Selasa, 06 November 2012

Rethinking and Reshaping : Visi dan Strategi Pendidikan Kebangsaan di Era Global


A. PENDAHULUAN
Memasuki usia 64 tahun Indonesia Merdeka, bangsa Indonesia saat ini masih menghadapi krisis multidimensi. Selain krisis ekonomi, krisis moral dan spiritual serta disorientasi nilai dan visi kebangsaan masih menjadi masalah yang krusial yang dihadapi bangsa ini. Berbagai kasus dan perilaku amoral dikalangan politisi, maraknya politik uang & skan-dal suap dan KKN di kalangan birokrat, menandai kian terbukanya orien-tasi kekuasaan para elit dan melemahnya kepekaan dan visi kebangsaan mereka dalam menghadapi problem bangsa yang begitu kompleks.
Berbagai krisis tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah menghadapi krisis visi dan karakter kebangsaan. Bangsa ini yang direpresentasikan  oleh para elit politik dan warganya kehilangan pijakan dan orientasi nilai dalam sikap dan tindakannya. Tindakan-tin-dakan yang seharusnya berpijak pada nilai etika dan moralitas (akhlakul karimah), benar-salah, baik-tidak baik, pantas-tidak pantas sering dikalah-kan pada orientasi pragmatisme dan kepentingan sesaat para penguasa. Kondisi ini diperparah oleh melemahnya sikap dan ketegasan dalam menghadapi pihak asing di era percaturan global dengan mengorbankan prinsip menjaga harkat dan martabat bangsa. Bangsa ini seolah-olah telah kehilangan jati diri dan arah dalam mencapai cita-cita luhur para pendiri republik ini (the founding fathers)
Pada sidang tanwir Muhammadiyah tahun 2009 ini, yang mengu-sung tema “Muhammadiyah Membangun Visi dan Karakter Bangsa” me-rupakan momentum yang penting dan saat yang tepat bagi kita (warga Muhammadiyah) untuk merenungkan kembali apakah pendidikan ke-bangsaan kepada anak - anak didik masih secara konsiten kita lakukan.  Bagaimana kita memberikan pengertian bahwa konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mempersatukan bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan saat ini.   Kenyataan di masyarakat mencer-minkan bahwa pemahaman tentang arti negara dan bangsa di kalangan anak didik sangat minim dan bahkan sangat memprihatinkan.
Banyak pelajar yang tidak mengetahui siapa WR Supratman, juga banyak yang tak mengenal bagaimana lagu Indonesia Raya.  Bendera merah putih lebih melekat sebagai warna yang muncul saat perayaan tujuh belas agustusan dan bukan merah putih sebagai keberanian bangsa Indonesia untuk berjuang dengan kesucian tekad memakmurkan negara Indonesia tercinta. Bahkan ada diantara anak didik yang tidak hafal bunyi sila-sila Pancasila. Di beberapa sekolah, terutama di kota besar, sudah tidak dijumpai lagi upacara bendera hari Senin pagi, juga tak ada upacara bendera hari besar Nasional.  Praktis anak - anak didik sedikit sekali men-dapat kesempatan untuk mengenal nilai kebangsaan Indonesia sebagai nilai untuk merekatkan persatuan bangsa Indonesia.
Memperhatikan kenyataan di atas jangan terkejut kalau negara dipahami oleh anak didik sebagai pemerintah, pemerintah sebagai partai politik dan dengan melihat seringnya elit politik “berantem” maka partai politik dirasa “memuakkan”.  Akhirnya  mereka memahami konsep ber-bangsa dan bernegara sebagai sesuatu yang memuakkan.
Anak Indonesia sekarang asing dengan kebudayaan Nusantara. Anak Indonesia lebih mengenal lagu-lagu Barat dan tarian dansa daripada lagu dan tari-tarian Indonesia. Anak Indonesia lebih bangga menggu-nakan atribut Barat daripada atribut, nilai dan adat lokal ke-Indonesiaan. Anak Indonesia lebih suka menonton kartun daripada acara pergelaran budaya atau cerita rakyat. Mengapa hal demikian terjadi? Salah satu penyebabnya adalah pendidikan di sekolah tidak pernah mengajarkan budaya nasional Indonesia. Padahal, menurut Romo Mangun dan Muji Sutrisno (2007), memperbaiki edukasi di Indonesia harus dimulai dari sekolah dasar, karena yang harus dibenahi ialah persoalan mendasar, yakni alur berpikir (mind set) atau logikanya.
Karena itu, membuat “Sekolah Kebangsaan” (seperti yang dilakukan di SMAN 11 Yogyakarta – dan SMA Taruna Nusantara Magelang, Jawa Tengah) yang dimulai pada tingkat SMA, menurut banyak pengamat pendidikan adalah sebuah kesia-siaan. Sekolah Kebangsaan hanya akan menjadi "gong" di awal sebuah pergelaran wayang. Artinya, Sekolah Kebangsaan hanya akan menjadi proyek sesaat karena ada momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional di tahun 2008 kemarin. Jika serius memperhatikan persoalan pendidikan ini, sudah saatnya pemerin-tah mengagendakan pendidikan kebangsaan pada level pendidikan pra sekolah dan pendidikan dasar (sekolah dasar). Artinya, "nasionalisme" kurikulum, buku pelajaran, dan cara mengajar guru menjadi agenda mendasar. Guru tidak hanya mengajarkan nama-nama suku bangsa atau pakaian adat Indonesia. Lebih dari itu guru harus menjadi pendidik yang mendidik. Mendidik peserta didiknya agar memahami bahwa bangsa ini memiliki banyak ragam budaya. Ragam budaya Indonesia tidak kalah dengan budaya asing. Bahkan, ragam budaya Indonesia lebih memiliki nilai (luhur) daripada kebudayaan asing. Hal ini tentu dengan tetap mengontrol kesesuaiannya dengan nilai akhlakul karimah, yang lebih lanjut mengokohkan jati diri dan karakter bangsa.
Demikian pula buku pelajaran yang diadopsi dari kurikulum. Con-toh-contoh dalam buku pelajaran yang tidak sesuai dengan budaya Indo-nesia sudah saatnya diganti. Memperkenalkan keragaman budaya sejak dini lebih berarti dan mempunyai nilai daripada harus membuat Sekolah Kebangsaan yang belum tentu dapat melahirkan sosok yang memiliki nasionalisme (bangga sebagai bangsa Indonesia) tinggi. Pada akhirnya, mengagendakan pendidikan kebangsaan yang dimulai dari tingkat pendi-dikan pra sekolah dan pendidikan dasar dan diseluruh lapisan masya-rakat akan lebih mempunyai nilai daripada membuat Sekolah Kebangsaan yang "dipaksakan" karena ada momentum 100 tahun kebangkitan nasional.
Pendidikan kebangsaan merupakan salah satu konsekuensi paling penting dari pembangunan kebangsaan untuk mewujudkan integritas bangsa Indonesia. Konsep pendidikan kebangsaan dapat dipandang seba-gai renaisans pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk memberikan keseimbangan pendidikan antara kecerdasan otak (IQ), kecerdasan hati (EQ, SQ dan MQ), dan kecerdasan kinestetik (KQ) melalui integrasi dengan sistem pendidikan yang sudah ada dan berjalan saat ini. Pendi-dikan kebangsaan  sangat urgen untuk dilakukan  karena nilai kebang-saan yang dimiliki generasi muda mulai luntur, jika nilai itu tidak ada lagi maka tidak akan ada integritas diri yang mampu bersaing di era global.
Berdasarkan fenomena di atas, maka dirasa begitu urgen dan mende-sak untuk memikirkan kembali (rethinking) dan menata ulang (reshaping) visi dan strategi pendidikan kebangsaaan di Indonesia untuk menghadapi era globalisasi yang mengancam integrasi bangsa dan menggerus nilai-nilai kebangsaan saat ini.


B. RELEVANSI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DENGAN DAKWAH MULTIKULTURAL  MUHAMMADIYAH DI ERA GLOBAL
“Zamrud Khatulistiwa” merupakan julukan khas bagi wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan. Rentetan kepulauan yang indah merupakan potensi kekayaan alam yang belum banyak tergali, secara geografis terdiri dari 17. 508 pulau besar dan kecil, dari kekayaan buda-yanya Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya multietnis, dengan lebih dari 100 etnis dan sub setnis, dan tercatat 583 bahasa dan dialek lokal di seluruh Indonesia.
Kondisi  Indonesia sebagai negara besar yang pluralis dan multi-kultural di atas, merupakan sebuah realitas obyektif. Besar karena wila-yahnya amat luas, dan jumlah penduduknya yang demikian banyak dan plural, karena keanekaragaman budaya (suku/etnis, ras, adat-istiadat, bahasa dan agama), yang secara filosofis terungkap dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).  Indonesia hadir tidak lepas dari konsep kehadiran sebuah negara bangsa (nation-state) yang tumbuh dari kesadaran nasionalisme para pejuang dan pendiri bangsa. Munculnya kesadaran berbangsa, merupakan satu modal men-dasar  yang amat penting artinya bagi kehadiran bangsa Indonesia. Di sinilah peran nasionalisme hadir dan mewarnai berkembangnya sebuah bangsa.
Apakah bangsa itu? (Qu’est ce qu’une nation?) pertanyaan ini pernah dilontarkan oleh Ernest Renan  pada tanggal 11  Maret 1882  (lebih dari dua abad yang lalu) di Universitas Sorbonne - Perancis.  Kenyataanya,   hingga kini belum juga ditemukan jawaban yang ‘tetap’ dan memuaskan semua pihak. Pendeknya masalah kebangsaan menjadi salah satu per-soalan penting yang terus dikaji, diteliti, bahkan hingga masa kini.
Menurut Ernest Renan (1823-1892), yang pendapatnya sering diku-tip Bung Karno, Bangsa.... hadir karena ada kesamaan nasib dan penderitaan, serta adanya semangat  dan tekad untuk berhimpun dalam sebuah “nation”. Lebih lanjut Renan berpendapat, “....bangsa itu ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi korban itu lagi.... manusia itu bukanlah budak dari keturunannya (ras) atau dari bahasanya, atau dari agamanya, ..... Suatu kumpulan besar manusia, yang sehat jiwanya dan berkobar-kobar hatinya, menimbulkan suatu kesadaran batin yang dinamakan bangsa”.  Dengan demikian, bangsa hadir bukan dikarenakan adanya kesamaan budaya, suku, ras, etnisitas, agama dan pertimbangan-pertimbangan ikatan primodialisme yang lain, tetapi lebih menekankan pada adanya kesamaan nasib dan keinginan untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas bangsa.
Dalam konteks yang demikian, maka bangsa Indonesia adalah sebuah komunitas pasca primordial – di mana realitas pluralisme dan multikulturalisme (keanekaragaman dan kemajemukan) bukan lagi dipan-dang sebagai masalah, tetapi sebuah realitas objektif pembentuk bangsa dan merupakan modal utama bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika ini.
Kemajemukan bangsa Indonesia, meminjam istilah yang dipo-pulerkan Benedict Anderson (1983) perlu dipahami sebagai suatu realitas konstruksi sosial komunitas-komunitas terbayang (imagined communities). Kemajemukan yang tergambar dalam ujar-ujar “Bhinneka tunggal ika” bertujuan membangun solidaritas yang positif, baik pada level nasional atau level yang lebih kecil. Sebagai komunitas terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan tidak kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Semu-anya menjadi konsep komunitas politik ketika ditiupkan konsep sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka, yang pada saat yang sama komunitas itu berubah menjadi sesuatu yang terbayang berada dalam bangunan bayang-bayang citra sebagai komunitas politik dan ingin menyatukan semua yang berada dalam batas-batas kesamaan itu. Dalam arti itu, bangsa Indonesia adalah proyeksi ke depan dan sekaligus ke belakang. Karena itu tidak pernah dikatakan bangsa itu “lahir” melainkan ia “hadir” dalam formasi sebagai suatu historical being sebagaimana dikatakan komunitas-komunitas terbayang.
Yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana memelihara sema-ngat ke-bhinneka tunggal ika-an itu? Inilah yang sampai sekarang kita dihadapkan pada berbagai permasalahan. Satu sisi kita ingin persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia terjalin secara kuat, namun di sisi lain, berbagai kebijakan yang diambil berpotensi ke arah penyeragaman, yang pada gilirannya justru menghancurkan budaya lokal yang asli (local cultural genius). Padahal tradisi sosio-kultural lokal itu merupakan kekayaan yang tidak ternilai bukan hanya bagi masyarakatnya sendiri tetapi bagi masyarakat-masyarakat lain. Tradisi lokal ini juga merupakan defense mechanism dan sekaligus early warning system yang dapat meme-lihara integrasi dan keutuhan soso-kultural masyarakat bersangkutan.
Sebagai contoh, politik penyeragaman tergambar dalam sistem pendidikan nasional Indonesia yang selama ini bercorak “monokul-turalisme”, serba penyeragaman demi stabilitas dan integrasi bangsa. Pemaksaan ini menjadi bagian dari pemicu munculnya berbagai konflik sosial di beberapa daerah yang sekaligus telah menegasikan semangat persatuan dan kesatuan dalam keragaman yang disinyalir akibat masyarakat tercerabut dari nilai-nilai lokal mereka yang genuin.
Tabel 1.   Transformasi Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
Masyarakat Majemuk
(plural society)

Masyarakat Multikultural
(multicultural society)
terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur dalam satu unit politik yang tunggal.

sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.

Pembahasan selanjutnya, membangkitkan dan menumbuhkan rasa nasionalisme atau rasa tanggungjawab kebangsaan merupakan esensi dari pendidikan kebangsaan yang terpenting dalam proses “character and national building. Tidak ada bangsa yang hadir tanpa nasionalisme – tentu saja dengan kadar dan konteks masing-masing, sesuai dengan histori dan banyak faktor yang mempengaruhinya.
Ada satu hal menarik tentang paham kebangsaan di antara Bapak pendiri negara Indonesia (the founding fathers). Mohammad Hatta pernah mengatakan bahwa sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menen-tukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persa-maan bahasa dan persamaan agama. Menurut Hatta, “bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan  sebagai suatu  persekutuan  yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena  percaya  atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama  seperun-tungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya karena peri-ngatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati  dan otak (Mohammad Hatta; beberapa pokok pikiran : Jakarta UI-Press, 1992). Pemahaman kebangsaann yang demikian ini terasa pas saat melihat situasi faktual di berbagai daerah. Sepertinya Bung Hatta lebih jujur dalam memandang fenomena kebangsaan Indonesia, tidak memanipulasi pikiran dan konsepnya relevan sepanjang masa.
Saat ini banyak pengamat nasional atau “ahli wawasan kebangsa-an” yang mengeluhkan tentang wawasan kebangsaan yang mulai pudar di masyarakat. Banyak pelajar dan pemuda yang tidak hafal lagu Indo-nesia Raya, tidak tahu nama-nama pahlawan, suka meminta bantuan kepada bangsa asing, meminta otonomi lebih besar dan sebagainya. Merujuk pada pernyataan Bung Hatta di atas, bahwa adanya kesamaan nasib antara semua anak bangsa menjadi semakin mengecil dan memu-dar. Jika kita tepat dan berhasil menanamkan dan membangkitkan kem-bali wawasan kebangsaan pada anak–anak kita melalui pendidikan kebangsaan yang aktual dan kontekstual, tentunya krisis wawasan kebangsaan dan nasionalisme Indonesia tersebut bisa kita tanggulangi.     

Sekarang yang menjadi persoalan adalah bagaimana relevansi pendidikan kebangsaan dengan gerakan dakwah Muhammadiyah di Era global?  Untuk menjawabnya tentunya kita harus melihat pada sejarah perjalanan gerakan Muhammadiyah dari mulai berdiri sampai saat ini. Dengan mengacu pada rumusan hasil tanwir Muhammadiyah sebe-lumnya, maka esensi dan relevansi dari pendidikan kebangsaan dengan dakwah Muhammadiyah Multikultural di era Global adalah sebuah representasi , implementasi dan aksi nyata dari dakwah kultural yang dirumuskan pada Tanwir Muhammdiyah di Bali (2002) yang lalu.
 Menurut Said Ramadhan (dalam Abdurahman, 2003:26) dakwah kultural esensinya adalah “dakwah empati”, yaitu dakwah yang berang-kat dari asumsi perbedaan budaya (multikultural), menghilangkan Mu-hammadiyah sentrisme, stereotipe dan prejudice, juga superioritas terhadap kelompok lain.
Dalam konteks ini, maka menurut penulis, perlu dilakukan perge-seran dan penegasan kembali esensi dakwah kultural menjadi “dakwah multikultural Muhammadiyah” untuk membentuk manusia yang multi-kultur (sebagai ciri kewarganegaraan “warganegara multikultur” di abad 21 yang sarat dengan globalisasi).  Ciri warganegara multikultural di abad 21 sebagai pencerminan masyarakat multikultural yang hendak dibangun Indonesia adalah masyarakat yang semakin meneguhkan semangat bhinneka tunggal ika sebagai upaya untuk membangun integrasi dan demokrasi Indonesia.


C. MASYARAKAT MULTIKULTURAL DAN KOMPETENSI KEWAR-GANEGARAAN MULTIKULTURAL
Karakteristik masyarakat multikultural yang diharapkan ialah ma-syarakat yang mampu menegakkan suatu kehidupan bersama yang demokratis, mengakui akan martabat manusia yang sama (human dignity), menghormati akan keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia, dan bertekad untuk membangun kesatuan Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat multikultural baru yang dikehendaki bangsa ini adalah manusia Indonesia “CERDAS” (cerdik-pandai, energik-kreatif, responsive terhadap masyarakat demokratis, daya guna, akhlak mulia, dan sopan santun). Manusia Indonesia yang cerdik pandai (educated) digambarkan memiliki kompetensi kemampuan analitis, dapat mengambil pilihan, menguasai ilmu pengetahuan, dan gemar belajar; manusia Indonesia yang energik-kreatif ditandai dengan daya kreatif, rajin dan kerja keras, dan tahan uji; manusia Indonesia yang responsif terhadap demokratis ditandai oleh toleransi terhadap perbedaan, persatuan Indonesia yang pluralistik, dan inklusivisme; manusia Indonesia yang memiliki daya guna (skilled) ditandai oleh keterampilan yang bermanfaat, dan mampu memanfaatkan sumber daya alam Indonesia; manusia Indonesia yang berakhlak mulia (moral, religious) ditandai oleh sikap bermoral, antikorupsi, antikolusi, antinepotisme, dan religious; dan manusia Indonesia yang sopan santun (civilizes) dikarakteristikkan sebagai individu yang mengenal adat istiadat setempat dan mengenal tata pergaulan internasional.
Pengembangan masyarakat multikultural memerlukan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yang dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isyu-isyu dan masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh masyarakat multikultural juga mencakup pengertian tentang pertim-bangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi bagi pendi-dikan bagi peserta didik di dalam masyarakat multikultural. Dalam kon-teks deskriptif dan normatif ini, maka kompetensi kewarganegaraan multikultural dapat mengacu kepada tiga rumusan kompetensi yang disusun UNESCO, yaitu: 1) menata diri dan berempati pada orang lain; 2) bekerjasama dengan orang/kelompok lain dari latar belakang yang belum tentu sama; dan 3) mengakui bahwa konflik itu inheren pada interaksi sosial manusia, dan perlu dilakukan penataan dan resolusi yang diperlu-kan sebagai modal sosial (social capital) bangsa.
Branson (1998) menyebutkan, paling tidak ada tiga kompetensi kewarganegaraan multikultural yang diperlukan untuk berkembangnya masyarakat multikultural Indonesia. Kompetensi yang diperlukan terse-but adalah :
Pertama, pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge). Kompe-tensi ini berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya dike-tahui oleh warganegara untuk berkembangnya warganegara dan masya-rakat Indonesia multikultural. Dalam komponen pertama ini, setiap warganegara seyogyanya memiliki seperangkat pengetahuan dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tema-tema toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal, politik dan pemerintah; prinsip-prinsip rule of law; separation of power; checks and balances; dan subyek-subyek lain yang relevan.
Kedua, kecakapan kewarganegaraan (civic skills). Mengacu pada pendapat Branson (1998) paling tidak ada dua kecakapan yang mesti dimiliki warganegara sebagai kompetensi kewarganegaraan multikul-tural, yaitu kecakapan intelektual (intellectual skill), dan kecakapan berpartisipasi (participation skill). Pada komponen kompetensi kedua ini, setiap warganegara perlu dibekali dengan kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengidentifikasi (menandai/menunjukkan); meng-gambarkan (memberikan uraian/ilustrasi); menjelaskan (mengklarifikasi/ menaf-sirkan), menganalisis; mengevaluasi pendapat/posisi (menggunakan kri-teria/ standar untuk membuat keputusan); mengambil pendapat/posisi; memper-tahankan pendapat/posisi terhadap tema-tema toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal, politik dan pemerintah; prinsip-prinsip rule of law; separation of power; checks and balances; dan subyek-subyek lain yang relevan.
Dari segi kecakapan partisipasi, kewarganegaraan multikultural akan ditandai oleh kemampuan untuk 1) berinteraksi dalam masyarakat dan kebudayaan yang memiliki latar belakang berbeda dengan masya-rakat dan kebudayaan yang dimilikinya dengan mengedepankan prinsip toleransi, saling menghormati, dan saling menghargai dalam kesedera-jatan; 2) Memantau/memonitor masalah-masalah publik terutama dalam penanganan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara individu (waranegara) dengan sesama individu (warganegara), hubungan antara kelompok sosial yang berbeda, dan antara warganegara dengan negara; dan 3) Mempengaruhi proses politik pemerintahan baik secara formal maupun informal untuk menegakan prinsip-prinsip pluralism dan multikulturalisme.
Dalam dimensi yang lain Adler dalam Ramadhan (2003) menye-butkan bahwa manusia multikultural adalah manusia yang identitas dan loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan, etnis, agama, kelompok dan budaya. Komitmen ini bertaut dengan suatu pandangan bahwa dunia adalah suatu komunitas global. Manusia multikultural adalah manusia yang secara intelektual dan emosional terikat pada kesatuan fundamental kemanusiaan. Oleh karenanya, mereka pada saat yang sama juga menga-kui, menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan mendasar dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya.  
Merupakan sebuah realitas empiris, jika bangsa Indonesia adalah bersifat plural. Di tengah pluralitas budaya, benturan merupakan sesuatu yang sulit dihindari. Hal ini di antaranya disebabkan oleh perbedaan nilai yang dimiliki oleh masing-masing kelompok budaya tersebut. Benturan-benturan ini mencapai klimaksnya ketika dibumbui oleh isu-isu agama. Dari sinilah saya melihat pentingnya ijtihad “pendidikan kebangsaan” untuk mengantisipasi gejala disintegrasi yang kian eskalatif akhir-akhir ini. Menjadi tanggung jawab kita semua untuk mempertahankan sema-ngat dan nilai-nilai persatuan-kesatuan bangsa di tengah masyarakat yang pluralis-multikultural ini.
Memang sulit menghindari benturan-benturan di tengah pluralitas budaya, etnik dan agama. Namun ini tidak berarti kita tidak mampu mencari solusinya. Saya melihat sebenarnya sudah saatnya kita mengu-payakan sebuah cross-cultural dialog. Dialog di sini lebih berorientasi pada dialog antarnilai. Teori ini didasarkan pada satu asumsi bahwa di dalam keragaman budaya, etnik dan agama sebenarnya terdapat satu nilai universal, yaitu nilai-nilai kebangsaan dan senasib seperjuangan.  Nilai universal inilah sebenarnya yang perlu kita kembangkan menjadi sebuah konstruk budaya nasional, karena nilai-nilai itu secara inheren terdapat pada setiap budaya yang ada. Dengan kata lain, di tengah keanekara-gaman budaya, sebenarnya juga terdapat national morality.
Pengembangan warganegara multikultural mensyaratkan dimiliki-nya sikap nasionalisme sebagai kemampuan-kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh setiap warganegara, yang menuntut komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Hal ini perlu ditumbuhkembangkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada setiap WNI.


D. NASIONALISME - GLOBALISASI DAN PERAN MUHAMMADI-YAH DALAM PENDIDIKAN KEBANGSAAN
Dalam kamus internasional (Raliby, 1982: 98) disebutkan nasio-nalisme adalah rasa kebangsaan, kesadaran diri, yang meningkatkan berwujudkan kecintaan melimpah kepada tanah air dan bangsa sendiri.
Senada dengan pendapat di atas, M. Said dan Junimar Affan (1987:272) menyatakan bahwa:
Nasionalisme adalah rasa kebangsaan berupa keinsyafan untuk mengabdi dan bersatu buat negara, karena terikat  oleh perasaan yang bersumber pada jiwa, dinyatakan oleh persatuan bahasa, adat dan tujuan yang sama.
Memperhatikan pendapat-pendapat tersebut, makna sikap nasio-nalisme lebih menitikberatkan kepada keadaan jiwa yang berupa kein-syafan dan kesadaran berbangsa sebagai suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena kesamaan sejarah, kebersamaan kepentingan, rasa senasib dan sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu, kini dan akan datang. Sikap nasionalisme juga diwarnai dengan kesamaan pandangan, harapan tujuan, budaya, bahasa, cita-cita dan kecintaan kepada tanah air. Dengan kata lain, sikap nasionalisme adalah perekat yang mempersatukan dan memberikan dasar kepada jati diri sebagai bangsa. Sikap nasionalisme tidaklah dapat dinyatakan adanya, tetapi hanya dapat diketahui gejala dan bukti keberadaannya.
Persoalannya sekarang adalah nasionalisme dewasa ini tergradasi oleh adanya arus globalisasi. Pertanyaannya mengapa hal ini terjadi?  Jawaban sederhana yang dapat dipakai sebagai argumentasinya adalah bahwa dalam proses  menuju masyarakat modern seiring dengan laju era pembangunan yang secara sadar dan terencana berusaha menyesuaikan diri dengan konstelasi negara-negara yang telah maju. Bersama itu pula bangsa Indonesia terlibat dalam arus globalisasi yang tidak bisa dihindari.  Bahkan dapat dikatakan seperti sungai yang terus mengalir, dan Indo-nesia sesungguhnya tengah meluncur ke muara itu. Tidak mungkin melawan arus. Sebab bila melawan arus, itu sama artinya dengan hendak mengucilkan diri dari tatanan pergaulan dunia global, dan itu sudah pasti akan menjadikan Indonesia  semakin tertinggal. Siap atau tidak siap kita akan melaluinya, yang terpenting kita memiliki kekuatan dan jati diri kebangsaan. “Kita harus kuat iman”.
Era globalisasi yang terus bergulir dengan bertumpu pada sentra-sentra kekuatan negara hegemonik, akan menggoyang nasionalisme suatu bangsa. Inilah satu sisi terpaan angin globalisasi yang membawa dampak negatif terhadap nasionalisme. Namun demikian, era globalisasi juga memberikan tantangan baru kepada kita, agar lebih giat dan semangat dalam menghadapi tantangan tersebut. Pada gilirannya nanti, dapat memacu semangat nasionalisme bangsa Indonesia agar mampu berkom-petisi dalam persaingan global, dan menciptakan bargaining position dengan sentra-sentra kekuatan negara hegemonik, pada kesetaraan dan keseimbangan. Dengan demikian Indonesia memiliki kesempatan yang sama dengan negara-negara maju untuk memainkan peran baik dibidang ekonomi, politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini.
Kunci utama dalam menghadapi arus globalisasi adalah kebersa-maan yang diikat oleh persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan berpegang teguh pada komitmen tersebut, diharapkan bangsa Indonesia tetap memi-liki sikap dan semangat nasionalisme yang tinggi. Kita tentu tidak menghendaki, bahwa era globalisasi yang terus menggelinding ini dapat mengakibatkan pemiskinan, pembodohan dan pemelaratan. Namun seba-liknya kita menghendaki agar dalam globalisasi ini, dapat mensejahte-rakan bangsa Indonesia. 
Kita dituntut untuk harus mulai membangun sebuah kesadaran bahwa kita adalah sebuah bangsa yang majemuk, beda suku, agama, golongan politik, maupun kepentingan. Namun demikian, kemajemukan itu jangan lantas ditempatkan sebagai sebuah handycap, tapi  sebagai modal dasar bahwa untuk bisa berjalan bersama kesatu tujuan dibutuh-kan sikap saling percaya, saling bantu dan saling menghargai. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Utomo (1995: 30) ten-tang nasionalisme Indonesia (merujuk kepada konsep Negara Integralistik Soepomo), bahwa:
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang integralistik, dalam arti yang tidak membeda-bedakan masyarakat atau warga negara atas dasar golongan-golongan atau yang lainnya, melainkan mengatasi segala golongan dan perorangan untuk persatuan semua lapisan masyarakat Keanegaraman itu tetap diakui. Singkatnya nasionalisme Indonesia merupakan semangat yang dapat mem-persatukan bangsa Indonesia dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan (Bhineka Tunggal Ika).

Dari kutipan di atas, jelaslah bahwa seluruh bangsa Indonesia harus membina persatuan dan kesatuan bangsa serta antar seluruh warga negara Indonesia yang berasas satu tekad yang bulat dan satu cita-cita nasional yang sama tanpa memandang asal-usul, keturunan, suku, daerah, golongan, kebudayaan, agama dan kepercayaan serta perbedaan-perbedaan yang lainnya. 
Kebangsaan Indonesia di masa depan bukanlah nasionalisme yang bersifat fisik untuk mencapai kemerdekaan, tetapi lebih dimaknai sebagai nasionalisme kultural yang menghargai kemanusiaan dan kebudayaan bangsa. Paham nasionalisme tidak sekedar untuk mempersatukan karena ada musuh yang dihadapi, melainkan nasionalisme yang tumbuh menjadi sebuah ideologi yang bersifat kultural. Pluralitas masyarakat Indonesia sebenarnya merupakan kekuatan bangsa, tetapi dalam keadaan  tertentu dapat pula menjadi sebaliknya. Multikultural bangsa Indonesia  adalah suatu kenyataan dan perlu mendapat perhatian untuk dipahami oleh masyarakat dan diarahkan untuk dapat saling menghargai antar kelom-pok, antar penganut agama, adat dan ras dengan tujuan akhir adalah semakin menguatnya kebangsaan Indonesia secara kultural.  
 Dalam konteks yang demikian, maka Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial kultural  keagamaan dapat mengambil peran yang strategis sebagai pioner, inisiator, motivator sekaligus aktor yang terlibat secara langsung dalam membangun visi dan karakter bangsa Indonesia memasuki era globalisasi ini, melalui pendidikan kebangsaan yang aktual dan kontekstual. 
Adapun strategi pendidikan kebangsaan yang dapat diusung oleh Muhammadiyah adalah melalui dakwah multikultural yang salah satu materinya berisi pendidikan kebangsaan yang dilakukan di seluruh lapisan masyarakat (warga dan sekolah-sekolah Muhammadiyah) dengan model yang simpatik dan bersifat “soft power” dan empati yang tinggi yang menghargai pluralitas budaya di kalangan warganya.


E.    PENUTUP
Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kultural keagamaan yang menjunjung tinggi paham multikultural, maka harus berani mengapre-siasi budaya kelompok, etnis dan bangsa lain dengan persepsi yang lebih bersahabat (simpatik) dan empatik. 
Muhammadiyah harus mengakui, menerima dan menghargai per-bedaan-perbedaan mendasar dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya. Menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang bersifat multikultural  berarti memposisikannya sebagai gerakan sosial budaya yang terkait pada suatu kesatuan komunitas budaya global. Dengan menjadi orang Muhammadiyah yang multikultural, sejatinya kita sebagai warga Muhammadiyah telah berupaya mengurangi konflik antar budaya, antar etnis, antar kelompok yang menjadi intisari dari pendidikan kebangsaan. Dalam konteks inilah maka diperlukan adanya upaya untuk melakukan pemikiran kembali (rethinking) dan menata ulang (reshaping)  gerakan pendidikan kebangsaan di era global ini dalam versi dakwah gerakan muhammadiyah multikultural yang lebih simpatik dan empati dalam jargon ke-bhinneka tunggal ika-an. 


G. REFERENSI


Abdullah, Taufik (2001) Nasionalisme & Sejarah, Bandung: Satya Historika.

Abdurrahman, Moeslim (2003). Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural, Jakarta Selatan : Maarif Institute.

Aly, A. (2005). “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”.  Makalah dipresentasikan pada “Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman”, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada Sabtu, 8 Januari 2005.

Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: The Thetford Press Ltd.

Azra, A. (2006). “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme”. Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.

Beiner, R (eds). (1995). Theorizing Citizenship. New York: State University of New York Press.

Blum, L.A. (2001). “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”. Dalam May, Larry, Shari Collins-Chobanian, and Kai Wong (Eds). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Terjemahan oleh Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro dari judul asli Applied Ethics: A Multicultural Approach. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE.

Budimansyah, Dasim. dan  Syam, Syaifullah. (2006). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Laboratorium PKn – FPIPS –UPI.

Cogan, J.J. and Ray Derricott (eds). (1998). Citizenship for The 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Giddens, A. (1986). Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Penerjemah: Soeheba Kramadibrata. Jakarta: Universita Indonesia Press.

Guilbernau, M. (1996). Nationalism, The Nation State and Nationalism in the  Twentieth Century. Cambridge: Polity Press.

Hamengku Buwono X, Sri Sultan. (2007). Merajut Kembali Ke Indonesiaan Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hatta, Mohammad. (1992). Beberapa Pokok Pikiran, Jakarta: UI-Press,

Hefner, R.W. (2007). Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan. Terjemahan oleh Bernardus Hidayat dari judul asli “The Politics of Multiculturalism, Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia”. Yogyakarta: Kanisius.

Kusumohamidjojo, B. (2000). Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo.

Mulyana, D. dan Jalaluddin Rakhmat (eds). (2006). Komunikasi Antar-budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nasikun. (2003). Sistem Sosial Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Ohmae, K. (2002). Hancurnya Negara-Bangsa : Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia tak Berbatas. Penerjemah Ruslani. Yogyakarta: Qalam.

Poespowardojo, Soerjanto. (1995). Menuju Integrasi Bangsa Indonesia Masa Depan. Jakarta: Sejarah, 8. LP3ES.

Renan, Ernest. (1990).  “What Is A Nation ?” dalam Nation and Narration. Diedit oleh Homi Bhabha, London: Routledge.

Sardo. (2005). Meruntuhkan Paham Sesat Kebangsaan. Yogyakarta: Resist Book.

M. Said dan Junimar Affan. (1987). Nasionalisme. Yogyakarta : Resist Book.
Simatupang, Maurits. (2002). Budaya Indonesia yang Supraetnis. Jakarta: Sinar Sinanti.

Simbolon, Parakitri. T. (2000). “Indonesia Memasuki Milenium Ketiga”, dalam 1000 Tahun Nusantara. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Sujatmiko, Iwan, G. (1999) “Integrasi dan Disintegrasi Nasional” dalam Harian Umum Kompas, 20 Desember 1999.

Sumantri, Endang. (2008). Seabad Kebangkitan Nasional : Revitalisasi dan Reaktualisasi Kebangkitan Nasional Menuju Indonesia Baru yang Adil dan Sejahtera. Bandung: CV Yasindo Multi Aspek. 

Supriadi, Dedi. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Bimbingan dan Konseling UPI,  Bandung.

Supardan, Dadang. (2002). “Keberhasilan Kebijakan Multikulturalisme Kanada dan Tantangannya: Studi Hak Azasi Manusia dalam Perspektif Global”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIS), Bandung: FPIPS UPI.

Suparlan, Parsudi. (2002). “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikutural”. Jurnal Antropogi Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi. (2003b). “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Suku-bangsa atau Kebudayaan”. Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72, Jakarta: Universitas Indonesia-Yayasan Obor Indo-nesia.

Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

Vandenburg. W. (1985). Minds and Cultures. Toronto: Little Brown  and Company, Limited.

Winataputra, U.S. dan Dasim Budimansyah. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar