Telaah-lah kembali kekayaan normatif kultural
nusantara, pasti akan kita jumpai bahwa sejak zaman dahulu, kita telah
disuguhkan makna cinta damai. Cinta damai itu “dipatrikan” dalam berbagai
lembaran-lembaran filologis, katakanlah, seperti tambo dan hikayat. Artinya,
sebagai sebuah bangsa, secara historis dan kultural, bangsa Indonesia memiliki
basis cinta damai. Tapi yang terjadi adalah sejarah pertumbuhan bangsa ini
nyaris tak pernah lepas dari kekerasan dan darah. Mulai semenjak awal
kerajaan-kerajaan di Nusantara sampai dengan era Indonesia pasca-kemerdekaan,
berbagai kekerasan dengan berbagai motif dan bentuk terjadi setiap saat. Dalam
perspektif sosiologi politik, kekerasan terjadi karena negara dan masyarakat
gagal dalam mengelola dan menyikapi keragaman. Padahal, bagi Indonesia yang
sudah ditakdirkan beragam, justru pluralitas itu yang seharusnya dijadikan
potensi untuk memperkuat dan mengimplemen tasikan slogan Bhineka Tunggal Ika.
Mengamati berbagai kekerasan yang terjadi di Tanah Air, beragam kegundahan pun
muncul, sehingga seorang guru bangsa seumpama Prof.Dr. Ahmad Syafii Ma’arif
bertanya mengapa bangsa ini begitu mudah kehilangan kesantunan, keramahan, dan
penghargaan terhadap perbedaan. Mengapa sebagai anak bangsa kita mudah marah,
tersinggung,merusak milik orang lain, membunuh, dan membakar ? Mengapa perilaku
kekerasan begitu cepat menjadi model dalam menyelesaikan segala masalah di
negeri ini ?.
Dalam kajian-kajian sosiologi (dalam hal ini
psikologi sosial), khususnya yang berhubungan dengan konflik sosial, kekerasan
sering timbul dari problem bawah sadar manusia. Apa yang tersimpan dalam alam
bawah sadar itu adalah berbagai bentuk kebencian, permusuhan, perasaan
cemburukarenakeberhasilanorang lain,dan seterusnya. Proses bawah sadar ini akan
mudah meledak bila ada faktor pemicu, bahkan yang remeh sekalipun. Dalam
konteks agama, ada banyak penyebab kekerasan di kalangan penganut agama,
misalnya manipulasi agama untuk tujuan politik atau tujuan lain, diskriminasi berlandaskan
etnis atau agama, serta perpecahan dan ketegangan sosial. Selain itu, ada
maslah kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan pembangunan. Benarlah yang
dikatakan Budi Hardiman bahwa pelaku kekerasan adalah manusia-manusia yang
dicirikan oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh kelemahan dalam
komunitasnya. Kekerasan terjadi karena krisis makna dalam diri manusia. Lalu
ketika merasa diri mereka tak bermakna, ego mereka pun mengecil dan panik. Di
situlah tindakan kekerasan potensial diledakkan.
Dalam pandangan psikoanalisis, setiap kekerasan
terjadi karena dipicu oleh sebuah kekuatan dalam diri manusia itu sendiri,
yakni kekuatan psikologis yang bersemayam, yang mengobarkan semangat menyerang
dan merusak (destruktif). Tindakan agresi manusia ini, seperti tampak pada
penjelasan Freud, merupakan wujud nyata dari talenta (bawaan)
manusia.Legitimasi “aku” sebagai pihak yang harus diselamatkan merupakan
pilihan tak terhindarkan. Perilaku agresif lalu dilihat sebagai hal yang
manusiawi (fitrah) dan mewujud dalam “insting libido seksual”. Dimensi “aku”
yang melahirkan pelbagai kekerasan di tengah keluarga ini adalah mempertahankan
dan menyalurkan hasrat diri dari kecemasan-kecemasan atau neurosis yang
mengganggu dirinya, baik dari dalam maupun luar keluarganya. Kekerasan terjadi
akibat adanya sekelompok orang yang tidak senang dengan perdamaian. Cara-cara
kekerasan yang digunakan adalah bukti nyata mereka ingin menghancurkan
nilai-nilai kemanusiaan. Kata-kata “damai” mudah diucapkan tapi begitu sulit
diterapkan. Kekerasan selalu melahirkan kecurigaan antara golongan masyarakat
yang satu terhadap yang lain. Tentu saja para pelaku kekerasan bisa secara
detail memahami dampak ini dan bukan tidak mungkin target inilah yang mereka
harapkan. Dengan kecurigaan satu dan lainnya, konflik-konflik terpendam lainnya
mudah dipicu. Upaya damai tidak meresap.
Para pelaku kekerasan hanya bisa bahagia kalau ada
yang meraungraung kesakitan, atau tewas mengenaskan. Dengan akal sehat,
tindakan ini sangat jauh menyimpang dari kemanusiawian. Para pemimpin negara,
dengan demikian, harus menyadari bahwa di antara kita hidup sekelompok orang
yang memiliki kehidupan tidak normal, dan secara sosial mereka bahagia jika
sudah melakukan tindakan anomi. Abnormalitas ini tidak bisa dibiarkan, dan
seharusnya bertindak cepat untuk menghukum mereka yang antiperdamaian ini.
Tanpa sadar, berbagai realitas ini menunjukkan bahwa kaum “teroris” sering
berhasil mempermainkan kinerja aparat. Aparat dibuat kerepotan untuk
menciptakan situasi yang aman dan damai. Kini rasa aman menjadi barang langka
di Bumi Pertiwi ini. Belum ada yang bisa bekerja maksimal untuk mendeteksi dini
segala bentuk kekerasan seperti ini. Senjata telah diselewengkan fungsinya
untuk menghancurkan kehidupan. Bila ia dipegang oleh orang-orang abnormal, ia
hanya akan digunakan untuk melahirkan kebencian. Kondisi kesenjangan ekonomi,
faktor kebijakan, peran dominan mayoritas yang tidak menghargai minoritas,
pelecehan terhadap martabat kemanusiaan dan keadilan membuat manusia mudah
frustrasi. Rasa frustrasi akut ini akan membawa bencana bagi negeri ini karena
tiadanya harapan akan masa depan. Belajar dari pengalaman ini seharusnya negara
tidak lagi boleh gagal dalam menyelesaikan konflik antarwarga. Konflik terjadi
karena perbedaan cara pandang. Maka bukan perbedaan itu yang harus dimatikan
sebagaimana cara Orde Baru, melainkan bagaimana mengelolanya menjadi aset
bangsa yang produktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar