Kita berada di era Internet, era
di mana arus informasi menjadi semakin deras. Alih-alih meniadakan a-simetri
informasi, apakah Internet malah menenggelamkan kita dalam banjir informasi?
Sebagai produser dan konsumer dari informasi, apakah kita siap menghadapi
saluran informasi baru yang lahir setiap menit? Apakah hal yang radikal dari
medium baru ini? Apakah Internet membuka horizon baru bagi jurnalisme? Apa bahaya
jurnalisme online terhadap nilai-nilai jurnalistik tradisional seperti etika,
kejujuran dan objektifitas?
Internet, Media dan Masyarakat
Internet merupakan contoh dari suatu fenomena yang sangat baru namun telah
mempengaruhi dan membentuk keseharian dari individu-individu dalam masyarakat.
Lebih dari sekedar pengaruh, keberadaan Internet ini merupakan suatu fenomena
multi-wajah yang secara radikal mengubah keyakinan mengenai kekuatan
ber-ekspresi dan bagaimana kekuatan ini dipergunakan.
Pada pakar dalam bidang media
massa menyimpulkan bahwa karena sifat interaktif dan demokratiknya, Internet
menawarkan model komunikasi massa yang radikal. Dalam beberapa kasus, model ini
banyak sekali kemiripannya dengan arus informasi tradisional, dari produser
kepada konsumer. Inilah yang terjadi ketika orang melihat berita di Internet
melalui organisasi/institusi berita tradisional yang sudah dikenal. Namun dalam
kasus yang lain, arus informasi virtual dapat digambarkan sebagai suatu model
komunikasi yang sama sekali berbeda. Ketika pembaca berkomunikasi dengan
jurnalis di Internet, misalnya, hal ini menggambarkan suatu model kombinasi
antara komunikasi massa dan komunikasi inter-personal.
Dalam menganalisa kasus-kasus komunikasi mediatif yang
kompleks, teori-teori dibutuhkan untuk membantu akademisi untuk memprediksi
skala dan efek yang mungkin timbul dari suatu fenomena baru. Teori yang paling
sering dirujuk dalam kasus ini adalah teori massa kritis (critical mass theory) dan teori
difusi inovasi (diffusion of innovation theory) . Dengan menerapkan kedua teori
ini pada Internet, keduanya mendekati isu ini dari sudut yang berbeda, tetapi
membantu untuk memperlihatkan bahwa di Indonesia kita sedang mengalami
banjir informasi.
Penetrasi Internet di Indonesia hanya mencapai 2% di akhir
tahun 2002 (APJII di Bisnis, 2003). Teori massa kritis mengatakan bahwa
prosentase dari active-users suatu fenomena haruslah mencapai paling tidak 10%
dari populasi total agar fenomena tersebut bisa diadaptasi oleh masyarakat dan
memiliki efek yang penting dalam masyarakat tersebut (Singer, 1998). Dalam hal
ini, Indonesia belum
mencapai prosentase massa
kritis, namun sangat jelas bahwa kita harus bersiap-siap menghadapi tantangan
baru yang sudah di depan mata.
Berdasarkan teori difusi inovasi, fenomena perubahan akan
menyebar melalui sistem sosial yang dibentuk oleh: bermacam kegiatan sosial
(melalui debat dan diskusi antar warga masyarakat), artifak budaya (yang
bersentuhan dengan fenomena tersebut), dan media massa
(Rogers , 1995).
Bermacam-macam indikasi dari beragam fenomena (dalam hal ini adalah penggunaan
Internet) dapat ditemukan dalam sistem sosial di masyarakat manapun, namun
media memiliki peran yang paling penting dalam masa adaptasi. Teori yang lain,
yakni teori pembelajaran sosial, mengindikasikan bahwa manusia bisa belajar
mengenai sesuatu hanya dengan mengamati, dan ini sangat bisa terjadi melalui
media massa
(Bandura, 1977). Ini berarti media massa
memiliki peran yang luar biasa dalam mempromosikan hal-hal dan ide-ide baru.
Di Indonesia, kita melihat bahwa walaupun Internet dikenali
sebagai media yang relatif baru, namun sudah bisa disebut sebagai media versi
ke-4, disamping 3 media tradisional yang sudah hadir sebelumnya; media cetak,
radio, dan televisi. Internet
adalah teknologi baru yang bisa mengadakan perubahan radikal dalam area
informasi dan komunikasi. Jurnalisme adalah profesi yang sangat lekat
hubungannya dengan kedua area tersebut.
Fusi teknologi dan
intelektualitas: Solusi teknologis + jurnalisme tradisional = jurnalisme baru? "Jurnalisme online" adalah
sebuah buzzword yang baru saja muncul dalam konteks media, namun
sekonyong-konyong memiliki ambisi untuk menjadi model yang berbeda atau baru
bagi dunia jurnalisme. Meskipun begitu, ambisi ini tidaklah semudah kelihatannya.
Internet memiliki sifat yang
demokratis; siapa saja bisa mempraktekkan jurnalisme di Internet. Kebebasan
untuk mengakses and kebebasan untuk berekspresi sangat berpengaruh pada dunia
jurnalisme professional; batas antara jurnalisme dan non-jurnalisme menjadi
kabur. Banyak yang mengatakan bahwa jurnalisme professional akan mati karena di
ruang cyber semua orang memiliki kesempatan untuk ber-jurnalisme, mereka
menjadi reporter, penerbit, penyedia informasi dan penyebar informasi bagi diri
mereka sendiri. Sifat demokratis Internet berada pada pusat semua tendensi ini;
kemana hal ini akan membawa kita? Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa
informasi yang kita terima adalah informasi yang benar?
Ruang cyber adalah lingkungan
yang dinamis. Elemen baru
dapat selalu ditambahkan pada sebuah situs tanpa batas. Dalam terminology
professional, elemen-elemen baru ini bisa menjadi nilai tambah dan bahkan
menambah trafik pembaca pada situs tersebut. Kini kita dapat menemukan seperti
'Berita Hari Ini' di banyak portal yang sama sekali tidak peduli akan kriteria
jurnalisme. Kebanyakan 'berita' di portal-portal tersebut diproduksi oleh
content providers. Tidak semua portal di Indonesia seperti ini, banyak yang
dikelola oleh professional dan bisa menyediakan 'berita hari ini' yang aktual
dan berisi. Sebuah pertanyaan muncul di benak kita: Jika banyak sekali situs di
Internet menawarkan berita yang diterbitkan dan disebarkan oleh 'content
providers', apakah ini merupakan tanda bahwa jurnalisme profesional akan
hilang?
Akademisi yang mempelajari jurnalisme online mengemukakan
paling tidak ada 4 karakter teknologis yang mempengaruhi proses transformasi
dari jurnalisme tradisional menuju model baru dari Net-jurnalisme atau
jurnalisme online, yaitu: interaktifitas, hipertektualitas, sifat multimedia
dan personalisasi dari digital content (Trench, 1997).
Interaktifitas (interactivity)
adalah karakter yang unik dari suatu media baru. Interaktifitas bisa menuju
model komunikasi online 'banyak-ke-banyak' (many-to-many) (Deuze, 1997). Di
Indonesia, sudah wajar apabila 'berita hari ini' pada jurnalisme online
memancing pembaca untuk memberikan respon. Beberapa reportase bisa menerima 20 atau
lebih respon dan respon ini dibaca oleh paling tidak beratus-ratus pembaca
lain.
Walaupun interaktifas
memungkinkan terjadinya arus informasi 2 arah dan memberikan kekuasaan atau
kekuatan pada audiens/pembaca untuk bereaksi atau merespon, sangatlah penting
untuk mengetahui apakah pembaca menginginkan kekuasaan tersebut. Dengan kata lain, apakah pembaca
mempergunakan kekuasaan dari interaktifitas ini? Jika mereka mempergunakan
teknologi interaktif yang tersedia, muncul pertanyaan lain: apa yang memotivasi
mereka untuk merespon berita atau pesan? Apakah konsumer serta merta menjadi
produser karena mereka merespon? Banyak publikasi elektronik yang memberikan
kesempatan ini kepada pembacanya, tetapi tidak banyak studi tentang penggunaan
kesempatan ini.
Hipertektualitas
(hypertextuality) adalah inovasi teknologi Internet lainnya yang sering
disebut, yang memungkinkan konsumer untuk mengerti arti dari seluruh kejadian
dalam satu hari dalam konteks yang personal (personalized context).
Hipertektualitas termanifestasikan dalam bentuk link-link yang menghubungkan
pengumuman atau berita pendek ke dalam konteks yang lebih dalam, penuh dengan
ilustrasi, informasi latar dan pernyataan-pernyataan sebelumnya pada subjek
yang sama. Jika kesempatan ini digunakan, pembaca akan dapat mengerti lebih
baik mengenai apa yang terjadi (diberitakan) ketimbang melalui media tradisional.
Hiperteks juga menawarkan sejumlah tingkat kedalaman
editorial, dilengkapi oleh format multimedia - kombinasi teks dengan ilustrasi
atau klip radio/televisi. Hal
ini menawarkan kedalaman analisa dan konteks yang tidak mungkin didapat melalui
media tradisional. Para teoris dalam studi media beranggapan bahwa sifat
hipertekstualitas ini memiliki potensi untuk memadukan berbagai gaya dan aliran
jurnalis ke dalam satu gaya baru yang 'mutual'. Cukup mudah untuk membayangkan
masa depan dari 'jurnalisme total' di mana elemen multimedia seperti teks,
suara dan gambar dipadukan menjadi satu, dan berbagai gaya dari teks dapat
membentuk berita sederhana menjadi sesuatu yang mirip dengan jurnalisme
investigatif. Jurnalisme total dapat dibayangkan, tetapi lebih mudah untuk
divisualisasikan daripada diimplementasikan. Menulis seperti ini membutuhkan
potensi kognitif dari seorang jurnalis dan masih diragukan apakah hal seperti
ini akan secara otomatis digunakan atau menarik bagi pembaca (Balcytiene,
1999).
Personalisasi dari isi (content)
yang diterapkan oleh banyak situs, biasanya dimulai dengan kata '.... ku '
(atau 'My....'), memberikan peran yang lebih besar kepada minat pengguna untuk
membentuk arus berita dan informasi. Daripada membaca apa yang dipikirkan orang
lain sebagai berita, pembaca dapat membaca dan menyeleksi berita mereka sendiri
-sesuai dengan pertimbangan sendiri, menghemat waktu dan dapat mengatur koleksi
berita mereka sendiri. Dalam hal ini, kita harus mengingat bahwa pembaca tak
selalu tahu apa yang menarik bagi mereka sendiri. Kadang-kadang orang
menginginkan kejutan dan berita yang dipersonalisasikan dapat membatasi
kemungkinan terjadinya kejutan ini.
Menembus batas: Mengaplikasikan
nilai-nilai jurnalisme tradisional pada Net-jurnalisme Analisa mengenai
penggunaan media tradisional dapat membantu kita untuk menentukan peran
jurnalis yang memasuki dunia media baru (online). Analisa mengenai bagaimana
masyarakat 'menggunakan' koran menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya
menginginkan informasi tetapi juga memiliki beberapa ekspektasi yang dapat
ditemukan pada koran tersebut. Koran selalu menjadi sesuatu yang lekat pada
masyarakat; pembaca selalu menginginkan adanya hubungan yang alami antara
berbagai berita dan cerita dalam koran.
Sebaliknya, studi-studi
belakangan ini menunjukkan bahwa Internet sudah menjadi sumber berita yang
sifatnya swalayan (self-serving) - pengguna Internet online untuk memuaskan
selera mereka terhadap berbagai informasi yang spesifik seperti keuangan,
perjalanan, ramalan cuaca, horoskop, hiburan, dll. Online media merupakan alat
yang cocok untuk itu - cepat, interaktif dan luas kemampuan
pendokumentasiannya. Lagipula manusia selalu mencari sesuatu yang berbeda dan
baru. Portal-portal berita masa kini mengkoleksi berita mereka dari berbagai
agen berita. Namun, walaupun berita-berita ini merupakan reaksi aktual terhadap
apa yang sedang terjadi, sangat sedikit pembaca yang terpuaskan oleh berita
semacam ini. Banyak orang menginginkan sudut pandang yang profesional dengan tulisan-tulisan
yang dapat memberikan ulasan yang aktual dan analitis. Jurnalis profesional
dapat mengisi kekosongan ini.
Jurnalisme online menimbulkan
sedikit skeptisme hanya karena ia sangatlah baru dan juga karena
perbedaan-perbedaan yang timbul antara ia dan jurnalisme tradisional. Pada saat
yang bersamaan, jurnalisme online memiliki konsekuensi sosial dan budaya yang
harus disadari dan dipahami benar. Teknologi yang tersedia telah membuka
horizon yang baru dan luas bagi jurnalisme. Jurnalisme bisa ditemukan kembali
dan dikolaborasikan secara responsif dengan trend baru teknologi. Jurnalisme
dapat mengaktifkan pembaca dengan menangkap perhatian mereka dan menyediakan
cara-cara virtual (namun nyata) bagi mereka untuk ikut serta dalam arus
informasi dua-arah.
Jurnalisme profesional tidak akan
mati atau berubah menjadi cara penulisan yang setara dengan sekedar 'content
provision'. Analisa bagaimana informasi dipergunakan pada saat ini menunjukkan
bahwa kebanyakan orang memilih media berita, online ataupun offline, yang
menunjukkan kompetensi dan profesionalisme jurnalis-nya. Semua ini mewakili nilai-nilai jurnalisme tradisional yang bisa
diterapkan pada media baru.
Referensi
Bisnis. "Pertumbuhan
Pelanggan Internet Stagnan", e-artikel dari warnet2000@yahoogroups.com, 24
Januari 2003.
Deuze, M. "The Web Communicators. Issues in research
into online journalism and journalists",
www.home.pscw.uva.nl/deuze/pub11.html, 1997.
Trench, B. "Interactive newspapers: from access to
participation", paper presented to the Society of Newspaper Design
Scandinavia, Billund , Denmark , May 1997.
Singer, J. "Online journalists: foundations for
research into their changing roles", Journal of Computer-Mediated
Communication, Vol. 4, No. 1, 1998.
Bandura, A. "Social learning theory", Englewood
Cliffs, N. J.: Prentice Hall, 1977.
Rogers, E. "Diffusion of Innovations" (4th
Edition), N.Y.: The Free Press, 1995.
Balcytiene, A. "Cultural Representation in the New
Media', Lithuanian Quarterly Journal of Arts and Science, Vol. 45 No. 4, Winter
1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar