Dualitas struktur dan pelaku menunjukkan
bahwa pelaku dikepung struktur.
Sebaliknya, sangatlah sulit untuk
memahami bahwa struktur mengandalkan
pelaku. Itulah salah satu paparan yang dikemukakan oleh Herry Priyono,
penulis buku saku Anthony
Giddens: suatu pengantar. Dalam buku
tersebut, ia ingin
memetakan pemikiran dasar Giddens yang luas, tetapi hanya dalam bentuk
buku saku. Ia menulis buku saku ini karena terkesan pada Giddens yang
mengajarinya ”tidak ada aksi tanpa teori”. Sebagai mahasiswa
program doktor bidang
Ekonomi-Politik dan Sosiologi
yang pada waktu itu dosennya adalah Anthony Giddens, Priyono berusaha memahami
sosok Giddens sebagai
seorang teoritikus yang
tidak pernah memisahkan tindakan dari
teori. Pemetaan pemikiran dasar Giddens ini ditulis oleh Priyono dalam
tiga bagian, yaitu pertama, refleksi diri Giddens terhadap teori
lain, kedua, beberapa
terobosan teori Giddens,
dan ketiga, ringkasan penerapan teorinya.
Priyono
menguraikan cara pandang
Giddens dalam mengelompokkan struktur pada halaman 24-26. Pertama,
struktur signifikasi (signification), yaitu
struktur yang berhubungan
dengan pengelompokan dalam
simbol, pemaknaan dan wacana.
Kedua, struktur penguasaan
(domination), yaitu struktur mencakup
penguasaan orang dalam pengertian penguasaan politik dan ekonomi.
Ketiga, struktur legitimasi
(legitimation), yaitu struktur
yang berkaitan dengan peraturan
normatif yang terdapat
dalam tata hukum. Uraiannya diungkapkan
dalam bentuk tabel
dan contoh-contoh dengan mengambil situasi yang ada pada masa
Orde Baru.
Kerangka berpikir Giddens dalam bidang
ilmu-ilmu sosial berbeda dengan kerangka berpikir para teoritikus ilmu-ilmu
sosial seperti Talcott Parsons, Karl Marx, dan Levi-Strauss, walaupun
sebenarnya kerangka berpikir Giddens dibangun
berdasarkan pemahaman Giddens
melalui kritikan-kritikan
terhadap teori fungsionalisme, marxisme,
dan strukturalisme. Menurut Giddens (1984: 12-20) dalam
perspektif ilmu-ilmu sosial pemahaman dinamika masyarakat selalu dikaitkan dengan ”ruang dan waktu”, dan ”pelaku dan tindakan pelaku”.
Pandangan
Erving Goffman dan
Talcott Parsons tentang
pengertian ”pelaku dan tindakan pelaku” diuraikan oleh Priyono, bahwa
setiap anggota masyarakat adalah pelaksana
peran sosial tertentu
yang membentuk satu sistem
sosial dan setiap
sistem sosial mempunyai
kebutuhan yang harus dipenuhi. Priyono
(hlm. 9-10) dalam
memaparkan pandangan Giddens mengungkapkan bahwa Giddens ingin
menghapus istilah fungsi (function) dari
ilmu-ilmu sosial dan
ingin mengembangkan teori
strukturasi sebagai suatu
”manifesto contra fungsionalism” karena Giddens tidak bisa menerima pandangan
pada teori fungsionalisme yang mengatakan bahwa sebuah sistem sosial mempunyai
kebutuhan yang harus dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan pada teori fungsionalime
mempunyai syarat fungsional yang harus dipenuhi, yaitu goal
‘tujuan’, adaptation
‘adaptasi’, intergration
‘integrasi’, dan latency ‘tuntutan’.
Giddens membeda kan dimensi ruang dan waktu
dalam menjelaskan gejala sosial.
Hubungan antara ruang dan waktu bersifat kodrati dan menyangkut makna
serta hakikat tindakan itu sendiri , karena pelaku dan tindakan tidak
dapat dipisahkan. Priyono
memberikan contoh, bahwa
tindakan dosen berbicara di ruang
kelas pada jam-jam tertentu disebut ”berkuliah”
(hlm. 37). Maksudnya, ia ingin
memetakan pernyataan Giddens
bahwa tanpa ruang dan waktu tidak ada tindakan , sedangkan dalam
pandangan Talcott Parsons, tindakan dalam
bentuk apapun merupakan
pelaksana peran-peran sosial tertentu . Selain itu, setiap tatanan
masyarakat selalu dikaitkan dengan peran sosial
dan fungsi (function).
Giddens tidak menyetujui
dengan pernyataan Parsons bahwa
di dalam sistem
sosial terdapat fungsi.
Menurut Giddens, sistem sosial
tidak mempunyai kebutuhan
apapun terhadap pelaku. Yang mempunyai kebutuhan adalah para
pelaku itu sendiri, k arena pelaku
adalah peran sosial. Pada sistem sosial,
ada nilai (value) yang mengikat tindakan setiap individu sebagai
anggota masyarakat dalam peran sosialnya, entah sebagai seorang guru,
buruh, murid ataupun
manajer. Terhadap pernyataan
ini, Priyono (hlm. 12) mengungkapkan kritikan Giddens dengan cara
membuat tabel logika terhadap bagian dan keseluruhan konsepsi dasar fungsionalisme dan strukturasi.
Dalam
marxisme klasik, untuk
memahami dinamika masyarakat, pandangan berbagai
segi kehidupan masyarakat
dikaitkan dengan sistem kapitalis. Priyono (hal. 32-39), lebih banyak memaparkan kritikan Giddens
terhadap pemikiran Karl
Marx mengenai sistem
kapitalisme. Menurut Giddens, d
inamika masyarakat terjadi bukan pada reduksi struktur dominasi pada penguasaan
alokatif ekonomi, tetapi terjadi karena
proses stukturasi dalam ben tuk
reproduksi praktik sosial
dan sistem kapitalisme.
Yang dimaksud struktur dominasi pada penguasaan alokatif ekonomi oleh
Priyono, sebenarnya mengacu pada
hubungan sosial pada
tataran struktur dengan kekuasaan yang berhubungan dengan kapasitas
keterlibatan dalam hubungan sosial itu. Kapitalisme membutuhkan teknologi dan
inovasi teknologi. Hal ini dikoordinasi dalam praktik sosial yang
berlangsung melalui ruang dan waktu
(lihat Giddens 1984).
Dalam
gagasan marxisme, pelaku
dan struktur bersifat
fungsional karena perubahan
terjadi dalam berbagai
kehidupan masyarakat melalui
kontradiksi sistem yang satu dengan sistem yang lain. Menurut Marx (hlm. 33),
perubahan terjadi melalui mobilisasi struktur dominasi, maksudnya terbentuk
dalam dan melalui
penguasaan alokatif terhadap
barang dan penguasaan otoritatif terhadap
orang. Menurut Giddens, dalam
logika strukturasinya, dikatakan bahwa perubahan terjadi melalui transformasi
yang muncul secara periodik.
Struktur tidak mengkoordinasi suatu
interaksi sosial yang
baru, tetapi mengoordinasi perubahan yang terjadi dalam interaksi
sosial. Setiap perubahan terjadi pada struktur dalam sistem sosial dan
berkembang sangat cepat seiring perjalanan zamannya.
Strukturalisme yang dipelopori oleh Ferdinant
de Saussure diterapkan dalam
analisis bahasa oleh
Claude Levi-Strauss. Levi-Strauss
cenderung menyingkirkan subjek dengan menempatkan sifat manasuka (arbitrary)
dan perbedaan (difference) sebagai pembentuk identitas. Giddens selalu melihat fakta dan perbedaan sebagai subjek yang
selalu dikaitkan dengan perbedaan dalam fakta, misalnya perbedaan antara bahasa
(langue) dan ujaran (parole), the agent
’pelaku’ dan agency ’tindakan pelaku’,
structure dan structuration (lihat
Giddens 1984). Priyono memberi contoh mengenai fakta dan perbedaan yang ada
pada sistem kekuatan militer pada zaman Soeharto, tetapi uraian yang disampaikan
oleh Priyono hanya
bersifat informatif. Dikatakannya bahwa negara
dan bangsa pada masa
itu menunjukkan prinsip
strutural dalam konteks militerisme.
Militer mengkoordinasi praktik
kontrol atas peran sosial (hlm. 43-44).
Giddens lebih dapat memahami pemikiran kaum
strukturalisme daripada fungsionalisme,
walaupun keduanya menunjukkan
adanya penyingkiran subjek.
Giddens lebih menaruh simpati pada beberapa aspek strukturalisme daripada fungsionalisme, karena
kehadiran subjek dalam
strukturalisme masih tetap ada. Priyono
menuliskan penjelasan waktu
dan ruang berdasarkan
teori Giddens , yaitu teori
strukturasi, bukan strukturalisme. Strukturasi berarti kelangsungan suatu proses
hubungan antara pelaku tindakan dan
struktur. Ia memberi contoh kehidupan masyarakat tradisional di daerah Jawa
Tengah yang melakukan transaksi jual-beli tanpa ditentukan oleh kesatuan ruang
dan waktu. Seseorang membeli barang di Wonosari, dan menjualnya di Kota Gede
(hlm. 40). Proses jual-beli yang berulang kali memakai keterikatan waktu dan ruang dalam konteks
manajemen modern, menurut Priyono tidak sesuai bila menggunakan teori
strukturasi. Menurut Giddens (hlm. 43), ada empat gugus
reflektivitas-institusional yang membentuk dan menyangga modernitas, yaitu
kapitalisme (capitalism), negara-bangsa (nation-state), kekuatan militer (military
power), dan pembangunan (created environment).
Priyono menjelaskan juga konsep-konsep
Giddens (hlm. 40-49), antara lain konsep ”relasi dualitas” Giddens, yaitu
konsep yang menguraikan hubungan pelaku dan struktur, serta hubungan ruang dan waktu. Kedua hubungan ini
saling terkait dan membentuk pola hubungan dalam praktik sosial, karena melalui peristiwa yang terjadi berulang kali
akan terpola hubungan dalam praktik sosial.
Priyono juga menjelaskan konsep
”objektivitas struktur ” yang dikatakan oleh
Giddens tidak bersifat eksternal
melainkan melekat pada tindakan
dan praktik sosial.
Priyono menyampaikan bahwa objektivitas struktur dalam strukturasi
berbeda dengan struktur dalam fungsionalisme dan strukturalisme.
Konsep
hermeneutika ganda tidak
terlepas dari ilmu-ilmu
sosial dan objek kajiannya.
Giddens mengatakan, bahwa hermeneutika ganda (double hermeneutic) adalah arus
timbal balik antara dunia sosial yang dilakukan oleh masyarakat dan
wacana ilmiah yang
dilakukan oleh ilmuwan
sosial (hlm. 52). Hal ini
dipahami Priyono sebagai transformasi yang dibawa oleh sains dan teknologi,
kemudian melalui praktik sosial, peran
dualitas pelaku dan struktur
melibatkan konsep-konsep dan
teori oleh ilmuwan
sosial. Kaitan ilmu sosial dan
praktik sosial merupakan hubungan timbal balik antara yang dikaji oleh para
ilmuwan sosial. Bentuk (form) dan isi (content) dalam praktik sosial merupakan
prasarana yang diperlukan.dalam menghadapi modernitas. Modernitas menghasilkan
sejumlah profesional dalam sains dan teknologi.
Berdasarkan
konsep-konsep Giddens, Priyono
berusaha memaparkan
pemahaman teori Giddens
dalam tiga kategori
struktur, yaitu struktur penandaan, struktur penguasaan, dan
struktur pembenaran. Dijelaskan oleh Priyono, bahwa penggunaan istilah
kekuasaan perlu dibedakan dengan istilah dominasi pada tataran struktur. Dalam
teori strukturasi Giddens, kekuasaan bukan gejala yang terkait dengan struktur
atau sistem, melainkan tergantung dari kemampuan pelaku (subjek) dalam paktik
sosial atau interaksi sosial. Perubahan kemampuan pelaku selalu terjadi dalam
proses strukturasi.
Di dalam kesimpulannya, Priyono mengatakan bahwa teori strukturasi
mencerminkan kerangka pemikiran
karya-karya Giddens.
Dikatakan pula bahwa Giddens menyadari
bahwa teori struturasi
ada kelemahannya dan masih
jauh lebih memadai
daripada lainnya. Priyono
menilai sebagai orang yang
ingin menunjukkan adanya
keseimbangan antara analisis makro dan mikronya. Priyono mengklasifikasikan konsep-konsep dan
teori Giddens dengan membuat skema tentang signifikasi (signification),
dominasi (domination), dan legitimasi (legitimation) (hlm. 25). Selain itu, ia
juga membuat tabel mengenai stuktur
sosial, sistem sosial,
dan praktek sosial
(hlm. 32). Dari uraiannya, g
agasan-gagasan yang menjadi kerangka
berpikir Giddens dapat digunakan dalam
berbagai masalah, baik
mengenai negara, bangsa, modernitas, globalisasi, maupun
identitas diri.
Melalui buku saku ini, Priyono memperlihatkan
usaha untuk memaparkan pemikiran
Giddens dengan memperkenalkan teori
strukturasi kepada pembaca. Dari
segi isi, paparan teori sebagai sintesis baru sudah cukup jelas, walaupun dari
segi keterbacaan banyak kalimat yang
sulit dicerna maknanya. Misalnya,
penggunaan istilah “strukturasi”
(structuration ), yang berarti menunjukkan hubungan pelaku dengan
struktur sebagai relasi dualitas, atau penggunaan istilah ”pencabutan” (disembedding), yang berarti
’pemisahan’ antara ruang dan
waktu. Hal ini
membuat pembaca harus
berulang kali membacanya. Secara
keseluruhan, buku ini dapat direkomendasikan untuk dibaca sebagai buku saku
yang memuat informasi awal untuk mengetahui pemetaan kerangka
berpikir Giddens. Walaupun penjelasannya
tidak gamblang, pembaca mudah
mengenal teori strukturasi dengan sintesis baru yang menguraikan kinerja subjek
dalam peran sosialnya. Buku ini menyajikan terobosan sintesis
baru Giddens mengenai
dualitas pelaku dan
struktur dengan mengangkat pelaku
sebagai subjek tindakan.
Herry Priyono, Anthony Giddens: suatu
pengantar.
WACANA VOL. 10 NO. 1, APRIL 2008
Cetakan kedua. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2003, 98 hlm. (Cetakan pertama 2002).
ISBN 979-9023-85-8.