Selasa, 06 November 2012

Net-Jurnalisme: Sifat dan Konsekuensinya


Kita berada di era Internet, era di mana arus informasi menjadi semakin deras. Alih-alih meniadakan a-simetri informasi, apakah Internet malah menenggelamkan kita dalam banjir informasi? Sebagai produser dan konsumer dari informasi, apakah kita siap menghadapi saluran informasi baru yang lahir setiap menit? Apakah hal yang radikal dari medium baru ini? Apakah Internet membuka horizon baru bagi jurnalisme? Apa bahaya jurnalisme online terhadap nilai-nilai jurnalistik tradisional seperti etika, kejujuran dan objektifitas?



Internet, Media dan Masyarakat
Internet merupakan contoh dari suatu fenomena yang sangat baru namun telah mempengaruhi dan membentuk keseharian dari individu-individu dalam masyarakat. Lebih dari sekedar pengaruh, keberadaan Internet ini merupakan suatu fenomena multi-wajah yang secara radikal mengubah keyakinan mengenai kekuatan ber-ekspresi dan bagaimana kekuatan ini dipergunakan.

Pada pakar dalam bidang media massa menyimpulkan bahwa karena sifat interaktif dan demokratiknya, Internet menawarkan model komunikasi massa yang radikal. Dalam beberapa kasus, model ini banyak sekali kemiripannya dengan arus informasi tradisional, dari produser kepada konsumer. Inilah yang terjadi ketika orang melihat berita di Internet melalui organisasi/institusi berita tradisional yang sudah dikenal. Namun dalam kasus yang lain, arus informasi virtual dapat digambarkan sebagai suatu model komunikasi yang sama sekali berbeda. Ketika pembaca berkomunikasi dengan jurnalis di Internet, misalnya, hal ini menggambarkan suatu model kombinasi antara komunikasi massa dan komunikasi inter-personal.
Dalam menganalisa kasus-kasus komunikasi mediatif yang kompleks, teori-teori dibutuhkan untuk membantu akademisi untuk memprediksi skala dan efek yang mungkin timbul dari suatu fenomena baru. Teori yang paling sering dirujuk dalam kasus ini adalah teori massa kritis (critical mass theory) dan teori difusi inovasi (diffusion of innovation theory) . Dengan menerapkan kedua teori ini pada Internet, keduanya mendekati isu ini dari sudut yang berbeda, tetapi membantu untuk memperlihatkan bahwa di Indonesia kita sedang mengalami banjir informasi.
Penetrasi Internet di Indonesia hanya mencapai 2% di akhir tahun 2002 (APJII di Bisnis, 2003). Teori massa kritis mengatakan bahwa prosentase dari active-users suatu fenomena haruslah mencapai paling tidak 10% dari populasi total agar fenomena tersebut bisa diadaptasi oleh masyarakat dan memiliki efek yang penting dalam masyarakat tersebut (Singer, 1998). Dalam hal ini, Indonesia belum mencapai prosentase massa kritis, namun sangat jelas bahwa kita harus bersiap-siap menghadapi tantangan baru yang sudah di depan mata.
Berdasarkan teori difusi inovasi, fenomena perubahan akan menyebar melalui sistem sosial yang dibentuk oleh: bermacam kegiatan sosial (melalui debat dan diskusi antar warga masyarakat), artifak budaya (yang bersentuhan dengan fenomena tersebut), dan media massa (Rogers, 1995). Bermacam-macam indikasi dari beragam fenomena (dalam hal ini adalah penggunaan Internet) dapat ditemukan dalam sistem sosial di masyarakat manapun, namun media memiliki peran yang paling penting dalam masa adaptasi. Teori yang lain, yakni teori pembelajaran sosial, mengindikasikan bahwa manusia bisa belajar mengenai sesuatu hanya dengan mengamati, dan ini sangat bisa terjadi melalui media massa (Bandura, 1977). Ini berarti media massa memiliki peran yang luar biasa dalam mempromosikan hal-hal dan ide-ide baru.
Di Indonesia, kita melihat bahwa walaupun Internet dikenali sebagai media yang relatif baru, namun sudah bisa disebut sebagai media versi ke-4, disamping 3 media tradisional yang sudah hadir sebelumnya; media cetak, radio, dan televisi. Internet adalah teknologi baru yang bisa mengadakan perubahan radikal dalam area informasi dan komunikasi. Jurnalisme adalah profesi yang sangat lekat hubungannya dengan kedua area tersebut.


Fusi teknologi dan intelektualitas: Solusi teknologis + jurnalisme tradisional = jurnalisme baru? "Jurnalisme online" adalah sebuah buzzword yang baru saja muncul dalam konteks media, namun sekonyong-konyong memiliki ambisi untuk menjadi model yang berbeda atau baru bagi dunia jurnalisme. Meskipun begitu, ambisi ini tidaklah semudah kelihatannya.
Internet memiliki sifat yang demokratis; siapa saja bisa mempraktekkan jurnalisme di Internet. Kebebasan untuk mengakses and kebebasan untuk berekspresi sangat berpengaruh pada dunia jurnalisme professional; batas antara jurnalisme dan non-jurnalisme menjadi kabur. Banyak yang mengatakan bahwa jurnalisme professional akan mati karena di ruang cyber semua orang memiliki kesempatan untuk ber-jurnalisme, mereka menjadi reporter, penerbit, penyedia informasi dan penyebar informasi bagi diri mereka sendiri. Sifat demokratis Internet berada pada pusat semua tendensi ini; kemana hal ini akan membawa kita? Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa informasi yang kita terima adalah informasi yang benar?


Ruang cyber adalah lingkungan yang dinamis. Elemen baru dapat selalu ditambahkan pada sebuah situs tanpa batas. Dalam terminology professional, elemen-elemen baru ini bisa menjadi nilai tambah dan bahkan menambah trafik pembaca pada situs tersebut. Kini kita dapat menemukan seperti 'Berita Hari Ini' di banyak portal yang sama sekali tidak peduli akan kriteria jurnalisme. Kebanyakan 'berita' di portal-portal tersebut diproduksi oleh content providers. Tidak semua portal di Indonesia seperti ini, banyak yang dikelola oleh professional dan bisa menyediakan 'berita hari ini' yang aktual dan berisi. Sebuah pertanyaan muncul di benak kita: Jika banyak sekali situs di Internet menawarkan berita yang diterbitkan dan disebarkan oleh 'content providers', apakah ini merupakan tanda bahwa jurnalisme profesional akan hilang?
Akademisi yang mempelajari jurnalisme online mengemukakan paling tidak ada 4 karakter teknologis yang mempengaruhi proses transformasi dari jurnalisme tradisional menuju model baru dari Net-jurnalisme atau jurnalisme online, yaitu: interaktifitas, hipertektualitas, sifat multimedia dan personalisasi dari digital content (Trench, 1997).
Interaktifitas (interactivity) adalah karakter yang unik dari suatu media baru. Interaktifitas bisa menuju model komunikasi online 'banyak-ke-banyak' (many-to-many) (Deuze, 1997). Di Indonesia, sudah wajar apabila 'berita hari ini' pada jurnalisme online memancing pembaca untuk memberikan respon. Beberapa reportase bisa menerima 20 atau lebih respon dan respon ini dibaca oleh paling tidak beratus-ratus pembaca lain.
Walaupun interaktifas memungkinkan terjadinya arus informasi 2 arah dan memberikan kekuasaan atau kekuatan pada audiens/pembaca untuk bereaksi atau merespon, sangatlah penting untuk mengetahui apakah pembaca menginginkan kekuasaan tersebut. Dengan kata lain, apakah pembaca mempergunakan kekuasaan dari interaktifitas ini? Jika mereka mempergunakan teknologi interaktif yang tersedia, muncul pertanyaan lain: apa yang memotivasi mereka untuk merespon berita atau pesan? Apakah konsumer serta merta menjadi produser karena mereka merespon? Banyak publikasi elektronik yang memberikan kesempatan ini kepada pembacanya, tetapi tidak banyak studi tentang penggunaan kesempatan ini.
Hipertektualitas (hypertextuality) adalah inovasi teknologi Internet lainnya yang sering disebut, yang memungkinkan konsumer untuk mengerti arti dari seluruh kejadian dalam satu hari dalam konteks yang personal (personalized context). Hipertektualitas termanifestasikan dalam bentuk link-link yang menghubungkan pengumuman atau berita pendek ke dalam konteks yang lebih dalam, penuh dengan ilustrasi, informasi latar dan pernyataan-pernyataan sebelumnya pada subjek yang sama. Jika kesempatan ini digunakan, pembaca akan dapat mengerti lebih baik mengenai apa yang terjadi (diberitakan) ketimbang melalui media tradisional.
Hiperteks juga menawarkan sejumlah tingkat kedalaman editorial, dilengkapi oleh format multimedia - kombinasi teks dengan ilustrasi atau klip radio/televisi. Hal ini menawarkan kedalaman analisa dan konteks yang tidak mungkin didapat melalui media tradisional. Para teoris dalam studi media beranggapan bahwa sifat hipertekstualitas ini memiliki potensi untuk memadukan berbagai gaya dan aliran jurnalis ke dalam satu gaya baru yang 'mutual'. Cukup mudah untuk membayangkan masa depan dari 'jurnalisme total' di mana elemen multimedia seperti teks, suara dan gambar dipadukan menjadi satu, dan berbagai gaya dari teks dapat membentuk berita sederhana menjadi sesuatu yang mirip dengan jurnalisme investigatif. Jurnalisme total dapat dibayangkan, tetapi lebih mudah untuk divisualisasikan daripada diimplementasikan. Menulis seperti ini membutuhkan potensi kognitif dari seorang jurnalis dan masih diragukan apakah hal seperti ini akan secara otomatis digunakan atau menarik bagi pembaca (Balcytiene, 1999).
Personalisasi dari isi (content) yang diterapkan oleh banyak situs, biasanya dimulai dengan kata '.... ku ' (atau 'My....'), memberikan peran yang lebih besar kepada minat pengguna untuk membentuk arus berita dan informasi. Daripada membaca apa yang dipikirkan orang lain sebagai berita, pembaca dapat membaca dan menyeleksi berita mereka sendiri -sesuai dengan pertimbangan sendiri, menghemat waktu dan dapat mengatur koleksi berita mereka sendiri. Dalam hal ini, kita harus mengingat bahwa pembaca tak selalu tahu apa yang menarik bagi mereka sendiri. Kadang-kadang orang menginginkan kejutan dan berita yang dipersonalisasikan dapat membatasi kemungkinan terjadinya kejutan ini.
Menembus batas: Mengaplikasikan nilai-nilai jurnalisme tradisional pada Net-jurnalisme Analisa mengenai penggunaan media tradisional dapat membantu kita untuk menentukan peran jurnalis yang memasuki dunia media baru (online). Analisa mengenai bagaimana masyarakat 'menggunakan' koran menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya menginginkan informasi tetapi juga memiliki beberapa ekspektasi yang dapat ditemukan pada koran tersebut. Koran selalu menjadi sesuatu yang lekat pada masyarakat; pembaca selalu menginginkan adanya hubungan yang alami antara berbagai berita dan cerita dalam koran.
Sebaliknya, studi-studi belakangan ini menunjukkan bahwa Internet sudah menjadi sumber berita yang sifatnya swalayan (self-serving) - pengguna Internet online untuk memuaskan selera mereka terhadap berbagai informasi yang spesifik seperti keuangan, perjalanan, ramalan cuaca, horoskop, hiburan, dll. Online media merupakan alat yang cocok untuk itu - cepat, interaktif dan luas kemampuan pendokumentasiannya. Lagipula manusia selalu mencari sesuatu yang berbeda dan baru. Portal-portal berita masa kini mengkoleksi berita mereka dari berbagai agen berita. Namun, walaupun berita-berita ini merupakan reaksi aktual terhadap apa yang sedang terjadi, sangat sedikit pembaca yang terpuaskan oleh berita semacam ini. Banyak orang menginginkan sudut pandang yang profesional dengan tulisan-tulisan yang dapat memberikan ulasan yang aktual dan analitis. Jurnalis profesional dapat mengisi kekosongan ini.
Jurnalisme online menimbulkan sedikit skeptisme hanya karena ia sangatlah baru dan juga karena perbedaan-perbedaan yang timbul antara ia dan jurnalisme tradisional. Pada saat yang bersamaan, jurnalisme online memiliki konsekuensi sosial dan budaya yang harus disadari dan dipahami benar. Teknologi yang tersedia telah membuka horizon yang baru dan luas bagi jurnalisme. Jurnalisme bisa ditemukan kembali dan dikolaborasikan secara responsif dengan trend baru teknologi. Jurnalisme dapat mengaktifkan pembaca dengan menangkap perhatian mereka dan menyediakan cara-cara virtual (namun nyata) bagi mereka untuk ikut serta dalam arus informasi dua-arah.
Jurnalisme profesional tidak akan mati atau berubah menjadi cara penulisan yang setara dengan sekedar 'content provision'. Analisa bagaimana informasi dipergunakan pada saat ini menunjukkan bahwa kebanyakan orang memilih media berita, online ataupun offline, yang menunjukkan kompetensi dan profesionalisme jurnalis-nya. Semua ini mewakili nilai-nilai jurnalisme tradisional yang bisa diterapkan pada media baru.


Referensi
Bisnis. "Pertumbuhan Pelanggan Internet Stagnan", e-artikel dari warnet2000@yahoogroups.com, 24 Januari 2003.
Deuze, M. "The Web Communicators. Issues in research into online journalism and journalists", www.home.pscw.uva.nl/deuze/pub11.html, 1997.
Trench, B. "Interactive newspapers: from access to participation", paper presented to the Society of Newspaper Design Scandinavia, Billund, Denmark, May 1997.
Singer, J. "Online journalists: foundations for research into their changing roles", Journal of Computer-Mediated Communication, Vol. 4, No. 1, 1998.
Bandura, A. "Social learning theory", Englewood Cliffs, N. J.: Prentice Hall, 1977.
Rogers, E. "Diffusion of Innovations" (4th Edition), N.Y.: The Free Press, 1995.
Balcytiene, A. "Cultural Representation in the New Media', Lithuanian Quarterly Journal of Arts and Science, Vol. 45 No. 4, Winter 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar