I. Pengantar
Konflik
sosial yang terjadi di Kalimantan, baik di Sambas (1999) maupun di Sampit (2001), sampai saat ini belum tampak tercapainya
suatu rekonsiliasi yang dapat menjamin terwujudnya perdamaian dan integrasi
sosial untuk menjamin kelangsungan eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Upaya-upaya untuk mencapai rekonsiliasi tersebut telah berkali-kali
dilakukan dengan jalan menyelenggarakan “musyawarah” yang melibatkan
tokoh-tokoh kelompok masyarakat yang bertikai, seperti “Musyawarah Damai Anak Bangsa di Bumi
Kalimantan” di NAM Centre Jakarta (Maret 2001) dan “Musyawarah Tekad Mufakat Rakyat Kalimantan”
di Batu, Malang (Februari 2002). Di samping itu, diskusi, seminar, dialog, dan
publikasi buku hasil pengamatan dan penelitian telah dilakukan untuk mencari
solusi konflik dan menciptakan perdamaian yang permanen.
Sudah
menjadi anggapan umum bahwa konflik
sosial di Kalimantan telah dimaknai sebagai konflik antarkelompok etnik,
seperti antara orang Madura dengan orang Melayu di Kota Sambas dan antara orang
Madura dengan orang Dayak di Kota Sampit. Bahkan ditengarai, konflik tersebut bernuansa
agama (Islam-Kristen). Namun, temuan data-data di lapangan menunjukkan adanya
faktor-faktor sosial-ekonomi dan politik yang menjadi penyebab timbulnya
konflik etnik tersebut.
Pembahasan
tentang konflik etnik di atas telah
sering dilakukan dengan menggunakan berbagai macam perspektif dan teori
kekerasan, namun kurang sekali memberikan perhatian terhadap unsur-unsur
primordial yang menjadi basis pengikat sosial dan identitas suatu kelompok
etnik. Analisis konflik sosial di atas dengan perspektif primordial sangat
membantu dalam memahami sikap perilaku budaya suatu kelompok masyarakat secara
kontekstual dan mencarikan solusi konflik sosial. Tulisan ini mencoba
mengeksplorasi unsur-unsur primordial
masyarakat Madura dan maknanya sebagai modal budaya mencapai rekonsiliasi
sosial dengan kelompok etnik lain.
II. Kekerabatan dan Agama
Sebagaimana dikatakan oleh
Geertz (1981), yang dimaksud dengan unsur-unsur primordial adalah:
“Unsur-unsur sosial budaya yang lahir
dari yang “dianggap ada” dalam kehidupan sosial. Sebagian besar dari hubungan
langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam
lingkungan keagamaan tertentu, bahasa tertentu atau dialek tertentu serta
kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu. Persamaan-persamaan hubungan darah, ucapan
atau bahasa, kebiasaan, dan sebagainya memiliki kekuatan yang meyakinkan”. Menurut Glaser dan Moynihan (1981)
yang termasuk unsur-unsur penting primordial adalah genealogi (keturunan dan
ikatan kekerabatan), sistem kepercayaan (termasuk religi dan agama), dan
bahasa.
Dalam realitas kehidupan
sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama dalam membentuk
suatu identitas kelompok etnik. Identitas ini menjadi penanda ciri atau
karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya mereka.
Dengan kata lain, unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh suatu kelompok
etnik akan menjadi unsur pembeda identitas diri dari suatu kelompok etnik yang
lain. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya merupakan perilaku
simbolik yang pemaknaannya harus dilakukan secara kontekstual. Artinya, setiap
orang dari suatu kelompok masyarakat harus mampu mengidentifikasi dan memahami
makna simbolik dari perilaku budaya tersebut. Pemahaman yang sama terhadap
suatu perilaku simbolik di antara objek dan subjek sangat penting untuk
mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi sosial. Dengan
persepsi ini, pemahaman yang sama tersebut dapat meminimalisasi timbulnya
konflik yang bernuansa etnisitas. Setiap orang atau kelompok masyarakat dan kebudayaan
harus menghindari perilaku etnosentrisme
yang dapat menimbulkan ketegangan sosial.
Elemen penting
primordial yang selalu muncul (dan sengaja dimunculkan) dalam interaksi sosial
adalah ikatan kekerabatan. Dalam masyarakat Madura, ikatan kekerabatan
terbentuk melalui garis keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah
maupun garis ibu (paternal and maternal
relatives). Pada umumnya, ikatan
kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah
sehingga cenderung “mendominasi”. Ikatan kekerabatan orang Madura mencakup
sampai empat generasi ke atas (ascending
generations) dan ke bawah (descending
generations) dari ego.
Dalam sistem
kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat
(kinsmen), yaitu taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan semma’ (kerabat
dekat atau close kin), dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral kin). Di luar ketiga kategori
ini disebut sebagai oreng lowar
(orang luar) atau “bukan saudara” (lihat Gambar 1). Dalam kenyataannya,
meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi
hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya karena
adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.
Perkawinan semacam ini oleh
orang Madura disebut mapolong tolang
(mengumpulkan tulang yang bercerai-berai) karena dilakukan dengan maksud dan
tujuan untuk tetap memelihara, mempertahankan dan melestarikan ikatan-ikatan
kekerabatan dan hubungan-hubungan persaudaraan yang sudah dianggap mulai
longgar misalnya karena proses interaksi antarkeluarga yang kurang intens. Bagi
keluarga-keluarga tertentu, misalnya yang kondisi sosial ekonominya cukup baik,
perkawinan antarkerabat biasanya terselip maksud menjaga keberlangsungan sumber
daya ekonomi keluarga agar tidak beralih ke orang lain di luar kerabat. Selain
itu, perkawinan antarkeluarga bermakna pula sebagai upaya memberikan
perlindungan terhadap harga diri kaum perempuan. Makna perlindungan ini semakin
tegas pada pola pemukiman taneyan lanjang (lihat Gambar 2). Dengan demikian, kurang beralasan anggapan bahwa pola pemukiman ini merupakan
wujud dari sikap hidup ekslusifisme orang Madura.
Hubungan sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang Madura
dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat, tanpa memperhatikan asal-usul
kelompok etnik. Biasanya hubungan sosial itu selain didasarkan pada adanya
kesamaan dalam dimensi primordial tidak jarang terjadi juga karena faktor
kesamaan kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan
sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka akan dianggap dan
diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan). Sebaliknya, ada kalanya anggota
keluarga (taretan termasuk taretan ereng) justru dianggap
dan diperlakukan sebagai oreng (bukan
keluarga atau kerabat) jika kualitas hubungan kekerabatannya sangat
rendah, misalnya karena adanya
perselisihan tentang harta warisan.
Dalam ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi taretan, taretan
daddi oreng. Artinya, orang
lain yang bukan keluarga dapat dianggap sebagai saudara, sebaliknya saudara
sendiri dapat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam konteks ini, unsur
kekerabatan orang Madura mengandung makna inklusifitas sehingga memberi ruang
bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.
Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting
sebagai penanda identitas etnik suatu kelompok masyarakat. Bagi orang Madura
faktor ini seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri mereka.
Artinya, jika orang Madura telah menjadi pemeluk agama selain Islam dirinya
akan merasa identitas ke-Madura-annya telah berkurang atau bahkan hilang sama
sekali. Bahkan, lingkungan sosialnya akan menganggap hal yang sama. Pada
gilirannya, dia akan selalu merasa terasing dalam lingkungan pergaulan sosial
budaya Madura.
Dalam kehidupan
sosial orang Madura di Kalimantan, khususnya di Kota Sampit, hubungan
persaudaraan antara orang Madura dengan orang-orang Dayak yang beragama Islam
ternyata sudah terjalin dengan sangat baik sebelum terjadinya konflik.
Pengalaman Mus (30), salah seorang pengungsi Sampit yang ada di wilayah
Kabupaten Jember ketika ditemui di tempat kerabatnya membuktikan tentang hal
itu. Mus menceritakan bahwa sebelum terjadinya pembantaian, puluhan orang Dayak
lokal (Sampit) yang beragama Islam mendatanginya di kompleks pondok pesantren
yang dikelola oleh ayahnya. Sebagai sesama muslim, orang-orang Dayak lokal
tersebut memohon kepada ayahnya untuk segera meninggalkan Sampit dalam waktu
tiga hari agar terhindar dari pembantaian. Untuk menghilangkan kesangsian
ayahnya atas permohonan tersebut, orang-orang Dayak lokal itu menyerahkan
sebilah mandau sebagai cermin
komitmen perdamaian dan kesungguhan hati. Pengalaman Mus ini menjadi modal
budaya orang Madura untuk membentuk “kekerabatan semu” (pseudo kinship)
dengan etnik lain.
Sebagaimana
lazimnya pada masyarakat atau kelompok etnik lain, orang Madura juga lebih
memperhatikan faktor agama dalam urusan perkawinan atau perjodohan. Sekalipun
demikian, dalam hal-hal yang lain, orang Madura menghargai pluralisme sosial
keagamaan dan keetnikan.
III. Bahasa
Bahasa
merupakan salah satu identitas kelompok etnik akan tampak jelas dalam suatu
interaksi sosial masyarakat majemuk (Gumperz ed., 1982). Salah satu identitas
Orang Madura adalah bahasa Madura. Bahasa Melayu merupakan salah satu penanda
identitas orang Melayu. Bahasa Dayak juga merupakan salah satu identitas budaya
orang Dayak. Orang-orang Madura di Pontianak menguasai dengan baik bahasa
Melayu, bahasa Indonesia, dan bahasa Madura.
Penggunaan bahasa-bahasa tersebut
ditentukan oleh konteks interaksi yang mereka hadapi. Dalam pergaulan
sehari-hari, seperti di tempat-tempat publik,
bahasa Melayu merupakan bahasa komunikasi dan interaksi sosial yang
digunakan oleh orang-orang Madura. Bahasa Indonesia akan digunakan oleh orang-orang
Madura jika mereka berurusan dengan instansi atau dalam situasi resmi. Bahasa
Madura digunakan di dalam lingkungan internal mereka.
Dalam masyarakat multietnik,
seperti di Kota Pontianak, bahasa Melayu merupakan bahasa dominan yang
digunakan dalam pergaulan sosial. Secara historis, dominasi bahasa Melayu ini terkait dengan masa awal keberadaan
orang Melayu di kota tersebut. Seperti halnya kota-kota maritim lainnya di
tanah air, Pontianak yang merupakan kota bandar maritim telah menjadikan bahasa
Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) penduduk setempat.
Keberadaan kota ini juga tidak terlalu jauh dengan Riau yang merupakan daerah
asal bahasa Melayu. Karena itu, orang-orang Melayu merupakan penduduk lokal
yang lebih awal kedatangannya di kota Pontianak dibandingkan dengan orang
Madura.
Konteks historis dan geografis di
atas, telah menempatkan bahasa Melayu memiliki kedudukan dan peranan yang
penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Pontianak. Karena bahasa
Melayu merupakan referensi komunikasi sosial, para pendatang pun seperti
orang-orang Madura harus belajar dan menggunakan bahasa tersebut dengan baik.
Pemahaman yang baik terhadap bahasa Melayu sering mendorong timbulnya gejala
interferensi leksikal ketika orang-orang Madura berbicara dalam bahasa Madura
di lingkungan internalnya atau ketika mereka berbahasa Indonesia dengan orang
yang baru dikenalnya.
Sebagai
sarana interaksi sosial, penguasaan bahasa Melayu tidak hanya untuk
mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi media integrasi sosial dengan
orang-orang Melayu atau penduduk Pontianak. Dalam konteks integrasi sosial,
bahasa bukan sekedar untuk meningkatkan
“daya keberterimaan” masyarakat lokal terhadap kehadiran dan eksistensi
orang-orang Madura, memudahkan pemahaman terhadap budaya masyarakat lokal,
tetapi juga menjadi sarana untuk mempermudah akses terhadap sumber daya ekonomi
lokal.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan
orang-orang Madura dalam menguasai sektor-sektor ekonomi informal adalah karena
kemampuannya menguasai bahasa Melayu
dengan baik sesuai dengan tujuan-tujuan interaksi sosial seperti di atas. Jika
orang-orang Madura mampu keluar dari batas-batas identitas budaya mereka untuk
menguasai pemakaian bahasa Melayu secara “baik dan benar”, apakah orang Melayu
melakukan hal serupa terhadap bahasa Madura sebagai sarana untuk menjalin kerja
sama dan memahami dengan baik identitas ke-Madura-an?
Terlokalisasinya penggunaan bahasa
Madura untuk lingkungan internal yang terbatas, merupakan bukti jika bahasa ini
belum digunakan secara lintas etnik. Baik orang Melayu maupun orang Dayak belum
tentu bisa dengan baik berbahasa Madura. Dengan pemahaman bahasa Madura yang
minimal seperti ini, akan menyulitkan orang Melayu dan Dayak mengembangkan
integrasi sosial atau kedekatan sosial dengan orang Madura. Segregasi sosial di
antara kelompok-kelompok etnik tersebut tetap berlangsung karena belum
berkembangnya pemahaman timbal-balik terhadap bahasa masing-masing.
Kasus integrasi sosial-budaya Madura dan Jawa di kawasan
“Tapal Kuda” Jawa Timur merupakan contoh yang baik. Sekalipun kedua kelompok
etnik berbeda identitas budayanya, konflik antara orang Madura dengan orang
Jawa di daerah ini tidak terjadi,
apalagi yang berskala besar. Kedua pihak dapat memahami dengan baik
masing-masing bahasa yang digunakan, baik secara aktif, maupun pasif. Pemahaman bahasa dan kemampuan
komunikatif (verbal repertoire) secara timbal-balik akan meningkat “daya
keberterimaan” masing-masing pihak.
Dalam
konteks integrasi sosial dan rekonsiliasi permanen, upaya memahami dengan baik
bahasa Madura oleh orang Melayu atau Dayak,
merupakan sesuatu hal yang harus dipertimbangkan. Penguasaan
simbol-simbol bahasa Madura yang baik merupakan pintu masuk untuk memahami
perilaku sosial dan makna kebudayaan Madura. Jalan ini ditempuh untuk
kepentingan meningkatkan saling pengertian, memudahkan menjalin komunikasi dan
kerja sama sosial ekonomi, serta mendorong kedekatan sosial-budaya. Pencapaian
ketiga hal tersebut akan mempermudah
distribusi sumber daya sosial, ekonomi, dan politik lokal secara merata di
kalangan kelompok-kelompok etnik, sehingga menjadi modal budaya untuk
menciptakan integrasi sosial yang akan menjadi basis rekonsiliasi yang permanen
dan berkesinambungan.
IV. KESIMPULAN
Unsur-unsur primordial yang mencakup
kekerabatan, agama, dan bahasa merupakan penanda identitas masyarakat dan
kebudayaan Madura. Kekerabatan dalam kehidupan orang Madura tidak selalu dapat
dimaknai sebagai cerminan dari sikap eksklusivitas orang Madura. Sebaliknya,
justru ikatan kekerabatan dapat membentuk “kekerabatn semu” (pseudo kinship)
yang disebut dengan ungkapan oreng daddi taretan. Ini merupakan salah
satu modal budaya untuk membangun dan mengembangkan interaksi sosial dengan
kelompok etnik lain.
Agama Islam juga merupakan identitas
penting orang Madura. Dalam hal keagamaan ini, orang Madura sangat ketat untuk
hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Dalam hal-hal lain, orang
Madura juga bersikap terbuka dan menghargai terhadap perbedaan identitas
keagamaan. Perbedaan keyakinan keagamaan tidak menjadi penghalang untuk
menjalin kerja sama dengan orang lain. Sikap keterbukaan ini merupakan modal
budaya yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rekonsiliasi dengan kelompok
etnik Melayu atau Dayak.
Bahasa Madura merupakan identitas
lain bagi orang Madura. Kemampuan orang Madura memahami bahasa Melayu harus
dilihat sebagai bagian dari strategi adaptasi orang Madura untuk berintegrasi
dengan masyarakat lokal di Kalimantan. Langkah demikian seharusnya juga diikuti
oleh kelompok etnik lain untuk memahami eksistensi bahasa Madura. Pemahaman
bersama atas kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnik sangat
penting untuk modal memahami jati diri atau identitas budaya masing-masing
kelompok etnik. Hal ini juga mencerminkan adanya saling pengertian dan
penghargaan terhadap unsur kebudayaan yang dimiliki masing-masing kelompok
etnik. Dengan jalan demikian, integrasi sosial bisa dikembangkan dan menjadi
basis terbentuknya rekonsiliasi yang berkelanjutan di bumi Kalimantan.***
Daftar Pustaka
Geertz,
Clifford. 1981. “Ikatan-ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di
Negara-negara Baru”, dalam Juwono Sudarsono (ed.). Pembangunan Politik dan
Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia, hal. 1-14.
Glaser,
Nathan dan Daniel P. Moynihan (eds.). 1981. Ethnicity. Theory and
Experience. Cambridge: Havard University Press.
Gumperz,
John J. (ed.). 1982. Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge
University Press.
Martin,
Jean. 1981. The Ethnic Dimention. London: George Allen & Unwin.
Mas’oed,
Mohtar dkk. (ed.). 2000. Kekerasan Kolektif, Kondisi dan Pemicu. Yogyakarta:
P3PK UGM.
Petebang,
Edi dan Eri Sutrisno. 2000. Konflik Etnik di Sambas. Jakarta: ISAI.
Seymour-Smith, Charlotte. 1993. Macmillan Dictionary of Anthropology. London: Macmillan Press Ltd.
Sihbudi,
Reza dan Moch. Nurhasim (ed.). 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Studi
Kasus Kupang, Mataram dan Sambas. Jakarta: Grasindo.
Wiyata, A.
Latief. 1987. Taneyan Lanjang. Pola Pemukiman dan Kesatuan Sosial di Masyarakat Madura.
Seri Kertas Kerja No.6. Jember: Pusat Kajian Madura Universitas Jember.
----------
2002. Carok. Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta:
LkiS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar