Abstrak
Keberhasilan
New Public Management (NPM) di negara-negara maju, mengakibatkan terjadinya
promosi secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM di negara-negara berkembang.
Doktrin privatisasi, mengalihkan
bentuk pelayanan yang selama ini ditangani oleh pemerintah dipindahkan ke
tangan agen-agen swasta. Doktrin debirokratisasi,
diyakini memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja
dibandingkan dengan doktrin administrasi publik klasik. Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak
akhir tahun 1990-an. Implementasi yang paling nyata adalah
pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
A. Pendahuluan
Di tengah-tengah semakin berat dan kompleks tantangan
bangsa Indonesia
menghadapi era global saat ini, mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran
yang inovatif dan produktif pada lembaga pemerintah baik pusat dan daerah
merupakan langkah dan sikap yang tepat serta patut mendapatkan dukungan dari
semua komponen masyarakat. Dengan kata lain “Reformasi Administrasi” di Indonesia
harus sesegera mungkin menjadi pilihan para penyelenggara pemerintahan baik
pusat maupun daerah guna mewujudkan good governance, pemerintahan yang bersih,
sehat, dan berwibawa.
Pemerintahan Daerah Provinsi,
dalam hal ini gubernur sebagai kepala pemerintah daerah sangatlah dekat dengan
politik dan administrasi publik. Terlebih lagi pada sistem pemilihan kepala
daerah secara langsung seperti sekarang, kedekatan kepala daerah pada aspek
politik semakin kuat, selain posisinya sebagai penanggung jawab administrasi
dan manajemen pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemikiran teoretis dan
praktis sebagai gubernur dalam menerapkan pendekatan-pendekatan baru dalam
administrasi publik.
Gubernur dituntut dapat
memadukan secara serasi demokrasi administrasi publik. Hal
ini merupakan tantangan yang besar, karena seperti yang dikatakan oleh Kenneth
J. Meier dan Laurence O’Toole Jr (2006), bahwa one of the most important and persisting challenges of modern
government is how to reconcile the demans of democracy with the imperatives of
bureaucracy.
Pada tahun 1980-an berbagai
pemikiran muncul untuk memperbarui birokrasi dan menyesuaikannya dengan
perkembangan teknologi –khususnya teknologi informasi- dan ekonomi –khususnya
globalisasi- yang sangat mengurangi peran negara dan makin menonjolkan peran
dunia usaha, dan menempatkan persaingan sebagai credo yang utama. Lahirlah istilah-istilah “hollowing out of the state” dan
sebagainya. Maka berkembanglah pemikiran-pemikiran yang berpengaruh pada
perkembangan konsep administrasi public selanjutnya, yaitu Reinventing Government (Osborn dan Gaebler 1992) dan New Public Management (Hood 1989).
Gagasan NPM pada dasarnya
ingin “membebaskan” para manajer publik dari kekangan aturan-aturan birokratik
dan kontrol administrasi sehingga dapat menjalankan tugas dengan leluasa.
Seperti halnya manajer di sektor swasta para manajer publik mendapat imbalan
apabila sukses dan sanksi apabila gagal. Dengan cara demikian maka manajer
publik dapat memanfaatkan seluruh potensi dan kompetensi yang dimiliki guna
menghasilkan secara maksimal produk, baik barang maupun jasa untuk layanan
publik. Perspektif utama dari pandangan NPM ini adalah warga negara atau
masyarakat dipandang atau diperlakukan sebagai konsumen yang mempunyai akal,
pikiran, kehendak, dan pilihan atau rational-choice,
tidak berbeda dengan pendekatan public-choice
pada disiplin ilmu ekonomi. Dan tidak lagi sebagai entitas yang pasif (nrimo saja) Maka dalam sistem ini
terkandung pula nilai demokrasi dalam administrasi publik.
Di dalam doktrin NPM,
pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional
yang cenderung mengutamakan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi pada
kinerja atau hasil kerja. Pemerintah juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari
birokrasi klasik dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel,
dan menetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih jelas sehingga
memungkinkan pengukuran hasil. Di samping itu, pemerintah juga diharapkan
menerapkan sistem desentralisasi, memberi perhatian pada pasar, melibatkan
sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).
Dalam perkembangannya, NPM
dianggap sebagai liberation –yaitu upaya
pembebasan manajemen publik dari kungkungan konservativisme administrasi klasik
dengan memasukkan prinsip-prinsip sektor privat ke dalam sektor publik
(Golembiewski, 2003). Lebih menarik lagi, bahwa NPM dilihat sebagai kumpulan
ide-ide dan praktik yang berupaya menggunakan pendekatan sektor swasta dan
bisnis ke dalam sektor publik (Denhardt & Denhardt, 2003).
David Osborn dan Ted Gaebler
(1993) menekankan harus ada upaya untuk mentransformasikan entrepreuneurial spirit, karena ketika sumber daya semakin langka,
pemerintah harus berubah dari bureaucratic
model ke entrepreuneurial model.
Oleh karena itu, pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat
berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru
di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai manajemen kewirausahaan.
Dampak dari pelaksanaan model
NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju, tetapi juga di negara-negara
sedang berkembang seperti penerapan 5 (lima) prinsip inti, yaitu: (1) sistem
desentralisasi, (2) privatisasi, (3) downsizing, (4) debirokratisasi, dan (5)
manajerialisme (Vigoda, 2003).
B. Reformasi Administrasi
Publik dan Perkembangannya
Sejak dua dekade terakhir,
pelaksanaan reformasi administrasi publik makin nyata di berbagai negara
termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diperlukan karena
tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat (Caiden,
1991; Lenvine, Peters & Thompson, 1990). Doktrin Administrasi Publik Klasik
(the Old Public Administration-OPA)
yang sejak awal dimotori oleh Wilson pada tahun 1987 terus dikritik oleh para
pakar, dan mulai ditinggalakan (Cooper, 1998; Hughes, 1994) karena tidak dapat
mengakomodasi perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
Keberhasilan NPM di
negara-negara maju, mengakibatkan terjadinya promosi secara terus-menerus
doktrin-doktrin NPM di negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yang selama ini ditangani
oleh pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen swasta. Alasannya, lebih
berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, dan
pertumbuhan kesempatan kerja, meningkatkan efisiensi pelayanan karena lebih
fleksibel menyesuaikan diri dengan pasar, meningkatkan efisiensi di
departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, dan pembiayaan terhadap
pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini
memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan
dengan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings dan Haist (2002),
yang ditekankan dalam NPM adalah pengukuran terhadap hasil bukan proses, dan
perilaku sehingga sering disebut sebagai results-oriented
government.
Promosi doktrin NPM di
Indonesia dapat diamati dari kehadiran tentang NPM, misalnya karya-karya
tentang administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yang ditulis diantaranya
oleh Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo
(2002), Dwiyanto (2003), dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun
1990-an. Implementasi yang
paling nyata adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis
melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Otoritas terhadap berbagai urusan pemerintahan yang
didesentralisasikan kepada pemerintah daerah lebih banyak jumlahnya daripada
yang diatur oleh pemerintah pusat. Alasan utama pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 adalah untuk menjalankan prinsip demokrasi, meningkatkan
peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah melalui pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional.
Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih
menekankan pemberian kewenangan seluas-luasnya agar daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan untuk pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang
desentralistis ini pemerintah daerah diserahi otoritas untuk menjalankan
berbagai urusan. Pemerintah daerah dapat melakukan perencanaan dan pengendalian
pembangunan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban
umum. Pemerintah daerah juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan,
penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas
pengembangan ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah,
pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan dan catatan
sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi
penanaman modal, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, dan urusan wajib lainnya
yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Smentara pemerintah pusat hanya
menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal nasional, dan agama.
Implementasi NPM dapat dilihat
juga dari kewajiban melakukan penilaian kinerja pemerintah daerah melalui
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan kemudian dilanjutkan dengan PP
Nomor 56 Tahun 2002 tentang Laporan Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah dan
PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
Selain itu, implementasi NPM
dapat dilihat dengan diberlakukannya peraturan perundangan tentang privatisasi seperti Kepres Nomor 122
Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tujuannya untuk meningkatkan kinerja BUMN yang meliputi perbaikan struktur
permodalan, meningkatkan profesionalisme dan efisiensi usaha, perubahan budaya
perusahaan, memperluas partisipasi masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN
serta penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good
corporate governance yang didasarkan pada transparansi , akuntabilitas, dan
kemandirian.
C.
Pendekatan Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah) dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara
1. Pendekatan Demokratisasi
Demokratisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan akan terlaksana apabila dalam pemerintahan sudah
terjadi paradigma ke arah high trust society (Fukuyama , 1995). Kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara yang sudah meningkat tinggi
akan menghasilkan terjadinya proses demokratis, sehingga memungkinkan
terjadinya good governance.
Bentuk
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis itu digambarkan sebagai bentuk
yang terdiri atas posisi jabatan yang akan ditempati oleh kelompok jabatan yang
bersifat politis yang berasal dari kekuatan partai politik, dan jabatan yang
berasal dari pegawai karier pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka tidak akan terjadi
perubahan-perubahan kebijakan yang begitu cepat, walaupun pejabat dalam
organisasi tersebut berubah. Walaupun para pejabat yang menduduki jabatan
tertentu sudah berakhir masa jabatannya, maka penyelenggaraan pemerintahan akan
tetap stabil, berjalan, dan profesional.
Dalam
demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan diharapkan akan terjadi proses di
mana pejabat yang bersifat politis yang sekaligus sebagai wakil rakyat akan
ikut menentukan kebijakan departemen pemerintah yang akan berlangsung selama
lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut menentukan proses pembuatan
kebijakan departemen sekaligus juga ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan
yang dibuat itu dilaksakan oleh penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap
pejabat politik itu bisa langsung dikontrol oleh rakyat pemilihnya. Jabatan
politis ini juga ikut bertanggung jawab terhadap rakyat atas keberhasilan
kebijakan yang dibuatnya.
Proses
pertanggungjawaban itu tidak hanya dilakukan oleh pejabat yang melaksanakan
kebijakan politik dan melayani rakyat, akan tetapi pejabat politik harus juga
bertanggung jawab kepada rakyat yang mempercayainya di departemen. Rakyat harus
mempunyai akses aktif terhadap kontrol, baik kepada jabatan politik yang
mewakilinya maupun kepada jabatan sebagai pelayanan masyarakat.
Kontrol
kepada penyelenggara pemerintahan dilakukan dari pelbagai jurusan tidak hanya
membatasi dari jalur birokrasi sendiri, akan tetapi bisa melalui jalur politik.
Akses rakyat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka dengan
seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan oleh
masyarakat, itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk mencapai
tujuan yang ideal dalam pelaksanaannya. Hal tersebut akan diperlihatkan dengan
tergambarnya struktur organisasi dan pembagian kerja/tugas yang sesuai dengan
tugasnya masing-masing.
2. Pendekatan Desentralisasi
(Otonomi Daerah)
Seringkali masalah pendekatan
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip sentralisasi dan
desentralisasi berhubungan dengan tingkat perkembangan bangsa dan negara-negara
baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, pembinaan bangsa dalam arti membina
kesatuan bangsa dari afinitas-afinitas kedaerahan, kesukuan, penggolongan
politik dan lain-lain, terasa lebih penting, sehingga tercermin dalam
kebijaksanaan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis.
Dalam tingkat lebih lanjut dimana perkembangan pembinaan bangsa sudah lebih
matang, maka keperluan perluasan kegiatan pembangunan seringkali menumbuhkan
kebutuhan akan desentralisasi.
Konsep desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan di tengah-tengah
pembangunan bangsa di negara-negara berkembang. Hal ini bersamaan dengan
terlihatnya berbagai kelemahan yang tampak dengan jelas dalam kontrol sentral.
Namun demikian pada umumnya bentuk desentralisasi yang diinginkan tetap
hendaknya dijaga dalam rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, dan bahkan
administratif suatu negara. Hal ini sejalan dengan pendapat Maryanov (dalam
LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan antara lain: (1) mengurangi
beban pemerintah pusat, dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada
tingkat lokal. Demikian pula memberi peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada
tingkat lokal, (2) meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam
kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal,
dapat merasakan keuntungan dari kontribusi kegiatan yang mereka lakukan, (3)
penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal
sehingga dapat lebih realistis, (4) melatih rakyat untuk bisa mengatur
urusannya sendiri (self government),
dan (5) pembinaan kesatuan nasional.
Ada dua bentuk desentralisasi
(Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yang bersifat
administratif dan desentralisasi yang bersifat politik. Desentralisasi
administratif biasanya disebut dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang
pelaksanaan kepada tingkat-tingkat lokal. Para pejabat tingkat lokal bekerja
dalam batas rencana dan sumber-sumber anggaran, namun mereka memiliki elemen
kebijaksanaan dan kekuasaan (diskresi) serta tanggung jawab tertentu dalam hal
sifat-hakikat jasa dan pelayanan pada tingkat lokal. Diskresi mereka dapat
bervariasi mulai dari peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan
yang lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa
wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya
diberikan pada pejabat-pejabat regional dan lokal.
Dewasa ini masalah
desentralisasi dihubungkan dengan usaha perencanaan pembangunan daerah. Dengan
ini diusahakan supaya perencanaan nasional memberi perhatian pada pertimbangan
regional. Dan penyelenggaraan suatu kegiatan usaha disesuaikan dengan lokasinya
yang paling baik. Dengan demikian diusahakan supaya potensi-potensi regional
dapat dimanfaatkan, sehingga perkembangan antar daerah berjalan lebih wajar.
Kegiatan-kegiatan usaha yang lebih menyangkut kepentingan masyarakat daerah
dapat seluruhnya atau sampai tingkat tertentu, ditentukan dan diselenggarakan
oleh pemerintah daerah sendiri. Tetapi hal ini dalam rangka suatu perencanaan
pembangunan daerah perlu diusahakan secara konsisten dan komplementer dengan
usaha-usaha nasional di daerah tersebut.
D. Membangun Birokrasi
Pemerintah Menuju Good Governance
Saat ini, good
governance merupakan isu
yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi
kepengelolaan yang baik antara governance di sektor publik
(pemerintahan) dengan governance di sektor masyarakat, terutama swasta,
sehingga dapat dihasilkan transaksional output
melalui mekanisme pasar yang paling ekonomis dari kegiatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam good governance
tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan efektif, melainkan
juga private sector governance yang efisien dan
kompetitif.
Carl J. Bellone (1980: 285) menyebutkan bahwa birokrasi
adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of
office, merit-based selection, impartial application of written rules and
regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan karakteristik
struktur organisasi (pemerintahan) yang memiliki urutan hierarki. Berdasarkan
hierarki tersebut di dalamnya terdapat posisi-posisi atau jabatan yang
mempunyai kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan.
Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai hukum
dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur tentang pembagian
kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada sisi lain, birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “officialdom”
atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya
memiliki yuridiksi yang jelas dan pasti. Dalam yuridiksi tersebut, seseorang
mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja
dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan
kekuasaannya.
Dalam aplikasinya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana
teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi
hanya sebagai kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang
berperilaku menyimpang. Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good
governance, yang terjadi selama ini governance sektor publik yang
intervensinya justru mengeroposkan governance di sektor swasta. Sejak
pertengahan tahun 80-an, dengan apa yang disebut “crony capitalism”
(Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi,
Kronisme, dan Nepotisme).
Administrasi negara di Indonesia pada saat ini lebih tepat dikatakan sebagai alat untuk
menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas
administrasi negara saat ini lebih banyak sebagai gambaran atau lukisan dari pada
realitanya. Sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan
kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yang ideal menuju good
governance.
Birokrasi pemerintah yang dipandang perlu untuk dibangun kembali guna
menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa, dan demokratis (good
governance). Sehingga permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji kembali sebagai
jalan pemecahannya antara lain:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi
birokrasi pemerintah Indonesia
saat ini.
2.
Adanya perubahan paradigma birokrasi pemerintah ke
arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi
pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yang
memiliki komitmen terhadap nilai-nilai, sehingga terjadinya demokratisasi
birokrasi.
5.
Peranan pemerintah dan masyarakat dalam membangun
birokrasi.
Diharapkan dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah
birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi
nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara
pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan.
1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini
Kehidupan dan tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah di Indonesia
sangat ditentukan oleh percaturan politik terlebih lagi ketika sehabis
dilaksanakan pemilihan umum. Oleh karena itu birokrasi pemerintah sangat
ditentukan oleh kehidupan politik dan pemilunya. Sejalan dengan pendapat Carl
J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk dari
administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi
pemerintahan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan modern
telah mendorong birokrasi menjadi alat yang unggul dalam mengatur proses
pemerintahan. Kekuasaan birokratis telah menjadikan lembaga pemerintahan
memiliki kapasitas yang luar biasa dan menjadi sentral untuk mengarahkan energi
politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih dari partai politik.
Partai politik didirikan tidak memiliki keinginan lain, kecuali untuk
bisa memerintah negara. Upaya untuk memerintah itu menurut paham demokrasi
dibatasi oleh waktu tertentu dan harus dilakukan melalui cara pemilihan umum
yang dijalankan secara demokratis, jujur, adil, bebas, rahasia, dan
konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah
birokrasi pemerintah yang eksistensinya tidak memalui pemilihan umum, melainkan
melalui jalur karier yang dibinanya dengan cara-cara merit. Agar supaya
profesionalisme birokrasi tidak terganggu dengan silih bergantinya partai
politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak.
Selain itu administrasi negara digambarkan pula sebagai upaya yang
lebih concern terhadap “pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang membuatnya”
(Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini menjelaskan bahwa administrasi negara
lebih populer disebut mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya.
Proses pembuatan kebijakan publik domain dari wilayah politik. Di wilayah ini
partai politik berkiprah menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan
negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan
diserahkan kepada ahlinya yakni kepada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi
melaksanakan kebijakan publik tersebut merupakan wilayah dan domain
administrasi negara.
Birokrasi pemerintah saat ini mencerminkan birokrasi besar yang menekankan
pada kewenangan yang tidak didukung dengan aparatur yang profesional dengan
kompetensi yang sesuai dengan bidang fungsi yang dilaksanakan. Disamping itu
Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum
didukung dengan sistem kepegawaian yang didasarkan pada sistem merit, dalam
kondisi swasta belum dapat menciptakan lapangan kerja. Pada masa krisis ini
birokrasi pemerintah menanggung beban yang cukup banyak. Sehingga aparatur yang
profesional dan memahami paradigma sesuai dengan konsep birokrasi ideal menjadi
kebutuhan yang mendesak.
2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian serius
di negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara
maju sekalipun, masih merasakan kekurangpuasan peran birokrasi pemerintah,
sehingga terus berupaya untuk mencari identitas baru bagi birokrasinya.
Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang
ditunjang dengan seperangkat teori yang melahirkan paradigma baru dalam dunia
ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi sebagai
organisasi pemerintahan tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas
pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), tetapi juga melakukan
dorongan dan motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta masyarakat.
Pertumbuhan ciri birokrasi tradisional ke arah birokrasi modern menjadi
suatu kenyataan yang bersifat implikatif. Seiring dengan berbagai kemajuan dan
munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, mengakibatkan
kebutuhan akan pelayanan juga semakin kompleks, serta menuntut kualitas
pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada di tengah-tengah masyarakat
tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus lebih mampu memberikan berbagai
pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Carl J. Bellone (1980: 35)
menyebutkan bahwa sejak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah,
sarjana-sarjana ilmu sosial bergerak cepat untuk menemukan paradigma baru dalam
bidang administrasi pemerintahan modern. Ada lima model teori administrasi
pemerintahan yang diambil untuk menuju perubahan yang lebih baik berdasarkan
pengalaman empiris, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yang
mempunyai dua komponen basis dasar. Yang pertama adalah struktur atau
perancangan suatu organisasi, dan yang kedua adalah pembagian tugas dan
pekerjaan yang didesain secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, adalah suatu produk dari era prilaku.
Nilai-nilai untuk dicapai biasanya serupa dengan model birokratis klasik,
karenanya dalam model neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini
menekankan struktur, kendali, dan prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis
pada umumnya kelompok kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah.
Nilai-nilai untuk dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam
model neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yang umum, dan proses
pengambilan keputusan menjadi fokusnya; 3) Model kelembagaan, dalam model kelembagaan ini lebih
ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi
produktif. Dalam model birokrasi kelembagaan tidak hanya mengutamakan
rasionalitas, tetapi juga menggantungkan pada nilai-nilai. Keputusan yang
diambil birokrasi merupakan tawaran dan kompromi kelompok yang berminat dan
menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah sasaran hasil. Model
ini sungguh-sungguh menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model
Hubungan antar manusia, model ini
merupakan reaksi terhadap model birokratis klasik dan neo-birokratis.
Penekanannya pada kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, dan
pergerakan hubungan antar manusia. Dalam
pergerakan hubungan antar manusia mencerminkan nilai-nilai yang mendasarinya.
Nilai-nilai ini meliputi pekerja dan keikutsertaan klien dalam pengambilan
keputusan yang dapat mengurangi perbedaan status dan kompetisi hubungan antar
pribadi, serta menekankan pada proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri,
dan kepuasan masyarakat, dan 5) Model administrasi pemerintahan baru, dalam model ini birokrat harus mulai
bersikap bahwa nilai-nilai yang berbeda perlu mendominasi. Dengan perbedaan
tersebut akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yang
mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yang sesuai. Sasaran hasil dari
administrasi pemerintahan baru adalah untuk mengorganisasi, menguraikan, atau
membuat organisasi mata-mata yang berfungsi memberi penilaian.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Weber sebagai tokoh yang
memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai
unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting
dari seluruh proses sosial. Diantara yang lain-lain, proses ini mencakup
ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi
sosial. Menurut Weber dalam (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi
ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh
jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual
dalam jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk
keluarganya; Kedua,
jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan
kesamping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan dan ada pula yang
menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan
dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan
yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing
pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus
dijalankan sesuai dengan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya,
yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak
untuk menerima pensioun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang
disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan
jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam
keadaan tertentu; Ketujuh,
terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan
senioritas dan merit sesuao dengan
pertimbangan yang objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya
dan resources intansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada di bawah
pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.
Sejalan dengan konsep birokrasi ideal di atas, penyelenggaraan birokasi
pemerintah Indonesia harus terjadi perubahan paradigma menuju good governance,
antara lain:
a.
Perubahan paradigma dari orientasi manajemen
pemerintahan yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih
mengutamakan kepentingan negara. Semuanya bisa ditentukan oleh negara.
Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama dalam mengatasi
segala macam persoalan yang timbul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan
kepada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi
bahan pertimbangan pemerintah.
b.
Perubahan paradigma dan orientasi manajemen
pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egalitarian dan
demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara bisa
melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang
terkonsentrasi pada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Paradigma semacam ini telah banyak ditinggalkan dan diganti dengan paradigma
yang mengutamakan peranan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi
pertimbangan pertama dan utama jika menginginkan tatanan pemerintahan yang
demokratis.
c.
Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan
menjadi desentralisasi kewenangan. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih
condong dilakukan secara sentral, seperti yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai
dari perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat
pemerintah pusat.
d.
Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya
menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu,
mengalami perubahan ke arah boundaryless
organization (Ashkenas et al, 1995).
Seringkali dikemukakan bahwa sekarang ini merupakan jamannya tata manajemen
pemerintahan yang cenderung dipengaruhi oleh tata aturan global. Keadaan
seperti ini akan membawa akibat bahwa tata aturan yang hanya menekankan pada
aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan global.
e.
Perubahan dari paradigma dari tatanan administrasi
negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan
administrasi negara yang paperless
(Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan seperti ini membutuhkan kompetensi
sumber daya aparatur yang memahami dan mengetrapkan information technology
(Lucas, 1996). Kompetensi inilah yang seharusnya banyak diwujudkan dalam
pendidikan dan pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.
f.
Perubahan paradigma dari a low trust society ke arah high
trust society (Fukuyama ,
1995). Di dalam masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya tidak bakal
terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yang hidup dalam masyarakat
seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yang tidak demokratis, membatasi
ruang gerak, menjauhkan birokrasi dari interaksi dengan masyarakat, dan
membelenggu organisasi dengan serangkaian aturan-aturan birokrasi. Sebaliknya
paradigma baru yang menekankan terhadap kepercayaan sehingga melahirkan suatu
masyarakat yang tinggi tingkat kepercayaannya akan mampu membuat birokrasi
lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan menciptakan suasana kerja yang
lebih fleksibel dan berbasiskan pada orientasi kelompok kerja dengan lebih
memberikan tanggung jawab yang besar pada tataran organisasi yang paling bawah.
Birokrasi pemerintah seperti ini akan memperlakukan para pegawainya sebagai
orang dewasa yang bisa dipercaya untuk memberikan konstribusi pelayanan kepada
masyarakat.
E. Penutup
Berdasarkan uraian di atas,
dapat ditarik beberapa pemikiran sebagai kesimpulan tentang administrasi
public, antara lain:
1. Pelaksanaan reformasi administrasi publik
makin nyata di berbagai negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi
publik sangat diperlukan karena tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi
klasik semakin berat.
2. Keberhasilan NPM di negara-negara maju,
mengakibatkan terjadinya promosi secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM di
negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi,
mengalihkan bentuk pelayanan yang selama ini ditangani oleh pemerintah dipindahkan
ke tangan agen-agen swasta. Doktrin debirokratisasi,
diyakini memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja
dibandingkan dengan doktrin administrasi publik klasik.
3. Pemerintah Indonesia
mulai mengenal Reinventing Government
sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi
yang paling nyata adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis
melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
4. Demokratisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan akan terlaksana apabila dalam pemerintahan sudah
terjadi paradigma ke arah high trust society. Kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara yang sudah meningkat tinggi
akan menghasilkan terjadinya proses demokratis, sehingga memungkinkan
terjadinya good governance.
5. Penyelenggaraan administrasi negara di
Indonesia terlihat dari adanya
perubahan dengan sistem konstitusi, pemerintahan, ekonomi, dan politik, serta
paradigma yang melandasinya, yang membawa dampak tertentu terhadap sistem dan
proses penyelenggaraan negara, khususnya dalam hubungan pemerintah dan
masyarakat.
6. Diharapkan
dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal,
didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku
positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan
ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan.
- Referensi/Kepustakaan
Bellone, Carl. K.1980. Organization
Theory and The New Public Administrator. Boston : Allyn and Bacou.
Bryant, C. dan White, L.G. 1989. Manajemen
Pembangunan untuk Negara Berkembang. LP3ES. Yogyakarta.
Caiden, G.E. 1991. Administrative
Reform Comes of Ages. Berlin :
Water de Gruyter.
Cooper, P.J. 1998. Public
Administration for The Twenty-first Century. Orlando , Florida :
Harcourt Brace.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building , Governance and World Order in The Twenty
First, Profile Books Limited.
Kartiwa, Asep. 2004. Membangun Birokrasi Pemerintah Daerah yang
Profesional Menuju Terwujudnya Good Governance. UNPAD. Bandung
Levine, C.H., B.G. Peters and F.J. Thompson. 1990. Public Administration: Challenges, Choices,
Concequences. Illinois :
Scott, Foresman.
LP3ES. 1994. Administrasi
Pembangunan. PT. Pustaka. Yogyakarta .
Nogi, S. Hessel. 2000. Analisis Kebijakan Publik Kontemporer. Yogyakarta: Lukman Offset.
N. Dunn, William. Public Policy Analisys: An Introduction.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Osborns, D. and T. Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector.
Riggs, Fred W. 1986. Administrasi Pembangunan (Batas-batas, Strategi Pembangunan Kebijakan dan Pembaharuan Administrasi). CV. Rajawali. Jakarta.
Salusu. 1998. Pengambilan Keputusan Strategik: Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo.
Syaukani, Affan Gaffar, Ryass Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan.
Tead, Ordway. 1954. The Art of Leadership.
Thoha, Miftah. 1999. Administrasi Negara, Demokrasi, dan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar