Kabar buruk hampir selalu
membayangi setiap kabar baik yang dibawa oleh angin demokratisasi.
Demokratisasi gelombang ketiga yang menyapu hampir separuh permukaan bumi sejak
1970-an disertai oleh merebaknya ketidakpastian, eskalasi konflik, bahkan
ancaman perang sipil.
Kenyataan itu menggarisbawahi bahwa konflik sejatinya omnipresent, ada di mana saja. Ia melekat pada tiap aktivitas hidup bermasyarakat dan mustahil dibikin binasa. Rezim-rezim otoritarian atau totalitarian sejatinya tak pernah bisa membunuh konflik melainkan sekedar menekannya ke bawah permukaan tanpa meresolusikannya secara layak. Salah satu karakter sistem non-demokratis itu pun adalah kegagalan membangun pelembagaan (institusionalisasi) konflik.
Maka, ketika demokratisasi mulai bergulir, musim panen konflik seolah tiba-tiba saja datang. Indonesia bukan pengecualian. Sejak bergulir sekitar tujuh tahun lampau, demokratisasi memfasilitasi eskalasi ketegangan dan konflik politik. Ketidakpastian (atau kebelumpastian) semasa transisi menjadi semacam lahan subur bagi ketegangan dan konflik. Setiap ajang kompetisi, semacam pemilihan umum, pun menjadi salah satu arena aktualisasinya.
Begitulah, salah satu kecemasan yang menyeruak di balik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung adalah merebaknya konflik. Belakangan, media massa -- baik cetak maupun elektronik -- menyebarluaskan kecemasan ini dalam liputan mereka.
Masuk akalkah
memelihara kecemasan itu? Bagi
saya, jawabannya adalah: Tentu saja! Pilkada adalah arena politik lokal yang
berpotensi -- sekali lagi, berpotensi -- menjadi lahan subur bagi pertikaian
atau konflik politik.
Bahkan, ditimbang
dari aspek-aspek tertentu, Pilkada memiliki potensi lebih besar dalam menyulut
konflik politik ketimbang pemilihan langsung Presiden yang kita laksanakan
tahun lalu. Dengan skalanya yang bersifat nasional Pemilu Presiden melahirkan
ancaman konflik yang ketampakan, intensitas dan cakupannya lebih kecil
kerimbang Pilkada yang bersifat lokal.
Pemilu Presiden berlangsung di sebuah arena nasional yang amat besar dan luas. Ia melibatkan penduduk dalam wilayah geografis yang luas dan dengan identitas golongan yang amat beragam. Konsekuensinya, konflik dalam Pemilu Presiden tidak terlampau tampak di hadapan masyarakat.
Ketegangan dan konflik politik tak hadir secara langsung di hadapan masyarakat lokal di Sumbawa, Kalimantan Timur, Papua -- sekadar menyebut beberapa contoh. Konflik hanya terasa langsung oleh masyarakat di Jakarta dan kota-kota besar tertentu yang menjadi pusat pertarungan politik utama. Masyarakat di tempat-tempat lain, apalagi di pelosok, hanya merasakan konflik sebagai realitas media, bukan realitas senyatanya. Ketampakan konflik pun rendah.
Sementara itu, Pilkada menghidangkan konflik langsung ke depan masyarakat dengan ketampakan yang tinggi. Mengingat relatif sempit dan terbatasnya arena politik
Pilkada, ketegangan dan konflik politik pun hadir sebagai realitas yang nyata, bukan realitas maya atau realitas media. Bagi masyarakat, ketegangan dan konflik politik bukanlah sesuatu yang abstrak, nun jauh di sana. Ia nyata, ada di halaman bahkan di dalam rumah mereka sendiri.
Konflik politik Pilkada pun potensial hadir dalam intensitas yang tinggi. Sebab, masyarakat berpotensi memiliki keterikatan emosional dengan isu-isu dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu. Konflik Pilkada potensial menjadi konflik mereka sendiri, bukan milik orang atau pihak lain.
Berbeda dengan itu, konflik di arena politik nasional biasanya berpusar pada isu-isu yang terlalu besar buat masyarakat lokal. Konflik pun tak potensial mengikat masyarakat secara emosional. Konflik tak berdaya magnit cukup kuat untuk menarik masyarakat terlibat di dalamnya.
Ketemapakan dan intensitas konflik pilkada yang cenderung tinggi berkonsekuensi pada tingginya cakupan atau skala konflik. Jumlah partisipan konflik Pilkada potensial lebih besar dan massif karena konflik hadir di tengah masyarakat dan bahkan cenderung menjadi milik mereka. Dilihat dari skalanya, konflik Pilkada pun potensial lebih besar ketimbang konflik Pemilu Presiden.
Menyadari fakta itu, salah satu bagian penting dari penyelenggaraan Pilkada adalah menyiapkan pola manajemen konflik. Sejatinya manajemen konflik adalah tugas dan tanggung jawab pemilik otoritas - yakni para pejabat publik - di bidang politik, keamanan dan hukum. Sekalipun demikian, perumusan pola manajemen konflik selayaknya melibatkan berbagai pihak: para pejabat publik, para pelaku sector bisnis, dan kalangan civil society.
Pemilu Presiden berlangsung di sebuah arena nasional yang amat besar dan luas. Ia melibatkan penduduk dalam wilayah geografis yang luas dan dengan identitas golongan yang amat beragam. Konsekuensinya, konflik dalam Pemilu Presiden tidak terlampau tampak di hadapan masyarakat.
Ketegangan dan konflik politik tak hadir secara langsung di hadapan masyarakat lokal di Sumbawa, Kalimantan Timur, Papua -- sekadar menyebut beberapa contoh. Konflik hanya terasa langsung oleh masyarakat di Jakarta dan kota-kota besar tertentu yang menjadi pusat pertarungan politik utama. Masyarakat di tempat-tempat lain, apalagi di pelosok, hanya merasakan konflik sebagai realitas media, bukan realitas senyatanya. Ketampakan konflik pun rendah.
Sementara itu, Pilkada menghidangkan konflik langsung ke depan masyarakat dengan ketampakan yang tinggi. Mengingat relatif sempit dan terbatasnya arena politik
Pilkada, ketegangan dan konflik politik pun hadir sebagai realitas yang nyata, bukan realitas maya atau realitas media. Bagi masyarakat, ketegangan dan konflik politik bukanlah sesuatu yang abstrak, nun jauh di sana. Ia nyata, ada di halaman bahkan di dalam rumah mereka sendiri.
Konflik politik Pilkada pun potensial hadir dalam intensitas yang tinggi. Sebab, masyarakat berpotensi memiliki keterikatan emosional dengan isu-isu dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu. Konflik Pilkada potensial menjadi konflik mereka sendiri, bukan milik orang atau pihak lain.
Berbeda dengan itu, konflik di arena politik nasional biasanya berpusar pada isu-isu yang terlalu besar buat masyarakat lokal. Konflik pun tak potensial mengikat masyarakat secara emosional. Konflik tak berdaya magnit cukup kuat untuk menarik masyarakat terlibat di dalamnya.
Ketemapakan dan intensitas konflik pilkada yang cenderung tinggi berkonsekuensi pada tingginya cakupan atau skala konflik. Jumlah partisipan konflik Pilkada potensial lebih besar dan massif karena konflik hadir di tengah masyarakat dan bahkan cenderung menjadi milik mereka. Dilihat dari skalanya, konflik Pilkada pun potensial lebih besar ketimbang konflik Pemilu Presiden.
Menyadari fakta itu, salah satu bagian penting dari penyelenggaraan Pilkada adalah menyiapkan pola manajemen konflik. Sejatinya manajemen konflik adalah tugas dan tanggung jawab pemilik otoritas - yakni para pejabat publik - di bidang politik, keamanan dan hukum. Sekalipun demikian, perumusan pola manajemen konflik selayaknya melibatkan berbagai pihak: para pejabat publik, para pelaku sector bisnis, dan kalangan civil society.
Berbagai kalangan masyarakat di daerah selayaknya saat ini mulai secara
proaktif menyiapkan rumusan pola manajemen konflik itu. Sebelum sampai ke sana,
kesadaran akan perlunya pencegahan konflik selayaknya ditransformasikan menjadi
gerakan antikekerasan.
Selayaknya, kita tak menghabiskan waktu, energi dan konsentrasi untuk terlibat
dan larut dalam konflik politik di seputar Pilkada. Selayaknya, disisakan
waktu, energi dan konsentrasi cukup besar untuk mencegah agar jangan sampai
Pilkada menjadi ajang dari eskalasi konflik. Yang kita perlukan bukan cuma
pemilu yang bebas dan kompetitif melainkan juga damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar