1.
Pengantar
Sejak
tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM,
Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan data kasus-kasus
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Hadirnya mekanisme ini
membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat yang sebelumnya
menikmati impunitas ke depan pengadilan. Pengadilan ini juga memberikan
mekanisme untuk pemenuhan hak-hak korban yakni pengaturan tentang kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi.
Sejak
saat itu, upaya penyelidikan atas peristiwa yang diduga terjadi pelanggaran HAM
yang berat dilakukan. Serangkaian penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM
menjadikan 3 (tiga) kasus yang telah diselidiki diajukan ke pengadilan HAM. Dua
pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor-timur dan Tanjung Priok, dan satu
Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura (selanjutnya semua disebut
dengan Pengadilan HAM).
Hasil
dari putusan-putusan pengadilan tersebut ternyata membebaskan hampir semua
terdakwa. Dengan hasil ini, banyak kalangan menyatakan bahwa pengadilan ini
telah gagal, bahkan selama proses pengadilan berjalan, kritik telah muncul
berkaitan dengan kinerja pengadilan yang berada dibawah standar pengadilan
internasional.[1]
Pandangan yang lain menyatakan bahwa pengadilan ini memang sejak awal sengaja
diupayakan untuk mengalami kegagalan.[2]
Beberapa kasus dalam Pengadilan HAM memang secara prosedural belum selesai
karena masih ada proses selanjutnya yaitu ada tingkat banding maupun kasasi,
sehingga penilaian atas proses peradilan yang terjadi belum bisa dikatakan
lengkap.
Ketidakberhasilan
pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi
hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hak-hak korban yang meliputi hak
atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai saat ini tidak satupun yang
diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para korban pelanggaran HAM
yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi berdasarkan
pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kegagalan
pengadilan untuk melakukan proses pengkuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak
pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Kegagalan pengadilan
berakibat pada tidak tercapainya keadilan bagi korban dan membuka kembali bahwa
pengadilan ini ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan
pengkajian yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahanan
proses peradilan HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan
pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidakcukupan regulasi disebut-sebut
menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya
yang juga diduga sebagai faktor yang memperlemah pengadilan HAM adalah
kapasitas para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat ini.
Berdasarkan
berbagai problem yang muncul tersebut, laporan ini akan memaparkan tentang
hasil Pengadilan HAM yang memeriksa dan mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM
yang berat yaitu kasus Timor-timur, Kasus Tanjung Priok dan Kasus Abepura.
Laporan ini disusun dalam dua bagian pokok yaitu gambaran umum tentang
pengadilan HAM yang telah berjalan dan
analisis umum atas putusan. Laporan ini disusun berdasarkan atas dokumen
yang tersedia baik putusan pengadilan maupun dokuman pendukung lainnya.
Beberapa putusan pengadilan tidak dapat diakses sehingga mempengaruhi hasil
laporan. Koreksi seperlunya akan dilakukan kemudian jika ada kekeliruan dalam
menulis laporan ini.
2.
Gambaran
Umum Hasil Pengadilan HAM
Pengadilan yang
telah berjalan mempunyai kelemahan, hambatan dan hasil berbeda satu sama lain.
Dalam bagian ini akan disajikan proses berjalannya pengadilan HAM secara
terpisah terhadap kasus Timor-timur, kasus Tanjung Priok dan Kasus Abepura.
2.1.
Kasus Timor-Timur
Kasus pelanggaran
HAM yang berat di Timor-timur berdasarkan mandat dari Keppres No. 96 tahun 2001
adalah kasus-kasus yang terjadi pra dan paska jajak pendapat dengan tempos
delictie bulan April – September 1999 dan locus
delictie nya meliputi Dili, Liquica dan Suai Kovalima.[3]
Ada perbedaan mengenai locus delictie
kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan hasil kesimpulan penyelidikan
Komnas HAM yang menyatakan peristiwa yang terjadi bukan hanya di 3 (tiga)
wilayah tersebut tetapi hampir diseluruh kabupaten di Timort-Timur. Perbedaan
dari Hasil KPP dengan proses pengadilan adalah juga berkaitan dengan jumlah
pihak yang diduga dapat dimintai pertanggungjawaban dalam kejahatan yang
terjadi, yang meliputi pelaku lapangan dan
para pemegang kebijakan dan kekuasaan pada saat itu. Sementara jumlah
terdakwa yang diajukan ke pengadilan hanya 18 terdakwa baik dari kalangan
militer, polisi maupun sipil.
Pemeriksaan
pengadilan tidak dilakukan secara serentak dengan diadilinya semua terdakwa
tetapi secara bertahap. Pada tahap pertama pengadilan memeriksa 3 (tiga) berkas
perkara, dan selanjutnya 9 berkas lainnya secara bersamaan. Tidak diketahui
secara pasti mengenai strategi penuntutan yang demikian, karena secara pola
tidak menunjukkan adanya pola yang sama misalnya penuntutan dilakukan dari
terdakwa yang mempunyai posisi terendah terlebih dahulu atau terdakwa dari
posisi tertinggi terlebih dahulu.[4]
Hasil pengadilan
sampai dengan saat ini menujukkan satu tingkat penurunan keputusan yang cukup
drastis jika dibandingkan hasil keputusan di tingkat pertama, banding dan
kasasi di Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama 6 (enam) terdakwa dinyatakan
bersalah, tingkat banding 2 (terdakwa) yang dinyatakan bersalah dan tingkat
kasasi 2 (dua) terdakwa bersalah. Proses lain yang dilalui terdakwa adalah
peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh terdakwa Abilio J. O. Soares yang
akhirnya membebaskan dirinya dan saat ini telah ada proses PK diajukan oleh
terdakwa Eurico Guterres.
Dalam kasus
pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur ini semua keputusan menunjukkan
adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, namun pelaku yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban inilah yang terjadi perbedaan antar keputusan yang diambil
oleh Majelis Hakim. Secara umum keputusan-keputusan menunjukkan bahwa pelaku
kejahatan kemanusiaan adalah milisi atau kelompok sipil, sementara
pertanggunjawaban terhadap para pelaku yang diajukan ke pengadilan lebih banyak
dikaitkan dengan posisi dan jabatannya saat itu yang seharusnya mempunyai
otoritas untuk melakukan upaya menghentikan kejahatan yang terjadi, dan bukan
sebagai pihak yang ikut dalam tindakan kejahatan itu sendiri. Akibatnya, antar
satu keputusan dengan keputusan yang lain seringkali tidak mempunyai kesamaan
tingkat kesalahan, dan sangat tergantung dengan panafsiran dari masing-masing
majelis hakim, padahal kasus yang terjadi sangat berkaitan satu sama lainnya.[5]
Putusan
pengadilan juga tidak ada satupun yang memberikan keputusan mengenai
kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban. Padahal putusan
pengadilan mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dan adanya korban
dalam kejahatan tersebut. Diduga, tidak adanya keputusan kompensasi kepada
korban lebih disebabkan tidak adanya permohonan kompensasi, restitusi maupun
rehabilitasi yang diajukan ke pengadilan baik oleh penuntut umum maupun korban.
2.2.
Kasus Tanjung Priok
Kasus Tanjung
Priok yang terjadi pada September 1984 pada akhirnya diajukan ke pangadilan HAM
setelah melalui proses panjang penyelidikan oleh Komnas HAM.[6]
Hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan bahwa telah dapat diduga terjadi
peristiwa pelanggaran HAM yang berat dalam kasus tersebut. Komnas HAM dalam
laporannya juga menunjukkan adanya latar belakang atas peristiwa yang terjadi
yang tidak telepas dari kondisi sosial politik saat itu.[7]
Terdapat 23 nama yang direkomendasikan untuk dapat dimintakan
pertanggungjawaban dari peristiwa tersebut.
Kejaksaan Agung
dalam proses penyelidikan dan penuntutan akhirnya menetapkan 14 orang terdakwa
yang dibagi dalam 4 berkas perkara. Terjadi penurunan jumlah pihak yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban dari Hasil Penyelidikan Komnas HAM dengan jumlah
terdakwa yang diajukan ke pengadilan.[8]
Keseluruhan berkas perkara tersebut kemudian dilakukan persidangan yang dengan
sidang pertama dilakukan pada bulan september 2003.[9] Berbeda dengan Persidangan Timor-timur,
persidangan dalam kasus Tanjung Priok dimulai dalam waktu yang relatif
berdekatan.
Surat dakwaan
yang diajukan penuntut umum cukup lemah terutama dalam menentukan unsur meluas
dan sistematik sebagai unsur utama dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.[10]
Kelemahan ini kemudian diperparah dengan eksplorasi pembuktian yang tidak cukup
kuat yakni dalam membuktikan unsur meluas, unsur sistematik dan membuktikan
tanggungjawab komado para terdakwa. Selain itu adanya ketentuan-ketentuan dalam
hukum acara yang terlanggar diantaranya adalah larangan saksi untuk
berhubungan, keterangan saksi dari para terdakwa lainnya dan adanya gelombang
pencabutan BAP tanpa ada sanksi yang tegas dari pengadilan.[11]
Sebelum perkara priok ini diperiksa di pengadilan, terjadi proses islah antara
fihak korban dan keluarga korban peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984
dengan jajaran aparat kemanan yang bertugas penanganan peristiwa priok.[12]
Atas proses itulah yang selanjutnya menjadikan pembuktian semua unsur tidak
pelanggaran HAM sulit terungkap dalam proses persidanganya. Intervensi pelaku
sejak awal terlihat jelas dengan pemberian bantuan sejumlah uang dan bantuan
lainya terhadap para korban.
Putusan tingkat
pertama yang dihasilkan dalam perkara Tanjung Priok berbeda-beda, yang
sebetulnya menunjukkan adanya kontradiksi terutama mengenai peristiwa yang
terjadi. Putusan pertama terhadap terdakwa RA Butar-butar menujukkan adanya
peristiwa pelanggaran HAM yang berat dengan 23 anggota massa tewas dan sebanyak
53 orang lainnya luka-luka akibat tembakan. Rudolf Adolf Butar juga terbukti
telah membiarkan penganiayaan yang dilakukan terhadap angggota massa yang
ditahan dalam kerusuhan tersebut dan dijatuhi hukuman 10 tahun. Putusan ini
berbeda dengan putusan terhadap terdakwa Sriyanto, yang juga atas peristiwa
yang sama, dimana majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan yang terjadi bukan
merupakan pelanggaran HAM yang berat.[13] Putusan terhadap terdakwa Sutrisno Mascung,
yang juga terhadap peristiwa yang sama, kembali menegaskan bahwa telah terjadi
pelanggaran Ham yang berat berupa kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa
tersebut meskipun putusan ini diambil dengan suara terbanyak.[14]
Sementara terdakwa Pranowo tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari hukuman.
Dalam salah satu pertimbangannya, pembebasan terdakwa ini juga tak lepas dari
pertimbangan hakim, dimana kesaksian korban-korban yang telah islah –dan
mencabut kesaksian di pengadilan- menjadi rangkaian fakta terjadinya peristiwa.
Faktor penting
dalam putusan tingkat pertama ini adalah adanya putusan yang memberikan
kompensasi kepada korban, meskipun dengan kondisi yang berbeda, tetapi tetap
mendasarkan atas adanya kesalahan terdakwa. Putusan terhadap terdakwa RA
Butar-butar majelis hakim memberikan kompensasi kepada korban tanpa menyebutkan
jumlah kompensasi dan kepada siapa saja kompensasi diberikan. Sementara putusan
terhadap terdakwa Sutrisno Mascung dkk diberikan dengan disertai nama-nama
penerima kompensasi dan besaran kompensasinya.
Pada pemeriksaan
perkara tingkat banding, putusan yang dihasilkan sangat berbeda dengan putusan
ditingkat pertama dimana semua terdakwa yang dihukun dinyatakan tidak
bersalah dan tidak ada pertimbangan
mengenai kompensasi kepada korban. Demikian pula dengan putusan-putusan dalam
tingkat kasasi yang menyatakan tidak menerima prmohonan kasasi dari Jaksa
penuntut umum, meskipun dalam putusan ini ada pendapat yang berbeda dari
anggota majelis hakim misalnya dalam perkara dengan terdakwa pranowo.[15]
2.3.
Kasus Abepura
Pengadilan untuk
kasus Abepura dimulai pada tanggal 7 Mei 2004 dan dilaksanakan di Makassar.[16]
Sebelum diajukan ke pengadilan, Kasus Abepura ini diselidiki oleh Komnas HAM
menyatakan bahwa telah dapat diduga terjadi pelanggaran HAM yang berat dalam
kasus tersebut.[17]
Berdasarkan laporan Komnas HAM, pihak-pihak yang dapat diduga terlibat dalam
kasus tersebut dibagi dalam 3 kelompok yaitu pelaku langsung, pengendali
operasi dan penanggungjawab kebijakan keamanan dan ketertiban saat itu.[18]
Setelah melalui
proses penyidikan dan penuntutan, penuntut umum mengajukan surat dakwaan atas
dua terdakwa yaitu Brigjend Pol. Johny Wainal Usman, S.H dan Kombes Pol. Drs.
Daud Sihombing yang didakwa untuk bertanggungjawab secara pidana atas perbuatan
yang dilakukan oleh anak buahnya (pertanggungjawabannya komando). Tidak ada
satupuan pelaku lapangan yang diajukan ke pengadilan.
Selama proses
pemeriksaan di pengadilan, tedapat beberapa hal yang mengakibatkan adanya
kesulitan dalam pembuktian perkara. Tidak diajukannya anggota atau pejabat
kepolisian daerah Papua yang lain ke pengadilan, juga menyulitkan jaksa
penuntut umum untuk menunjukkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dalam
peristiwa Abepura.
Ditengah proses
persidangan, kelompok korban juga mengajukan gugatan Penggabungan Perkara
Ganti Kerugian yang diajukan melalui mekanisme class action oleh
Korban[19]
pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Abepura. Gugatan ini mewakili
anggota masyarakat yang mengalami kerugian akibat peristiwa pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat.[20] Tuntutan korban dalam gugatan ini adalah
tuntutan restitusi [21]
kompensasi [22]
dan rehabilitasi[23]
. Namun, langkah yang dilakukan Korban dan Tim Penasehat Hukumnya untuk
mengajukan gugatan penggabungan perkara ganti kerugian korban tidak dikabulkan.
Majelis hakim menolak gugatan dengan menyatakan bahwa alasan penolakan yang
dikemukakan majelis hakim dalam penetapannya adalah bahwa peraturan
perundang-undangan yang ada tidak mengatur secara jelas bagaimana prosedur
gugatan ganti kerugian dalam perkara pelanggaran HAM berat[24].
Jaksa Penuntut
Umum dalam tuntutan pidananya menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM
yang berat dan menuntut para terdakwa 10 tahun. Selain itu, meskipun hanya
dicantumkan dalam lampiran, penuntut umum juga menyertakan tuntutan ganti
kerugian untuk 89 saksi korban senilai 3.421.268.500 rupiah tanpa terkecuali
immaterial yaitu stigmatisasi sparatis, trauma berkepanjangan, kehilangan
kesempatan pendidikan, ritual keagaaman, mata pencaharian dan pergaulan sosial.
Putusan Majelis
Hakim pengadilan HAM Abepura yang
akhirnya memvonis bebas kedua terdakwa. Namun putusan majelis hakim tersebut
tidak “mufakat bulat” karena ada salah seorang majelis hakim yang menyatakan dissenting opinion (pendapat hukum)
terhadap putusan itu.[25]
Terhadap putusan bebas kedua terdakwa ini penuntut umum mengajukan Kasasi, yang
hingga kini tidak jelas prosesnya.
3. Analisa Umum Putusan
Pengadilan
Analisa umum
putusan pengadilan HAM dalam ketiga kasus ini tidak mencakup keseluruhan aspek
dalam putusan dan memfokuskan pada aspek-aspek pokok yang berkaitan dengan
terbuktinya perkara, pertanggungjawaban terdakwa, pemidanaan, dan aspek
reparasi kepada korban. Persoalan-persoalan pokok tersebut pada prinsipnya
saling terkait satu sama lain yang akan menunjukkan hasil ketiga pengadilan HAM
yang telah berjalan.
3.1.
Kesulitan Membuktikan
Pelanggaran HAM Yang Berat
Dari ketiga kasus
yang diperiksa dan diadili di pengadilan HAM, putusan-putusan yang dijatuhkan
tidak secara keseluruhan membuktikan adanya pelanggaran HAM yang berat berupa
kejahatan terhadap kemanusiaan. Hanya kasus Timor-timur yang sampai saat ini
menunjukkan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan berupa
pembunuhan dan penganiayaan, selebihnya baik kasus Tanjung Priok dan kasus Abepura
dalam putusan-putusannya menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti.
Semua surat
dakwaan yang diajukan di pengadilan HAM adalah kejahatan terhadap kemanusiaan
dengan berbagai bentuk kejahatannya. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil. Hal ini berarti bahwa untuk membuktikan adanya
kejahatan terhadap kemanusiaan, disamping membutikan adanya bentuk kejahatan
yang terjadi, misalnya pembunuhan, juga harus membuktikan bahwa perbuatan
tersebut merupakan bagian dari serangan terhadap penduduk sipil yang dilakukan
secara meluas atau sistematik. Serangan secara langsung terhadap penduduk sipil
adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai
kelanjutan dari kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan
organisasi.[26]
Ketidakberhasilan
membuktikan dakwaan atau perbedaan putusan dalam menentukan ada tidaknya
perbuatan yang termasuk kejahatan kemanusian sangat tergantung dari penafsiran
atas unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana disebutkan diatas.
Dalam ketiga kasus yang terjadi, putusan-putusan menunjukkan adanya perbedaan
kesimpulan meskipun kasusnya adalah sama atau setidaknya merupakan bagian dari
peritiwa yang terjadi.
Dalam kasus
Timor-Timur, keseluruhan putusan pengadilan menyatakan bahwa telah tejadi
pelanggaran HAM yang berat terhadap semua peristiwa yang didakwakan namun tidak
semua terdakwa dapat dimintai pertanggung jawaban atas terjadinya pelanggaran
HAM yang berat tersebut. Kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan
penganiayaan yang mengakibatkan lukanya orang terbukti secara sah dan meyakinkan.
Putusan pengadilan tingkat pertama, meskipun dapat dibuktikan adanya kejahatan
terhadap kemanusiaan, terdapat pola pengungkapan terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan. Pertama, terbukti ada
kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi tidak mampu menunjukkan adanya gambaran
utuh mengenai pola dan keterkaitan antara milisi, aparat sipil, polisi maupun
militer.[27]
Kedua, majelis hakim menyatakan bahwa
kebijakan penyerangan yang mengakibatkan terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan tersebut bukan hanya kebijakan organisasi masyarakat yang pro
integrasi secara mandiri tetapi terkait erat dengan kebijakan tertentu untuk
memenangkan kelompok pro integrasi dengan tujuan korban yang spesifik.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi meskipun dilakukan olah kelompok
pro integrasi, tetapi atas dukungan dan merupakan kelanjutan atas kebijakan
pemerintah untuk mendukung atau mempertahankan Timor-timur sebagai bagian dari
negara kesatuan Republik Indonesia.
Kasus Tanjung
Priok, pada tingkat pertama terjadi dua padangan mengenai terjadi peristiwa
berdarah pada bulan September 1984. Pertama,
bahwa terbukti adanya pelanggaran HAM yang berat yakni kejahatan terhadap
kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan secara meluas dan
sistematis dan adanya kebijakan untuk melakukan kejahatan. Kedua, tidak terbuktinya kejahatan terhadap kemanusiaan karena
peristiwa yang terjadi adalah peristiwa yang hanya berupa bentrokan dan bukan
merupakan perencanaan kejahatan seperti yang dituduhkan. Pada tingkat banding,
yang memeriksa perkara para terdakwa yang dinyatakan bersalah, menyatakan bahwa
peristiwa yang terjadi bukan termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena
tidak ada kebijakan untuk melakukan penyerangan dan perbuatan yang dilakukan
adalah tindakan spontanitas.[28]
Demikian pula dengan putusan terhadap terdakwa RA Butar-butar tingkat banding
yang tidak menunjukkan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kasus Abepura,
pada tingkat pertama semua terdakwa dinyatakan bebas karena tidak terbukti
adanya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang didakwakan. Kejahatan
kemanusiaan tidak terbukti karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat
kepolisian pada saat ini adalah tindakan yang telah dilakukan sesuai dengan
prosedur, dimana penyerangan dan pengejaran yang
dilakukan terhadap sekelompok orang dilakukan sesuai prosedur, dengan tujuan
pengamanan untuk menghindari ekses yang lebih besar, dan para korban sipil akibat peristiwa penyerangan tidak ditimbulkan
oleh tindakan yang disengaja.[29]
Berdasarkan
putusan-putusan dalam ketiga kasus diatas, kelemahan terbesar adalah tidak
terbongkarnya kejahatan yang dilakukan secara sistematik dan meluas, termasuk
pembuktian atas adanya unsur kebijakan negara. Hampir disemua putusan dalam
pengadilan HAM tidak mampu membuktikan bahwa kejahatan yang terjadi adalah
bagian dari kebijakan negara. Kasus Timor-Timur yang sampai akhir persidangan
mampu menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan terhadap
kemanusiaan pada akhirnya hanya mampu membuktikan bahwa kejahatan tersebut
dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan tidak ada sangkut pautnya dengan policy negara pada saat itu.
Penyempitan locus delictie yang hanya didasarkan
pada saat peristiwa terjadi memberikan sumbangan besar untuk terpenuhinya
unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana yang terjadi dalam
kasus Tanjung Priok dan Timor-timur. Pemberkasan perkara dengan membagi-bagi
terdakwa mengakibatkan adanya ketidaklengkapan melihat kasus secara keseluruhan
dan menyempitkan luasan kejahatan yang terjadi karena pada akhirnya majelis
hakim hanya terpaku pada berkas perkara yang ditanganinya. Sementara kejahatan
yang terjadi ada keterkaitan yang sangat jelas. Tidak pernah dibuktikan atau
dijelaskan sebagaii unsur penting dalam kejahatan kemanusiaan tentang unusr
“sebagai bagian” kajahatan yang seharusntya majelis hakim melihat bahwa
kejahatan yang terjadi merupakan bagian dari rangkaian peristiwa lainnya.
Pemaknaan atas
pengertian “serangan” juga seringkali dirancukan dengan pengertian “bentrokan” sehingga
menghilangkan unsur adanya niat atau kesengajaan untuk melakukan kejahatan.
Dalam kasus Tanjung Priok, secara jelas terlihat bahwa perbedaan hasil
penyimpulan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pada satu sisi
dinyatakan adanya serangan yang berarti ada perencanaan dan disisi lain yang
terjadi adalah bentrokan sehingga hanya merupakan peristiwa yang sifatnya
spontan dan terdapat unsur pembelaan diri. Sementara dalam kasus Abepura,
serangan yang terjadi direduksi dengan adanya pertimbangan bahwa serangan yang
dilakukan merupakan bagian dari kewajiban aparat kepolisian pada saat itu
karena dinyatakan sebagai tindakan yang telah sesuai prosedur, meskipun pada
akhirnya mengakibatkan timbulknya korban jiwa dari penduduk sipil.[30]
3.2.
Bebasnya Para Terdakwa
Terdakwa yang
diajukan ke ketiga Pengadilan HAM berjumlah 34 terdakwa baik dari kalangan
sipil, polisi maupun militer. Dari jumlah tersebut, hanya satu terdakwa yang
saat ini dinyatakan bersalah dan masuk penjara. Kondisi ini menunjukkan bahwa
terdapat kegagalan yang cukup serius dari proses penuntutan terhadap para
terdakwa.
Para terdakwa
dalam pengadilan HAM baik untuk kasus Timor-timur, Tanjung Priok maupun kasus
Abepura sebagian besar didakwa dengan pasal 42 UU No. 26 tahun 2000. Pasal
tersebut adalah pasal yang mengatur tentang tanggung jawab Komando dan tanggung
jawab atasan. Namun dalam beberapa dakwaan lainnya, para terdakwa juga didakwa
dengan pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penyertaan.
Kegagalan untuk
menghukum terdakwa dalam berbagai kasus putusan banyak disebabkan karena tidak
terbuktinya para terdakwa yang didakwa dengan pasal 42 tersebut. Dalam kasus
Timor-Timur, pada tingkat pertama, sebagian besar putusan pengadillan HAM ad
hoc kasus Timor-timur menyatakan bahwa
pelaku lapangan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah anggota milisi yang
berada di masing-masing lokasi dimana
peristiwa kejahatan kemanusiaan terjadi, dan beberapa putusan yang menunjukkan
partisipasi terdakwa atau keikutsertaan terdakwa dalam pelanggaran HAM yang
berat tersebut dan adanya anggota TNI yang terlibat sebagai pelaku dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kasus
Timor-timur, dari 12 putusan pengadilan tingkat pertama, menimbulkan
pertanggung jawaban para terdakwa yang berbeda dan memberikan hukuman terhadap 6
terdakwa. Secara umum ada empat pola hubungan atas pertanggungjawaban para
terdakwa dikaitkan dengan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertama, terbuktinya bawahan terdakwa
yang melakukan pembiaran atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua bahwa para terdakwa tidak ada
hubungan dengan pelaku pelanggaran HAM yang berat baik de facto maupun de yure.
Ketiga adalah adanya “kelalaian”
yang dilakukan oleh para terdakwa sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran
HAM yang berat. Keempat, putusan
pengadilan menunjukkan bahwa terdakwa bertanggungjawaban karena sebagai
komandan atas pelaku pelanggaran HAM yang berat. Namun pola ini berubah pada
pemeriksaan tingkat banding dan kasasi dimana hanya 2 (dua) terdakwa dari
kalangan sipil yang tetap dinyatakan bersalah. Dalam putusan Peninjauan
Kembali, salah satu terdakwa yaitu Abilio JO Soares bahkan kemudian dibebaskan
karena mengajukan bukti baru yang mampu mengubah keputusan Mahkamah Agung
semula.[31]
Kasus Tanjung
Priok, para terdakwa bukan hanya didakwa dengan pasal mengenai tanggung jawab
komando tetapi juga didakwa dengan pasal penyertaan (pasal 55 ayat (1) ke 1
KUHP) terhadap para pelaku lapangan dan pasal tentang percobaan pasal 53 ayat
(1).[32]
Dalam kasus Tanjung Priok, pertanggungjawaban para terdakwa sangat dipengaruhi
pada terbukti atau tidaknya kejahatan terhadap kemanusiaan yang didakwakan.
Para terdakwa
dalam kasus Tanjung Priok yang dikategorikan sebagai pelaku lapangan, dalam hal
ini terdakwa Sutrisno Mascung dkk dan terdakwa Sriyanto, mempunyai keputusan
yang berbeda. Sutrisno Mascung dkk dinyatakan bersalah karena terbukti
melakukan serangan yang meluas atau sistematik kepada penduduk sipil, dan
serangan ini merupakan kelanjutan terhadap penguasa, unsur penyertaan juga
terpenuhi karena melakukan kejahatan secara bersama-sama. Disisi lain, terdakwa
Sriyanto, yang merupakan pimpinan Sutrisno Mascung dkk, dan berada di lokasi
saat terjadinya peristiwa, dinyatakan tidak bersalah karena kesimpulan majelis
hakim yang menyatakan bahwa tidak terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dan
tidak ada perintah dari terdakwa terhadap regu III (Sutrisno Mascung dkk) untuk
melakukan penembakan. Terdakwa justru memerintahkan untuk menghentikan
tembakan, akibatnya tindakan penyertaan sebagaimana yang didakwakan kepada
Sriyanto juga tidak terbukti. Dengan putusan ini membuktikan bahwa
pertanggungjawaban pelaku sangat tergantung pada pasal-pasal yang didakwakan,
yang seharusnya secara logis, terdakwa Sriyanto jika didakwa sebagai komandan
yang mempunyai kewenangan atas Regu III (terdakwa Sutrisno Mascung dkk) dapat
dimintakan pertanggungjawaban karena para terdakwa dari regu 3 telah dinyatakan
bersalah. Kedua putusan ini juga menguatkan pandangan awal bahwa pemeriksaan
dalam peristiwa yang sama, karena diberkas secara berbeda menimbulkan putusan
yang tidak selalu sama. Namun, putusan yang berbeda ini dalam tingkat banding “diluruskan” oleh
Majelis hakim dengan membebaskan Sutrisno Mascung dkk, dengan menyatakan bahwa
peristiwa yang terjadi bukan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bahwa terbuktinya
kejahatan terhadap kemanusiaan berpengaruh terhadap para posisi terdakwa juga
terlihat pada para terdakwa yang didakwa dengan pasal tentang tanggung jawab
komandan dan tanggung jawab atasan. Terdakwa RA butar-butar dinyatakan bersalah
karena terbukti tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan untuk
mencegah atau menghentikan tindakan anak buahnya yang terbukti melakukan
pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan. Namun, pada tingkat banding
keputusan ini kembali “diluruskan” oleh pengadilan yang menyatakan bahwa tidak
ada pelanggaran HAM yang berat pada peristiwa tersebut, terdakwa telah
melakukan perintah untuk menghentikan tembakan dan telah melakukan pemeriksaan
terhadap anak buahnya setelah peristiwa terjadi.
Dalam kasus
Abepura, pembebasan para terdakwa juga sangat terkait dengan tidak terbuktinya
kejahatan terhadap kemanusiaan yang didakwakan. Sebagaimana terdakwa Pranowo
dalam kasus Tanjung Priok yang dibebaskan karena peristiwa yang didakwakan tidak
terbukti, dua terdakwa dari kasus Abepura juga bebas dari hukuman karena
peristiwa yang terjadi bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat. Selain itu,
kasus dengan terdakwa Pranowo dan kasus Abepura mempunyai karakteristik yang
yang sama dimana tidak ada anak buah terdakwa, dalam hal ini pelaku langsung,
yang diajukan ke pengadilan.[33]
Berdasarkan atas
keputusan yang dikaitkan dengan pertangungjawaban para terdakwa, terdapat
beberapa masalah yang muncul dalam keputusan tersebut. Pertama, adanya ketidakjelasan pembedaan antara penggunaan pasal 42
UU No. 26 tahun 2000 dengan dengan pasal 55 ayat (1) kesatu tentang penyertaan.
Tangung jawab komando dan atasan dan tindakan penyertaan (joint criminal enterprise) adalah berbeda. Penggunaan dan penerapan
secara salah akan mengakibatkan kesulitan pembuktian dan pertanggungjawaban
terdakwa.
Kedua, terdapat
ketidaksamaan dalam menafsirkan pengertian tentang delik pembiaran (omission), dalam hal ini tidak melakukan
tindakan yang layak dan diperlukan untuk mencegah dengan ada atau tidaknya
tindakan yang dilakukan oleh komandan atau atasan. Kegagalan bertindak (failure to act) harus diartikan dengan
tidak melakukan tindakan sama sekali atau tidak melakukan tindakan yang layak
sehingga komandan harus bertanggung jawab. Hal
ini untuk dapat menentukan secara tegas tentang aspek-aspek pembelaan
diri pasukan, tindakan-tindakan yang proporsional dan tindakan-tindakan yang
dikategorikan dalam satu prosedur operasi.
Ketiga, tidak
diajukannya pelaku lapangan ke pengadilan akan mempengaruhi proses pembuktian
kesalahan terdakwa yang didakwa dengan pasal tentang tanggungjawab komandan
atau atasan. Kasus Timor-timur memperlihatkan bahwa terbuktinya pelanggaran HAM
yang berat namun dilakukan oleh pelaku yang tidak bisa dibuktikan adanya
keterkaitan dengan terdakwa menimbulkan tidak ada pihak yang dapat dimintai
pertanggungjawaban. Demikian pula dengan kasus Abepura yang tidak mempunyai
kejelasan setelah para terdakwa yang merupakan atasan dibebaskan, sementara
jelas terjadi bahwa dari peristiwa yang terjadi telah jatuh korban.
3.3.
Pemidanaan Dibawah Ketentuan Minimum
Pemidanaan
terhadap pihak yang dinyatakan bersalah dalam pengadilan HAM ad hoc kasus
Timor-timur dan Tanjung Priok tidak sepenuhnya diterapkan karena adanya putusan
yang menghukum para para terdakwa dengan hukuman dibawah minimum pemidanaan.
Penjatuhan pidana yang dibawah ketentuan ini meyulut kontroversi karena
dianggap sebagai sebuah putusan yang mendobrak ketentuan yang sudah jelas dalam
undang-undang .
Dalam Putusan Pengadilan HAM ad hoc kasus Timor-timur
dari 6 orang yang dinyatakan bersalah hanya satu orang saja yang dihukum sesuai
batas minimum UU No. 26 tahun 2000 yaitu 10 tahun, selebihnya dihukum antara 3
tahun sampai dengan 5 tahun. Di tingkat banding, 6 orang yang dinyatakan
bersalah di tingkat pertama hanya 2 yang tetap dinyatakan bersalah yang
dua-duanya dari sipil, satu terdakwa tetap dengan hukuman yang sama dan satu
lagi mengalami pengurangan hukuman dari 10 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini
berarti bahwa putusan yang dijatuhkan kesemuanya dibawah hukuman minumum yang
ditentukan UU. Bahkan ditingkat kasasi, Mahkamah Agung juga tetap memberikan
putusan 3 tahun penjara terhadap Abilio tetapi mengkoreksi putusan terhadap
Eurico Guterres yang menghukum dengan 10 tahun penjara.
Argumentasi hakim mengenai hukuman yang jauh dibawah
ketentuan undang-undang adalah berkaitan dengan berbagai pertimbangan mengenai
konsep keadilan dan penghukuman kepada korban. Majelis hakim menyatakan bahwa
penjatuhan hukuman kepada terdakwa harus disesuaikan dengan tingkat kesalahan
atas peranan terdakwa dalam kejahatan yang terjadi. Hakim secara tegas
menyatakan bahwa hakim bukan merupakan corong undang-undang yang harus mematuhi
setiap ketentuan dalam undang-undang.
Argumen yang lebih yuridis disampaikan oleh majelis hakim
dalam kasus Timor-timur untuk terdakwa Soedjarwo yang dihukum 5 tahun penjara.
Dalam argumentasinya majelis hakim menyatakan bahwa lama penjatuhan pidana yang
dibawah ketentuan minimal dalam UU ini dikaitkan dalam asas atau prinsip dalam
hukum pidana Indonesia yaitu mengenai ketentuan atas dua ancaman hukuman yang
terhadap sebuah delik yang sama dikenakan hukuman yang paling meringankan
terdakwa (pasal 1 ayat 2 KUHP). Argumentasi yang juga berperspektif hukum dikemukakan
bahwa dalam praktek peradilan internasional tidak pernah ada ketentuan hukuman
minimal dan beberapa putusan pengadilannya juga memutuskan hukuman yang sesuai
dengan tingkat kesalahan terdakwa.
Mengenai putusan yang dibawah ancaman minimal ini Mahkamah
Agung (Mahkamah Agung) terkesan mendua karena dalam terdapat argumentasi yang
berbeda dalam mensikapi putusan dibawah UU. Insitusi tertinggi lembaga
pengadilan ini tidak mempunyai sikap yang tegas. Putusan MA terhadap Abilio
Soares tetap 3 (tiga) tahun penjara, sementara untuk Eurico Guterre yang
ditingkat banding yang dihukum 5 tahun penjara dikembalikan ke 10 tahun.
Keputusan ini menjadikan preseden dalam kasus berikutnya
yaitu dalam keputusan terhadap para terdakwa di pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung
Priok. Pengadilan ini memberikan putusan putusan antara 3 tahun sampai dengan 2
tahun terhadap 11 terdakwa yang merupakan pelaku lapangan dan 10 tahun kepada
seorang terdakwa. Tidak begitu jelas bagaimana pengadilan memutuskan hukuman
yang berbeda dan jauh menyimpang dari ketentuan UU.
Fakta
ini menunjukkan bahwa norma yang terkandung dalam UU, meskipun dinyatakan
secara tegas, ternyata tidak dapat berlaku secara efektif bahkan seringkali
disimpangi oleh lembaga peradilan itu sendiri. Ketentuan ini dapat dikatakan
sebagai ketentuan yang tidak berlaku dan telah menjadi preseden bahwa ketentuan
ini telah bisa disimpangi.
3.4.
Kompensasi Yang Tidak Pernah Diterima Korban
Korban
pelanggaran HAM yang berat dalam putusan ketiga kasus ternyata berbeda-beda, namun
dari keseluruhan kasus terdapat korban, terlepas dari apakah perbuatan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang didakwakan terbukti atau tidak. Terbuktinya
pelanggaran HAM yang berat menjadi faktor penting untuk menunjukkan bahwa para
korban adalah korban pelanggaran HAM yang berat. Pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM menyatakan bahwa korban pelanggaran HAM yang berat dapat
memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.[34]
Kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat sampai saat
ini masih menyisakan persoalan terutama terkait pemenuhannya. Hampir tidak ada
korban yang mendapatkan hak-hak tersebut meskipun 3 (tiga) pengadilan telah
dilaksanakan. Beberapa pertanyaan penting untuk menilai persoalan hak-hak
korban adalah mengenai status korban yang perkaranya tidak terbukti bahwa
terdapat pelanggaran HAM yang berat. Masalah lainnya adalah pemberian
kompensasi yang “seolah-olah” digantungkan pada aspek kesalahan terdakwa.
Selain problem
diatas, itu, sejak awal memang tidak ada perhatian negara dalam hal pemenuhan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, apalagi dengan ketiadaan tekanan yang
kuat dari korban. Untuk kasus Tanjung Priok, ketiadaan inisiatif dari negara,
khususnya Kejaksaan Agung juga tidak muncul. Awalnya korban mendorong Kejaksaan
Agung untuk memasukkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam surat
dakwaan, namun Kejaksaan Agung menolak. Menjelang tuntutan, korban akhirnya
berinisiatif untuk menghitung kerugian yang diterimanya dan mengirimkan surat
penghitungan kerugian ke Jaksa Agung.[35]
Inisiatif ini juga dilakukan oleh Korban Abepura dimana gugatan gabungan
perkara ganti kerugian yang sebelumnya diajukan ditolak oleh pengadilan dan
akhirnya melakukan penghitungan sendiri yang kemudian diajukan ke kejaksaan.
Persoalan-persoalan
muncul sejalan dengan putusan-putusan pengadilan yang secara tidak tegas
menentukan tentang hak-hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para
korban. Kasus Timor-timur, pengadilan telah secara jelas membuktikan bahwa
terhadap perkara-perkara yang terjadi telah jatuh korban meskipun dengan jumlah
korban yang berbeda-beda. Putusan pengadilan juga telah menentukan siapa pelaku
yang menyebabkan peristiwa terjadi. Namun, tidak ada satupun putusan yang
menyebutkan tentang pemberian kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada
para korban. Sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung, putusan tentang
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban dalam kasus Tanjung
Priok juga tidak ada.
Berbeda dengan
kasus Timor-timur, putusan tingkat pertama kasus Tanjung Priok memberikan
putusan yang luar bisa terhadap pemenuhan hak-hak korban. Pengadilan memberikan
kompensasi kepada para korban dalam dua buah putusan terhadap terdakwa yang
dinyatakan bersalah. Putusan pertama, dengan terdakwa RA Butar-butar,
menyebutkan bahwa Majelis Hakim memberikan kompensasi dan rehabilitasi terhadap
para korban Tanjung Priok mengenai ganti rugi dan rehabilitasi berdasar usaha
untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dan korban juga sudah cukup lama
menderita dengan kompensasi yang yang proses serta jumlahnya ditetapkan sesuai
ketentuan yang berlaku. Putusan kedua, dengan terdakwa Sutrisno Mascung dkk,
menyebutkan bahwa korban mendapatkan kompensasi sejumlah Rp. 1.015.500.000.00 (satu milyar lima belas juta limaratus ribu
rupiah) yang diberikan kepada 13 korban sebagai bentuk ganti rugi yang
harus di berikan oleh negara sesuai dengan mekanisme dan tata cara pelaksanaan
yang telah diatur oleh PP No. 3 tahun 2002.
Putusan ini lebih maju dibandingkan dengan putusan yang pertama dimana
telah mencantumkan besaran kompensasi dan menyebutkan nama-nama yang
mendapatkan kompensasi.[36]
Walau salah satu pertimbangan menarik yang dikemukakan hakim adalah pemberian
kompensasi kepada korban-korban yang dianggap tidak islah, sehingga tidak
mendapatkan restitusi dari pelaku. Artinya, secara tidak langsung bisa
dipandang bahwa hakim mengakui bahwa ada keterlibatan pelaku –termasuk yang
tidak dibawa ke persidangan, namun direkomendasikan oleh Komnas HAM- dan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang
melahirkan ganti kerugian dari pelaku (restitusi) kepada korban.
Dua keputusan
kasus Tanjung Priok yang lain tidak memberikan putusan tentang kompensasi, yang
diduga karena peristiwa yang terjadi dinyatakan tidak terbukti dan terdakwa
dibebaskan, meskipun secara jelas bahwa diakui ada korban yang terjadi dalam
peristiwa tersebut. Dua putusan ini mirip dengan keputusan-keputusan pengadilan
dalam kasus Abepura yang tidak ada putusan tentang kompensasi kepada korban,
karena pelaku dinyatakan tidak bersalah dan perbuatan yang didakwakan juga
tidak terbukti sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Putusan yang
“luar biasa” karena memberikan kompensasi kepada korban dalam kasus Tanjung
Priok ternyata tidak berlanjut karena dalam putusan tingkat banding tidak
dijelaskan mengenai kompensasi kepada korban. Hal ini bisa diduga sebagai
akibat dari dibebaskannya para terdakwa karena tidak terbukti adanya
pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa yang didakwakan. Putusan terhadap
terdakwa RA Butar-butar misalnya, putusan tersebut membatalkan putusan
sebelumnya dan tidak memberikan pertimbangan apapun mengenai klausul kompensasi
kepada korban. Sementara putusan banding terhadap terdakwa Sutrisno Mascung dkk
juga membatalkan putusan sebelumnya dan tidak ada pemberian kompensasi kepada
korban, meskipun salah satu hakim yang melakukan dissenting opinion tetap memberikan pandangan tentang kompensasi
kepada korban.[37]
Keputusan-keputusan
tentang kompenasi korban pelanggaran HAM jelas sangat berkait dengan
terbuktinya perkara sebagai pelanggaran HAM yang berat dan putusan bersalah
terhadap para terdakwa. Hal ini nampaknya sebagai konsekuensi atas ketentuan
mengenai kompensasi yang merupakan ganti kerugian yang dibayarkan oleh negara
karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian.[38]
Berbeda dengan putusan dalam kasus Timor-Timur, putusan dalam kasus Tanjung
Priok dan Abepura jelas menunjukkan bahwa kompensasi kepada korban sangat
tergantung pada ada atau tidaknya kesalahan terdakwa.
Kelemahan
prosedur hukum yang membuat pemenuhan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban
sulit diwujudkan. Ditengah ketidaaan perhatian cukup dari negara, korban
terpaksa secara sendirian berjuang untuk mendapatkan hak kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi yang sudah dijamin UU. Sementara Kejaksaan Agung hanya pasif
menerima upaya korban untuk mengajukan tuntutan ganti rugi, yang seharusnya
sejak awal sudah harus diupayakan. Kelemahan dan kekuarangan prosedur hukum
juga berlanjut dengan putusan pengadilan yang secara umum, selain dua putusan
tentang adanya kompensasi, tidak mampu
memberikan terobosan hukum untuk menciptakan preseden hukum baru dalam
pemenuhan hak korban atas kerugian yang dialaminya.
Putusan
pengadilan yang hampir semuanya membebaskan para terdakwa mengakibatkan para
korban tidak satupun yang mendapatkan hak-haknya, padahal secara nyata diakui
oleh pengadilan bahwa terdapat korban dalam setiap peristiwa yang terjadi. Hal
ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip remedi dan reparasi kepada
korban pelanggaran hak asasi manusia.[39]
4. Penutup
Putusan-putusan
pengadilan HAM sampai saat ini secara umum tidak memberikan hasil sebagaimana
harapan banyak pihak sebagaimana saat awal pengadilan ini diupayakan. Putusan
pengadilan telah menunjukkan secara jelas bahwa, hampir disemua kasus,
pengadilan tidak mampu membuktikan kesalahan para terdakwa. Akibatnya, hak-hak
korban yang mencakup hak atas keadilan dan hak-hak kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi tidak dapat dipenuhi. Penantian panjang untuk mencapai keadilan
dan upaya-upaya hukum yang dilakukan korban untuk mendapatkan hak atas ganti
kerugian akhirnya kandas.
Pengadilan HAM
telah secara lengkap “menutup buku” terhadap pertangungjawaban atas kasus-kasus
kejahatan kemanusiaan yang diajukan ke pengadilan. Kejahatan terjadi, korban
diakui, namun para pelaku dan terdakwa dibebaskan, dan tidak ada reparasi
kepada para korban. Pengadilan HAM telah melupakan nasib para korban.
[1] Progress
Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar: Preliminary Conclusive Report”, 4 Juli 2002.
[2] David Cohen, Intended to Fail , The Trial Before the Ad
Hoc Human Rights Court in Jakarta, ICTJ, July, 2004.
[3] Sebelumnya
dengan Keputusan Presiden No. 53 tahun 2001.
[4] Komposisi para
terdakwa dalam 3 kasus pertama tidak mencerminkan adanya pola yang pasti karena 3 berkas pertama ini yang diajukan
adalah Abilio Soares yang merupakan terdakwa dari sipil dengan jabatan
tertinggi, sementara ada terdakwa lainnya yang merupakan bawahan terdakwa yaitu
Leonito Martens (Bupati Liquica), Herman Sedyono (bupati Kovalima) dan Eurico
Guterres (Wakil Panglima PPI). Berkas kedua adalah Timbul Silaen (Kapolda Timor-timur
saat itu) yang juga mempunyai bawahan yang diajukan sebagai terdakwa yaitu
Hulman Gultom (Kapolres Dili), Adios Salova (Kapolres Liquica) dan Gatot
Subyaktoro (Kapolres Suai Kovalima). Berkas ketiga dengan 5 (lima) terdakwa
Herman Sedyono, Liliek Koshadiyanto (Dandim Suai Kovalima), Gatot Subyaktoro,
Ahmad Syamsuddin (Ka Staf Kodim Suai) dan Sugito (Danramil Suai), para terdakwa
dari milter berdasarkan pada jengjang komando saat itu mempunyai atasan yang
juga sebagai terdakwa yaitu Noer Muis (Danrem Dili) dan Adam Damiri (Pangdam
Udayana). Dari pola ini tidak jelas apakah strategi penuntutan dari pejabat
dengan tingkat paling bawah atau paling atas terlebih dahulu.
[5] Kasus ini
dianggap berkaitan, meskipun dengan pemberkasan secara terpisah, adalah adanya
kaitan antara para terdakwa yang diajukan ke pengadilan terutama dari terdakwa
polisi dan militer, yang mempunyai jengjang komando dan hubungan atasan
bawahan. Sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah peristiwa yang
saling berurutan dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya baik pola maupun
konteks terjadinya peristiwa.
[6] Penyelidikan
yang dilakukan oleh Komnas HAM dengan membentuk Komisi Penyelidik Peristiwa
Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T).
[7] Dalam laporanya, KP3T menyatakan bahwa latar belakang sebelum peristiwa
tanggal 12 September 1984 dikarenakan oleh adanya kebijakan politik
Nasional dengan dikeluarkanya TAP MPR
N0. IV tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
yang kemudian mendapat tanggapan dari sebagian umat Islam sebagai gejala untuk
mengecilkan umat Islam dan mengagamakan Pancasila sebagai satu-satunya asas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi inilah yang
kemudian memperuncing perbedaan antara sebagian umat Islam tertentu dengan
aparat yang akan menegakkan ideologi negara dan kebijaksanaan politik Nasional.
[8] Nama-nama yang
tidak diajukan ke Pengadilan diantaranya adalah LB Moerdani, Try Sutrisno,
mantan Presiden Soeharto, dll.
[9] Sidang pertama
pelanggaran HAM berat Tanjung Priok digelar pada 15 September 2003 dengan
terdakwa Sutrisno Mascung bersama 10 anak buahnya. Sedangkan sidang untuk
Pranowo digelar pada 23 September 2003,
R. A Butar-Butar pada 30 September 2003, dan Sriyanto pada 23 Oktober
2003
[10] Dakwaaan hanya mempersempit locus delictie yang hanya pada diwilayah
Tanjung Priok, Guntur, dan Cimanggis, Jakarta selatan. Padahal akibat dari
kejadian tersebut terjadi penangkapan yang menyebar kebeberapa wilayah meliputi
daerah Garut, Ciamis, lampung dan Ujung Pandang. unsure sistematis tidak
diuraikan pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Kondisi politik Kasus tanjung
Priok sangat terkait dengan adanya kebjakan Presiden Suharto dalam hal
memberlakukan asas tunggal sebagai satu-satunya asas yang harus di amini oleh
seluruh organisasi kemasyarakatan. Kondisi sosio-politik daerah tanjung priok
tercrabut dari rumusan dakwaan tersebut. Padahal, pemberlakuan asas tunggal
sangat terkait dengan seluruh pola kebijakan yang diberlakukan di daerah
Jakarta utara yang dalam hal ini seluruh aparatur pemerintah, khususnya
Laksusda Jaya menjadi tanggng jawab yang tidak dapat dipisahkan. Didalamnya
juga termasuk penggunaan fasilitas negara dallam pelaksanaan oprasinya.
[11] Alasan pencabutan keterangan ini seringkali tidak
dilakukan berdasarkan atas ketentuan KUHAP tetapi karena alasan-alasan lainnya
misalnya saksi telah melakukan perdamaian dengan para terdakwa. Sejumlah saksi
secara terang menyebutkan bahwa alasan pencabutan BAP adalah karena pada waktu
diperiksa oleh jaksa, saksi belum melakukan islah. Saksi yang mencabut BAP juga
meminta pembebasan terdakwa karena saksi dan terdakwa telah melakukan
islah.
[12] Dalam
deklarasi yang dibacakan di Masjid Sunda Kelapa pada 1 maret 2001 antara fihak
pelaku yang diwakili Tri Sutrisno, Sriyanto, Pranowo, RA Butar Butar, Soekarno
dan H Mattaoni BA, Sugeng Subroto dengan para korban yang diwakili oleh
Syarifudin rambe, Ah Sahi, Sofwan Sulaiman, Nasrun, Asep, Sudarso dan Siti
Khotimah
[13]
Peristiwa yang terjadi merupakan bentrokan seketika atau spontan antara aparat
dan masa, pem-BKO-an pasukan maupun penggunaan fasilitas umum milik negara baik
senjata SKS ataupun peluru tajam juga bukan merupakan instrumen yang dibuat
untuk mempersiapkan pelaksanaan suatu kejahatan kemanusiaan, bukan merupakan persiapan
untuk melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan lainnya hingga tidak ada
penyimpangan yang dilakukan oleh pasukan dalam menggunakan fasilitas umum milik
negara berupa senjata dan peluru tajam. Terdakwa terbukti tidak melakukan
perintah untuk untuk melakukan penembakan dan justru terdakwa berusaha untuk
menghentiakan tindakan penembakan yang dilakukan oleh pasukan regu 3.
[14] Berdasarkan hasil rapat musyawarah hakim terjadi dissenting opinion,
dimana dua majelis hakim yaitu Heru Susanto dan Amirudin Aburaera berpendapat
bahwa perbuatan para tedakwa tidak merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
harus dibebaskan (vrijspraak).
[15] Ketua Majelis,
Artidjo Alkotsar berpendapat berbeda (dissenting
opnion) dengan empat hakim yang lain dan menyatakan terdakwa terbukti
bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Keempat hakim lainnya adalah Dirwoto, Sumaryo Suryokusumo, Ronald Zelfinanus
Titahelu dan Sakir Ardiwinata.
[16] Pengadilan
HAM Makasar ini merupakan Pengadilan HAM permanen pertama yang digelar di
Indonesia sejak diundangkannya UU No. 26 tahun 2000.
[17] Hasil penyelidikan ini didasarkan pada laporan KPP HAM Papua/Irian Jaya
(KPP HAM Papua/Irian Jaya) tersebut
dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa “dalam peristiwa Abepura 7 Desember
2000. Dalam kesimpulannya, KPP HAM Papua/Irian Jaya menyatakan bahwa pengejaran
yang dilakukan aparat kepolisian dan Brimobda Polda Papua terhadap Asrama
mahasiswa Ninmin, pemukiman warga Kobakma Mamberamo dan Wamena, asrama
mahasiswa Yapen Waropen, kediaman masyarakat suku Lani, suku Yali, suku Anggruk
dan terhadap asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga, telah mengindikasikan terjadinya
pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematik dan meluas berupa penyiksaan (torture),
pembunuhan kilat (summary killings), penganiayaan (persecution),
perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penangkapan
dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention),
pelanggaran atas hak milik, dan pengungsian secara tidak sukarela (involuntary
displace persons).
[18] Pelaku
Langsung berjumlah 20 orang, pengendali operasi dan penanggungjawab keamanan
berjumlah 4 orang diantaranya Daud Sihombing dan Johny Wainal Usman.
[20] Dalam hal ini tidak hanya bertindak secara pribadi, melainkan juga
bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan anggota
masyarakat lainnya yang jumlahnya lebih
dari 100 orang dengan kesamaan fakta dan
dasar hukum dikarenakan sudah menjadi korban dan mengalami kerugian akibat
Peristiwa Abepura, 7 Desember 2000.
[21] Tuntutan
restitusi diajukan kepada para terdakwa, karena terdakwa selaku pemegang garis
komando dan yang telah memberikan perintah sehingga terjadi Peristiwa Abepura,
7 Desember 2000.
[22] Pasal 35 UU RI No. 26/2000 Jo. Pasal 1 ayat (4), Pasal 3, dan Pasal 4 PP
RI No.: 3/2002, yang diberikan oleh
Negara RI Cq. Departemen Keuangan RI Cq. Menteri Keuangan RI kepada Korban.
[23] Hal ini disebabkan karena Korban telah menerima dampak buruk.
Perlakuan-perlakuan diskriminasi, ketidakpercayaan, dan stigmatisasi sebagai separatis, diterima dalam kehidupan
sosial politik mereka yang hingga kini masih dirasakan. Belum lagi akibat
peristiwa itu, faktanya banyak diantara Korban kehilangan hak-haknya atas
pekerjaan, pendidikan, perumahan yang layak, dan mengalami trauma psikologis yang cukup serius dan
berkepanjangan.
[24] Penolakan
majelis hakim tersebut disertai dengan saran kepada Korban, agar pengajuan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasinya disampaikan secara langsung kepada
majelis hakim melalui jaksa penuntut umum pada waktu Korban diperiksa sebagai
saksi di pengadilan. Selanjutnya jaksa penuntut umum akan mengajukannya pada
waktu dilakukan penuntutan.
[26] Lihat pasal 9
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
[27] Terdapat dua putusan yang menunjukkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah serangan antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya yaitu
yang pro kemerdekaan dengan yang pro integrasi. Penyerangan ini melepaskan
faktor dukungan aparat birokrasi sipil, institusi militer maupun institusi
polri dalam setiap pola penyerangan yang dilakukan sehingga kebijakan
penyerangan yang dilakukan adalah kebijakan organisasional dari masyarakat
tersebut.
[28] Dalam putusan banding terhadap terdakwa Sutrisno Mascung dkk, tidak
terungkap dipersidangan adanya kebijakan Dandim untuk melakukan serangan,
tetapi yang terungkap adalah permintaan
bantuan dari Arhanudse 06 yang kemudian dibagi menjadi tiga regu.
bentrokan yang terjadi, pasukan tersebut membela diri dari serangan masa dan tembakan regu tiga tersebut
tanpa dikomandoi serta melakukan tembakan peringatan keatas. Bentrokan tersebut
juga hanya terjadi di tempat itu saja dan berlangsung 5- 10 menit.
[29]Majelis hakim menyatakan bahwa penyerangan massa yang dilakukan pada waktu
itu semata-mata disebutkan sebagai tindakan reaktif dan dilakukan sesuai
standar operasional. Sementara pengejaran yang terjadi pada saat itu, hanya
dilakukan terhadap orang-orang yang diduga terkait dalam penyerangan Markas
Kepolisian Sektor (Polsek) Jayapura, termasuk ke tempat-tempat penduduk sipil.
[30] Unsur-unsur dari serangan adalah 1) tindakan baik secara sistemati atau
meluas, yang dilakukan secara berganda (multiciply
commission of acts) yang dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan
atau organisasi, tindakan berganda berarti harus bukan tindakan yang tunggal
atau terisolasi, 2) “serangan” baik secara meluas atau sistematis tidaklah semata-mata “serangan militer”
seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, Tetapi, serangan dapat
juga berarti lebih luas misalnya kampanye atau operasi yang dilakukan terhadap
penduduk sipil, Serangan tersebut tidak hanya harus melibatkan angkatan
bersenjata, atau kelompok bersenjata dan 3) persyaratan dianggap terpenuhi jika
penduduk sipil adalah obyek utama dari serangan tersebut. Lihat Pedoman
Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran HAM yang Berat dan Pertanggungjawaban
Komando, Mahkamah Agung RI, 2006, Hal. 24.
[31] Abilio dalam memori peninjauan kembalinya
mengajukan dua novum (bukti
baru) yakni bahwa saat hasil jajak pendapat diumumkan mulai terjadi kekacauan
dan penembakan, dan saat itu pengendalian keamanan diambil alih oleh Panglima
Kodam IX Udayana Adam Damiri. Bukti lain yang diajukan Abilio adalah sejak
bulan Mei 1998 posisinya sebagai gubernur mulai digoyang oleh ABRI, karena
dianggap menghambat upaya penyelesaian masalah Timtim dengan pendekatan
militer. Ia juga pernah diminta oleh Panglima ABRI agar mengundurkan diri
sebagai gubernur, namun permintaan itu ditolak. Posisi saya selaku gubernur
digoyang oleh tentara. Tentara mulai merekayasa perusakan mobil dinas gubernur
oleh orang-orang suruhan mereka. Abilio juga didemo sejumlah orang yang
dipimpin Eurico Guterres, yang menurut jaksa adalah anak buah Abilio.
[32] Dalam kasus
tanjung Priok terdakwa yang didakwa dengan pasal 42 ayat (1) adalah RA
Butar-Butar dan Terdakwa Pranowo, keduanya adalah mantan Komandan Kodim dan
Mantan Kepada POM Kodam Jaya. Sementara terdakwa yang didakwa dengan pasal 55 ayat (1) ke 1
dan pasal 53 KUHP adalah Sriyanto dan Sutrisno Mascung dkk.
[33] Bahwa
berdasarkan atas rekomendasi dari Hasil Penyelidikan Komnas HAM dalam Kasus
Abepura pihak yang bisa dimintai
pertanggungjawaban adalah termasuk para pelaku di lapangan yaitu para anggota
polisi yang merupakan bawahan terdakwa.
[34] Lihat pasal 35
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, “Setiap korban pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperolehkompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi”
[35] No.
250/SK-Kontras/VI/2004. Penghitungan didasarkan pada karateristik korban,
tipologi kerugian yang dialami korban (secara materil dan imateril), dengan
jumlah Rp. 33.358.997.395,00 kepada 15 orang korban.
[36] Jaksa Penuntut
umum dalam Tuntutan Pidananya melampirkan tuntutan kompensasi ini terhadap 15
orang korban dengan disertai jumlah permohonan.
[37] Salah satu hakim banding Ad hoc yakni Sri Handoyo, tidak sependapat
dengan kesimpulan dari kempat anggota majelis yang lain (dissenting
oponion). Pada pokonya Sri Handoyo berpendapat alasan-alasan, pertimbangan
dan putusan majelis hakim pengadilan hak asasi manusia Ad Hoc tanggal 20
Agustus 2004 No 01/PID.HAM/AD.HOC/2003/PN. JKT.PST yang dimohonkan banding
tersebut adalah sudah benar dan tepat, karenanya dapat dikuatkan. Dalam putusan
tersebut telah dipertimbangkan semua unsure-unsur tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa dengan benar kecuali pemberian kompensasi.
[38] Pasal 1 PP No.
3 Tahun 2002, “Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara
karena pelaku tidak mampu memberikan
ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”
[39] Berdasarkan atas Basic Principles
and Guidelines on the Right to Remedy and Reparation for Victims of Violations
of International Human Rights and Humanitarian Law 1995, korban pelanggaran
HAM seharusnya mendapatkan restitusi, kompensasi, rehabilitasi, pemuasan dan
jaminan atas ketidakberulangan dan pencegahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar