Sebagai ideologi gerakan Islam kontemporer, fundamentalisme
mewujudkan diri dalam beragam bentuk, dan berkaitan erat dengan orientasi
ideologi lain, seperti revivalisme, Islamisme (neo-fundamentalisme) dan
radikalisme. Sekalipun pada mulanya fundamentalisme lebih menunjukkan watak
keagamaan, ia kemudian lebih dipahami sebagai bentuk ekspresi Islam yang
berdimensi politik. Hal ini mudah dipahami karena dalam perkembangannya
fundamentalisme mewujudkan diri dalam bentuk kegiatan atau gerakan politik,
yang bahkan seringkali bersifat radikal atau militan, melawan rejim penguasa
sekular, atau berjuang untuk membangun sistem kenegaraan yang didasarkan pada
syari‘ah (Islam).
Meskipun istilah fundamentalisme, revivalisme, Islamisme dan
radikalisme sering digunakan secara bergantian untuk maksud penyederhanaan
(simplifikasi), kebanyakan sarjana mencoba melakukan identifikasi terhadap karakteristik
masing-masing gerakan atau orientasi ideologinya. Para sarjana, seperti akan
disebutkan, biasanya merujuk kepada gerakan-gerakan atau pemikir-pemikir Muslim
yang memiliki kaitan dan afiliasi dengan gerakan Islam kontemporer tertentu di
dunia Islam, seperti kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Indo-Pakistan dan Asia
Tenggara. Mereka menemukan adanya beberapa karakteristik umum (common characteristics) sekaligus
keunikan (peculiarities) dari
pelbagai gerakan “fundamentalisme” Islam.
Tulisan ini memfokuskan kajian pada fundamentalisme, karakteristik
dasar dan interrelasi antara fundamentalisme, revivalisme, Islamisme, dan
radikalisme. Tulisan ini berusaha menunjukkan adanya kemiripan karakteristik,
agenda dan orientasi antara fundamentalisme Islam dan ideologi keislaman yang
lain, sekalipun terdapat beberapa perbedaan tekanan dan strategi. Di bagian
akhir, tulisan ini mencoba memetakan secara garis besar orientasi ideologi
gerakan fundamentalis Islam di Indonesia. Tulisan ini adalah survei pendahuluan
terhadap beberapa literatur yang ditulis oleh sarjana tentang fundamentalisme
Islam, dan tidak berdasarkan observasi langsung terhadap pelbagai gerakan Islam
fundamentalis. Karenanya, tulisan ini lebih bersifat hipotetik.
Taksonomi Orientasi Gerakan Islam
Berkembangnya beragam varian atau manifestasi keagamaan Islam,
terutama gerakan dan pemikiran keislaman, mendorong beberapa sarjana membuat
tipologi, klasifikasi, atau taksonomi (taxonomy).
Dalam Political Islam: Religion and
Politics in the Arab World, Nazih Ayubi membuat taksonomi orientasi gerakan
Islam: reformisme atau modernisme Islam, salafisme, fundamentalisme,
neo-fundamentalisme, Islamisme, dan Islam politik (political Islam).[1]
Menurut Ayubi, reformisme Islam atau modernisme Islam (diwakili
antara lain oleh al-Afghani dan ‘Abduh) berpandangan bahwa Islam adalah sistem
keyakinan yang sempurna tetapi cukup fleksibel untuk mengakomodasi perkembangan
modern (modernitas). Sementara itu, salafisme menekankan kepada sumber Islam
yang otentik (al-Qur’an, Sunnah Nabi dan tradisi pasa generasi Muslim awal, salaf). Salafisme cenderung skripturalis
dan tradisionalis, seperti direpresentasikan oleh Wahhabiyah, Sanusiyyah,
Mahdiyyah, dan ajaran-ajaran yang bersumber dari dari Rashid Rida dan tokoh
al-Ikhwan al-Muslimun awal, seperti Hasan al-Banna. Kaum salafi cenderung
kepada dogmatisme doktrinal, meskipun kadangkala secara politik fleksibel.
Sedangkan fundamentalisme, hampir sama dengan salafisme, menekankan kepada
sumber asli Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi kurang simpatik terhadap fiqh. Fundamentalisme memegangi
pandangan holistik dan komprehensif tentang Islam (intégrisme –Perancis). Islam, menurut fundamentalisme, adalah
agama, dunia dan negara (din, dunya,
dawlah). Perspektif holistik ini mengimplikasikan keharusan tindakan
kolektif untuk mewujudkan totalitas Islam ke dalam kenyataan.[2]
Sementara itu, neo-fundamentalisme Islam adalah sempalan dari ideologi
fundamentalisme. Biasanya neo-fundamentalisme memiliki orientasi yang lebih
radikal dan militan. Pada umumnya, gerakan neo-fundamentalis cenderung
melakukan tindakan langsung sebagai reaksi terhadap suatu kasus tertentu.
Contoh dari gerakan model ini adalah Takfir
wa al-Hijrah di Mesir dan al-Jihad
di Mesir dan beberapa negara Arab. Ayubi menyebutkan bahwa orientasi
neo-fundamentalisme ini lebih bercorak politik. Keanggotaannya terutama terdiri
dari mahasiswa atau sarjana baru, dari kawasan urban baru kota besar atau dari kota-kota kecil dengan
asal-usul pedesaan (rural). Di Mesir,
neo-fundamentalis menguasai organisasi mahasiswa, dan memiliki hubungan dengan
kalangan profesional, ahli teknik, dan pegawai pemerintahan.[3]
Saad Eddin Ibrahim menyebut gerakan ini sebagai bentuk militansi Islam (Islamic militancy) yang ia definisikan
sebagai “actual violent group behavior committed collectively against the state
or other actors in the name of Islam,”[4]
seperti tampak pada Jama‘at al-Fanniyyah
al-‘Askariyyah (Technical Military
Academy ) dan al-Takfîr wa al-Hijrah. Tentang
Islamisme, Ayubi menyebutkan bahwa istilah ini biasanya digunakan untuk
menunjuk tiga kategori gerakan Islam: salafi, fundamentalis dan
neo-fundamentalis. Islamisme tidak sekedar menekankan identitas sebagai muslim,
tetapi lebih kepada pilihan sadar terhadap Islam sebagai doktrin dan ideologi.[5]
Islam politik (political Islam)
sering digunakan untuk merujuk kepada kategori fundamentalis dan
neo-fundamentalis yang cenderung menekankan watak politik dari Islam dan
terlibat dalam kegiatan anti-negara secara langsung.
Fundamentalisme Islam
Istilah fundamentalisme muncul dari luar tradisi sejarah Islam, dan
pada mulanya merupakan gerakan keagamaan yang timbul di kalangan kaum Protestan
di Amerika Serikat pada 1920-an. Menilik asal-usulnya ini, kita dapat
mengatakan bahwa fundamentalisme sesungguhnya sangat tipikal Kristen.[6]
Namun, terlepas dari latar belakang Protestan-nya, istilah fundamentalisme
sering digunakan untuk menunjuk fenomena keagamaan yang memiliki kemiripan
dengan karakter dasar fundamentalisme Protestan. Karena itu, kita dapat
menemukan fenomena pemikiran, gerakan dan kelompok fundamentalis di semua
agama, seperti fundamentalisme Islam, Yahudi, Hindu, dan Budhisme.[7]
Dalam hal ini, selain fundamentalisme tidak terbatas pada agama tertentu, dalam
faktanya ia juga tidak hanya muncul di kalangan kaum miskin dan tidak terdidik.
Fundamentalisme dalam bentuk apapun bisa muncul di mana saja ketika orang-orang
melihat adanya kebutuhan untuk melawan budaya sekular (godless), bahkan ketika mereka harus menyimpang dari ortodoksi
tradisi mereka untuk melakukan perlawanan itu.
Berdasarkan pengamatannya terhadap fundamentalisme agama, terutama
Kristen di Amerika, Peter Huff mencatat ada enam karakteristik penting
fundamentalisme. Secara sosiologis, fundamentalisme sering dikaitkan dengan
nilai-nilai yang telah ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi dengan
perubahan dan perkembangan zaman; secara kultural, fundamentalisme menunjukkan
kecenderungan kepada sesuatu yang vulgar dan tidak-tertarik pada hal-hal yang
bersifat intelektual; secara psikologis, fundamentalisme ditandai dengan
otoritarianisme, arogansi, dan lebih condong kepada teori konspirasi. Secara
intelektual, fundamentalisme dicirikan oleh tiadanya kesadaran sejarah dan
ketidak-mampuan terlibat dalam pemikiran kritis; dan secara teologis,
fundamentalisme diidentikkan dengan literalisme, primitivisme, legalisme dan
tribalisme; sedangkan secara politik, fundamentalisme dikaitkan dengan
populisme reaksioner.[8]
Dalam kasus Islam, fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh modernisme dan sekularisme dalam kehidupan
politik dan keagamaan. Peradaban modern-sekular menjadi sasaran kritik
fundamentalisme Islam, dan di sini fundamentalsime memiliki fungsi kritik.
Seperti ditipologikan oleh Fazlur Rahman, fundamentalisme Islam (atau
revivalisme Islam) merupakan reaksi terhadap kegagalan modernisme Islam
(klasik), karena ternyata yang disebut terakhir ini tidak mampu membawa
masyarakat dan dunia Islam kepada kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan
ajaran Islam. Sebagai gantinya, fundamentalisme Islam mengajukan tawaran solusi
dengan kembali kepada sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan menolak
segala sesuatu yang berasal dari warisan modernisme Barat.[9]
Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam
ialah pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur’an dan
al-Sunnah). Literalisme kaum fundamentalis tampak pada ketidaksediaan mereka
untuk melakukan penafsiran rasional dan intelektual, karena mereka -kalau-lah
membuat penafsiran- sesungguhnya adalah penafsir-penafsir yang sempit dan
sangat ideologis. Literalisme ini berkoinsidensi dengan semangat
skripturalisme, meskipun Leonard Binder membuat kategori fundamentalisme
non-skriptural untuk pemikir fundamentalis seperti Sayyid Qutb.[10]
Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan
modern. Fundamentalisme tradisional (‘ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama
atau oligarki klerikal (clerical
oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap Islam, terutama Syi’ah. Islam
Syî‘ah memberikan otoritas sangat besar kepada ‘ulama untuk menafsirkan doktrin
agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut. Akibatnya, kebebasan intelektual
untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi sangat sempit dan terbatas.[11]
Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mendukung berkembangnya
fundamentalisme (tradisional) adalah kuatnya otoritas ‘ulama, termasuk dalam
hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini,
tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu pihak dan tradisionalisme
di pihak lain.
Fundamentalisme tradisional menganggap ‘ulama dan penguasa politik
merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum
klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja.
Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di Iran .
Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan
oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai
ideologi. Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang
ritual, tetapi ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dnegan ideologi
modern seperti kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai bentuk
lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern tidak
dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran ),
tetapi oleh “intelektual sekuler” yang secara terbuka mengklaim sebagai pemikir
religius. Mereka berpendapat bahwa karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi
dan religius; maka ahli kimia, teknik, insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah
ulama.[12]
Jadi, terdapat semacam anti-clericalism
di kalangan fundamentalisme Islam modern, meskipun fundamentalisme dalam
wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligraki klerikal seperti disebut
terdahulu.
Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat
yang ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi
Islam terhadap dunia sekular-modern. Islam dijagikan sebagai alternatif
pengganti ideologi modern, seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme.
Karena fundamentalisme bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah gerakan politik yang
memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan pada Islam (syari’ah),
dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin fundamentalis adalah kaum
intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi Islam. Dengan ungkapan
lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan aktifis politik.[13]
Ini sangat tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme Sunni.
Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan
kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan
politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas
mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program,
strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal
ini, fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme. Namun, keragaman ini
tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan kebijakan bersama yang
didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi fundamentalis Islam modern,
negara Islam adalah negara ideologis yang domainnya mencakup seluruh kehidupan
manusia. Negara Islam mengontrol relasi sosial, politik, ekonomi dan kultural,
dan negara harus didasarkan pada hukum atau syari’at Islam (ideologi Islam).
Meskipun kaum
fundamentalis meyakini sifat religius mereka, fundamentalisme sesungguhnya
bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius, melainkan sebagai corak pemikiran
yang menyimpang dari arus utama (mainstream),
anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan karakter-karakter
lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik, fundamentalisme dipandang
sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan pluralisme.
Fundamentalisme dan Revivalisme
Yang agak problematik dalam konteks ini adalah korelasi antara
fundamentalisme dan revivalisme. Penulis-penulis seperti Youssef Chouieri, R.
Hrair Dekmejian dan John Obert Voll memiliki perspektif yang beragam dalam
melihat fenomena fundamentalisme dan revivalisme. Chouieri menyatakan bahwa
munculnya revivalisme Islam dilatarbelakangi oleh kemerosotan moral, sosial dan
politik umat Islam. Menurutnya, revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan
Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni. Contoh dari gerakan Islam
revivalis adalah Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhab (1703-1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di India, Uthman
Dan Fodio (1754-1817) di Nigeria, Gerakan Padri (1803-1837) di Sumatra, dan
Sanusiyyah di Libya yang dinisbatkan kepada Muhammad ‘Ali al-Sanusi
(1787-1859). Chouieri melihat adanya kemiripan agenda yang menjadi
karakteristik gerakan-gerakan revivalis Islam tersebut, yaitu: (a) kembali kepada
Islam yang asli, memurnikan Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing;
(b) mendorong penalaran bebas, ijtihad,
dan menolak taqlid; (c) perlunya
hijrah dari wilayah yang didominasi oleh orang kafir (dar al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan
seorang pembaru.[14]
Sementara itu, Dekmejian menyatakan bahwa munculnya pelbagi
orientasi ideologi revivalis Islam dipengaruhi oleh adanya perbedaan yang
timbul dari penafsiran yang berbeda terhadap al-Qur’an, al-Sunnah dan sejarah
Islam awal. Selain itu ada faktor lain seperti watak dari situasi krisis,
keunikan dalam kondisi sosial dan gaya
kepemimpinan dari masing-masing gerakan. Atas dasar itu, Dekmejian
mengidentifikasi empat kategori ideologi revivalis: (a) adaptasionis-gradualis
(al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir,
Iraq, Sudan, Jordan, Afrika Utara; dan Jama’at-i
Islami di Pakisan); (b) Shi’ah revolusioner (Republik Islam Iran, Hizb al-Da’wah Iraq, Hizbullah Libanon, Jihad Islam Libanon; (c) Sunni revolusioner (al-Jihad Mesir, Organisasi Pembebasan Islam Mesir, Jama’ah Abu Dharr Syria, Hizb al-Tahrir di Jordania dan Syria;
(d) primitivis-Mesianis (al-Ikhwan
Saudi Arabia, al-Takfir wa al-Hijrah
Mesir, Mahdiyyah Sudan, Jama’at al-Muslimin lil-Takfir Mesir.[15]
Voll cenderung tidak membuat pembedaan yang signifikan antara
revivalisme dan fundamentalisme. Menurutnya, Islamic revivalism atau Islamic
resurgence mewujudkan dirinya dalam bentuk yang beragam, misalnya
Wahhabiyyah, yang dia anggap sebagai representasi dari “the prototype of
rigorous fundamentalism in the modern Islamic experience,”[16]
yang oleh Choueiri dipandang sebagai revivalis dalam makna yang positif,
seperti disebut terdahulu.
Terlepas dari beberapa perbedaan perspektif dan implikasi yang
ditimbulkannya, korelasi, kaitan atau kemiripan karakteristik dasar antara
fundamentalisme, revivalisme, Islamisme dan radikalisme tidak bisa
dikesampingkan. Jika ditelaah lebih mendalam akan tampak adanya semacam family resemblance antara berbagai
orientasi ideologis tersebut,[17]
meskipun masing-masing tetap memiliki tekanan dan strategi yang berbeda,
tergantung situasi dan kondisi sosial dan gaya
kepemimpinan (leadership style) dari
masing-masing gerakan.
Neo-Fundamentalisme dan Islam Politik (Political Islam)
Mengikuti penjelasan Ayubi dan Roy
di atas, fundamentalisme Islam juga sering digunakan untuk menunjuk Islam
politik (political Islam). Ini tidak
terlepas dari beberapa agenda fundamentalis di bidang politik. Watak politis
fundamentalisme Islam termanifestasikan dalam simbol-simbol keagamaan yang
mereka gunakan dalam konteks perjuangan politik atau kekuasaan, misalnya negara
Islam, pemerintahan Islam dan formalisasi syari’ah dalam negara. Salah satu
doktrin Islam fundamentalis –dan pelbagai varian di dalamnya - adalah bahwa
tidak ada pemisahan agama dari politik. Olivier Roy menyebut paham ini sebagai Islamic political imagination (imajinasi
politik Islam).[18]
Menurut Roy, fundamentalisme ini tampak pada Ikhwân al-Muslimîn di Mesir yang
didirikan oleh Hasan al-Bannâ, dan Jamâ‘at-i Islâmî di Indo-Pakistan
yang didirikan oleh Abû al-A’lâ al-Mawdûdî. Keduanya mendefinisikan Islam
sebagai sistem politik (ideologi) vis-à-vis
ideologi-ideologi besar abad ke-20.
Eskpresi kontemporer dari fundamentalisme Islam adalah Hizb al-Tahrîr al-Islâmî yang didirikan oleh
Taqî al-Dîn al-Nabhânî (w.1977) di Jerussalem pada 1953. Sejak awal gerakan ini
bersaing dengan Ikhwân al-Muslimîn. Gerakan ini sangat unik karena ia
mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai partai politik yang menjadikan
Islam sebagai ideologi dan bergerak dalam lapangan politik. Ia bertujuan untuk
membangun kembali khilafah Islam sebagai sebuah sistem tunggal, dan tidak
terpecah-pecah ke dalam negara-bangsa. Khilafah didasarkan kepada syari’ah,
tidak pada demokrasi sekular. Gerakan ini tergolong radikal dan revolusioner,
karena ia menggunakan strategi jihad. Menurut gerakan ini, seluruh negara di
dunia saat ini tidak menerapkan Islam (shari’ah), karena itu merupakan dâr al-kufr, meskipun penduduknya
Muslim. Ia menekankan bahwa restorasi khilafah adalah tugas seluruh umat muslim
di dunia melalui agitasi politik dan revolusi kekhalifahan (caliphal revolution).[19]
Namun demikian, idealisme pelbagai kelompok Islam politik ternyata
gagal mengubah landscape politik
Timur Tengah dan beberapa kawasan lainnya. Islam politik tidak berhasil meraih
kekuasaan, sementara rejim-rejim lama masih terus berkuasa. Kekuatan Barat dan
Amerika pun semakin menancapkan hegemoni
(politik, ekonomi, budaya) di kawasan tersebut. Islam politik juga tidak selalu
berhasil menampilkan nilai-nilai yang terkandung dalam cita-cita
fundamentalisme berupa penerapan hukum-hukum agama (syari‘ah) dalam politik.
Kaum Islam fundamentalis di beberapa tempat, seperti di Aljazair , Sudan
atau Turki, hanya melahirkan perubahan-perubahan yang tindak signifikan di
bidang hukum, politik dan ekonomi. Dalam hal ini, fundamentalisme memang
menekankan penerapan syari‘ah secara total, tetapi seringkali tidak
mempedulikan watak sistem politik.
Dalam realitasnya fundamentalisme bukan merupakan realitas yang monolitik,
tetapi mengandung varian-varian yang beragam, dan bahkan mengalami
pergeseran-pergeseran yang cukup signifikan. Selain terdapat varian
fundamentalisme tradisional dan fundamentalisme modern seperti disebutkan di
muka, dapat disaksikan pula adanya pergeseran kepada apa yang disebut sebagai
neo-fundamentalisme.
Kaum fundamentalis pada mulanya tertarik bergerak dalam level
politik negara. Mereka menawarkan formula-formula dan struktur politik
kenegaraan yang diderivasi dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan, untuk
mewujudkan ideal-ideal tersebut kaum fundamentalis juga membentuk partai-partai
dalam kerangka demokrasi modern maupun dengan jalan revolusi. Namun, ketika
mereka mengalami kegagalan politik, sasaran perjuangan kaum fundamentalis tidak
lagi pada level negara, tetapi bergeser ke individu dan masyarakat.
Neo-fundamentalisme lebih memfokuskan upaya pengisian kehidupan sehari-hari
dengan moralitas dan syari‘ah (legalism).
Karenanya, diskursus negara digantikan oleh diskursus masyarakat, dan strategi
yang dipilih meliputi salah satu dari berikut ini: menyusup ke dalam kehidupan
politik resmi, re-investasi dalam lapangan sosial, dan moral, atau ekonomi dan
pembentukan kelompok-kelompok kecil, baik kelompok ultra ortodoks atau kelompok
teroris.[20]
Orientasi dan strategi kelompok neo-fundamentalisme adalah menguasai
masyarakat melalui tindakan sosial. Jauh dari kesan revolusioner, kaum
neo-fundamentalis sekarang masuk ke “civil society” dan kelas-kelas politik.
Meski watak revolusi hilang, simbol-simbol Islam merembes ke masyarakat dan
diskursus politik Islam. Mundurnya (retreat)
fundamentalis Islam dari politik dibarengi dengan meningkatnya Islam sebagai
fenomena sosial dan moral. Neo-fundamentalisme berusaha me-reislamisasi
masyarakat pada tingkat grassroot,
dan tidak lagi lewat negara. Ini konsisten dengan apa yang diyakini oleh kaum
fundamentalis: jika masyarakat Islam didasarkan pada kebaikan
anggota-angotanya, maka individu-individu dan praktik mereka harus diperbarui.
Kaum fundamentalis model ini mengarahkan perjuangannya pada lahirnya masyarakat
Islam dan ruang Islami (Islamized space).[21]
Namun, pergeseran ini dipandang sebagai simbol kegagalan
fundamentalisme Islam dalam politik yang berakibat pada terjadinya perubahan
signifikan dalam bobot pemikiran dan gerakannya. Roy menyebut fenomena ini sebagai lumpenization, yang melahirkan lumpenintelligentsia.[22]
Kualitas intelektual dari kaum fundamentalis mengalami kemerosotan, aktivisme
politik juga mengalami penurunan. Kaum neo-fundamentalis lebih menekankan islamized space yang otonom, dan lebih
menekankan iktikad baik individu, tanpa perlu dengan susah payah melibatkan
diri dalam perjuangan politik. Di Indonesia, fenomena fundamentalisme baru ini
tampak dalam Front Pembela Islam (FPI) atau Lasykar Jihad dan gerakan-gerakan
radikal sejenis. Tidak jarang kaum fundamentalisme model ini juga memakai
cara-cara yang mengarah kepada kekerasan.
Tampaknya, kaum Islamis beranggapan bahwa masyarakat akan
terislamisasi hanya melalui tindakan sosial dan politik. Gerakan Islamis harus
terjun ke lapangan politik. Islamis menyatakan bahwa politik dimujlai dari
prinsip bahwa Islam adalah sistem pemikiran global. Islamis tidak dipimpin oleh
‘ulama (kecuali di Iran ),
tetapi oleh intelektual sekular yang menyatakan diri sebagai pemikir religius.
Islamis mengadopsi visi klasik Islam sebagai
sistem universal dan lengkap. Karena itu tidak harus dimodernisasi,
justru sebaliknya kehidupan modern harus diislamisasi. Gerakan Islamis melihat
dirinya sebagai gerakan sosio-politik, dibangun di atas dasar Islam yang
dipahami lebih sebagai ideologi politik. Karena itu mereka tidak memperhadapkan
diri dengan agama lain, tetapi lebih dengan ideologi-ideologi modern seperti
Marxisme, kapitalisme, dan liberalisme.
Radikalisme (Islam Militan)
Fundamentalisme Islam dapat mengekspresikan orietnasi radikal.
Radikal Islam memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan
memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama
dalam pengertian barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang sempurna yang
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Posisi ini berbeda dari kaum
sekularis yang menolak intervensi agama dalam kehidupan publik, trutama
politik. Manifestasi dari pandangan radikal adalah pada keharusan untuk mendirikan
negara Islam yang didasarkan pada syari’ah. Perbedaan antara kaum radikal dan
modernis adalah penegasan yang pertama terhadap keunikan Islam. Mereka dengan
tegas menolak setiap usaha untuk mengidentifikasi Islam dengan demokrasi,
kapitalisme, sosialisme atau ideologi barat lainnya.[23]
Hanya saja, berbeda dari Islamis atau neo-fundamentalis, radikalisme Islam
memperbolehkan penggunaan cara kekerasan atau bahkan pembunuhan untuk
mewujudkan agenda dan tujuan politiknya.
Radikalisme Islam merupakan fenomena modern dan kontemporer, dan
merupakan reaksi terhadap munculnya nasionalisme sekular. Jika revivalisme
Islam mendapatkan inspirasi dari ide-ide normatif Islam, dan reformisme
berusaha untuk menggabungkan unsur-unsur Islam dan Barat, ideologi radikalisme
menggambarkan respons langsung terhadap munculnya negara-bangsa yang merdeka.
Militansi dan atavisme radikalisme Islam menggambarkan sistesis kreatif
revivalisme dan reformisme.[24]
Fundamentalisme Islam di Indonesia: Mapping Awal
Dalam konteks Indonesia ,
pemetaan orientasi ideologi gerakan Islam membutuhkan observasi dan
identifikasi yang mendalam. Namun, jika kita mengikuti pendekatan Olivier Roy
atau Nazih Ayubi, maka fundamentalisme Islam di Indonesia memiliki
karakteristik dasar yang tidak jauh berbeda dari rekannya di kawasan Timur
Tengah misalnya, meskipun terdapat keunikan dan paradoks-paradoks.
Fundamentalisme Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua:
tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional diwakili oleh kelompok yang
menekankan pendekatan literal dan skriptural terhadap sumber Islam, seperti
Persatuan Islam (Persis), dan dalam konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia
(MUI) melalui fatwa-fatwanya.[25]
Sementara itu, fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dalam
politik diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam lain yang
bercita-cita mendirikan “negara Islam” dengan dasar syari’ah dan ideologi
Islam. Mereka yang memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara termasuk
dalam kelompok fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Mereka tidak
mempersoalkan watak negara-bangsa dengan demokrasi sekularnya. Namun, secara
substansial sesungguhnya terdapat paradoks antara penerimaan mereka terhadap sistem
politik sekular dengan perjuangan mereka menerapkan syariat Islam. Jadi,
ditemukan adanya sikap kompromistis atau bahkan pragmatis di kalangan kelompok
fundamentalis Islam ini, tidak lagi taktik politik.
Contoh fundamentalisme Islam lainnya adalah Hizbut-Tahrir Indonesia
(HTI) yang memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam
sebagai dasarnya. Kelompok ini tidak mengakui negara nasional. Perjuangan
mereka tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik
Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah
kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah
gerakan Jama’ah Islamiyyah yang dianggap bertujuan untuk mendirikan negara
regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang amir. Sangat mungkin,
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) merepresentasikan model gerakan ini. Baik HTI
maupun MMI memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak
rejim sekular, demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika).[26]
Meminjam Roy, mereka ini adalah kelompok political
Islam (Islam politik) yang belum pernah berhasil mengubah landscape politik Indonesia .
Sementara itu, ekspresi fundamentalisme Islam yang lain adalah
orientasi radikalisme Islam yang terwakili misalnya oleh gerakan Front Pembela
Islam (FPI), dan Lasykar Jihad. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada
penerapan syariah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Dengan
mengikuti penjelasan Roy
terdahulu, orientasi ini menggambarkan adanya pergeseran perjuangan kaum
fundamentalis dari pengislaman negara (formalisasi syariah pada level negara)
ke pengislaman (penerapan syariah pada level) masyarakat. Mereka berjuang tidak
untuk mewujudkan negara Islam (setidak-tidaknya untuk jangka pendek), tetapi
lebih pada penerapan syariah pada level keluarga dan masyarakat (Islamized space). Hanya saja, dalam
mewujudkan tujuan Islamisasi masyarakat, menjaga moralitas Islam, mereka
cenderung menggunakan cara atau pendekatan kekerasan.
BIBLIOGRAFI
Abaza, Mona. “The Discourse on Islamic
Fundamentalism in the Middle East and Southeast Asia :
A Critical Perspective,” Sojourn 6
(1991): 203-239.
Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan
Ehteshami (eds). Islamic Fundamentalism.
Boulder , Colorado :
Westview Press Inc., 1996.
Ahady, Anwar-ul-Haq. “The Decline of
Islamic Fundamentalism,” Journal of Asian
and African Studies XXVII, 3-4 (1992): 231.
Ayubi, Nazih. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London and New
York : Routledge, 1991.
Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago : The University of Chicago Press, 1988.
Choueiri, Youssef M. Islamic Fundamentalism. Boston ,
Massachusets: Twayne Publishers, 1990.
Dekmejian, R. Hrair. “Islamic Revival:
Catalysts, Categories, and Consequences.” Dalam The Politics of Islamic Revivalism: Diversity and Unity, ed.
Shireen T. Hunter. 3-19. Bloomington and Indianapolis : Indiana
University Press, 1988.
Eickelman, Dale F. dan James Piscatori. Muslim Politics. Princeton ,
New Jersey : Princeton University
Press, 1996.
Huff, Peter. “The Challenge of
Fundamentalism for Interreligious Dialogue,” Cross Current (Spring-Summer, 2002).
http://www.findarticles.com/cf_0/m2096 /2000_Spring-
Summer/63300895/print.jhtml
Ibrahim, Saad Eddin. “Anatomy of Egypt ’s
Militant Islamic Group: Methodological Note and Preliminary Findings.” International Journal of Middle
East Studies 12, 4 (1980): 423-453.
Jainuri, Achmad. Orientasi
Ideologi Gerakan Islam. Surabaya :
LPAM, 2004.
Rahman, Fazlur. “Roots of Islamic
Neo-Fundamentalism.” Dalam Change in the
Muslim World, ed. Philip H Stoddard, David C. Cuthell and Margaret V.
Sullivan (Syracuse : Syracuse University
Press, 1981.
Rahman, Fazlur. Islam. Second Edition. Chicago : The University of Chicago Press,1979.
Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Trans. Carol Volk. Cambridge ,
Massachusetts : Harvard University
Press, 1994.
Shepard, William. “Fundamentalism Christian
and Islamic,” Religion 17 (11987):
355-378.
Shepard, William. “What is ‘Islamic
Fundamentalism’?,” Studies in Religion
17, 1 (1988): 5-25.
Sihbudi, Riza, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta : LIPI Press, 2005.
Sivan, Emmanuel. Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics. Enlarged
Edition. New Haven and London :
Yale University Press, 1985.
Voll, John Obert. “Relations Among Islamist
Groups,” dalam Political Islam:
Revolution, Radicalism, or Reform?. Ed. John L. Esposito. Boulder , Colorado :
Lynne Rienner Publishers, Inc., 1997, 231-247.
Voll, John Obert. Islam Continuity and Change in the Modern World. Second Edition. Syracuse : Syracuse
University Press, 1994.
[1] Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London
and New York: Routledge, 1991), 67-68.
[2] Ibid.
[3] Ibid., 67-68, dan 73.
[4] Saad Eddin Ibrahim, “Anatomy of Egypt’s
Militant Islamic Group: Methodological Note and Preliminary Findings,” International Journal of Middle East Studies
12, 4 (1980): 427. Military Academy didirikan atas inisiatif Salih Siriyya,
seorang Palestina terpelajar dengan gelar Ph.D di bidang sains, anggota Ikhwan
al-Muslimin cabang Jordania, yaitu Hizb
al-Tahrir al-Islami. Ibrahim menemukan adanya kemiripan dalam basis
sosiologis antara Military Academy
(MA), Takfir wa al-Hijrah, Ikhwan
al-Muslimin dan Mujahidin (Iran )
menyangkut usia, latar belakang pendidikan, latar belakang desa dan kota kecil dan afiliasi
kelas. Selain itu, MA dan Mujahidin sama-sama menggunakan kekerasan untuk
menggulingkan rejim penguasa yang mereka anggap sekular, tidak Islami.
[5] Ayubi, Political
Islam: Religion and Politics in the Arab World, 67-68.
[6] Lihat William Shepard, “Fundamentalism
Christian and Islamic,” Religion 17
(1987): 355-378.
[8] Huff, “The Challenge of Fundamentalism for
Interreligious Dialogue,” Cross Current
(Spring-Summer, 2002). Diakses dari
http://www.findarticles.com/cf_0/m2096/2000_Spring-Summer/63300895/print.jhtml
[9] Fazlur Rahman, Islam, second edition (Chicago: The University of Chicago
Press,1979), 222-223; Juga lihat Fazlur Rahman, “Roots of Islamic
Neo-Fundamentalism,” in Change in the
Muslim World, ed. Philip H Stoddard, David C. Cuthell and Margaret V.
Sullivan (Syracuse: Syracuse University Press, 1981).
[10] Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism (Chicago: The University of Chicago Press,
1988).
[11] Olivier Roy, The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk (Cambridge,
Massachusetts: Harvard University Press, 1994), 12 dan 75.
[12] Roy ,
The Failure of Political Islam, 75.
[13] Anwar-ul-Haq Ahady, “The Decline of
Islamic Fundamentalism,” Journal of Asian
and African Studies XXVII, 3-4 (1992): 231. Juga Abdel Salam Sidahmed dan
Anoushiravan Ehteshami (eds), Islamic
Fundamentalism (Boulder, Colorado: Westview Press Inc., 1996), 3; mengutip
Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, Fundamentalism
Observed (The Fundamentalism Project) (Chicago: The University of Chicago
Press, 1990).
[14] Youssef M. Choueiri, Islamic Fundamentalism (Boston, Massachusetts: Twayne Publishers,
1990), 21-24.
[15] R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival:
Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam The Politics of Islamic Revivalism: Diversity and Unity, ed.
Shireen T. Hunter (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press,
1988), 12.
[16] John Obert Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World, Second Edition
(Syracuse: Syracuse University Press, 1994), 53; John Obert Voll, “Relations
Among Islamist Groups,” dalam Political
Islam: Revolution, Radicalism, or Reform?, ed. John L. Esposito (Boulder,
Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc., 1997): 231-247.
[17] Untuk kajian tentang perbandingan
karakteristik orientasi ideologi gerakan Islam (tradisionalis, modernis,
sekularis dan fundamentalis), lihat Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya : LPAM, 2004).
[18] Roy ,
The Failure of Political Islam, 75.
[19] Ayubi, Political
Islam: Religion and Politics in the Arab World, 96-97; Dale F. Eickelman
dan James Piscatori, Muslim Politics
(Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1996), 139.
[20] Roy ,
The Failure of Political Islam,
90-93.
[21] Ibid.
[22] Ibid., 83.
[23] William Shepard, “What is ‘Islamic
Fundamentalism’?,” Studies in Religion
17, 1 (1988): 11.
[24] Choueiri, Islamic Fundamentalism, 70.
[25] Lihat misalnya Kompas 30 Juli 2005, 1, 4-5; Tempo
(21 Agustus 2005), 156-157.
[26] Lihat Riza Sihbudi, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta : LIPI Press,
2005). Karya ini merupakan hasil riset tentang gerakan-gerakan fundamentalis
atau radikal Islam di Indonesia, seperti MMI, HTI, Jamaah Salafi Bandung, FPI
Surakarta dan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar