Indonesia hari ini adalah Indonesia tanpa sosiologi,
dimana, dimensi politik telah mengalami distorsi dalam ranah demokrasi yang
juga tinggal sebagai barang antik dikala modernitas semakin tampil sebagai
sosok yang ingin menjadi benteng kebebasan individu. Artinya demokrasi yang
tengah kita genggam adalah demokrasi yang tengah mengalami amnesia dan menjadi
barang antik dalam logika kekinian.
Dalam situasi negeri yang amat mencemaskan ini, saat
ilmu sosial menjadi begitu meng’angka atau sebaliknya mem’batin’, maka lahirnya
sebuah buku yang memerikan perspektif metateori pemikiran Peter L. Berger,
menjadi sebuah oase yang memberikan sentuhan aroma kesejukan.
Dalam tangan Berger, ilmu sosial telah dikembalikan
pada induknya, yaitu filsafat. Buku ini menjadi penting, karena Geger Riyanto,
sang penulis yang alumnus Fakultas Sosiologi UI ini, menjelaskan betapa penting
dan relevannya berusaha memahami analisa metateori dari pemikiran sosiologis.
Ini adalah sebuah usaha yang merupakan perintisan akan signifikansi teori dan
konsep sebagai kerangka acuan berpikir.
Kesadaran dan struktur dalam modernisasi tak bisa
diekslusifkan satu sama lain. Kesadaran menghasilkan struktur modernitas.
Masyarakat modern ini dihasilkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran
modern. Itulah momen eksternalisasi. Struktur modernitas mencapai sebuah
kenyataan objektif. Pranata-pranata modern menjadi kenyataan yang bergerak
sendiri, lepas dari kesadaran penghasilnya dan menghadapi manusia modern
sebagai objek. Itulah momen objektivasi.
Akhirnya, kesadaran membatinkan struktur objektif
itu. Itulah momen internalisasi yang dalam modernisasi menemui
kesulitan-kesulitan yang disebut “abstraksi”. Dalam era post-metafisika ini,
kita tidak mungkin kembali pada idealisme Hegel ketika kita merefleksikan
modernitas dengan model dialektis.
Dengan Triad Peter L. Berger ini kita menemukan bahwa
sebuah sintesis absolut dan final tidak dicapai sebagaimana dibayangkan dalam
model dialektika Hegel. Kesulitan-kesulitan internalisasi ini, yakni momen
sintesis dalam model dialektika, justru merupakan tanda bahwa kesadaran atau
pikiran manusia tidak pernah mapan bersarang dalam pranata-pranata yang
dihasilkan sendiri.
Hanya soalnya, dalam modernisasi, kesukaran mencapai
momen sintesis ini menghasilkan berbagai macam pengalaman negatif, seperti:
alienasi, hilangnya makna, impersonalisasi, disorientasi, dan seterusnya. “Kesadaran tak bersarang” tidak hanya menampilkan
kebebasan, namun juga keletihan mengembara dalam ketandusan panata-pranata
modern. Momen antitesis, yakni objektivasi itu, menjadi demikian dominan,
sampai kita dapat mengatakan bahwa manusia diserap oleh kekuatan-kekuatan
lingkungan lahiriahnya.
Tidak begitu jelas, apakah gejala ini merupakan
tanda-tanda kembalinya kekuasaan mitologis dalam sosoknya yang “modern”.
Sehingga, seperti pada zaman pra-modern, manusia dikepung kembali oleh
kekuatan-kekuatan impersonal di luar dirinya. Kalau benar demikian, apakah
suatu gerakan kontra-modernitas dapat dipandang sebagai fajar dimulainya tesis
baru, yaitu eksternalisasi baru ?.
Agaknya Triad Berger tidak bisa menjelaskan ke arah
mana dialektika akan dimulai lagi. Kita berdiri di tengah-tengah tantangan
untuk menghimpun kekuatan-kekuatan kritis kesadaran manusia.
Masyarakat modern bukan hanya hidup dalam
megapolis-megapolis tetapi juga megastruktur-megastruktur. Dalam situasi
semacam ini, hubungan-hubungan diatur menurut prosedur-prosedur formal dan
birokratis, maka nilai intrinsik individu menjadi lenyap. Dia bukan lagi suatu
“siapa” dalam megastruktur itu, melainkan merupakan “suatu apa”, yakni bukan
seorang pribadi melainkan suatu fungsi.
Dengan bertambahnya distansi sosial, para birokrat
tampil sebagai wujud-wujud simbolis dan anonim dengan otoritas yang sulit
dipahami namun memaksa dengan kesan-kesan metafisis. Kita bisa mengatakan bahwa
birokrasi berupaya menenun jaringan interaksi yang utuh, tetapi jaringan itu
lebih bersifat struktural daripada kultural. Lebih formal daripada substansif.
Di dalam relasi-relasi struktural itulah individu
justru mengembangkan jatidirinya secara majemuk sesuai dengan tuntutan
lingkungan lahiriahnya. Terjadilah perpecahan antara “dirinya” dan aneka
perannya yang terbuka terhadap konflik satu sama lain. Makna jatidirinya
menjadi kabur. Ketidakmampuannya untuk membatinkan lingkungan lahiriahnya
secara aktif ini, menyebabkan manusia¾yakni makhluk ganda
internus-eksternus¾diserap ke kutub eksternusnya.
Dalam momen terakhir Triad Berger ini kita bisa
mengatakan bahwa manusia modern justru mengalami kesulitan internalisasi.
Akibatnya dia malah menjadi objek sistem-sistem objektif yang diciptakannya.
Momen objektivasi masih berdiri tegar di luar kontrol kesadaran lebih lanjut,
yakni momen internalisasi.
Individu tidak berfikir melainkan ada sesuatu yang
berpikir dalam individu, yakni megastruktur itu. Sementara itu, sebagai tempat
pengungsian dari megastruktur yang terus-menerus mendesaknya sebagai “bukan
siapa-siapa”, dunia kehidupan privat menyediakan ruang tatap muka yang masih
bersifat kongkret, afeksional, dan langsung.
Di dalam masyarakat multi-religi dan multi-etnis
seperti Indonesia ini, ruang hubungan-hubungan kongkret yang lebih luas juga
disediakan oleh ikatan-ikatan primordial. Karena itu, primordialisme berfungsi
seperti privatisme dalam skala lebih luas.
Privatisme adalah penarikan diri dari sifat abstark
masyarakat sampai menjadi apatis dan apolitis terhadap masyarakat luas.
Sementara itu primordialisme juga merupakan penarikan diri, bukan dari
masyarakat, melainkan dari sebuah kerangka abstrak yang bernama nasionalitas.
Meski demikian, privatisme dan primordialisme memungkinkan manusia untuk
mereguk makna untuk kelangsungan hidupnya di dalam megastruktur yang hampa
makna.
Reaksi atas hasil objektivasi itu dimungkinkan karena
kesadaran bukan hanya hasil mengadaptasi, melainkan juga bisa “mentransendir
diri”. Dua bentuk reaksi yang mungkin adalah memberontak atau menarik diri.
Berger mengasumsikan bahwa, karena manusia memiliki
kehendak bebas dan kemampuan berpikir rasional untuk menyelesaikan
persoalannya, maka, keteraturan dalam masyarakat memiliki sifat-sifat
subyektifnya pula. Inilah yang mendorong manusia membentuk struktur melalui
proses institusionalisasi dalam menyelesaikan persoalannya.
Sayangnya, cara-ara manusia mengatasi persoalannya
berbeda-beda, karenanya pola dan tindakan yang terbentuk menjadi struktur
sosial yang berbeda-beda pula, bergantung pada sejarah lokal. Akibatnya
struktur sosial memiliki konteks yang mengandung makna yang intersubyektif
yang hanya bisa dipahami oleh kelompok manusia yang mengkonsensuskannya. Pemikiran Berger ini memiliki posisi khusus dalam
horizon sosiologi. Pemikiran Berger tidak terletak pada arus pemikiran yang
berparadigma individualisme, melainkan lebih sebagai teori pada tingkatan
mikro. Kelak memang ia lebih dikenal sebagai filsuf yang mematangkan
fenomenologi sosiologis.
Cita-cita Berger adalah melahirkan masyarakat yang
teratur lewat keteraturan pemikiran. Dengan begitu, maka status ontologis dari
struktur sosial akan semakin kuat, dan itu direfleksikan dalam struktur sosial
yang semakin nyata. Dalam kaitan dengan sebuah tatanan masyarakat itu, tesis
Berger yang utama adalah dalam menempatkan masyarakat sebagai realitas yang
obyektif yang lahir melalui keteraturan pemikiran.
Dalam konteks Indonesia kekikinian, metateori
pemikiran Berger menjadi sangat relevan jika kita memang tengah mencari jalan
tengah emas, Via Media Aura. Yaitu ketika para elit politik dan pemimpin bangsa
sama-sama tidak mampu melakukan abstraksi tentang Indonesia kekinian dan yang
akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar