Rokok salah satu lambang dari sikap ambivalensi
negara terhadap warganya. Dalam menghadapi masalah rokok, negara, tidak boleh
tidak, harus bersikap mendua, harus menerapkan standar ganda, sebagaimana
Amerika memiliki standar ganda : sebagai pelopor HAM, sekaligus pembunuh massal
terhadap masyarakat dunia ke tiga.
Rasionalitas ekonomi tetap berada di dalam otak
negara. Negara harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membiayai
pengobatan sekaligus penerangan terhadap pengguna rokok. Tapi, mimpi kalau
mereka ingin menutup perusahaan rokok. Berapa miliar jumlah pajak yang hilang
dalam setahun dan berapa ribu karyawan harus di PHK-kan.
Lihat pula iklan rokok yang bertebaran dihampir
seluruh sudut kota. Di bawahnya tercantum kalimat: “Merokok dapat menyebabkan
Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin”. Di
daerah atas, tentu bahasa perusahaan. Di bawahnya, bahasa pemerintah. Wilayah
atas adalah racun, wilayah bawah, penawar racun. Artinya, merokok tidak
dilarang, cuma butuh pengendalian. Sama halnya minuman keras, oleh Pemda,
diharapkan ada Perda yang mengatur, bukan untuk dihancurkan keakar-akarnya.
Masuk di era otonomi sekarang ini, kesempatan untuk
meraih keuntungan dari yang namanya rokok, tak luput dari perhatian pemerintah
daerah pula. Siapa saja yang mau pasang iklan rokok di jalan, silakan. Yang
penting bantu pemda dalam soal penerangan jalan. Iklan harus dilengkapi dengan
box neon. Tak peduli soal estetika kota, yang penting anda telah mengurangi
segala tetek bengek kami dalam soal anggaran penerangan jalan.
Dalam kehidupan keluarga sekarang ini, rokok telah
menggeser pula nilai-nilai komunikasi yang ada. Dulu, anak ketika berhadapan
dengan bapak harus menundukkan kepala, lengan harus dijulurkan kedepan sebagai
bentuk tanda hormat. Apalagi dalam soal merokok, kalau hidup masih bergantung
kepada orang tua, itu jangan dicoba-coba, karena salah satu sikap kurang ajar.
Sekarang, nilai-nilai itu mulai pudar. Sang anak tak
ada lagi rasa sungkam untuk merokok di depan ke dua orang tuanya. Bahkan di
hadapan ayahnya, misalnya, ia dapat bersikap layaknya seorang tamu. Sambil
mengepulkan asap, lengan kirinya di taruh di bahu kursi, dan tangan kanannya
yang mengapit sebatang rokok, menunjuk kesana-kemari ketika berbicara. Bahkan,
lebih dari itu, keduanya tak tampak lagi sebagai hubungan ayah dan anak. Yang
tercipta, layaknya dua orang bersahabat biasa. Sang ayah tak malu lagi meminta
rokok kepada anaknya, walaupun itu uangnya sendiri yang dibelikan rokok oleh
sang anak.
Rokok, memang telah menciptakan sebuah lingkaran
setan. Mulai dari persoalan kesehatan, sampai ke masalah sosial, dililitnya. Di
harian Kompas, mengutip laporan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), menempatkan Indonesia di posisi lima konsumen rokok terbesar di dunia
dengan jumlah 181.958 miliar batang rokok. Peringkatnya sama dengan posisi
Indonesia sebagai negara terkorup kelima di dunia. Bahkan di laporkan,
pengonsumsi rokok di Indonesia sebagian besar adalah masyarakat miskin. Penggunanya lebih banyak pada masyarakat desa
daripada kota. Lebih fatal lagi, kemiskinan itu semakin parah, karena anggaran
rumah tangga, lebih banyak tersedot untuk biaya rokok. Yang menjadi korban
tentu anggota keluarga sendiri. Mulai dari kekurangan gizi (tak bisa membeli
susu, daging, telur atau buah), sampai ke persoalan pendidikan anak yang
terseok-seok.
Mengapa orang tidak merasa bersalah kalau jadi
perokok ? Pertanyaan ini sama dengan: mengapa orang tidak merasa bersalah ketika
korupsi ? Selama ini tak pernah dikabarkan, ada pecandu berat meninggal karena
merokok. Disebutkan, mereka mati karena kanker, penyakit paru-paru, serangan
jantung, dsb. Padahal, penyakit ini muaranya dari rokok yang selama ini ia
candui. Korupsi pun demikian. Orang tak dibebani perasaan bersalah jika ingin
dilakukannya. Tak ada secara pribadi orang dihancurkan karena ulah si koruptor.
Anak-anak tak memiliki bangunan sekolah untuk belajar, tak pernah diberi alasan
karena ada wabah korupsi. Informasi yang diberikan, cuma tak ada anggaran.
Padahal, bila ditelusuri, anggaran itu pernah ada, hanya sudah raib entah ke
mana.
Kembali ke soal rokok. Di Asia, menurut salah satu
literatur yang pernah penulis baca, hanya Singapura yang paling keras dalam
soal antirokok. Pelanggarnya dikenakan hukuman yang sangat berat, bila tidak
mematuhi “No Smoking Area”. Jangankan mengepulkan asap, membuang puntung
sembarangan, dikenakan denda sebesar Sing$8 ribu.
Bagaimana dengan Indonesia ? Di mana saja kita bisa
melihat orang merokok dengan seenaknya. Di kereta api, di bioskop, bahkan
didalam ruang full ac sekalipun, walaupun di situ sudah nyata-nyata
dicantumkan : “dilarang merokok”. Wajar saja kalau kita masuk dalam daftar
urutan ke lima pengguna rokok terbesar di dunia. Pernah dibuat PP No.81 Thn.
1991 dan No. 38/2000 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Di sana di
sebutkan: tempat umum seperti tempat kerja, penyelenggaraan kesehatan, kegiatan
ibadah, sekolah, arena kegiatan anak, dan angkutan umum, adalah kawasan tanpa
rokok (pasal 23). Tapi, aturan ini tetap lumpuh, karena memang kita semuanya
masih menganut budaya EGP (emangnya gue pikirin).
Sebagai penutup, ada guyon: jangan sekali-kali
mencoba merokok, walau sebatang pun. Karena, dari sebatang, bisa menjadi dua
batang, dari dua batang bisa menjadi tiga batang, dan seterusnya. Sebaliknya,
bagi yang perokok, jangan berhenti merokok, karena bisa-bisa menjadi stres,
bahkan tindakan anda bisa merugikan pendapatan pemerintah. Pilih mana ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar