Sebagai suatu gejala sosial yang selalu
muncul baik di negeri ini maupun di negeri-negeri lain di muka bumi ini,
kekerasan merupakan fenomena yang kompleks. Artinya baik pelaku maupu korban
dengan proses dan peristiwa yang terjadi di dalamnya tidaklah terjadi begitu
saja dan dalam gejala yang tunggal, tetapi sering terkait dengan berbagai faktor yang menyertainya.
Ukuran-ukuran dan analisis tentang kekerasan
pun tidaklah cukup hanya dengan menggunakan parameter-parameter
kuantitatif, karena derajat kualitas kekerasan biasanya jauh lebih kompleks dan
ganas ketimbang aspek kuantitasnya. Angka 1,2% untuk menunjukkan tingkat
kekerasan yang dialami oleh Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi seperti
yang ditunjukkan pemerintah Saudi dan Indonesia untuk menunjukkan sedikitnya
TKW yang memperoleh perlakuan buruk ketimbang yang sukses, terkesan menghibur
namun sangatlah menyesatkan karena mereka yang mengalami nasib buruk tersebut
meskipun angka kuantitasnya digambarkan kecil tetapi derajat keburukan nasibnya
sangatlah besar yaitu dilecehkan, dianiaya, diperkosa, dan bahkan dibunuh.
Padahal satu orang pun yang mengalami nasib buruk semacam itu dia adalah anak
manusia, yang pengaruh buruknya terus membekas sepanjang hidup manusia itu
sendiri, yang siapapun tak berhak
merenggutnya. Islam bahkan menekankan, “..barangsiapa yang membunuh seorang
manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan kerena membuat
kerusakan di muka bumi maka seakan-akan telah membunuh manusia seluruhnya, dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya..” (Q.S. Al-Maidah:
32).
Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dijuluki sebagai a violent country (Freek Colombijn and J. Thomas Lindblad, 2003: 1). Yakni sebuah negeri kekerasan atau negeri drakula. Kekerasan negara terhadap rakyat Aceh dan Papua, perang etnik di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, perang atau konflik di Maluku, kekerasan Mei 1998 di Jakarta, merupakan contoh paling nyata dari fakta kekerasan di negeri kita tercinta itu. Belum dihitung berbagai bentuk kekerasan pada periode-periode sebelum ini, terutama pada zaman Orde Baru seperti tragedi Tanjung Priok dan sebagainya. Mungkin Amerika Serikat, Inggris, dan Australia kini menjulukinya sebagai negeri teroris, meskipun mereka tak menyadari kalau telah menjadi teroris yang disebut state terrorism. Jadi lengkaplah keburukan negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini, karena sebelumnya dikenal pula sebagai negeri terkorup di dunia, negeri dengan angka merah dalam hal pemakaian narkoba, dan negeri yang wajahnya sangat kusam di mata dunia karena bom dan krisis.
Sebagai negeri muslim terbesar tentu
saja julukan lumbung kekerasan dan terorisme sangatlah menyakitkan, sebab
selain negeri-negeri lain pun mengalami fenomena yang sama dalam berbagai
bentuk, juga tidak dengan sendirinya umat Islam dengan kemuslimannya dan Islam
sebagai agama damai secara otomatis terlibat dan menjadi pelaku dalam
tindakan-tindakan kekerasan yang disebutkan itu. Namun nalar naïf yang
gampangan akan dengan mudah mengaitkan kekerasan tersebut --lebih-lebih dengan
pelaku yang menggunakan symbol-simbol Islam-- dengan umat Islam selaku penduduk
mayoritas. Fakta kekerasan yang sering ditunjukkan secara gampangan dengan umat
Islam antara lain kasus bom Bali, Marriot, dan bom malam natal. Konflik di
Maluku dan Poso, yang sering dikatakan melibatkan kelompok radikal Kristen dan
Muslim. Berdirinya laskar-laskar beratribut Islam. Belakangan isu terorisme
yang ditudingkan kepada Jamaah Islamiyah dan Al-Qaeda, yang keduanya beratribut
gerakan Islam, meskipun tudingan serampangan itu sulit dibuktikan keberadaannya
di Indonesia.
Nalar gampangan itu di satu pihak
akan menggiring pada asumsi bahwa ternyata Islam yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk Indonesia belum menjadi kekuatan profetik dalam mempengaruhi perilaku
para pemeluknya maupun mempengaruhi kondisi bangsa ini. Di pihak lain secara
gampangan akan muncul pula asumsi bahwa karena mayoritas di negeri ini kaum
muslim maka kebanyakan tindakan-tindakan kekerasan dan hal-hal buruk yang
terjadi di negeri ini sedikit atau banyak melibatkan pribadi-pribadi muslim.
Asumsi kedua yang naïf tersebut tentu saja berlaku bagi negeri-negeri mayoritas
agama lain di negeri-negeri lain dan hal itu tidak terlalu salah juga karena
seudah selayaknya agama yang dipeluk itu memiliki korelasi dengan kondisi dan
perilaku masyarakat di mana agama-agama itu tumbuh dan dipeluk para umatnya.
Sebab jika agama dan keberagamaan tidak lagi bertanggungjawab pada lingkungan
dan kondisi di mana dia berada maka siapa lagi yang harus bertanggungjawab?
Bahwa tidak sepenuhnya logika itu menggambarkan fakta dan kenyataan empirik dan
tidak dengan sendirinya harus terjadi secara kausalitas seperti itu memang
benar adanya. Tetapi substansinya ialah bagaimana agama dan keberagamaan para
pemeluknya --termasuk Islam dan umat Islam--
harus bertanggungjawab pada kehidupan di mana dia berada sebagai bentuk
dari aktualisasi rislah Islam itu sendiri untuk membawa rahmatan lil-‘alamin.
Kekerasan
sebagai fenomena yang kompleks pada umumnya muncul karena faktor-faktor yang
juga kompleks. Faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi, ketidak-adilan,
kondisi politik dan pemerintahan, kondisi sosial yang patologis, dan
faktor-faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Faktor
internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan
dari negera-negara maju, dan tata hubungan dunia yang tidak berkembang
sebagaimana mestinya. Kedua faktor tersebut sering bertemu dengan faktor-faktor
situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, yang menjadi
titik pemicu terjadinya kekerasan. Munculnya fenomena fundamentalisme agama
yang militan misalnya baik di kalangan Islam, Kristen maupun Yahudi menurut
Amstrong terkait sebagai respons terhadap sergapan sekularisme dan modernitas
yang agresif, yang dianggap bukan saja meminggirkan agama sebagai sekadar
urusan pribadi tetapi juga untuk memelihara agama dari pemusnahan oleh
sekularisme dan modernitas itu”.(Karen Amstrong,, 2001: 576).Di sini
radikalisme agama baik sebagai fenomena keberagamaan maupun dalam kaitannya
dengan tindakan-tindakan kekerasan yang sering dikaitkan dengan agama bukan
gejala yang terjadi dengan sendirinya.
Dalam
konteks agama-agama dan umat beragama munculnya kekerasan selain karena
faktor-faktor struktural, kultural, dan situasional sebagaimana digambarkan
tadi, juga sampai kadar tertentu memiliki kaitan substansi atau simbolik dengan
pesan-pesan ajaran yang dalam aktualisasinya disalahtafsirkan atau memperoleh
pemaknaan-pemaknaan yang dangkal seperti konsep jihad dalam Islam atau crusade
di kalangan Krsitiani, yang oleh Tariq Ali (2002) dikatakan melahirkan “the
clash of fundamentalisms”. Yakni tumbuhnya individu-individu dan
kelompok-kelompok fanatik-buta dalam beragama dan menyikapi pemeluk agama lain
maupun dalam merespons perkembangan yang dianggap tak menyenangkan yang
melahirkan radikalisme agama di sejumlah belahan dunia.
Fenomena radikalisme dan fundamentalisme yang rigid bahkan
melahirkan apa yang oleh Frank Graziano (1992: 11) disebut dengan divine
violence, kekerasan bersifat ketuhanan. Gejala divine violence
menurut Graziano menawarkan proyek keselamatan (salvation) yang memicu semangat
perang salib dan mesianisme di Eropa abad tengah, juga radikalisme kaum
kristiani di Amerika Latin. Dengan kata lain, kekerasan sampai batas tertentu
memiliki basis-basis nilai (sistem keyakinan) atau basis-basis kultural (sistem
pengetahuan kolektif) pada individu dan kelompok yang melakukannya, selain
karena faktor-faktor struktural, kultural, dan situasional pada tingkat
makro.Radikalisme agama yang sering dikaitkan dengan militansi yang melahirkan
kekerasan, bahkan secara negatif menuding lahirnya “koalisi gelap” antara agama
dan kekerasan, yang kemudian disebut fenomena religion-violence atau
kekerasan agama. Kekerasan agama melahirkan peran kosmis antarmanusia khususnya
para pemeluk agama. Dalam konteks inilah agama sering dijadikan sebagai sumber
ideologi, motivasi, dan struktur organisasional bagi para pelaku kekerasan
atasnama agama (Mark Juergensmeyer, 2002: 6).
Bagi Islam dan umat Islam sesungguhnya kekerasan dalam bentuk apapun
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan pesan luhur Islam sendiri sebagai
agama pembawa risalah perdamaian. Kekerasan negara (aparat pemerintah dan
institusi-institusi represif) terhadap warga negara, kekerasan terhadap
anak-anak dan perempuan, kekerasan yang dilakukan kelompok terhadap kelompok lain
atau terhadap individu, kekerasan individu terhadap individu lainnya, merupakan
bagian dari agenda untuk diperangi melalui dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Dengan kata lain gerakan perdamaian dan antikekerasan haruslah merupakan bagian
dari risalah dakwah Islam.
Langkah-langkah aktual yang dapat dilakukan dari gerakan perdamaian
dan antikekerasan dalam pespektif Islam antara lain: (1) Mengembangkan paham
atau pemikiran keagamaan yang berorientasi pada perdamaian dan antikekerasan
(teologi perdamaian, fikih perdamaian, dan etika perdamaian) dengan memberi
makna atau penafsiran yang lebih luas dan mendalam tentang jihad fiy sabilillah dan mengeliminasi
paham-paham keagamaan yang sempit dan cenderung konfrontatif, (2) Mengembangkan pendidikan perdamaian sebagai
upaya mewujudkan budaya perdamaian dan budaya antikekerasan dalam masyarakat
melalui berbagai media di keluarga, sekolah, dan lingkungan pergaulan
sosial. (3) Mengembangkan
kelompok-kelompok umat untuk gerakan perdamaian dan antikekerasan sebagai bagian
dari Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah, (4) Mengembangkan jaringan komunitas
sebagai kelompok penekan (pressure groups) terhadap kebijakan-kebijakan
negara dan berbagai tindakan-tindakan kekerasan dalam masyarakat, termasuk
mendorong tegaknya fungsi hukum dalam mengeksekusi tindakan-tindakan kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar