendekatan hukum pidana yang “psikologis” ini dengan cara ‘memanusiakan’
badan hukum.Namun demikian,usaha memanusiakan badan hukum hanya
mengakibatkan timbulnya konstruksi pemikiran yang janggal.[17]
Pandangan Ter Heide, memilih pendekatan
hukum pidana yang lebih bernuansa “sosiologis”.Di dalam Bukunya yang
berjudul “ Vrijheid, over de zin van de straf”, menyatakan “bahwa
terdapat suatu kecenderungan dimana hukum pidana semakin lama semakin
dilepaskan dari konteks manusia.” Karena hukum pidana telah terlepas dari
konteks manusia,maka dapat disimpulkan bahwa hanya manusia yang pada prinsipnya
dapat diperlakukan sebagai subjek hukum dapat disimpangi. Alasan untuk
memperlakukan badan hukum sebagai subjek hukum adalah berkaitan dengan badan
hukum mampu untuk turut berperan dalam
mengubah situasi kemasyarakatan (penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak
pidana secara fungsional),yang mengimplikasikan bahwa badan hukum dapat
dinyatakan bersalah (unsur kesalahan
disini diartikan bertindak secara
sistematis). Berdasarkan hal ini Ter Heide,menarik kesimpulan
“bila hukum pidana dilepaskan dari konteks manusia, maka hal itu
mengimplikasikan dapat dipidananya badan
hukum”. Berbeda dengan pendekatan ‘psikologis’ dari Remmelink, maka di
dalam pendekatan ‘sosiologis’ Ter Heide, pandangan bahwa badan hukum dapat
dipidana , dapat ditempatkan di dalam keseluruhan sistem hukum pidana. Meskipun
beliau tidak merinci lebih lanjut
tentang persyaratan penetapan badan hukum sebagai pelaku harus ditempatkan,cukup
jelas bahwa berdasarkan wawasannya,penentuan batas harus dilakukan dengan
memperhatikan makna sosial dari tindak badan hukum yang bersangkutan.[18]
Pandangan dari ‘t
Hart, menyatakan bahwa hukum
(pidana) harus dilihat sebagai suatu bentuk penyaluran pengejawantahan
kekuasaan, yang dikarakteristikan oleh aspek-aspek instrumen tujuan rasional
dan aspek-aspek pembatas kekuasaan yang
kritis. Kedua aspek ini , satu sama lain,saling terkait dengan erat. Di
dalam persoalan penegakkan hukum, maka yang perlu diperhatikan adalah
penciptaan keseimbangan antara kedua aspek di atas yang tidak dapat dilepaskan
dari aspek lainnya. Berbeda dengan pendekatan klasik pandangan ‘t Hart
tidak menutup kemungkinan ditempatkannya pemidanaan badan hukum di dalam sistem
hukum pidana. Jika kita bersama-sama dengan ‘t Hart
berbicara tentang manusia di dalam hukum
pidana, maka manusia lebih diartikan sebagai keberadaan “yuridis” dari manusia
sebagai subjek hukum.Keberadaan yuridis ini tidak sama dengan pengertian
manusia sebagai makhluk yang terdiri
dari daging dan darah.Menurut ‘t Hart hal ini akan memberikan
ruang cukup untuk juga menerima konstruksi person lain selain dari manusia sebagai subjek hukum di dalam hukum
(pidana).Berkaitan dengan hal di atas, ’t Hart kemudian juga
memperingatkan bahwa teori dasar yang dikembangkannya tidak berpretensi mampu
memberikan jawaban siap pakai untuk masalah-masalah yang ada saat ini.Namun
demikian teorinya sangat berpengaruh terhadap penentuan batas-batas (syarat)
penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana.[19]
Di Jerman juga berkembang suatu teori ,untuk memidana badan hukum tanpa
mensyaratkan kesalahan,yang berasal dari Schunemann. Menurut Schunemann
, badan hukum tidak mungkin dinyatakan bersalah.Namun pemidanaan terhadap badan
hukum dapat dilakukan.Menurut pandangannya Schuldgrundsatz dapat
digantikan oleh prinsip legitimasi lainnya yaitu apa yang dinamakan Rechtsguternotstand
.
Rechtsguternotstand mempunyai pengertian “yaitu bilamana ada kemungkinan objek-objek
hukum penting tertentu terancam dan perlindungannya hanya dapat diberikan
dengan cara menjatuhkan pidana pada badan hukum”.
Jika penjatuhan pidana hendak didasarkan pada suatu Rechtsguternotstand,
maka menurut Schunemann,masih
harus dipenuhi beberapa syarat tertentu. Syarat-syarat yang terpenting adalah
sebagai berikut:
a.
Pidana harus punya daya kerja
preventif.
b.
Kepentingan daya kerja
preventif harus lebih besar dibanding kepentingan integritas finansial dari
perusahaan.
c.
Tidak mungkin untuk menghukum
subjek hukum manusia karena dalam kenyataan tindak pidana dilakukan dalam suatu
ikatan perusahaan.[20]
Point a dan b merupakan ukuran
asas proporsionalitas,sedangkan point c merupakan ukuran yang berlandaskan asas subsidiaritas.[21]
Roling, mengajukan kriteria tentang korporasi sebagai pelaku
tindak pidana berdasarkan delik fungsional.Menurut Roling “bahwa badan hukum dapat
diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana bilamana perbuatan yang
terlarang,yang pertanggungjawabannya dibebankan atas badan hukum,dilakukan
dalam rangka pelaksanaan tugas dan atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum
tersebut.” Sehubungan dengan hal tersebut di atas yang dimaksud dengan delik
fungsional adalah delik-delik yang berasal dari lingkup atau suasana sosial
ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau
ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan yang terarah/ditujukan pada
kelompok-kelompok fungsionaris tertentu.
Contoh delik-delik
fungsional adalah :[22]
- Delik-delik pelanggaran atas syarat-syarat yang terkait dengan pemberian izin/lisensi yang merupakan perbuatan yang dilarang.
- Ketentuan-ketentuan tidak dipenuhinya kewajiban lapor atau registrasi dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
- Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap fungsionaris/pejabat tertentu dibebankan kewajiban ‘memaafkan’ suatu hal atau untuk bekerjasama.
Sanksi yang dijatuhkan dalam delik
fungsional bersifat reparatoir, dengan tujuan utama adalah mengembalikan
ke dalam kedaan semula atau perbaikan dari keadaan yang ‘onrechtmatig’
(melawan hukum).
B.
Negara Anglo Saxon ( Amerika , Inggris dan Australia ).
Teori-teori pertanggungjawaban pidana
korporasi, yang berasal dari Negara Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika
adalah teori- teori:
1.
Teori Identifikasi/ direct corporate criminal liability [23]atau
Doktrin Pertanggungjawaban Pidana langsung . Menurut doktrin ini, perusahaan
dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat
berhubungan erat dengan perusahaan dan
dipandang sebagai perusahaan itu sendiri.
Perbuatan/kesalahan
“pejabat senior” (“senior officer’)
diidentifikasi sebagai perbuatan/kesalahan korporasi;
Disebut
juga teori/doktrin “alter ego” atau
“teori organ”;
a.
Arti
sempit (Inggris) : “hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi.
b.
Arti
luas (USA )
: tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen di bawahnya.
a.
Pada
umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri
maupun bersama-sama; pada umumnya pengendali perusahaan adalah “para Direktur
dan Manajer”;
b.
Hakim
Reid dalam perkara Tesco Supermarket Ltd. (1972) :
1)
untuk
tujuan hukum, para pejabat senior biasanya terdiri dari “dewan direktur,
direktur pelaksana dan pejabat-pejabat tinggi lainnya yang melaksanakan fungsi
manajemen dan berbicara serta berbuat untuk perusahaan”.
2)
Pejabat
senior tidak mencakup “semua pegawai perusahaan yang bekerja atau melaksanakan
petunjuk pejabat tinggi perusahaan”.
c.
Lord Morris
Pejabat senior adalah orang yang
tanggungjawabnya mewakili/melambangkan pelaksana dari “the directing mind and will of the company”.
d.
Viscount Dilhorne
Pejabat senior adalah seseorang yang dalam
kenyataannya mengendalikan jalannya
perusahaan (atau ia merupakan bagian dari para pengendali), dan ia tidak
bertanggungjawab pada orang lain dalam perusahaan itu.
e.
Lord Diplock:
Mereka-mereka yang berdasarkan
memorandum dan ketentuan-ketentuan yayasan atau hasil keputusan para direktur
atau putusan rapat umum perusahaan, telah dipercaya melaksanakan kekuasaan
perusahaan.
f.
House of Lord
Manajer dari salah satu
toko/supermarket berantai tidak dipandang sebagai pejabat senior; ia tidak
berfungsi sebagai “the directing mind and
will of the company”. Ia merupakan salah seorang yang diarahkan. ia
merupakan salah seorang yang dipekerjakan, tetapi ia bukan utusan/delegasi
perusahaan yang diserahi tanggung jawab.
g.
Hakim
Bowen C.J. dan Franki J (dalam perkara Universal Telecasters, 1997, di Australia) :
Manajer penjualan (“the sales manager”) dari perusahaan yang
mengoperasikan stasiun televise, bukanlah “senior
officer”.
h. Hakim Nimmo J. (hakim ke-3 dalam perkara Universal
Telecasters)
1) Manajer penjualan
dapat diidentifikasikan sebagai perusahaan, yaitu sebagai “senior officer”.
2) Walaupun orang itu (manajer
penjualan) tidak memiliki kekuasaan manajemen yang umum, tetapi ia mempunyai
kebijaksanaan manajerial (managerial
discretion) yang relevan dengan bidang operasi perusahaan yang menyebabkan
timbulnya delik. Dengan kata lain, dalam pandangannya, pejabat perusahaan dapat
menjadi “senior officer” dalam bidang
yang relevan, walaupun tidak untuk semua tujuan.
ii.
Supreme Court Queenslands :
Manajer perusahaan penjual motor (motor dealer) dapat dipandang sebagai “senior officer”, dapat juga sebagai “the sales manager”yang kepadanya manajer
mendelegasikan pengendalian bisnis selama manajer absent.
j.
Supreme Court di Australia Selatan (merefleksikan pandangan Nimmo
di atas) :
1)
Dalam
delik lalu lintas, manajer operasi dan juga manajer yang bertanggungjawab pada
pengawasan kendaraan dan sopir, dapat dipandang sebagai “senior officer”.
2)
Putusan
ini merefleksikan pandangan Nimmo J. di atas, bahwa seorang pejabat dapat
menjadi “senior officer” untuk tujuan-tujuan yang relevan, walaupun pejabat
senior itu tidak mempunyai kekuasaan manajemen yang umum (a general power of management).
Ajaran
identifikasi atau identification doctrine
dianggap tidak cukup untuk dapat
Digunakan mengatasi realitas proses
pengambilan keputusan dalam banyak perusahaan modern. Oleh karena itu, telah
disarankan beberapa metode alternatif untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana pada suatu korporasi. Salah satu metode itu adalah
memberlakukan aggregation doctrine
atau ajaran agresi. Aasas aggregation
ini adalah asli Amerika. [24]
Ajaran
ini memungkinkan agresi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang, untuk
diatributkan kepada korporasi, sehingga korporasi dapat dibebani
pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini, semua perbuatan dan semua unsure mental
(sikap kalbu) dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan
perusahaan dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja[25]
Walaupun di beberapa Negara termasuk di Inggris untuk beberapa kasus teori ini
ditolak.
2.
Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti
(vicarious Liability) :
1) bertolak dari doktrin “respondeat
superior”; (Catatan: Arti dari “adagium/maxim” ini ialah: “a master is liable in certain cases for the
wrongful acts of his servant, and a principal for those of his agents”).
2) didasarkan pada “employment
principle”, bahwa majikan (“employer”)
adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruh/karyawan; jadi “the servant’s act is the master’s act in
law”.
3) Juga bisa didasarkan “the
delegation principle”. jadi “a
guilty mind” dari buruh/karyawan dapat dihubungkan ke majikan apabila ada
pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (harus ada “a relevan delegation of powers and duties”)
menurut UU.
3.
Doktrin pertanggungjawaban yang
ketat menurut UU (“Strict Liability”)
1) Pertanggungjawaban Korporasi dapat
juga semata-mata berdasarkan UU, terlepas dari doktrin No. 1 dan 2 diatas
(doktrin “identification” dan doktrin
“vicarious liability”), yaitu dalam
hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu
yang ditentukan oleh UU. Pelanggaran kewajiban/Kondisi/situasi tertentu oleh
korporasi ini dikenal dengan istilah “Companies
offence”, “situational offence”, atau “strict
liability offences”. Misal UU menetapkan sebagai suatu delik bagi:
a. Korporasi yang menjalankan usahanya
tanpa izin;
b. Korporasi pemegang
izin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam izin
itu;
c. Korporasi yang mengoperasikan
kendaraan yang tidak diasuransikan di jalan umum.
V. MODEL JENIS SANKSI PIDANA
UNTUK KORPORASI
Tentang model sanksi dan
jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, maka penulis
mengajukan model-model pengaturan sanksi pidana terhadap korporasi. Dasar
pandangan tentang hal ini ,adalah :[26]
- Apakah
perlu pembedaan jenis sanksi pidana untuk orang dan korporasi;
- Apabila perlu apa saja yang menjadi kriteria/katagori penentuan jenis pidana pokok dan pidana tambahan untuk orang dan korporasi harus dibedakan.
Dewasa ini ketentuan hukum pidana tidak membedakan pengatura Artinya jenis
sanksi pidana yang ditujukan terhadap orang dan korporasi disatukan pengaturan
dalam satu paket jenis-jenis pidana.Menurut penulis kondisi semacam ini dapat
disebut sebagai salah satu model pengaturan jenis sanksi pidana untuk
korporasi. Model semacam ini dianut di sebagian besar negara yang
mengkodifikasikan ketentuan hukum pidananya.
Model yang lainnya, adalah perlunya pembedaan jenis
sanksi pidana untuk orang dan korporasi.Untuk itu perlu dicari kriteria tentang
dasar atau alasan pembedaan tersebut, khususnya dalam rangka menentukan
kriteria atau katagori pidana pokok dan pidana tambahan yang ditujukan untuk
korporasi atau badan hukum. Kriteria tersebut dapat dilihat dari definisi
korporasi, manfaat pemidanaan untuk korporasi, kapan seharusnya sanksi pidana
diarahkan pada korporasi.
VI. REORIENTASI DAN REFORMULASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
Beberapa pendekatan dalam penggunaan hukum pidana, harus
berorientasi pada kebijakan, harus rasional, dengan menggunakan pendekatan
fungsional, ekonomis, berorientasi pada nilai, dan pendekatan humanistis.
Berdasarkan Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1999
Tentang GBHN dinyatakan”…..memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial
dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi”.
Hal ini
menunjukkan pendekatan kebijakan, melalui proses legislasi/kebijakan legislasi.
Seperti diketahui bahwa KUH Pidana kita adalah warisan kolonial yang tidak
mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana.Sehingga dewasa ini perlu
dilakukan reorientasi dan reevaluasi bahkan reformulasi nilai-nilai
sosio-politik,sosio filosofi dan sosio kultural yang melandasi dan memberi isi
terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan,dengan
menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam KUH Pidana yang
dicita-citakan sebagai ius contituendum dan menjadi ius constitutum.
Berdasarkan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional Tahun 2000 – 2004 , tentang kebijakan program
pembangunan hukum.Arah kebijakan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara mencakup
antara lain:
“Menata sistem hukum
nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum
agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan
kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan
gender dan ketidaksesuaiannya dengan tututan reformasi melalui program legislasi”. Program nasional
yang dilaksanakan adalah pembentukan peraturan perundang-undangan dan indikator
kinerja antara lain ditetapkannya/disempurnakannya undang-undang di berbagai
bidang. Menyangkut korporasi adalah dilakukan reorientasi dan reformulasi dalam
kebijakan legislasi terhadap sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi.
Reorientasi dan
reformulasi dalam kebijakan legislasi terhadap sistem pertanggungjawaban pidana
kroporasi,mencakup beberapa hal yaitu :
a.
Perlu dilakukan pengkajian
ulang tentang penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana secara umum dan dimasukkan ke dalam KUHP yang
akan datang. Hal ini sebenarnya sudah tertampung dalam Rancangan KUHP 2004-2005
, ius constituendum.Karena selama ini
kebijakan legislasi tentang penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana
hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus.
b.
Mengenai penggunaan istilah
“korporasi”, hendaknya dipergunakan secara konsisten. Sedangkan selama ini
penggunakan istilah “korporasi” dipergunakan istilah yang bermacam-macam dan
tidak seragam. Maka untuk masa yang akan
datang , dalam melakukan kebijakan legislasi seyogyanya dipergunakan
istilah “korporasi”.
c.
Perlu dilakukan reformulasi
tentang pola aturan pemidanaan untuk pemidanaan korporasi sehingga seragam dan
konsisten, seperti pengaturan:
(1). Kapan korporasi melakukan tindak pidana dan kapan
dipertanggungjawabkan.Karena kebijakan selama ini ada yang merumuskan dan ada
yang tidak merumuskan dalam aturan perundang-undangan.
(2). Siapa
yang dapat dipertanggungjawabkan juga ada yang merumuskan dan ada yang
tidak.Untuk yang akan datang maka kebijakan legislasi tentang siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam korporasi
harus diatur dengan tegas.
(3). Jenis
Sanksi , harus dirumuskan kembali secara jelas dan terinci baik menyangkut
jenis pidananya baik itu berupa pidana pokok, pidana tambahan dan tindakan tata
tertib serta jenis-jenis sanksi dari pidana tersebut. Termasuk pilihan model
pemidanaan yaitu apakah pidana yang diberlakukan untuk korporasi diatur berbeda
dengan jenis sanksi untuk subjek tindak pidana
berupa “manusia” ataukah akan dilakukan pemisahan , artinya pemidanaan
khusus untuk korporasi diatur secara
tersendiri.
(4). Perumusan
sanksinya juga harus jelas dan kosisten sehingga dapat diterapkan terhadap
korporasi.
(5). Apabila
untuk yang akan datang, korporasi menjadi subjek tindak pidana secara umum, dan
diatur dalam KUHP, maka perlu adanya pengaturan pemidanaan yang berlaku secara umum
untuk korporasi.
VII. PENUTUP.
Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perspektif
kebijakan kriminal dan hukum pidana
tidak dapat dilepaskan dengan pengertian kebijakan kriminal atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat masyarakat (social welfare). Apabila terdapat banyak
kelemahan dalam perumusan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia , maka
akan mempengaruhi pula proses penegakan hukumnya. Maka dalam menentukan pilihan
kebijakan yang ideal dalam perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi, maka
uraian di atas hendaknya menjadi perhatian agar perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan, khususnya yang menyangkut pertanggungjawaban
pidana korporasi.
DAFTAR PUSTAKA
A.L.J.Van
Strien,Het daderschap van de
rechtspersoon bij milieudelicten dalam Faure,M.G.,J.C.Oudijk, D.Schaffmeister,
“Kekhawatiran Masa Kini Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam Teori
Dan Praktek,” ( Bandung,Citra Aditya Bakti,1994), Penerjemah Tristam P.Moeliono
Allen,Michael J,Textbook
on Criminal Law,(Great Britain, Blackstone Press Limited,1997),Fourth
Edition.
Barda Nawawi
Arief,Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta,Rajawali Pers,1990)
------------------------,Kebijakan
Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara (Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1994)
-----------------------, Kapita Selekta Hukum Pidana,(Citra Aditya
Bakti, Bandung ,
2003)
-----------------------,Masalah
Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung , Citra Aditya Bakti, 2001)
Basssiouni, Basssiouni,
Substantive Criminal Law,(Illinonis,USA,Charles C.Thomas Publisher,1978)
Dwidja Priyatno,
Alternatif Model Pengaturan Sanski Pidana
Pada Korporasi ( Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi),
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Sekolah
Tinggi Hukum Bandung, 26 , September 2005
Mardjono
Reksodiputro, Tinjauan Terhadap Perkembangan Delik-delik Khusus Dalam
Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi,
Kertas Kerja pada Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat Yang
Mengalami Modernisasi, di FH UNAIR, (Bandung, Binacipta,1982)
-------------------------,
Meninjau RUU Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Dalam Konteks Perlindungan HAM , dalam Jurnal Keadilan Vol.2
No. 2 Tahun 2002
Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta,Jambatan,1999)
Mochtar Kusumaatmadja dan B.Arief Sidharta,Pengantar Ilmu Hukum,Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup
Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, (Bandung, Alumni, 2000)
Muladi,Kapita
Selekta Sistem Paradilan Pidana, (Semarang,Badan Penerbit UNDIP,1995)
Rudi Prasetyo, Perkembangan
Korporasi Dalam Proses Modernisasi Dan Penyimpangan-penyimpangannya,
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP (
Semarang,23-24 November, 1989)
Schaffmeister.D.,N Keijzer ,E.PH.Sutorius, Hukum Pidana,Editor
Penerjemah J.E. Sahetapy, (Yogyakarta,Liberty,1995)
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta, Pradnya
Paramita, 1979)
Surojo
Wignyodipuro,Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat,(Jakarta,Gunung Agung, 1982)
Sutan Remy Sjahdeni, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, ( PT.GrafitiPress, Jakarta, 2006),
Ter Haar,B,Bzn, Asas-asas
Dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta,Pradnya Paramita,1983), Terjemahan K.ng.
Soebakti Poesponoto,Cet 7
[2] Barda Nawawi Arief,Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, (Bandung ,
Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 74,75.
[3] Tentang ketiga tahapan ini,M.Cherif
Basssiouni,Substantive Criminal Law, (Illionis,USA,Charles
C.Thomas Publisher,1978), hlm 78, mempergunakan istilah , proses legislatif, proses
peradilan(judicial) dan proses administrasi atau tahap formulasi,aplikasi dan
tahap eksekusi.
[4] Barda Nawawi Arief,Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Pidana Penjara (Semarang,
Badan Penerbit UNDIP, 1994), hlm 59
[5] Muladi,Kapita Selekta Sistem Paradilan Pidana,
(Semarang,Badan Penerbit UNDIP,1995),hlm 13,14.
[6] Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kamus Hukum,(Jakarta,Pradnya
Paramita,1979),hlm 34.Bandingkan pula Marjanne Termorshuizen,Kamus Hukum
Belanda-Indonesia,(Jakarta,Jambatan,1999),hlm 88 menyatakan pula bahwa corporatie
merupakan badan hukum.
[7] Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi
Dan Penyimpangan-penyimpangannya, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Kejahatan Korporasi di FH UNDIP ( Semarang,23-24 November, 1989), hlm 2
[8] Mochtar Kusumaatmadja dan B.Arief Sidharta,Pengantar Ilmu Hukum,Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup
Berlakunya Ilmu Hukum,Buku I,(Bandung ,Alumni,2000),
hlm 82,83
[9] Surojo Wignyodipuro,Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat,(Jakarta,Gunung
Agung,1982), hlm 103.
[10] Ter Haar,B,Bzn, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat,
(Jakarta,Pradnya Paramita,1983), Terjemahan K.ng. Soebakti Poesponoto,Cet 7, hlm 165.
[11] Barda Nawawi Arief,Perbandingan Hukum Pidana,
(Jakarta,Rajawali Pers,1990), hlm 37.
[12] Allen,Michael J, Textbook on Criminal Law, (Great Britain,
Blackstone Press Limited,1997), Fourth Edition, hlm 215.
[13] Ibid.
[14] Mardjono Reksodiputro, Tinjauan Terhadap Perkembangan
Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi, Kertas Kerja pada Seminar
Perkembangan Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi,di
FH UNAIR, (Bandung,Binacipta,1982), hlm 51.
[15] Schaffmeister.D.,N Keijzer ,E.PH.Sutorius,
Hukum Pidana,Editor Penerjemah J.E. Sahetapy,
(Yogyakarta,Liberty,1995),hlm 276.
[16] A.L.J.Van Strien,Het daderschap van de rechtspersoon bij
milieudelicten dalam Faure,M.G., J.C.Oudijk, D.Schaffmeister, Kekhawatiran
Masa Kini Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam Teori Dan Praktek,
( Bandung,Citra Aditya Bakti,1994), Penerjemah Tristam P.Moeliono, hlm 229.
[17] Ibid, hlm 232
[18] Ibid, hlm 237, 238
[19] Ibid, hlm
238, 239
[20] Faure, M.G., J.C.Oudijk, D.Schaffmeister,Kekhawatiran Masa
Kini……Ibid ,hlm 244,245,246
[21] Asas proporsinalitas, harus ada keseimbangan antara kerugian
yang digambarkan dengan batas-batas yang diberikan oleh asas toleransi, dan
dengan reaksi atau pidana yang diberikan, sedangakan asas subsidiaritas adalah
sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan apakah
kepentingan hukum yang terlanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat
dilindungi dengan cara lain; hukum pidana hanya ultimum remedium, lihat
Mardjono Reksodiputro, Meninjau RUU
Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dalam Konteks Perlindungan HAM ,
dalam Jurnal Keadilan Vol.2 No. 2 Tahun 2002, hlm 15,
[23] Barda
Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana,
(Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003), hlm
233- 238
[24] Sutan Remy
Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, ( PT.GrafitiPress, Jakarta,
2006), hlm 107
[25] Ibid, hlm
107,108
[26] Lihat lebih
lanjut Dwidja Priyatno, Alternatif Model
Pengaturan Sanksi Pidana Pada Korporasi ( Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Memberantas
Kejahatan Korporasi), Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu
Hukum Pada Sekolah Tinggi Hukum Bandung,
26 September 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar