Abstrak
UU Perkawinan tidak hanya mengatur bahwa suatu perkawinan harus
dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi juga
mengharuskan suatu perkawinan untuk dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah.
Sehingga terhadap perkawinan yang tidak dilakukan pencatatan (Perkawinan Siri)
tidak dapat dibuktikan adanya perkawinan jika berhadapan dengan persoalan
hukum. Meskipun demikian, KHI memberikan ruang bagi perkawinan siri untuk
diisbatkan karena alasan untuk melakukan perceraian. Ketika perkawinan tersebut
putus karena perceraian melalui Pengadilan Agama, terdapat beberapa akibat yang
harus dibahas dalam ranah hukum untuk tidak menimbulkan ketidakjelasan posisi
hukum bagi para pihak yang berkepentingan.
Kata Kunci : Perkawinan, Perkawinan Siri,
Perceraian, Isbat Nikah.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Sedangkan
menurut agama Islam perkawinan ialah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan
diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhaan keduanya
dalam rangka mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa
ketentraman dan kasih sayang dengan cara yang diridai oleh Allah.
Pelaksanaan
akad dilakukan di depan dua orang saksi dengan menggunakan kata-kata ijab wali
pihak perempuan melalui walinya atau wakil wali yang sah, dan kabul dari pihak
laki-laki. Hal ini berarti dalam melaksanakan akad harus ada dan dihadiri oleh
mempelai laki-laki dan perempuan, wali yang sah dari perempuan, dua orang saksi
laki-laki.
Dalam suatu perkawinan
tentunya ada syarat sahnya perkawinan, yaitu harus memenuhi tiga hal. Pertama, mempelai perempuan halal
dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya, artinya tidak ada halangan
baginya untuk menikah. Kedua, adalah
menghadirkan dua orang saksi pada saat akad nikah. Ketiga, ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan sebagai
peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah terjadi pergeseran mengenai
segi keabsahan suatu perkawinan yang semula diatur oleh Hukum Islam.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dengan
demikian, perkawinan harus memenuhi ketentuan hukum Negara yang dimaksud, yakni
perkawinan harus dilakukan di depan pejabat berwenang yang ditunjuk.
Perkawinan
siri banyak dilakukan masyarakat sejak dahulu, yaitu perkawinan yang hanya
dilakukan menurut agama Islam tanpa dilakukan pencatatan perkawinan oleh
pegawai pencatat pemerintah sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta nikah.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974. Apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri,
perceraiannya dilakukan secara hukum Islam. Namun hal demikian tidak memberi
perlindungan hukum bagi pihak perempuan (isteri). Karenanya, untuk perkawinan
yang hanya dilakukan menurut agama (Islam) namun tidak dicatatkan, penyelesaian
perceraiannya dapat ditempuh dengan jalan mengajukan isbat (penetapan nikah ke Pengadilan Agama).
Lembaga yang
menangani isbat nikah (penetapan
nikah) di Pengadilan Agama telah ada jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974, dan secara berturut-turut diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, dan terakhir Kompilasi Hukum Islam (KHI) / Inpres Nomor 1 Tahun 1991
sebagaiman dinyatakan dalam Pasal 7 Ayat (2) KHI bahwa dalam hal ini tidak
dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat mengajukan isbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah status hukum perkawinan siri apabila
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?
2.
Bagaimanakah penyelesaian perceraian perkawinan siri
setelah diisbatkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?
Metode Penulisan
1.
Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dilakukan
dengan menelaah secara mendalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.
Sebagai suatu penelitian hukum normatif, pendekatan yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan.
2.
Bahan Hukum
Bahan dasar penulisan hukum normatif meliputi:
a.
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer meliputi berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penulisan ini.
b.
Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder meliputi berbagai tulisan berupa buku-buku
literatur, makalah, artikel yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penulisan
ini.
c.
Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier meliputi berbagai kamus, yaitu kamus hukum dan kamus
bahasa Indonesia.
PEMBAHASAN
A.
Perkawinan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
Nikah secara
Islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan, yaitu melaksanakan ikatan
persetujuan (akad) antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar
kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali pihak wanita
menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama.
Menurut ketentuan
hukum Islam, rukun dan syarat pernikahan itu terdiri atas 5 hal yang harus
dipenuhi:
1.
Ada wali.
2.
Ada ridla (kesukaan) dari pihak calon istri.
3.
Ada dua orang saksi yang adil.
4.
Ada ijab dan kabul.
5.
Ada mahar/mas kawin.
Pasal 1 UU
Nomor 1/1974 memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bila definisi tersebut ditelaah,
maka terdapat 5 unsur di dalamnya:
1.
Ikatan lahir batin.
2.
Antara seorang pria dengan seorang wanita.
3.
Sebagai suami istri.
4.
Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal.
5.
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Syarat-syarat
intern untuk pelangsungan perkawinan:
1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
belah pihak.
2.
Harus mendapat izin dari kedua orangtua, bilamana
masing-masing calon belum mencapai umur 21 tahun.
3.
Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan
wanita 16 tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua belah pihak
4.
Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin,
kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami.
5.
Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan
untuk kedua kali dan seterusnya, Undang-Undang mensyaratkan setelah melewatkan
masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi mereka yang putus
perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya
karena kematian suaminya.
Syarat-syarat ekstern untuk pelangsungan perkawinan:
1.
Laporan
2.
Pengumuman
3.
Pencegahan
4.
Pelangsungan
Perkawinan itu terikat pada bentuk tertentu, yaitu harus dilakukan di hadapan
pejabat yang ditunjuk oleh negara. Setiap orang yang akan melangsung-kan
perkawinannya diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat
perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan yang harus dilakukan sepuluh
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 3 PP 9/1975). Pemberitahuan
dalam dilakukan secara lisan maupun tertulis yang dapat dilakukan oleh calon
mempelai atau oleh orangtua wakil mereka (pasal 4 PP9/1975). Atas pemberitahuan
ini, pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan wajib meneliti apakah
syarat-syarat perkawinan bagi yang bersangkutan telah dipenuhi secara lengkap,
yaitu sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh pasal 6 PP9/1975. Baru
setelah dipenuhi segala tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan dan tiada
sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat dapat menyelenggarakan pengumuman
dengan cara menempelkan surat pengumuman tersebut pada Kantor Pencatat
Perkawinan di tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan
naskah ini dibiarkan sampai sepuluh hari atau sampai perkawinan dilangsungkan.
Dengan persyaratan dan formalitas-formalitas beserta penunjukan
pejabat-pejabat tertentu yang terkait dalam pelangsungan perkawinan, Undang-Undang
bermaksud untuk adanya:
1.
Keterbukaan, lebih-lebih untuk memberikan
kesempatan bagi mereka yang mengetahui adanya halangan perkawinan untuk masih
dapat melangsung-kan perkawinan.
2.
Jaminan bahwa para pejabat tidak begitu saja dengan
mudah dapat me-langsungkan perkawinan.
3.
Perlindungan terhadap calon suami istri atas
perbuatan yang tergesa-gesa (overijling).
4.
Pencegahan atas apa yang disebut sebagai perkawinan
klandestin.
5.
Kepastian tentang adanya perkawinan.
Menurut B.W. pengumuman harus oleh pejabat catatan sipil yang ber-wenang
di daerah hukum, tempat perkawinan itu akan dilangsungkan. Kecuali bilamana
kedua calon pengantin itu mempunyai domisili yang berlainan, maka pengumuman
dilakukan di dua tempat pula, yaitu domisili masing-masing calon pengantin
(pasal 53 B.W.). Hal ini sama kita temui dalam penjelasan PP9/1975.
Menurut kebiasaan di Jawa pada umumnya pengumuman itu tidak di-lakukan
di catatan sipil yang sewilayah tempat tinggal calon pengantin wanita. Oleh
karena itu, bagi suku Jawa merupakan suatu kehormatan bagi pengantin wanita,
bila upacara perkawinan itu dilangsungkan di tempat tinggal pengantin wanita.
Maka, bagi suami beberapa bulan sebelumnya harus minta surat pindah sementara
dari tempat tinggalnya ke tempat tinggal calon istri. Selain itu, calon
pengantin pria harus membawa pula keterangan dari lurah atau kepala desa yang
isinya menerangkan status yang bersangkutan, apakah ia seorang jejaka atau
duda. Di samping itu, syarat-syarat lain yang harus dipenuhi sebagai pegawai
negeri sipil dan anggota angkutan bersenjata yang hendak kawin untuk kedua
kalinya atau lebih harus ada izin tertulis dari atasannya.
Perkawinan baru dalam dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
dilakukan pengumuman. Batasan ini hanya menunjukkan adanya batas minimum, akan
tetapi tiada batas maksimum. Sedangkan B.W. dalam pasal 75 memberikan batas
maksimum satu tahun sejak pengumuman. Sehingga bilamana batasan itu dilampaui,
gugurlah pengumuman tersebut dan bilamana yang bersangkutan akan melangsungkan
perkawinan mereka, haruslah melakukan pengumuman yang baru. Ketentuan semacam
ini tidak terdapat baik dalam UU 1/1974 maupun dalam PP9/1975.
Bilamana terhadap pengumuman tersebut di atas tidak ada
sanggahan-sanggahan, maka perkawinan dapat dilaksanakan di hadapan pegawai
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (pasal 10 ayat 3 PP9/1975), dengan
mengindah-kan/memperhatikan ketentuan pasal UU 1/1974, bahwa perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya atau kepercayaannya
itu. Sesuai dengan memori penjelasan pasal 2, yang dimaksud dengan hukum agama
dan kepercayaannya itu. Sesuai dengan memori penjelasan pasal 2, yang dimaksud
dengan hukum agama dan kepercayaannnya masing-masing itu, termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini
(UU 1/1974).
Jadi, mereka yang beragama Islam masih pula dikuasai oleh ketentuan UU
22/1946 yo UU 32/1954, yaitu tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang
semula berlaku hanya di seluruh Jawa dan Madura yang kemudian sejak 26 Oktober
1954 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Sedangkan bagi golongan bumiputra yang beragama Kristen berlaku
ketentuan Staatsblad 1933 Nomor 74 yang dulunya hanya berlaku untuk
daerah-daerah Jawa, Madura, Amboina, Saparua, dan bekas Karesidenan Manado yang
sejak 1975 (dengan instruksi Menteri Dalam Negeri) dinyatakan berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, golongan Europa dan Timur Asing Tionghoa, masing-masing
dikuasai oleh ketentuan-ketentuan Staatsblad 1848 Nomor 25 (Reglement op het houden der register van de
Bufgerlijke Stand voor Europeanen) dan ketentuan-ketentuan Staatsblad 1917
Nomor 130 yo Staatsblad 1919 Nomor 81 (Reglement
op het houden der Register van de Burgerlijke Stand voor de Chinezen).
Bilamana secara murni diikuti makna ketentuan pasal 2 UU 1/1974, maka
perkawinan yang demikian seharusnya dinyatakan tidak sah. Akan tetapi dalam
praktik sehari-hari hingga sekarang, baik orang partikelir maupun
instansi-instansi pemerintah tiada satu pun yang berpendapat, bahwa perkawinan
yang dilakukan di hadapan pejabat catatan sipil itu tidak sah. Sebaliknya, bagi
golongan Timur Asing Tionghoa yang beragama Islam, meskipun mereka dengan mudah
untuk melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah, akan tetapi
mereka akan mengalami kesulitan apabila di kemudian hari mendaftarkan kelahiran
anaknya, karena perkawinan mereka tidak terdaftar pada catatan sipil.
B. Perkawinan Siri dan Akibat
Hukumnya
1. Menurut Hukum Islam
Rukun nikah menurut Mahmud Yunus, adalah bagian
dari hakikat perkawinan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi pada saat
akad berlangsung, perkawinan tersebut dianggap batal, dan menurut versi
As-Syafi’i yang kemudian diadaptasi oleh Kompilasi Hukum Islam (pasal 14 KHI)
rukun nikah terdiri atas adanya lima macam:
a.
Calon suami
b.
Calon istri
c.
Wali nikah
d.
Dua orang saksi
e.
Ijab dan kabul
Apabila syarat dan rukun nikah yang ditentukan oleh
agama Islam apabila telah dipenuhi, maka perkawinan tersebut telah dinyatakan
sah menurut agama Islam.
Berangkat dari pemahaman ini, di kalangan
masyarakat yang memeluk agama Islam memandang bahwa sahnya perkawinan apabila
telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Sedangkan pencatatan perkawinan hanya
bersifat administratif dan bukan merupakan syarat dan rukun nikah. Dengan
adanya pemahaman ini di kalangan masyarakat terdapat bentuk perkawinan yang
disebut dengan perkawinan siri.
Perkawinan siri merupakan bentuk perkawinan yang
dilaksanakan menurut agama telah memenuhi syarat dan rukun nikah, sehingga
perkawinan tersebut telah dinyatakan sah menurut agama, dan perkawinan siri
tidak dicatatkan sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta otentik berupa akta
nikah yang di dalamnya menyebutkan telah terjadi perkawinan.
2. Menurut Undang-Undang No
1 Tahun 1974
Pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta
otentik berupa akta nikah bertujuan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam sehingga setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan
perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur oleh
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 pasal 6
ayat (1) mengenai pengertian pencatatan dimaksud dalam pengertian bahwa setiap
perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah. Oleh karena itu, dalam pasal 6 ayat (2) KHI disebutkan bahwa
perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawan Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan merupakan kewajiban bagi mereka
yang melangsungkan perkawinan.
Sehubungan dengan hal tersebut kaitannya dengan
perkawinan siri merupakan bentuk perkawinan yang tidak dicatatkan sehingga
tidak bisa dibuktikan dengan akta otentik berupa akta nikah yang menyebutkan
telah terjadi perkawinan yang demikian ini tidak mempunyai kekuatan hukum.
Namun demikian, dalam pasal 7 ayat (2) KHI
memberikan jalan keluar bagi yang melaksanakan perkawinan yang tidak dapat
membuktikan akta nikah, dapat mengajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan agama.
Adapun ketentuannya sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (3) yang menentukan
bahwa itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal berkenaan dengan:
a.
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian.
b.
Hilangnya akta nikah.
c.
Adanya keraguan tentang sah-tidaknya salah satu
syarat perkawinan.
d.
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
e.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Berkenaan dengan hal di atas perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 2 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974. Undang-undang ini menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan,
serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
perkawinan dalam praktik ternyata belum memasyarakat di tengah pergaulan hidup
di masyarakat, hal ini terbukti masih adanya praktik perkawinan siri.
Dengan lahirnya kompilasi hukum Islam, telah jelas
dan pasti nilai-nilai tata hukum Islam di bidang perkawinan, wasiat, waqaf,
warisan sebagian dari keseluruhan tata hukum islam, sudah dapat ditegakkan dan
dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan
Peradilan Agama. Peran kitab-kitab fiqih dalam penegakkan hukum dan keadilan
lambat laun akan ditinggalkan. Perannya hanya sebagai orientasi dan kajian
doktrin. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan Peradilan agama, diarahkan ke
dalam persepsi penegakkan hukum yang sama, pegangan dan rujukan hukum yang
mesti mereka pedomani adalah Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab
hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.
C.
Penyelesaian Perceraian Perkawinan Siri setelah Diisbatkan Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
Paham private affair khususnya mengenai
perkawinan dan perceraian haruslah dicarikan jalan penyelesaian, sebab dalam
perkawinan siri yang banyak dirugikan adalah pihak perempuan. Mengapa demikian?
Apabila dalam perkawin-an siri tersebut dikaruniai anak kemudian terjadi
perceraian, maka status perempuan yang dicerai dari perkawinan siri membingungkan. Apabila perem-puan
tersebut bermaksud akan kawin lagi dan perkawinan yang kedua bermaksud
dicatatkan sebagaimana ketentuan pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, akibatnya
jika dicatat dalam akta nikahnya dengan status janda ternyata tidak mempunyai
akta cerai, dan walau dicatat masih perawan ternyata sudah pernah nikah. Terlebih
lagi apabila dalam perkawinan siri tersebut telah dikaruniai anak. Selain itu,
juga telah diperoleh harta bersama kemudian bercerai, tambah komplekslah
permasalahan yang dihadapi, dan dari peristiwa tersebut yang banyak dirugikan
ada pada pihak perempuan.[4]
Karenanya,
apabila perkawinan siri tersebut
terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus yang sulit untuk
didamaikan, jalan satu-satunya adalah bercerai. Alasan-alasan yang dapat
dipergunakan untuk mengajukan perceraian telah ditentukan secara limitatif
dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Jo. Pasal 116 KHI.
Akibat hukum
yang ditimbulkan dalam perkawinan siri, bila terjadi perceraian yang banyak
dirugikan ada pada pihak perempuan, maka jalan keluar yang dapat ditempuh adalah
mengajukan isbat nikah bahwa adanya
perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan.
1. Melalui Proses Peradilan
Walaupun dalam hukum acara tidak menentukan apa
yang harus dimuat dalam surat mengajukan isbat nikah, sebagai pedoman cara mengajukan
gugatan/permohonan, yaitu surat gugatan/permohonan yang akan diajukan harus
ditandatangani oleh Penggugat/Pemohon atau oleh kuasanya yang sah, sebagai-mana
dinyatakan dalam pasal 8 No. 3 Rv. Selain itu, surat gugatan/permohonan harus
memuat tiga unsur pokok, antara lain: (a) Identitas para pihak, yang meliputi
nama lengkap dengan menyebutkan nama orangtuanya (bin/binti), umur, agama,
pekerjaan/jabatan, tempat tinggal yang jelas dan dapat dijangkau melalui pos.
(b) Posita/Fundamentum petendi, yang merupakan dalil-dalil konkrit tentang
adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari pada gugatan/permohonan,
terdiri dari dua bagian, yaitu pertama
menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa hukum yang harus
diuraikan secara kronologis, jelas dan tegas, kedua menguraikan tentang hukumnya yakni tentang adanya hubungan
hukum yang menjadi dasar yuridis dari
pada tuntutan hak tersebut, yang disebut juga dengan middelen van den eis. (c) Petitum atau tuntutan, yaitu apa yang
diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh pengadilan melalui hakim, dan
petitum ini harus dirumuskan dengan jelas dan tegas.
Dengan mengacu pada persyaratan surat gugatan/pemohon
termasuk isbat nikah pada prinsipnya harus dibuat tertulis oleh Penggugat atau oleh
Pemohon atau oleh kuasanya yang sah. Akan tetapi apabila penggugatpemohon buta
huruf, maka gugatan/pemohon isbat nikah dapat diajukan secara lisan ke Pengadilan
Agama.
Kalau gugatan/permohonan itsbat nikah diajukan
secara lisan, maka panitera atas nama ketua Pengadilan Agama membantu untuk
membuat catatan yang diterangkan oleh penggugat/pemohon, yang disebut dengan
catatan gugatan atau catatan pemohonan. Selanjutnya, catatan tersebut dibacakan
kembali agar penggugat/pemohon yang buta huruf dimaksud mengerti isinya,
kemudian setelah sependapat dengan isi
dari catatan penggugat/permohonan tersebut maka peng-gugat/pemohon membutuhkan
cap jempolnya di atas surat gugatan/permohonan tersebut dengan dilegalisasi
oleh panitera kepada Pengadilan Agama.
Ke pengadilan mana gugatan/permohonan isbat nikah
adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian tersebut diajukan? Sejak
berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama melalui pasal
49 Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara-perkara dalam tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam; (c) Wakaf dan Shadaqah.
Untuk permohonan isbat nikah masuk dalam ruang
lingkup bidang perkawinan, karenanya cara mengajukan gugatan/permohonan isbat
nikah dalam rangka penyelesaian perceraian diajukan seperti cara mengajukan
gugat cerai, dengan memperhatikan ketentuan pasal 73 ayat (1) (2) dan (3)
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Pengaturan di dalam pasal-pasal tersebut
merupakan pengecualian dari prinsip umum cara mengajukan gugatan yang diatur
dalam pasal 118 HIR / 142 RBg.
Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 menentukan
bahwa gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
meliputi kediaman penggugat (istri). Hal ini bertujuan untuk memberi kemudahan
bagi pihak istri, seperti halnya tujuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, di antaranya
memberi perlindungan kepada kaum wanita.
Pengecualianya, yaitu:
a.
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau
kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Penggugat, kecuali apabila Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin tergugat.
b.
Dalam hal penggugat bertempat tinggal di luar
negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat.
c.
Jika penggugat dan tergugat bertempat kediaman di
luar negeri, maka isbat nikah
diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Dalam rangka mengajukan gugatan/permohonan isbat
nikah agar supaya tercapai proses tertib beracara, maka perlu diperhatikan
tahapan-tahapan proses:
1.
Sebelum pemeriksaan sidang.
2.
Pemeriksaan di persidangan.
3.
Pelaksanaan putusan.
1. Sebelum Pemeriksaan di
Persidangan
Tahapan ini
dimaksudkan adalah tahapan yang meliputi tindakan yang bersifat administratif
maupun yudisial, antara lain:
a.
Pengajuan gugatan/permohonan
Gugatan/permohonan
isbat nikah dapat diajukan secara tertulis seperti yang dimaksud dalam pasal
118 HIR / 142 RBg. Dapat pula diajukan secara lisan sebagaimana diatur dalam
pasal 120 HIR, sedangkan yang berhak mengajukan gugatan/permohonan isbat nikah hanyalah orang-orang yang telah
ditentukan secara imperatif dalam pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam.
b.
Biaya perkara
Selanjutnya
dalam beracara di Pengadilan Agama pada azasnya dikenakan biaya sebagaimana
diatur dalam pasal 89 atau 90 Undang-Undang No. 7 tahun 1989, yang meliputi
biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya untuk para saksi, saksi ahli,
penerjemah, biaya pengambilan sumpah, biaya untuk melakukan pemeriksaan
setempat, biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain yang berkenaan dengan
perkara itu. Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu dapat mengajukan gugatan/permohonan
(isbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian) secara Cuma-Cuma (prodeo) dengan memperoleh izin untuk
dibebaskan dari biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu
dari kepala desa yang diketahui Camat setempat. Kemudian apabila pada
kenyatannya Penggugat/Pemohon tergolong bukan orang yang tergolong tidak mapu,
maka permohonan untuk berpekara secara Cuma-Cuma akan ditolak.
c.
Pencatatan perkara dalam daftar perkara
Pencatan
perkara dalam daftar perkara dalamkepaniteraan dapat dilakukan setelah
pengajuan gugatan/permohonan diterima dan penggugat/pemohon telah melunasi
biaya perkara. Gugatan/permohonan itu tidak akan dicatat di dalam daftar
perkara, apabila biaya perkara belum dibayar (pasal 121 ayat (4) HIR) sebagai
bukti bahwa gugatan sudah terdaftar dan uang muka/voorsekot biaya perkara sudah dibayar, dapat diketahui dari bukti
penerimaan uang yang mencantumkan nomor register perkara.
d.
Penunjukan Majelisan Hakim (PMH)
Setelah biaya
perkara/gugatan permohonan diterima oleh pengadilan, maka ketua Pengadilan
Agama menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dengan
Penetapan Majelis Hakim (PMH) dan selanjutnya berkas perkara tersebut diserahkan
kepada ketua Majelis Hakim yang telah ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama
tersebut untuk dipelajari dan ditetapkan hari sidangnya.
e.
Penetapan hari sidang
Setelah
Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama tersebut mempelajari
berkas perkara, yang perlu diperhatikan
adalah waktu dan tempat Pengadilan Agama yang akan menyidangkan perkara
tersebut. Hari sidang yang meliputi hari, tanggal, bulan dan tahun serta jam
dan tempat persidangan ditetapkan selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal pencatatan dalam daftar perkara.
f.
Panggilan Para Pihak (deurwaarder)
Pemanggilan
kepada para pihak yang berperkara dilakukan oleh Juru Sita setelah ada perintah
dari Majelis Hakim yang menerima tugas untuk menyidangkan perkara tersebut.
Setelah Ketua
Majelis Hakim menentukan hari sidang, kemudian ia memerintahkan juru sita untuk
memanggil secara resmi dan patut (sah) kedua belah pihak yang beperkara untuk
hadir tepat waktu dan tempat yang telah ditentukan atau ditetapkan oleh Majelis
Hakim tadi. Selanjutnya, panggilan dapat dinyatakan sah apabila risalah
panggilan (relaas) telah dikirim
langsung ke alamat yang dipanggil dan diterima oleh yang bersangkutan berikut
salinan gugatan/permohonan, atau apabila yang bersangkutan tidak dijumpai,
panggilan tersebut disampaikan kepada kepala desa/lurah setempat dan kepala
desa/lurah yang mempunyai kewajiban untuk meneruskan surat panggilan tersebut
kepada yang bersangkutan. Tindakan jurusita yang sedemikian ini dianggap telah
menyampaikan surat panggilan tersebut kepada yang bersangkutan tanpa diperlukan
adanya pembuktian untuk itu. Jangka waktu antara pemanggilan dengan hari sidang
tidak boleh kurang dari 3 hari sebelum hari sidang surat panggilan tersebut
telah diterima oleh yang bersangkutan.
2. Pemeriksaan di Persidangan
a. Usaha Mendamaikan Para
Pihak
Untuk perkara
perdata pada umumnya, mendamaikan para pihak wajib dilakukan oleh Majelis Hakim
pada permulaan sidang sebelum pemeriksaan pokok perkara. Apabila usaha
perdamaian tersebut berhasil, maka dibuatkan akta perdamaian dan majelis hakim
menjatuhkan putusan (acte van vergelijk)
yang isinya menghukum kedua belah pihak yang beperkara (diatur dalam pasal 130
HIR, pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970). Sedangkan untuk
perkara perceraian usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan perkara pada setiap tingkatan peradilan. Oleh karenanya, para pihak
yang beperkara perceraian tersebut berusaha mendamaikan yang beperkara
berhasil/permohonannya dan tidak boleh dibuatkan akta perdamaian (pasal 56 ayat
(@), pasal 65, pasal 82, pasal 83 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan pasal 31,
pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975). Dan khusus untuk perkara
perceraian, pemeriksaannya dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum (pasal 68
ayat (2) dan pasal 80 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989).
b. Pembacaan Surat Gugatan/Permohonan
Pada tahapan
pembacaan surat gugatan/permohonan, ada beberapa kemungkinan dari penggugat
yaitu (1) mencabut gugatannya/permohonannya; (2) tetap mempertahankan gugatan/permohonannya.
c. Jawaban Tergugat/Termohon
Setelah
gugatan/permohonan dibacakan dan isinya tetap dipertahankan oleh
Penggugat/Pemohon, maka Tergugat/Termohon diberi kesempatan untuk mengajukan
jawabannya. Hal ini diatur dalam pasal
121 ayat (2) dan pasal 132 ayat (1) HIR).
Dalam tahap
jawaban pertama dan Tergugat/Termohon, antara lain: (1) mengajukan tangkisan
(eksepsi); (2) mengakui seluruh atau sebagian dalil-dalil gugatan/permohonan;
(3) mengakui dengan clausula; (4) Referte
(jawaban berbelit-belit); (5) mengajukan gugatan balik (Rekonpensi).
d. Replik Penggugat/Pemohon
Setelah
Tergugat/Termohon menyampaikan jawabannya, kemudian Penggugat/Pemohon diberi
kesempatan untuk menanggapi jawaban tergugat/Pemohon diberi kesempatan untuk
menanggapi jawaban Tergugat/Termohon tersebut, dalam tahapan ini terdapat
kemungkinan Penggugat/Pemohon tetap mempertahankan dalil gugatan/permohonannya,
atau mungkin juga Penggugat/Pemohon merubah sikap dengan membenarkan
jawaban/tanggapan Tergugat/Termohon baik seluruhnya atau sebagian.
e. Duplik Tergugat/Termohon
Setelah Penggugat/Pemohon menyampaikan repliknya, Tergugat diberi
kesempatan untuk memberikan tanggapan atas replik tersebut, dalam tahap ini ada
kemungkinan Tergugat/Termohon tetap mempertahankan dalil jawaban pertamanya
atau mungkin juga Tergugat/Termohon merubah sikap dengan membenarkan replik
Penggugat/Pemohon baik seluruhnya atau sebagian.
f. Pembuktian
Pada tahapan
ini, baik Penggugat/Pemohon maupun Tergugat/Termohon diberi kesempatan untuk
membuktikan dalil gugatan/permohonan dan sanggahannya masing-masing, dengan
alat bukti yang sah antara lain surat, saksi dan lain-lain. Alat bukti dalam
perkara perdata menurut pasal 164 HIR. (1) bukti surat; (2) bukti saksi; (3)
persangkaan-persangkaan; (4) pengakuan; (5) sumpah; dalam praktik masih ada
lagi alat bukti lain, yaitu (6) pemeriksaan setempat (pasal 153 HIR); (7)
keterangan saksi ahli (pasal 154 HIR); (8) pembukuan (pasal 167 HIR); (9) Pengetahuan
hakim (pasal 178 HIR).
Bahwa
pemberian kesempatan untuk mengajukan alat bukti tersebut dilakukan secara
bergantian. Kesempatan pertama untuk mengajukan alat buku diberikan kepada
Penggugat/Pemohon, dan apabila Penggugat/Pemohon telah selesai mengajukan alat
buktinya, maka kesempatan yang sama diberikan kepada Tergugat/Termogon untuk
mengajukan alat bukti guna menguatkan dalil sesungguhnya/bantahannya tersebut
sampai selesai.
Dalil yang
harus dibuktikan baik dari Penggugat/Pemohon maupun Tergugat/Termohon ialah
dalil dalam perkara tersebut yang disanggah/dibantah oleh pihak lawan, dan alat
bukti yang diajukan tersebut harus ada relevansinya dengan dalil yang ada dalam
perkara tersebut yang baik yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon maupun
Tergugat/Termohon, sehingga diketahui adanya hubungan hukum antara kedua belah
pihak.
Sedangkan dalil
yang tidak perlu dibuktikan ialah (1) dalam hal perkara yang dijatuhkan dengan
putusan verstek, kecuali perkara
perceraian, meskipun dijatuhkan putusan verstek,
Penggugat tetap wajib untuk membuktikan dalil gugatannya. Tetapi dalam
perkembangan praktik gugatan yang diputus dengan verstek tetap diwajibkan untuk
membuktikan dalil gugatannya/permohonannya berdasarkan alat bukti yang sah; (2)
dalam hal Tergugat/Termohon mengakui gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon; (3)
telah dilakukan sumpah decessoir; (4) dalam hal peristiwa notoir (peristiwa yang diketahui oleh umum); (5) Peristiwa yang
diketahui dalam persidangan oleh hakim; (6) kesimpulan yang berdasarkan
pengetahuan umum dan merupakan kejadian yang rutin.
g.
Kesimpulan Para Pihak
Pada tahap ini, baik Penggugat/Pemohon maupun Tergugat/Termohon diberi
kesempatan yang sama untuk mengajukan tanggapan atas alat bukti yang diajukan
oleh para pihak yang dituangkan dalam bentuk kesimpulan dari hasil pemeriksaan
selama persidangan berlangsung.
h. Tahapan
Putusan Hakim
Sebelum putusan dibacakan, terlebih dahulu Majelis Hakim mengadakan
musyawarah yang sifatnya tertutup untuk umum, bahkan panitera sidang pun
apabila dianggap perlu tidak diperkenankan hadir (mendengarkan) dalam
musyawarah majelis hakim tersebut. Apabila musyawarah telah selesai dan putusan
sudah siap untuk dibacakan, maka persidangan dibuka dan dinyatakan terbuka
untuk umum. Majelis Hakim merumuskan duduknya perkara, pertimbangan hukum
(pendapat Majelis) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasannya dan
dasar hukumnya. Susunan dan isi putusan tersendiri dari: (a) kepala putusan;
(b) Identitas para pihak; (c) Tentang duduknya perkara; (d) Pertimbangan
hukum/alasan-alasan yuridis; (e) amar/dictum putusan; (f) hari, tanggal, dan
tahun serta nama majelis hakim serta panitera sidang dan keterangan lainnya.
3. Pelaksanaan Putusan
Tujuan dari diajukannya perkara ialah agar segala hak-hak Penggugat/Pemohon
yang dirugikan oleh pihak lain Tergugat/Termohon dapat dipulihkan melalui
putusan hakim. Hal ini dapat dicapai jika putusan hakim dapat dilaksanakan.
Sedang putusan hakim dapat dilaksanakan dengan dua cara. Pertama dengan cara sukarela, di mana pihak yang kalah (terhukum)
dengan putusan hakim tersebut bersedia melaksanakan semua isi putusan dengan
kehendaknya sendiri (sukarela). Kedua,
dengan cara paksa menggunakan alat negara, apabila pihak yang kalah (terhukum)
tidak bersedia melaksanakan isi putusan Pengadilan tersebut secara sukarela.
Jenis-jenis eksekusi:
1.
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk
membayar sejumlah uang (vide pasal 196 HIR).
2.
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk
melakukan suatu perbuatan (vide pasal 225 HIR).
3.
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk
mengosongkan suatu benda tetap, yang disebut eksekusi riel (vide pasal 1033
HIR).
4.
Eksekusi riel dalam bentuk penjualan lelang (vide
pasal 200 ayat (1) HIR.
Syarat-syarat
eksekusi:
1.
Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali:
(a) Pelaksanaan putusan serta merta (uit voerbaa) Pelaksanaan putusan Provisi;
(c) Pelaksanaan akta perdamaian; (d) Pelaksanaan eksekusi grose akta;
2.
Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara
sukarela, meskipun ia telah diberi peringatan (aanmaning) oleh Ketua Pengadilan Agama;
3.
Putusan hakim bersifat kondemnatoir (penghukuman),
sedang putusan yang declaratoir atau constitutoir tidak diperlukan eksekusi.
4.
Eksekusi dilaksanakan atas perintah dan di bawah
pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
Dengan demikian, putusan perkara yang dapat dilakukan eksekusi adalah dictum putusan yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan yang
diktumnya bersifat declaratoir dan atau constituoir seperti dalam permohonan isbat nikah adanya perkawinan
dalam rangka penyelesaian perceraian dapat dikatakan tidak diperlukan
eksekusi.
D. Akibat Hukum Perceraian
Perkawinan Siri Berdasarkan Putusan
Pengadilan Agama
Putusan dalam
hukum acara biasa disebut vonnis (bahasa
Belanda) yang merupakan produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang
berlawanan dalam perkara, yaitu Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon. Produk
Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan produk peradilan yang
sesungguhnya atau jurisdiction
contensiosa.
Putusan
peradilan perdata (Pengadilan Agama adalah peradilan perdata) selalu memuat
perintah dari Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau
untuk berbuat sesuatu, atau menghukum sesuatu atau bersifat menciptakan (constitoir) atau bersifat menyatakan (decleratoir).
Diktum
putusan yang dapat dilakukan dieksekusi hanyalah yang bersifat condemnatoir, artinya berwujud menghukum
pihak yang kalah untuk membayar sesuatu, menyerahkan sesuatu atau melepaskan
sesuatu dan sejenisnya, sehingga eksekusi atas putusan yang diktumnya bersifat decleratoir dan atau constitutoir termasuk kategori penetapan
(yang mirip contensiosa) seperti
dalam perkara perceraian perkawinan siri yang ditulis oleh penulis walaupun
putusannya berbentuk penetapan, namun isi putusan tersebut berupa melepaskan
ikatan perkawinan sebagai suami-istri.
Putusan pengadilan
yang mengadili perkara permohonan isbat adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian biasanya didahului dengan putusan sela sebelum pokok
perkaranya diputus, dan putusan sela dimaksud bersifat declaratoir dan atau constitutoir.
Dengan demikian, status perkawinan siri tersebut dinyatakan sah dan akibat
hukum dari adanya perkawinan siri yang telah dinyatakan sah melalui penetapan
pengadilan membawa akibat hukum, yaitu anak-anak yang lahir dari perkawinan
siri tersebut adalah anak sah (pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) yang mempunyai
hubungan hukum (Perdata) dengan kedua orangtuanya tersebut terhitung sejak
perkawinan siri tersebut dilaksanakan.
Setelah
perkawinan siri tersebut dinyatakan sah melalui penetapan Pengadilan Agama,
maka perkara perceraiannya setelah melalui proses peradilan diakhiri dengan
putusan. Apabila putusan perkara perceraian dari perkawinan sirri tersebut
telah berkekuatan hukum tetap, maka status istri sebagai janda mempunyai
kepastian hukum dan kedudukannya sebagai janda dapat dibuktikan dengan akta
otentik berupa putusan Pengadilan Agama.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Status hukum dalam suatu perkawinan siri bila
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mempunyai kekuatan hukum tetap, dikarenakan perkawinan siri merupakan bentuk
perkawinan yang tidak dicatatkan sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta
otentik yang berupa akta nikah. Dengan kata lain, perkawinan siri merupakan
perkawinan yang tidak sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi,
suatu perkawinan siri dapat disahkan dengan cara mengajukan isbat (penetapan
nikah) di Pengadilan Agama.
2.
Penyelesaian perceraian dalam suatu perkawinan siri
setelah diisbatkan melalui penetapan Pengadilan Agama, maka perceraiannya
diakhiri dengan putusan, dan apabila putusan perkara perceraian dari perkawinan
siri tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan dapat dibuktikan dengan akta
otentik berupa putusan Pengadilan Agama.
B. Saran
1.
Untuk mengurangi terjadinya suatu perkawinan siri,
Pemerintah seharusnya menyosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan agar masyarakat umum lebih dapat memahami dan semakin taat
dan patuh terhadap peraturan yang sudah dibuat oleh Pemerintah, agar perkawinan
yang dilaksanakan mempunyai kekuatan hukum tetap.
2.
Seharusnya dalam melakukan suatu perkawinan
dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang ada, agar apabila dalam perkawinan
tersebut, mengalami suatu kegagalan dapat diselesaikan melalui jalur hukum.
Supaya perkawinan itu mempunyai kekuatan hukum, dan apabila terjadi sesuatu
akan mendapatkan perlindungan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Basyir Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, 1999.
Sujari Dahlan, Fenomena
Nikah Siri, Bagaimana Kedudukannya Menurut Hukum Islam, Pustaka Keluarga,
Surabaya, 1996.
Roihan Raysidi, Hukum
Acara Peradilan Agama, cetakan pertama, Yogyakarta, 1990.
Mahmud Yunus, Hukum
Perkawinan dalam Islam, cetakan kedelapan, Jakarta, 1979.
Djatnika, Sosialisasi
Hukum Islam di Indonesia, Rosda Karya, Bandung, 1999.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990.
Soetojo, Pluralisme
dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, AUP, Jakarta, 2002.
Wantjik Saleh, Hukum
Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980.
Zuhdi, Nikah
Siri, Mimbar Hukum, No 28 Tahun ketujuh, 1996.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1089 Tentang Peradilan Agama.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar