Auguste Comte
(1798-1857) sebagai peletak dasar dan bapak bagi ilmu sosiologi politik
menekankan pendekatan empiris melalui penelitian atau riset terhadap studi
masyarakat dan politik daripada hanya pengamatan inder
a semata. Peletakan dasar ilmu sosiologi politik secara
empiris tersebut menganalisis elemen struktural dan juga fungsional yang
bergerak secara dinamis di dalam masyarakat.
Pada akhirnya analisis pada struktur dan fungsi akan berdampak pada
sistem pemerintahan yang tentunya terdiri dari lembaga-lembaga (institusi).
- Bottomore (1992),
yang mengatakan bahwa obyek utama sosiologi politik adalah dan seharusnya,
fenomena kekuasaan di tingkat masyarakat yang inklusif (baik suku, negara,
kerajaan, ataupun jenis lainnya); mempelajari hubungan di antara
masyarakat-masyarakat tersebut, dan gerakan sosial, organisasi, danlembaga
yang secara langsung terlibat dalam penentuan kekuasaan tersebut,
- Duverger (1996),
mengatakan bahwa sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan,
pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua masyarakat manusia, yang
bukan saja di dalam masyarakat nasional, tetapi masyarakat loka dan
masyarakat internasional,
- Sherman dan Kolker
(1987), mengatakan bahwa sosiologi politik sebagai studi yang mempelajari
mengenai partisipasi dalam pembuatan keputusan mengenai suatu kehidupan
yang luas dan yang sempit. Kehidupan luas dan sempit yang dimaksud di sini
merupakan kehidupan masyarakat daerah, nasional, maupun internasional,
- Faulks (1999),mengemukakan bahwa sosiologi politik sebagai studi yang mempelajari hubungan kekuasaan yang saling tergantung antara negara dan masyarakat sipil. Di mana negara dan masyarakat sipil terdapat batas-batas kekuasaan yang saling berhubungan dalam proses perubahan sosial.
Bila mengacu pada
definisi-definisi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa mempelajari
sosiologi tentu akan selalu berbicara mengenai politik, karena sejatinya kedua
disiplin ilmu tersebut memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Begitu pula bila kita mempelajari sejarah
terbangunnya suatu negara bangsa atau nation
state, tentu kita akan perlu
menganalisanya dari sudut pandang masyarakat, negara, dan kekuasaan. Nation
State atau negara bangsa merupakan suatu unit politik yang utama dalam dunia
moderen. Negara bangsa yang telah berdiri sejak ratusan tahun lamanya tentu
memiliki akar dukungan masyarakat yang kuat, begitupula rasa nasionalisme yang
tidak lekang dimakan waktu memerlukan proses sosial menuju integrasi sosial dan
nasional yang perlu penguatan dari waktu ke waktu.
Nasionalisme dan Negara Bangsa
Di abad ke-16 dan
ke-18, Tumbuhnya negara bangsa pertama kali merupakan perkembangan dari
pemerintahan sentralistis yang secara moderen dikelola oleh bentuk pemerintahan
monarki absolut di kurun abad ke16 dan abad ke-18. Pada saat itu negara bangsa pertama banyak
terbentuk berupa kerajaan-kerajaan yang selanjutnya memberikan fondasi kuat
bagi terbentuknya masyarakat berciri khas budaya yang sangat terpelihara di
tiap lapisan masyarakatnya.
Kemudian
pembentukan negara bangsa kedua muncul setelah terdapat keleluasaan dari lapisan masyarakat yang menempati wilayah
tertentu untuk menentukan pilihan politik mereka secara mandiri. Negara bangsa kedua tersebut, melahirkan ide
mengenai nasionalisme berdasarkan kedaulatan rakyat dan penentangan terhadap
penguasa yang sangat sentralistis dan berkelas-kelas.
Pemahaman
masyarakat terhadap negara bangsa yang spesifik akan menimbulkan rasa
nasionalime kuat. Untuk itu, Hans Kohn,
mengatakan bahwa ”nasionalisme tidak dapat dipahami tanpa didahului oleh adanya
ide kedaulatan rakyat dan revisi seksama atas posisi penguasa dan yang
dikuasai, posisi kelas dan kasta.”
Namun demikian
sebaliknya, rasa nasionalisme yang kuat dapat muncul lebih dahulu sebelum
terbentukinya negara bangsa. Karena
hakekat dari nasionalisme adalah gerakan budaya, culture movement, sebagai koreksi dari bentuk negara bangsa pertama
yang otoriter dan tidak mengakui kedaulatan rakyatnya. Divine
Rights of King atau hak Tuhan seorang penguasa akan digantikan oleh
dorongan kuat dari masyarakat dalam bentuk nasionalisme membentuk negara bangsa
yang mengakui keberadaan hak-hak masyarakat (kedaulatan) tanpa harus berserah
diri pada keinginan penguasa.
Di masa revolusi
kemerdekaannya, Amerika Serikat merupakan negara bangsa pertama yang lahir
berdasarkan rasa nasionalisme kuat menentang penguasa (Pemerintah Kerajaan
InggrisJ). Baru kemudian, setelahnya Perancis yang lahir dari revolusi perancis
menentang pemerintahan kerajaan absolut Louis XVI. Perjuangan kelas-kelas di dalam masyarakat
Amerika Serikat dan Perancis disatupadukan dalam nasionalisme mempertahankan
hak-hak kedaulatan rakyat yang ingin melepaskan diri dari pemerintah
kerajaan. Puncaknya adalah kemerdekaan
masyarakat sipil di atas penguasa. Latar
belakang sejarah seperti ini selanjutnya akan menentukan corak hubungan
pemerintahan dan masyarakat di negara bangsa baru tersebut.
Setelah negara
bangsa baru terbentuk, kemudian sistem politik yang tadinya otoriter dan sangat
sentralistis kemudian mengalami transisi ke bentuk yang lebih demokratis dimana
ide-ide mengenai ”kewarganegaraan” dan ”kedaulatan rakyat” mendapatkan tempat
terhormat. Transisi sistem politik
menempatkan kelas-kelas baru dalam masyarakat.
Kaum borjuis dan kaum proletar masih ada, akan tetapi terdapat kelas
ketiga yang tidak kalah kuatnya, lebih kuat dari sekedar pertentangan kekuatan
ekonomi semata. Kaum ketiga, lahir
diantara kedua kaum yang lebih dahulu ada.
Namun perlu disadari bahwa pembentukan kaum atau kelas ketiga tidak
selalu ada dalam tahapan pembentukan bangsa negara, karena memerlukan proses
pembentukan yang berbeda.
Di dalam
masyarakat konservatif, kaum borjuis akan sangat memegang peranan dalam
membentuk ide nasionalisme dalam suatu negara bangsa baru. Teori Marxis menekankan hubungan antara kaum
borjuis sebagai pencetus kelahiran bentuk negara baru berdasarkan bentuk
pilihan ekonomi yang baru. Sedangkan
para penteori liberalis mengatakan bahwa kaum borjuis, sebagai pemilik modal
yang juga biasanya sangat terpelajar merupakan kaum yang berjuang keras untuk
melahirkan bentuk negara baru berdasarkan prinsip demokrasi. Teori paling mutakhir menfokuskan perhatian
pada pengaruh intelektual dan kebudayaan, atau proses industrialisasi dan
modernisasi pencetus nasionalisme.
Menurut
FX Adji Samekto (2007), sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum dan dosen Fakultas
Hukum Undip, nasionalisme merupakan persepsi identitas seseorang terhadap
kolektivitas politik yang terorganisasi secara teritorial. Ada berbagai macam pendekatan
untuk memahami nasionalisme. Yang paling sederhana nasionalisme merupakan
kesadaran bangsa, emosi kuat yang telah mendominasi tindakan kebanyakan rakyat
di berbagai negara sejak Revolusi Prancis 1789.
Samekto mengatakan bahwa pendekatan subyektif pada
nasionalisme digambarkan sebagai kebutuhan psikologis, cara seseorang merasakan
dan berpikir. Sedangkan pendekatan
obyektif, ditunjukan oleh warga negara di Kanada, AS, Swiss, dan juga Singapura
dimana komposisi masyarakat heterogent tidak serta merta menipiskan rasa
patriotisme diantara mereka, karena negara mampu memberikan rasa aman dan
memberikan kepastian akan pencapaian tujuan dalam hidup warganya.
Ide Negara Bangsa dan Integrasi Sosial
Ide mengenai
negara bangsa diawali oleh bangsa Eropa pada abad ke-16. Charles Tilly (1975) dalam bukunya, The Formation of National States in Western
Europe, mensyaratkan kondisi-kondisi pembentukan negara bangsa, ciri-ciri
dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Prasyarat tersebut antara lain adalah:
- adanya suatu negara
nasional,
- adanya suatu
wilayah dengan batas jelas,
- adanya pemerintahan
pusat,
- adanya proses
pembuatan kebijakan nasional,
- adanya kekuatan
pemaksa atau coercive power untuk
memonopoli sarana dan prasarana fisik.
Negara bangsa
tersebut dapat memaklumatkan keberadaanya melalui beberapa cara:
- Perang,
- Penyerapan
unit-unit politik lebih kecil, homogen, dengan standar ekonomi serupa.
Tilly mengatakan
bahwa pertumbuhan negara bangsa terutama dipengaruhi oleh tumbuhnya kelas-kelas pedagang di
perkotaan yang didorong oleh semangat kapitalisme. Menurut Tilly, kapitalisme
merupakan faktor politik penting dalam pembetukan negara bangsa. Dalam negara
bangsa seperti ini, kekuatan ekonomi akan saling berkompetisi sehingga ekonomi
bergerak secara dinamis.
Negara bangsa
yang lahir atas dorongan semangat kapitalisme akan menentukan bagaimana proses
integrasi sosial masyarakat di dalamnya.
Kelompok-kelompok masyarakat akan bekerja sama, mulai dari individu,
keluarga, sampai masyarakat lebih luas.
Ketika konsensus atau permusyawaratan telah tercapai di antara unit-unit
penyusun negara bangsa, maka terdapat nilai-nilai yang disepakati bersama
pula. Nilai-nilai tersebut sangat
penting sebagai pengikat demi menghindarkan prasangka diantara unit-unit
tersebut.
Semangat
nasionalisme di bumi Indonesia berkobar ketika sekelompok generasi muda
Indonesia bersumpah untuk membela satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa,
yaitu nusa (tanah air) Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sumpah pemuda dapat dianggap sebagai dorongan
lahirnya integrasi sosial yang berujung pada penguatan integrasi secara
nasional.
Perlu kita sadari
bersama, bahwa negara bangsa yang dibangun atas dasar kesepatakan atas
nilai-nilai yang sangat lemah, akan rawan terhadap konflik pemecah belah
kesatuan. Sumpah pemuda memang telah
menyepakati hal-hal prinsip nasionalisme Indonesia, namun, sejarah telah
membuktikan bahwa semangat nasionalisme yang dibangun, kemudian diteruskan oleh
Soekarno dan Hatta pada masa kemerdekaan negara republik Indonesia di tahun
1945, belum mampu menimbulkan semangat nasionalisme yang kuat di antara warga
negara Indonesia. Adanya keinginan dari
sekelompok masyarakat di wilayah tertentu di Indonesia, seperti kemunculan negara
Indonesia Timur menyadarkan kita bahwa benih-benih disintegrasi nasional masih
dapat muncul ke permukaan bila nilai-nilai nasionalisme tidak mengalami
penguatan berarti.
Analisis Integrasi Nasional Negara Kesatuan Republik
Indonesia Kini
Maraknya
kemunculan kembali sentimen ketidakpuasan yang dimotori oleh kelompok
separatisme di masa pemerintahan SBY-Kalla mengindikasikan bahwa pemerintah
belum cukup mampu meminimalisir rasa ketidakadilan, setidaknya bagi kelompok
berbasis etno-regional seperti Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi
Papua Merdeka (OPM). Seperti berbanding
lurus, hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2007 menunjukan indeks
kepercayaan masyarakat terhadap duet kepemimpinan reformis tersebut turut
menghunjam drastis dalam 2 tahun terakhir, dari 67 persen bulan Desember 2006
ke 49,7 persen. Boleh jadi faktor kegagalan SBY-Kalla dalam memenuhi janji reformasi di bidang
politik,, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat ternyata dijawab
dengan pilihan kebijakan ‘kurang’ berpihak pada rakyat. Terbukti janji pemerataan pembangunan kawasan
barat dan timur belum bisa menghambat niatan penduduk di timur Indonesia untuk
mencari penghidupan di Pulau Jawa.
Belum lagi kebijakan mempersilahkan investor asing mengeksploitasi
besar-besaran sumber daya mineral di bumi Papua ternyata tidak menyisakan
kemakmuran, kecuali 1% total pendapatan tahunan bagi penduduk asli suku Komoro
papua, dan masih banyak lagi kebijakan yang pada akhirnya mengorek luka lama
kelompok-kelompok minoritas tersebut. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan
pencerahan pemikiran bahwa selama ini kita terlampau ‘takut’ untuk membuka diri
terhadap bangunan negara lain semisal federasi sebagai penguat keterikatan
rakyat Indonesia dalam satu bangsa yang besar, tanpa harus melalui perpecahan
terlebih dahulu akibat separatisme, akan tetapi mengedepankan konsensus sebagai
jalan tengah menuju perbaikan bersama.
Salah
satu isu yang kerap dimunculkan oleh gerakan separatisme adalah keinginan
kelompok tersebut untuk merdeka, melepaskan diri dari NKRI. Terhitung, insiden 29 Juni 2007 mencatat
penyusupan para penari Cakalele membentangkan
bendera RMS berukuran raksasa, telah mencoreng kewibawaan simbol negara yaitu
sosok Presiden SBY yang berdiri tepat di depannya. Seolah mengekor insiden di Provinsi Maluku, Kongres
Masyarakat Adat Papua secara gegap gempita menyerukan Papua merdeka. Gelombang reaksi pro dan kontra berdatangan
dari dalam negeri maupun luar negeri.
Bahkan Congressman Amerika
Serikat, Eni Faleomavaega, pada awalnya datang secara khusus memenuhi undangan datang ke Papua demi
mendukung niatan merdeka tersebut, sebelum akhirnya diberhentikan langkahnya
secara diplomatis oleh pemerintah Indonesia di istana negara saja. Terlepas
dari kemampuan diplomatis wakil presiden membujuk sang Congressman untuk
meyakinkan bahwa selama ini Pemerintah AS sudah salah menilai Indonesia pada
kasus Papua, namun kenyataan di bumi Papua bukanlah isapan jempol. Nun jauh di timur Indonesia, ada sekelompok
minoritas meneriakkan merdeka, menisbatkan diri mereka bukan bagian dari NKRI.
Bila dilihat dari kekerapan munculnya keinginan kuat beberapa daerah
memisahkan diri (disintegrasi) dari bumi NKRI, maka dapat pula disimpulkan
bahwa nasionalisme dalam pembentukan negara bangsa Indonesia masih lemah. Menurut Achmad
Fedyani Saifuddin (2006), Pengajar
Departemen Antropologi UI, Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia, bahwa ekhawatiran akan merosotnya
nasionalisme dan terjadinya disintegrasi nasional merebak di mana-mana
akhir-akhir ini, dapat disebabkan oleh lemahnya kondisi-kondisi daera yang di
bangun oleh bangsa (nation), kebangsaan (nasionalitas), dan rasa kebangsaan
(nasionalisme).
Tidak
dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara majemuk terbesar di dunia,
negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan negara berpenduduk terbanyak
keempat di dunia. Demikian besar bangsa
Indonesia, sehingga kondisi dasar yaitu suku bangsa memerlukan perhatian lebih
dalam membicarakan nasionalisme. Menurut
Saifuddin, konsep-konsep seperti bangsa, negara, dan nasionalisme harus
diletakkan secara posteori. Artinya, kita perlu memahami bahwa keunikan bangsa
Indonesia terletak dari keragaman suku bangsanya, baru kita dapat menganalisis
sebab melemahnya semangat nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia.
Suku bangsa menurut konsep sosiologi
Weber merupakan tahap awal pembentukan masyarakat tradisional dimana kebudayaan
yang dibentuk oleh kelompok etnik akan mengawali pembentukan masyarakat yang
lebih luas.
Menurut ahli antropologi, IM Lewis
(1985), suku bangsa meruapan landasan bagi terbentuknya bangsa, “istilah bangsa
(nationa) adalah satuan kebudayaan, tidak perlu membedakan antara suku bangsa
dan bangsa karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural
atau fungsinya, segmen suku bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih
besar, meski berbeda ukuran namun ciri-cirinya sama.” Jelas di sini bahwa perdebatan prinsip
homogenitas dalam pembentukkan bangsa negara akan muncul karena bertentangan
dengan prinsip kemajemukan. Namun, perlu
disadari bahwa suatu negara bangsa memiliki ciri khas masing-masing, dan salah
satunya negara yang dibangun atas kompleksitas masyarakatnya perlu dianalisis
sesuai dengan kondisi sosial yang cocok dalam pembentukan negara bangsanya.
Kemunculan konsep kebangsaan (nationalitas)
dan rasa kebangsaan (nasionalisme) akan saling berkaitan. Meminjan istilah Benedict Anderson (1991) di
dalam bukunya, Imagined Communities, nasionalisme
bukan sekedar memenuhi prinsip politik semata, bahkan Anderson mengatakan bahwa
kebudayaan berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan
kebangsaan. Nasionalisme sebagai
ideologi negara bangsa moderen menjunjung tinggi kesetiaan, komitmen, dan rasa
memiliki negara, ditunjukan melalui pengikatan diri terhadap prinsip-prinsip
politik, sentimen, emosi, dan perasaan.
Bila berbicara sentimen, emosi, dan
perasaan, maka sebuah negara bangsa moderen yang terbentuk akan melampaui ruang
dan waktu, tidak terpaku di mana seorang manusia berada, karena manusia
tersebut akan senantiasa melekatkan dirinya dengan identitas negara
bangsanya. Imagined communities-pun akan
terbentuk dengan sendirinya, tanpa batas seperti yang dikemukakan oleh
Anderson, “orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga suatu
bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan
mendengar. Namun, dalam pikiran mereka
hidup dalam suatu imajinasi tentang kesatuan bersama.” Masyarakat imajiner seperti ini akan rela
mengorbankan jiwa dan raganya demi masyarakat imajiner bernama negara bangsa
tersebut.
Kenyataan di tanah air tercinta, negara
bangsa kita telah mengalami penurunan pemahaman. Dimensi imajiner dari negara bangsa Indonesia
telah pupus digantikan oleh semangat global identitas internasional bernama
kapitalisme. Masyarakat Indonesia lebih
senang mengidentikan diri dengan identitas popular seperti rumah-rumah bergaya
eropa, setelan “gaul” terkini, gaya
hidup konsumtif dengan dominasi warung-warung cepat saji semacam mc Donald dan
starbucks. Malu mengidentikkan diri
dengan budaya khas Indonesia seperti rumah panggung, gudeg, sarung batik, dan
lainnya yang konon merupakan identitas suku bangsa Indonesia.
Walaupun Anderson juga mengatakan bahwa
kelemahan pembentukan negara bangsa Indonesia, terletak pada batas-batas
imajiner bentukan bangsa penjajah yang sengaja memecah belah persatuan
Indonesia, perekat bangsa berupa keragaman budaya bangsa seolah menjadi
pembenar pecah belahnya kesatuan negara bangsa Indonesia. Kita harus berupaya kembali menyebarkan ide
nasionalisme dengan berpijak kepada keragaman etnik.
Dari sisi politik, pemerintah perlu
disadarkan bahwa mereke telah berandil besar dalam memecah belah negara bangsa
dengan prinsip otonomi daerah tanpa terlebih dahulu menekankan prinsip negara
bangsa yang kuat. Alhasil, kita semua
harus meredefinisikan perbedaan menjadi kesepakatan. Bila perlu sumpah pemuda kedua dilaksanakan
demi memenuhi maksud tersebut.
Pemerintah harus mengupayakan
kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, korupsi harus diberantas
sampai ke akarnya, demokrasi dengan berlandaskan hukum harus ditegakkan di bumi
Indonesia, sehingga perbedaan yang terjadi dapat terjembatani dengan baik. Konflik politik harus betul-betul
diselesaikan sesuai hukum yang berlaku, jangan berujung pada kekerasan di
jalan-jalan, memberangus hak politik rakyat, dan mematikan penghasilan “tukang
gorang dan pedagang kaki lima.”
Jadikan
kekuatan keberagaman suku bangsa kita sebagai benih nasionalisme Indonesia
moderen, yang ditentukan oleh semua warga negara, bukan segelintir elit saja. Bendung pengaruh negatif arus informasi dari
luar (eksternal) yang merusak budaya bangsa.
Jangan sampai generasi muda Indonesia mengakui kebudayaan yang bukan
miliknya. Bila taraf nasionalisme semu
seperti ini sudah memonopoli kehidupan negara bangsa, niscaya negara bangsa
Indonesia akan hancur di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar