Dalam al-Mu’jamul Wasith hal 403 disebutkan, “Zina
ialah seseorang bercampur dengan seorang wanita tanpa melalui akad yang sesuai
dengan syar’i”.
Orang yang berzina adakalanya bikr atau ghairu
muhshan (Perawan atau lajang (untuk perempuan) dan perjaka atau bujang (untuk
laki-laki)), atau adakalanya muhshan (orang yang sudah beristeri atau
bersuami).
Jika yang berzina adalah orang merdeka, muhshan,
mukallaf dan tanpa paksaan dari siapa pun, maka hukumannya adalah harus dirajam
hingga mati.
Zina dinyatakan sebagai perbuatan yang melanggar
hukum yang harus diberi hukuman setimpal, karena mengingat akibat yang
ditimbulkan sangat buruk. Hubungan bebas dan segala bentuk diluar ketentuan
agama adalah perbuatan yang membahayakan dan mengancam keutuhan masyarakat dan
merupakan perbuatan yang sangat nista.
Muhshan ialah orang yang pernah melakukan jima’
melalui akad nikah yang shahih. Sedangkan mukallaf ialah orang yang sudah
mencapai usia akil baligh. Oleh sebab itu, anak dan orang gila tidak usah
dijatuhi hukuman. Berdasarkan hadist “RUFI’AL QALAM ’AN TSALATSATIN (=diangkat
pena dari tiga golongan)”.
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari ra bahwa ada
seorang laki-laki dari daerah Aslam datang kepada Nabi saw lalu mengatakan
kepada Beliau bahwa dirinya benar-benar telah berzina, lantas ia mepersaksikan
atas dirinya (dengan mengucapkan) empat kali sumpah. Maka kemudian Rasulullah
saw menyuruh (para sahabat agar mempersiapkannya untuk dirajam), lalu setelah
siap, dirajam. Dan ia adalah orang yang sudah pernah nikah. (Shahih: Shahih Abu
Daud no: 3725, Tirmidzi II: 441 no: 1454 dan A’unul Ma’bud XII: 112 no: 4407).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Umar bin Khattab ra pernah
berkhutbah di hadapan rakyatnya, yaitu dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah
mengutus Muhammad saw dengan cara yang haq dan Dia telah menurunkan kepadanya
kitab al-Qur’an. Di antara ayat Qur’an yang diturunkan Allah ialah ayat rajam,
kami telah membacanya, merenungkannya dan menghafalkannya. Rasulullah saw
pernah merajam dan kami pun sepeninggal Beliau merajam (juga). Saya khawatir
jika zaman yang dilalui orang-orang sudah berjalan lama, ada seseorang
mengatakan, “Wallahi, kami tidak menjumpai ayat rajam dalam Kitabullah.”
Sehingga mereka tersesat disebabkan meninggalkan kewajiban yang diturunkan
Allah itu, padahal ayat rajam termaktub dalam Kitabullah yang mesti dikenakan
kepada orang yang berzina yang sudah pernah menikah, baik laki-laki maupun
perempuan, jika bukti sudah jelas, atau hamil atau ada pengakuan.” (Mutafaqun
’alaih: Fathul Bari XII: 144 no: 6830, Muslim III: 1317 no 1691, ‘Aunul Ma’bud
XII: 97 no: 4395, Tirmidzi II: 442 no: 1456).
Namun hokum berzina di Indonesia di atur dalam KUHP
dalam bab XIV kejahatan terhadap kesusilaan, Pasal 284-289 KUHP. Dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia dijelaskan bahwa yang terancam pidana jika yang melakukan zina adalah
salah seorang dari wanita atau pria atau juga kedua-duanya dalam status sudah
kawin. Artinya bahwa hukum positif tidak memandang perbuatan zina ketika
pelakunya adalah pria dan wanita yang sama-sama belum berstatus kawin. Hukum
positif memandang suatu perbuatan zina jika dilakukan dengan sukarela (suka
sama suka) maka pelaku tidak perlu dikenakan hukuman. Hal ini didasarkan pada
alasan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dan hanya menyinggung hubungan
individu tanpa menyinggung hubungan masyarakat. Dengan demikian, perbuatan zina
di mata hukum positif baru dianggap sebagai suatu tindak pidana dan didapat
dijatuhkan hukuman adalah ketika hal itu melanggar kehormatan perkawinan.
Menurut KUHP tidak semua pelaku zina diancam dengan
hukuman pidana. Misalnya pasal 284 ayat 1 dan 2 menetapkan ancaman pidana
penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal
seorang atau keduanya telah kawin, dan dalam padal 27 KUH Perdata (BW) berlaku
baginya. Ini bisa diartikan bahwa pria dan wanita yang melakukan zina tersebut
belum kawin, maka mereka tidak terkena sanksi hukuman tersebut di atas. Tidak
kena hukuman juga bagi keduanya asalkan telah dewasa dan suka sama suka (tidak
ada unsur paksaan) atau wanitanya belum dewasa dapat dikenakan sanksi, hal ini
diatur dalam KUHP pasal 285 dan 287 ayat 1. Sedangkan menurut hukum pidana
islam, semua pelaku zina pria dan wanita dapat dikenakan had, yaitu hukuman dera
bagi yang belum kawin, misalnya (dipukul dengan tongkat, sepatu, dan tangan).
Dan dera ini tidak boleh berakibat fatal bagi yang didera.
Menurut KUHP, perbuatan zina hanya dapat dituntut
atas pengaduan suami/istri yang tercemar (pasal 284 ayat 2), sedangkan Islam
tidak memandang zina sebagai klach
delict (hanya bisa dituntut) atas pengaduan yang bersangkutan.
Hukum positif KUHP dalam menyikapi masalah
perzinahan, ada berbagai variasi hukuman (klasifikasi). Dengan penerapan
hukuman yang berbeda-beda yang tertuang dalam KUHP pasal 284 ayat 1dan 2, pasal
285, 286 dan 287 ayat 1. Sedangkan Islam menetapkan hukuman dera jika pelaku
zina yang belum kawin dan hukuman rajam jika telah kawin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar