A. PENDAHULUAN
Memasuki usia 64 tahun Indonesia Merdeka, bangsa
Indonesia saat ini masih menghadapi krisis multidimensi. Selain krisis ekonomi,
krisis moral dan spiritual serta disorientasi nilai dan visi kebangsaan masih
menjadi masalah yang krusial yang dihadapi bangsa ini. Berbagai kasus dan
perilaku amoral dikalangan politisi, maraknya politik uang & skan-dal suap
dan KKN di kalangan birokrat, menandai kian terbukanya orien-tasi kekuasaan
para elit dan melemahnya kepekaan dan visi kebangsaan mereka dalam menghadapi
problem bangsa yang begitu kompleks.
Berbagai krisis tersebut menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia saat ini tengah menghadapi krisis visi dan karakter kebangsaan.
Bangsa ini yang direpresentasikan oleh
para elit politik dan warganya kehilangan pijakan dan orientasi nilai dalam
sikap dan tindakannya. Tindakan-tin-dakan yang seharusnya berpijak pada nilai
etika dan moralitas (akhlakul karimah),
benar-salah, baik-tidak baik, pantas-tidak pantas sering dikalah-kan pada
orientasi pragmatisme dan kepentingan sesaat para penguasa. Kondisi ini
diperparah oleh melemahnya sikap dan ketegasan dalam menghadapi pihak asing di
era percaturan global dengan mengorbankan prinsip menjaga harkat dan martabat
bangsa. Bangsa ini seolah-olah telah kehilangan jati diri dan arah dalam
mencapai cita-cita luhur para pendiri republik ini (the founding fathers).
Pada sidang tanwir Muhammadiyah tahun 2009 ini, yang
mengu-sung tema “Muhammadiyah Membangun Visi dan Karakter Bangsa” me-rupakan
momentum yang penting dan saat yang tepat bagi kita (warga Muhammadiyah) untuk
merenungkan kembali apakah pendidikan ke-bangsaan kepada anak - anak didik
masih secara konsiten kita lakukan. Bagaimana kita memberikan pengertian
bahwa konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mempersatukan bangsa
Indonesia sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan saat ini. Kenyataan
di masyarakat mencer-minkan bahwa pemahaman tentang arti negara dan bangsa di
kalangan anak didik sangat minim dan bahkan sangat memprihatinkan.
Banyak pelajar yang tidak mengetahui siapa WR Supratman,
juga banyak yang tak mengenal bagaimana lagu Indonesia Raya. Bendera
merah putih lebih melekat sebagai warna yang muncul saat perayaan tujuh belas
agustusan dan bukan merah putih sebagai keberanian bangsa Indonesia untuk
berjuang dengan kesucian tekad memakmurkan negara Indonesia tercinta. Bahkan
ada diantara anak didik yang tidak hafal bunyi sila-sila Pancasila. Di beberapa
sekolah, terutama di kota besar, sudah tidak dijumpai lagi upacara bendera hari
Senin pagi, juga tak ada upacara bendera hari besar Nasional. Praktis
anak - anak didik sedikit sekali men-dapat kesempatan untuk mengenal nilai
kebangsaan Indonesia sebagai nilai untuk merekatkan persatuan bangsa Indonesia.
Memperhatikan kenyataan di atas jangan terkejut kalau
negara dipahami oleh anak didik sebagai pemerintah, pemerintah sebagai partai
politik dan dengan melihat seringnya elit politik “berantem” maka partai
politik dirasa “memuakkan”. Akhirnya mereka memahami konsep ber-bangsa
dan bernegara sebagai sesuatu yang memuakkan.
Anak Indonesia sekarang asing dengan kebudayaan
Nusantara. Anak Indonesia lebih mengenal lagu-lagu Barat dan tarian dansa
daripada lagu dan tari-tarian Indonesia. Anak Indonesia lebih bangga
menggu-nakan atribut Barat daripada atribut, nilai dan adat lokal
ke-Indonesiaan. Anak Indonesia lebih suka menonton kartun daripada acara
pergelaran budaya atau cerita rakyat. Mengapa hal demikian terjadi? Salah satu
penyebabnya adalah pendidikan di sekolah tidak pernah mengajarkan budaya
nasional Indonesia. Padahal, menurut Romo Mangun dan Muji Sutrisno (2007),
memperbaiki edukasi di Indonesia harus dimulai dari sekolah dasar, karena yang
harus dibenahi ialah persoalan mendasar, yakni alur berpikir (mind set) atau logikanya.
Karena itu, membuat “Sekolah Kebangsaan” (seperti yang
dilakukan di SMAN 11 Yogyakarta – dan SMA Taruna Nusantara Magelang, Jawa
Tengah) yang dimulai
pada tingkat SMA, menurut banyak pengamat pendidikan adalah sebuah kesia-siaan.
Sekolah Kebangsaan hanya akan menjadi "gong" di awal sebuah
pergelaran wayang. Artinya, Sekolah Kebangsaan hanya akan menjadi proyek sesaat
karena ada momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional di tahun 2008
kemarin. Jika serius memperhatikan persoalan pendidikan ini, sudah saatnya
pemerin-tah mengagendakan pendidikan kebangsaan pada level pendidikan pra
sekolah dan pendidikan dasar (sekolah dasar). Artinya, "nasionalisme"
kurikulum, buku pelajaran, dan cara mengajar guru menjadi agenda mendasar. Guru
tidak hanya mengajarkan nama-nama suku bangsa atau pakaian adat Indonesia.
Lebih dari itu guru harus menjadi pendidik yang mendidik. Mendidik peserta
didiknya agar memahami bahwa bangsa ini memiliki banyak ragam budaya. Ragam
budaya Indonesia tidak kalah dengan budaya asing. Bahkan, ragam budaya
Indonesia lebih memiliki nilai (luhur) daripada kebudayaan asing. Hal ini tentu
dengan tetap mengontrol kesesuaiannya dengan nilai akhlakul karimah, yang lebih
lanjut mengokohkan jati diri dan karakter bangsa.
Demikian pula buku pelajaran yang diadopsi dari
kurikulum. Con-toh-contoh dalam buku pelajaran yang tidak sesuai dengan budaya
Indo-nesia sudah saatnya diganti. Memperkenalkan keragaman budaya sejak dini
lebih berarti dan mempunyai nilai daripada harus membuat Sekolah Kebangsaan
yang belum tentu dapat melahirkan sosok yang memiliki nasionalisme (bangga
sebagai bangsa Indonesia) tinggi. Pada akhirnya, mengagendakan pendidikan
kebangsaan yang dimulai dari tingkat pendi-dikan pra sekolah dan pendidikan
dasar dan diseluruh lapisan masya-rakat akan lebih mempunyai nilai daripada
membuat Sekolah Kebangsaan yang "dipaksakan" karena ada momentum 100
tahun kebangkitan nasional.
Pendidikan kebangsaan merupakan salah satu konsekuensi
paling penting dari pembangunan kebangsaan untuk mewujudkan integritas bangsa
Indonesia. Konsep pendidikan kebangsaan dapat dipandang seba-gai renaisans
pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk memberikan keseimbangan pendidikan
antara kecerdasan otak (IQ), kecerdasan hati (EQ, SQ dan MQ), dan kecerdasan
kinestetik (KQ) melalui integrasi dengan sistem pendidikan yang sudah ada dan
berjalan saat ini. Pendi-dikan kebangsaan
sangat urgen untuk dilakukan
karena nilai kebang-saan yang dimiliki generasi muda mulai luntur, jika
nilai itu tidak ada lagi maka tidak akan ada integritas diri yang mampu
bersaing di era global.
Berdasarkan fenomena di atas, maka dirasa begitu urgen
dan mende-sak untuk memikirkan kembali (rethinking)
dan menata ulang (reshaping) visi dan
strategi pendidikan kebangsaaan di Indonesia untuk menghadapi era globalisasi
yang mengancam integrasi bangsa dan menggerus nilai-nilai kebangsaan saat ini.
B. RELEVANSI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DENGAN DAKWAH MULTIKULTURAL MUHAMMADIYAH DI ERA GLOBAL
“Zamrud Khatulistiwa” merupakan julukan khas bagi wilayah
Indonesia sebagai negara kepulauan. Rentetan kepulauan yang indah merupakan
potensi kekayaan alam yang belum banyak tergali, secara geografis terdiri dari
17. 508 pulau besar dan kecil, dari kekayaan buda-yanya Indonesia merupakan
negara yang masyarakatnya multietnis, dengan lebih dari 100 etnis dan sub
setnis, dan tercatat 583 bahasa dan dialek lokal di seluruh Indonesia.
Kondisi Indonesia
sebagai negara besar yang pluralis dan multi-kultural di atas, merupakan sebuah
realitas obyektif. Besar karena wila-yahnya amat luas, dan jumlah penduduknya
yang demikian banyak dan plural, karena keanekaragaman budaya (suku/etnis, ras,
adat-istiadat, bahasa dan agama), yang secara filosofis terungkap dalam
semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Indonesia hadir tidak lepas dari konsep
kehadiran sebuah negara bangsa (nation-state)
yang tumbuh dari kesadaran nasionalisme para pejuang dan pendiri bangsa.
Munculnya kesadaran berbangsa, merupakan satu modal men-dasar yang amat penting artinya bagi kehadiran
bangsa Indonesia. Di sinilah peran nasionalisme hadir dan mewarnai
berkembangnya sebuah bangsa.
Apakah bangsa itu? (Qu’est
ce qu’une nation?) pertanyaan ini pernah dilontarkan oleh Ernest Renan pada tanggal 11 Maret 1882
(lebih dari dua abad yang lalu) di Universitas Sorbonne - Perancis. Kenyataanya,
hingga kini belum juga ditemukan jawaban yang ‘tetap’ dan memuaskan
semua pihak. Pendeknya masalah kebangsaan menjadi salah satu per-soalan penting
yang terus dikaji, diteliti, bahkan hingga masa kini.
Menurut Ernest Renan (1823-1892), yang pendapatnya sering
diku-tip Bung Karno, Bangsa.... hadir karena ada kesamaan nasib dan
penderitaan, serta adanya semangat dan
tekad untuk berhimpun dalam sebuah “nation”. Lebih lanjut Renan berpendapat,
“....bangsa itu ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya
kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi
korban itu lagi.... manusia itu bukanlah budak dari keturunannya (ras) atau dari
bahasanya, atau dari agamanya, ..... Suatu kumpulan besar manusia, yang sehat
jiwanya dan berkobar-kobar hatinya, menimbulkan suatu kesadaran batin yang
dinamakan bangsa”. Dengan demikian,
bangsa hadir bukan dikarenakan adanya kesamaan budaya, suku, ras, etnisitas,
agama dan pertimbangan-pertimbangan ikatan primodialisme yang lain, tetapi
lebih menekankan pada adanya kesamaan nasib dan keinginan untuk hidup bersama
dalam sebuah komunitas bangsa.
Dalam konteks yang demikian, maka bangsa Indonesia adalah
sebuah komunitas pasca primordial – di mana realitas pluralisme dan
multikulturalisme (keanekaragaman dan kemajemukan) bukan lagi dipan-dang
sebagai masalah, tetapi sebuah realitas objektif pembentuk bangsa dan merupakan
modal utama bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika ini.
Kemajemukan bangsa
Indonesia, meminjam istilah yang dipo-pulerkan Benedict Anderson (1983) perlu
dipahami sebagai suatu realitas konstruksi sosial komunitas-komunitas terbayang
(imagined communities). Kemajemukan
yang tergambar dalam ujar-ujar “Bhinneka tunggal ika” bertujuan membangun
solidaritas yang positif, baik pada level nasional atau level yang lebih kecil.
Sebagai komunitas terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak
bakal tahu dan tidak kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap
muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang
mereka. Semu-anya menjadi konsep komunitas politik ketika ditiupkan konsep
sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka, yang pada saat yang sama komunitas
itu berubah menjadi sesuatu yang terbayang berada dalam bangunan bayang-bayang
citra sebagai komunitas politik dan ingin menyatukan semua yang berada dalam
batas-batas kesamaan itu. Dalam arti itu, bangsa Indonesia adalah proyeksi ke
depan dan sekaligus ke belakang. Karena itu tidak pernah dikatakan bangsa itu
“lahir” melainkan ia “hadir” dalam formasi sebagai suatu historical being sebagaimana dikatakan komunitas-komunitas
terbayang.
Yang dibutuhkan
sekarang adalah bagaimana memelihara sema-ngat ke-bhinneka tunggal ika-an itu? Inilah yang sampai sekarang kita
dihadapkan pada berbagai permasalahan. Satu sisi kita ingin persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia terjalin secara kuat, namun di sisi lain, berbagai
kebijakan yang diambil berpotensi ke arah penyeragaman, yang pada gilirannya
justru menghancurkan budaya lokal yang asli
(local cultural genius). Padahal
tradisi sosio-kultural lokal itu merupakan kekayaan yang tidak ternilai bukan
hanya bagi masyarakatnya sendiri tetapi bagi masyarakat-masyarakat lain.
Tradisi lokal ini juga merupakan defense
mechanism dan sekaligus early warning
system yang dapat meme-lihara integrasi dan keutuhan soso-kultural
masyarakat bersangkutan.
Sebagai contoh,
politik penyeragaman tergambar dalam sistem pendidikan nasional Indonesia yang
selama ini bercorak “monokul-turalisme”, serba penyeragaman demi stabilitas dan
integrasi bangsa. Pemaksaan ini menjadi bagian dari pemicu munculnya berbagai
konflik sosial di beberapa daerah yang sekaligus telah menegasikan semangat
persatuan dan kesatuan dalam keragaman yang disinyalir akibat masyarakat
tercerabut dari nilai-nilai lokal mereka yang genuin.
Tabel 1. Transformasi Masyarakat Bhinneka
Tunggal Ika Indonesia
Masyarakat Majemuk
(plural society)
|
Masyarakat Multikultural
(multicultural
society)
|
|
terdiri
dari dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, namun
tanpa membaur dalam satu unit politik yang tunggal.
|
sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya
seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis
orang lain.
|
Pembahasan selanjutnya, membangkitkan dan menumbuhkan
rasa nasionalisme atau rasa tanggungjawab kebangsaan merupakan esensi dari
pendidikan kebangsaan yang terpenting dalam proses “character and national building. Tidak ada bangsa yang hadir tanpa
nasionalisme – tentu saja dengan kadar dan konteks masing-masing, sesuai dengan
histori dan banyak faktor yang mempengaruhinya.
Ada satu hal menarik tentang paham kebangsaan di antara
Bapak pendiri negara Indonesia (the
founding fathers). Mohammad Hatta pernah mengatakan bahwa sulit memperoleh
kriteria yang tepat apa yang menen-tukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan
pada kesamaan asal, persa-maan bahasa dan persamaan agama. Menurut Hatta,
“bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan
sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan
yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan
yang bertambah besar oleh karena sama
seperun-tungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh
karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya karena peri-ngatan kepada
riwayat bersama yang tertanam dalam hati
dan otak (Mohammad Hatta; beberapa pokok pikiran : Jakarta UI-Press,
1992). Pemahaman kebangsaann yang demikian ini terasa pas saat melihat situasi
faktual di berbagai daerah. Sepertinya Bung Hatta lebih jujur dalam memandang
fenomena kebangsaan Indonesia, tidak memanipulasi pikiran dan konsepnya relevan
sepanjang masa.
Saat ini banyak pengamat nasional atau “ahli wawasan
kebangsa-an” yang mengeluhkan tentang wawasan kebangsaan yang mulai pudar di
masyarakat. Banyak pelajar dan pemuda yang tidak hafal lagu Indo-nesia Raya,
tidak tahu nama-nama pahlawan, suka meminta bantuan kepada bangsa asing,
meminta otonomi lebih besar dan sebagainya. Merujuk pada pernyataan Bung Hatta
di atas, bahwa adanya kesamaan nasib antara semua anak bangsa menjadi semakin
mengecil dan memu-dar. Jika kita tepat dan berhasil menanamkan dan
membangkitkan kem-bali wawasan kebangsaan pada anak–anak kita melalui
pendidikan kebangsaan yang aktual dan kontekstual, tentunya krisis wawasan
kebangsaan dan nasionalisme Indonesia tersebut bisa kita tanggulangi.
Sekarang yang menjadi persoalan adalah bagaimana
relevansi pendidikan kebangsaan dengan gerakan dakwah Muhammadiyah di Era
global? Untuk menjawabnya tentunya kita
harus melihat pada sejarah perjalanan gerakan Muhammadiyah dari mulai berdiri
sampai saat ini. Dengan mengacu pada rumusan hasil tanwir Muhammadiyah sebe-lumnya,
maka esensi dan relevansi dari pendidikan kebangsaan dengan dakwah Muhammadiyah
Multikultural di era Global adalah sebuah representasi , implementasi dan aksi
nyata dari dakwah kultural yang dirumuskan pada Tanwir Muhammdiyah di Bali
(2002) yang lalu.
Menurut Said
Ramadhan (dalam Abdurahman, 2003:26) dakwah kultural esensinya adalah “dakwah
empati”, yaitu dakwah yang berang-kat dari asumsi perbedaan budaya
(multikultural), menghilangkan Mu-hammadiyah sentrisme, stereotipe dan prejudice,
juga superioritas terhadap kelompok lain.
Dalam konteks ini, maka menurut penulis, perlu dilakukan
perge-seran dan penegasan kembali esensi dakwah kultural menjadi “dakwah
multikultural Muhammadiyah” untuk membentuk manusia yang multi-kultur (sebagai
ciri kewarganegaraan “warganegara multikultur” di abad 21 yang sarat dengan
globalisasi). Ciri warganegara
multikultural di abad 21 sebagai pencerminan masyarakat multikultural yang
hendak dibangun Indonesia adalah masyarakat yang semakin meneguhkan semangat bhinneka tunggal ika sebagai upaya untuk
membangun integrasi dan demokrasi Indonesia.
C. MASYARAKAT MULTIKULTURAL DAN KOMPETENSI
KEWAR-GANEGARAAN MULTIKULTURAL
Karakteristik masyarakat multikultural yang diharapkan
ialah ma-syarakat yang mampu menegakkan suatu kehidupan bersama yang
demokratis, mengakui akan martabat manusia yang sama (human dignity), menghormati akan keanekaragaman dalam masyarakat
Indonesia, dan bertekad untuk membangun kesatuan Indonesia dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat multikultural baru yang dikehendaki bangsa ini
adalah manusia Indonesia “CERDAS” (cerdik-pandai,
energik-kreatif, responsive terhadap masyarakat demokratis, daya guna, akhlak mulia,
dan sopan santun). Manusia Indonesia
yang cerdik pandai (educated) digambarkan
memiliki kompetensi kemampuan analitis, dapat mengambil pilihan, menguasai ilmu
pengetahuan, dan gemar belajar; manusia Indonesia yang energik-kreatif ditandai dengan daya kreatif, rajin dan kerja
keras, dan tahan uji; manusia Indonesia yang responsif terhadap demokratis ditandai oleh toleransi terhadap
perbedaan, persatuan Indonesia yang pluralistik, dan inklusivisme; manusia
Indonesia yang memiliki daya guna (skilled)
ditandai oleh keterampilan yang bermanfaat, dan mampu memanfaatkan sumber daya
alam Indonesia; manusia Indonesia yang berakhlak mulia (moral, religious) ditandai oleh sikap bermoral, antikorupsi,
antikolusi, antinepotisme, dan religious; dan manusia Indonesia yang sopan
santun (civilizes) dikarakteristikkan
sebagai individu yang mengenal adat istiadat setempat dan mengenal tata
pergaulan internasional.
Pengembangan masyarakat multikultural memerlukan sejumlah
kompetensi kewarganegaraan yang dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif
dan normatif, yang menggambarkan isyu-isyu dan masalah-masalah pendidikan
berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh masyarakat multikultural
juga mencakup pengertian tentang pertim-bangan terhadap kebijakan-kebijakan dan
strategi-strategi bagi pendi-dikan bagi peserta didik di dalam masyarakat multikultural.
Dalam kon-teks deskriptif dan normatif ini, maka kompetensi kewarganegaraan
multikultural dapat mengacu kepada tiga rumusan kompetensi yang disusun UNESCO,
yaitu: 1) menata diri dan berempati pada orang lain; 2) bekerjasama dengan
orang/kelompok lain dari latar belakang yang belum tentu sama; dan 3) mengakui
bahwa konflik itu inheren pada interaksi sosial manusia, dan perlu dilakukan
penataan dan resolusi yang diperlu-kan sebagai modal sosial (social capital) bangsa.
Branson (1998)
menyebutkan, paling tidak ada tiga kompetensi kewarganegaraan multikultural
yang diperlukan untuk berkembangnya masyarakat multikultural Indonesia.
Kompetensi yang diperlukan terse-but adalah :
Pertama,
pengetahuan kewarganegaraan (civic
knowledge). Kompe-tensi ini berkaitan dengan kandungan atau apa yang
seharusnya dike-tahui oleh warganegara untuk berkembangnya warganegara dan
masya-rakat Indonesia multikultural. Dalam komponen pertama ini, setiap
warganegara seyogyanya memiliki seperangkat pengetahuan dan mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tema-tema toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama; bahaya
diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas;
kemanusiaan universal, politik dan pemerintah; prinsip-prinsip rule of law; separation of power; checks and
balances; dan subyek-subyek lain yang relevan.
Kedua, kecakapan kewarganegaraan (civic skills). Mengacu pada pendapat Branson (1998) paling tidak
ada dua kecakapan yang mesti dimiliki warganegara sebagai kompetensi
kewarganegaraan multikul-tural, yaitu kecakapan intelektual (intellectual skill), dan kecakapan
berpartisipasi (participation skill).
Pada komponen kompetensi kedua ini, setiap warganegara perlu dibekali dengan
kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengidentifikasi (menandai/menunjukkan); meng-gambarkan (memberikan
uraian/ilustrasi); menjelaskan (mengklarifikasi/ menaf-sirkan), menganalisis;
mengevaluasi pendapat/posisi (menggunakan kri-teria/ standar untuk membuat
keputusan); mengambil pendapat/posisi; memper-tahankan pendapat/posisi terhadap
tema-tema toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama;
bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan
pluralitas; kemanusiaan universal, politik dan pemerintah; prinsip-prinsip rule of law; separation of power; checks and balances; dan subyek-subyek lain yang relevan.
Dari segi kecakapan
partisipasi, kewarganegaraan multikultural akan ditandai oleh kemampuan untuk
1) berinteraksi dalam masyarakat dan kebudayaan yang memiliki latar belakang
berbeda dengan masya-rakat dan kebudayaan yang dimilikinya dengan mengedepankan
prinsip toleransi, saling menghormati, dan saling menghargai dalam
kesedera-jatan; 2) Memantau/memonitor masalah-masalah publik terutama dalam
penanganan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara individu
(waranegara) dengan sesama individu (warganegara), hubungan antara kelompok
sosial yang berbeda, dan antara warganegara dengan negara; dan 3) Mempengaruhi
proses politik pemerintahan baik secara formal maupun informal untuk menegakan
prinsip-prinsip pluralism dan multikulturalisme.
Dalam dimensi yang lain Adler dalam Ramadhan (2003)
menye-butkan bahwa manusia multikultural adalah manusia yang identitas dan
loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan, etnis, agama, kelompok dan
budaya. Komitmen ini bertaut dengan suatu pandangan bahwa dunia adalah suatu
komunitas global. Manusia multikultural adalah manusia yang secara intelektual
dan emosional terikat pada kesatuan fundamental kemanusiaan. Oleh karenanya,
mereka pada saat yang sama juga menga-kui, menerima dan menghargai
perbedaan-perbedaan mendasar dengan orang-orang yang berbeda budaya
dengannya.
Merupakan sebuah realitas empiris, jika bangsa Indonesia
adalah bersifat plural. Di tengah pluralitas budaya, benturan merupakan sesuatu
yang sulit dihindari. Hal ini di antaranya disebabkan oleh perbedaan nilai yang
dimiliki oleh masing-masing kelompok budaya tersebut. Benturan-benturan ini
mencapai klimaksnya ketika dibumbui oleh isu-isu agama. Dari sinilah saya
melihat pentingnya ijtihad “pendidikan kebangsaan” untuk mengantisipasi gejala
disintegrasi yang kian eskalatif akhir-akhir ini. Menjadi tanggung jawab kita
semua untuk mempertahankan sema-ngat dan nilai-nilai persatuan-kesatuan bangsa
di tengah masyarakat yang pluralis-multikultural ini.
Memang sulit menghindari benturan-benturan di tengah
pluralitas budaya, etnik dan agama. Namun ini tidak berarti kita tidak mampu
mencari solusinya. Saya melihat sebenarnya sudah saatnya kita mengu-payakan
sebuah cross-cultural dialog. Dialog di sini lebih berorientasi pada
dialog antarnilai. Teori ini didasarkan pada satu asumsi bahwa di dalam
keragaman budaya, etnik dan agama sebenarnya terdapat satu nilai universal, yaitu
nilai-nilai kebangsaan dan senasib seperjuangan. Nilai universal inilah sebenarnya yang perlu
kita kembangkan menjadi sebuah konstruk budaya nasional, karena nilai-nilai itu
secara inheren terdapat pada setiap budaya yang ada. Dengan kata lain,
di tengah keanekara-gaman budaya, sebenarnya juga terdapat national morality.
Pengembangan warganegara multikultural mensyaratkan
dimiliki-nya sikap nasionalisme sebagai kemampuan-kemampuan minimal yang harus
dimiliki oleh setiap warganegara, yang menuntut komitmen yang kuat dan
konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD
1945. Hal ini perlu ditumbuhkembangkan secara terus menerus untuk memberikan
pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada
setiap WNI.
D. NASIONALISME - GLOBALISASI DAN PERAN MUHAMMADI-YAH
DALAM PENDIDIKAN KEBANGSAAN
Dalam kamus internasional (Raliby, 1982: 98) disebutkan
nasio-nalisme adalah rasa kebangsaan, kesadaran diri, yang meningkatkan
berwujudkan kecintaan melimpah kepada tanah air dan bangsa sendiri.
Senada dengan pendapat di atas, M. Said dan Junimar Affan
(1987:272) menyatakan bahwa:
Nasionalisme adalah
rasa kebangsaan berupa keinsyafan untuk mengabdi dan bersatu buat negara,
karena terikat oleh perasaan yang
bersumber pada jiwa, dinyatakan oleh persatuan bahasa, adat dan tujuan yang
sama.
Memperhatikan pendapat-pendapat tersebut, makna sikap
nasio-nalisme lebih menitikberatkan kepada keadaan jiwa yang berupa kein-syafan
dan kesadaran berbangsa sebagai suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena
kesamaan sejarah, kebersamaan kepentingan, rasa senasib dan sepenanggungan
dalam menghadapi masa lalu, kini dan akan datang. Sikap nasionalisme juga
diwarnai dengan kesamaan pandangan, harapan tujuan, budaya, bahasa, cita-cita
dan kecintaan kepada tanah air. Dengan kata lain, sikap nasionalisme adalah
perekat yang mempersatukan dan memberikan dasar kepada jati diri sebagai
bangsa. Sikap nasionalisme tidaklah dapat dinyatakan adanya, tetapi hanya dapat
diketahui gejala dan bukti keberadaannya.
Persoalannya sekarang adalah nasionalisme dewasa ini
tergradasi oleh adanya arus globalisasi. Pertanyaannya mengapa hal ini
terjadi? Jawaban sederhana yang dapat
dipakai sebagai argumentasinya adalah bahwa dalam proses menuju masyarakat modern seiring dengan laju
era pembangunan yang secara sadar dan terencana berusaha menyesuaikan diri
dengan konstelasi negara-negara yang telah maju. Bersama itu pula bangsa
Indonesia terlibat dalam arus globalisasi yang tidak bisa dihindari. Bahkan dapat dikatakan seperti sungai yang
terus mengalir, dan Indo-nesia sesungguhnya tengah meluncur ke muara itu. Tidak
mungkin melawan arus. Sebab bila melawan arus, itu sama artinya dengan hendak
mengucilkan diri dari tatanan pergaulan dunia global, dan itu sudah pasti akan
menjadikan Indonesia semakin tertinggal.
Siap atau tidak siap kita akan melaluinya, yang terpenting kita memiliki
kekuatan dan jati diri kebangsaan. “Kita harus kuat iman”.
Era globalisasi yang terus bergulir dengan bertumpu pada
sentra-sentra kekuatan negara hegemonik, akan menggoyang nasionalisme suatu
bangsa. Inilah satu sisi terpaan angin globalisasi yang membawa dampak negatif
terhadap nasionalisme. Namun demikian, era globalisasi juga memberikan
tantangan baru kepada kita, agar lebih giat dan semangat dalam menghadapi
tantangan tersebut. Pada gilirannya nanti, dapat memacu semangat nasionalisme
bangsa Indonesia agar mampu berkom-petisi dalam persaingan global, dan
menciptakan bargaining position
dengan sentra-sentra kekuatan negara hegemonik, pada kesetaraan dan
keseimbangan. Dengan demikian Indonesia memiliki kesempatan yang sama dengan
negara-negara maju untuk memainkan peran baik dibidang ekonomi, politik,
sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini.
Kunci utama dalam menghadapi arus globalisasi adalah
kebersa-maan yang diikat oleh persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan berpegang
teguh pada komitmen tersebut, diharapkan bangsa Indonesia tetap memi-liki sikap
dan semangat nasionalisme yang tinggi. Kita tentu tidak menghendaki, bahwa era
globalisasi yang terus menggelinding ini dapat mengakibatkan pemiskinan,
pembodohan dan pemelaratan. Namun seba-liknya kita menghendaki agar dalam
globalisasi ini, dapat mensejahte-rakan bangsa Indonesia.
Kita dituntut untuk harus mulai membangun sebuah
kesadaran bahwa kita adalah sebuah bangsa yang majemuk, beda suku, agama,
golongan politik, maupun kepentingan. Namun demikian, kemajemukan itu jangan
lantas ditempatkan sebagai sebuah handycap,
tapi sebagai modal dasar bahwa untuk
bisa berjalan bersama kesatu tujuan dibutuh-kan sikap saling percaya, saling
bantu dan saling menghargai. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Utomo (1995: 30) ten-tang nasionalisme Indonesia (merujuk kepada konsep
Negara Integralistik Soepomo), bahwa:
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang
integralistik, dalam arti yang tidak membeda-bedakan masyarakat atau warga
negara atas dasar golongan-golongan atau yang lainnya, melainkan mengatasi
segala golongan dan perorangan untuk persatuan semua lapisan masyarakat
Keanegaraman itu tetap diakui. Singkatnya nasionalisme Indonesia merupakan
semangat yang dapat mem-persatukan bangsa Indonesia dalam perbedaan dan berbeda
dalam persatuan (Bhineka Tunggal Ika).
Dari kutipan di atas, jelaslah bahwa seluruh bangsa
Indonesia harus membina persatuan dan kesatuan bangsa serta antar seluruh warga
negara Indonesia yang berasas satu tekad yang bulat dan satu cita-cita nasional
yang sama tanpa memandang asal-usul, keturunan, suku, daerah, golongan,
kebudayaan, agama dan kepercayaan serta perbedaan-perbedaan yang lainnya.
Kebangsaan Indonesia di masa depan bukanlah nasionalisme
yang bersifat fisik untuk mencapai kemerdekaan, tetapi lebih dimaknai sebagai
nasionalisme kultural yang menghargai kemanusiaan dan kebudayaan bangsa. Paham
nasionalisme tidak sekedar untuk mempersatukan karena ada musuh yang dihadapi,
melainkan nasionalisme yang tumbuh menjadi sebuah ideologi yang bersifat
kultural. Pluralitas masyarakat Indonesia sebenarnya merupakan kekuatan bangsa,
tetapi dalam keadaan tertentu dapat pula
menjadi sebaliknya. Multikultural bangsa Indonesia adalah suatu kenyataan dan perlu mendapat
perhatian untuk dipahami oleh masyarakat dan diarahkan untuk dapat saling
menghargai antar kelom-pok, antar penganut agama, adat dan ras dengan tujuan
akhir adalah semakin menguatnya kebangsaan Indonesia secara kultural.
Dalam konteks yang
demikian, maka Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial kultural keagamaan dapat mengambil peran yang
strategis sebagai pioner, inisiator, motivator sekaligus aktor yang terlibat
secara langsung dalam membangun visi dan karakter bangsa Indonesia memasuki era
globalisasi ini, melalui pendidikan kebangsaan yang aktual dan
kontekstual.
Adapun strategi pendidikan kebangsaan yang dapat diusung
oleh Muhammadiyah adalah melalui dakwah multikultural yang salah satu materinya
berisi pendidikan kebangsaan yang dilakukan di seluruh lapisan masyarakat
(warga dan sekolah-sekolah Muhammadiyah) dengan model yang simpatik dan
bersifat “soft power” dan empati yang
tinggi yang menghargai pluralitas budaya di kalangan warganya.
E. PENUTUP
Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kultural keagamaan
yang menjunjung tinggi paham multikultural, maka harus berani mengapre-siasi
budaya kelompok, etnis dan bangsa lain dengan persepsi yang lebih bersahabat
(simpatik) dan empatik.
Muhammadiyah harus mengakui, menerima dan menghargai
per-bedaan-perbedaan mendasar dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya.
Menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang bersifat multikultural berarti memposisikannya sebagai gerakan
sosial budaya yang terkait pada suatu kesatuan komunitas budaya global. Dengan
menjadi orang Muhammadiyah yang multikultural, sejatinya kita sebagai warga
Muhammadiyah telah berupaya mengurangi konflik antar budaya, antar etnis, antar
kelompok yang menjadi intisari dari pendidikan kebangsaan. Dalam konteks inilah
maka diperlukan adanya upaya untuk melakukan pemikiran kembali (rethinking) dan menata ulang (reshaping) gerakan pendidikan kebangsaan di era global
ini dalam versi dakwah gerakan muhammadiyah multikultural yang lebih simpatik
dan empati dalam jargon ke-bhinneka
tunggal ika-an.
G.
REFERENSI
Abdullah, Taufik (2001)
Nasionalisme & Sejarah, Bandung: Satya Historika.
Abdurrahman, Moeslim
(2003). Muhammadiyah Sebagai Tenda
Kultural, Jakarta Selatan : Maarif Institute.
Aly, A. (2005). “Pendidikan
Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”.
Makalah dipresentasikan pada “Seminar Pendidikan Multikultural
sebagai Seni Mengelola Keragaman”, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya
dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada Sabtu, 8
Januari 2005.
Anderson, Benedict.
(1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism. London: The Thetford Press Ltd.
Azra, A. (2006).
“Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme”.
Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan
Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.
Beiner, R (eds).
(1995). Theorizing Citizenship. New
York: State University of New York Press.
Blum, L.A. (2001). “Antirasisme, Multikulturalisme, dan
Komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”.
Dalam May, Larry, Shari Collins-Chobanian, and Kai Wong (Eds). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan
Multikultural. Terjemahan oleh Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro dari
judul asli Applied Ethics: A Multicultural Approach. Yogyakarta: PT Tiara
Wacana.
Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas:
CCE.
Budimansyah, Dasim.
dan Syam, Syaifullah. (2006). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi
Pendidikan Kewarganegaraan,
Bandung: Laboratorium PKn – FPIPS –UPI.
Cogan, J.J. and Ray
Derricott (eds). (1998). Citizenship for
The 21st Century: An International Perspective on Education. London:
Kogan Page.
Giddens, A. (1986). Kapitalisme
dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max
Weber. Penerjemah: Soeheba Kramadibrata. Jakarta: Universita Indonesia
Press.
Guilbernau, M. (1996).
Nationalism, The Nation State and Nationalism in the Twentieth Century. Cambridge: Polity
Press.
Hamengku Buwono X, Sri
Sultan. (2007). Merajut Kembali Ke
Indonesiaan Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hatta, Mohammad.
(1992). Beberapa Pokok Pikiran,
Jakarta: UI-Press,
Hefner, R.W. (2007). Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan. Terjemahan oleh
Bernardus Hidayat dari judul asli “The Politics of Multiculturalism, Pluralism
and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia”. Yogyakarta: Kanisius.
Kusumohamidjojo, B.
(2000). Kebhinnekaan Masyarakat
Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo.
Mulyana, D. dan
Jalaluddin Rakhmat (eds). (2006). Komunikasi
Antar-budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nasikun. (2003). Sistem
Sosial Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Ohmae, K. (2002). Hancurnya
Negara-Bangsa : Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia
tak Berbatas. Penerjemah Ruslani. Yogyakarta: Qalam.
Poespowardojo,
Soerjanto. (1995). Menuju Integrasi Bangsa Indonesia Masa Depan.
Jakarta: Sejarah, 8. LP3ES.
Renan, Ernest. (1990). “What
Is A Nation ?” dalam Nation and Narration. Diedit oleh Homi Bhabha,
London: Routledge.
Sardo. (2005). Meruntuhkan Paham Sesat Kebangsaan.
Yogyakarta: Resist Book.
M. Said dan Junimar
Affan. (1987). Nasionalisme.
Yogyakarta : Resist Book.
Simatupang, Maurits.
(2002). Budaya Indonesia yang Supraetnis. Jakarta: Sinar Sinanti.
Simbolon, Parakitri.
T. (2000). “Indonesia Memasuki Milenium
Ketiga”, dalam 1000 Tahun Nusantara. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
Sujatmiko, Iwan, G.
(1999) “Integrasi dan Disintegrasi
Nasional” dalam Harian Umum Kompas, 20 Desember 1999.
Sumantri, Endang.
(2008). Seabad Kebangkitan Nasional :
Revitalisasi dan Reaktualisasi Kebangkitan Nasional Menuju Indonesia Baru yang
Adil dan Sejahtera. Bandung: CV
Yasindo Multi Aspek.
Supriadi, Dedi.
(2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Bimbingan dan Konseling
UPI, Bandung.
Supardan, Dadang.
(2002). “Keberhasilan Kebijakan
Multikulturalisme Kanada dan Tantangannya: Studi Hak Azasi Manusia dalam
Perspektif Global”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIS), Bandung:
FPIPS UPI.
Suparlan, Parsudi.
(2002). “Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikutural”. Jurnal Antropogi
Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia.
Suparlan, Parsudi.
(2003b). “Bhineka Tunggal Ika:
Keanekaragaman Suku-bangsa atau Kebudayaan”. Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72, Jakarta:
Universitas Indonesia-Yayasan Obor Indo-nesia.
Tilaar, H.A.R. (2004).
Multikulturalisme: Tantangan-tantangan
Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Grasindo.
Vandenburg. W. (1985).
Minds and Cultures. Toronto: Little Brown and Company, Limited.
Winataputra, U.S. dan
Dasim Budimansyah. (2007). Civic
Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program
Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar