Pluralisme (yang berhubungan dengan masalah
keagamaan) dewasa ini seolah sudah menjadi sebuah ‘world’ view’
tersendiri,sebuah ‘kacamata sudut pandang’ yang dibuat manusia sebagai upaya
untuk melihat dan menyikapi adanya keragaman agama.
Dan karena sudah mendunia maka pluralisme yang saya
sorot disini lebih kepada membicarakan pluralisme sebagai ide, konsep, gagasan, pemikiran manusia yang biasanya terdapat di dalam buku buku ‘teks’
pluralisme yang awal mula nya mungkin lahir dari para pemikir yang mayoritas
dari dunia ‘barat’ sana,jadi disini saya lebih focus kepada membicarakan
konsep-pemikiran ‘pluralisme’ sebagai teks yang biasanya ada di buku buku
‘panduan’ nya, bukan berbicara konteks,supaya jangan ada fihak yang
tersinggung.
Hanya karena konsep ‘pluralisme’ ini seperti tidak
memiliki konsep yang baku seperti rumus matematika maka disini saya mencoba
membuat definisi sendiri yang bila keliru mohon dimaafkan dan mohon diperbaiki.
Untuk mudahnya saya mencoba membagi konsep pluralisme
ini kepada dua bagian : pluralisme sosiologis dan pluralisme ideologis,yang
mana kelak yang menurut anda paling tepat untuk dipakai sebagai ‘kacamata sudut
pandang’ dan solusi masalah ?.
Pluralisme sosiologis atau bisa juga disebut
‘pluralisme humanistik’ adalah cara menyikapi adanya keragaman agama dengan
cara menganjurkan untuk saling menghormati satu sama lain diantara para
penganutnya,(walau saling menghormati bukan berarti ‘saling membenarkan’)
dengan mencoba mencari sisi persamaan yang bersifat manusiawi dari tiap manusia
yang memeluk agama yang berbeda itu,misal : persamaan manusia yang sama sama
selalu ingin kebahagiaan, ketenangan, ketentraman dan kedamaian,dan sama sekali
TIDAK mempermasalahkan atau mengutak atik isi bagian dalam dari tiap agama yang
dipeluk manusia,sehingga misal,tidak mencoba menyama ratakan tiap agama misal
dengan membuat rumusan : ‘semua agama sama benar’.
Pluralisme ideologis sebaliknya,lebih berupaya
mencari sisi persamaan dari tiap agama yang dipeluk manusia, sebab itu mencoba
masuk ke isi bagian dalam dari tiap agama,mencoba mengutak atiknya dan lalu
mencoba membuat konsep persamaan dari tiap agama dengan membuat rumusan :
‘semua agama sama benar’,dengan melihat kepada ‘kulit luar’ dari agama yang
sama sama mengajarkan moralitas - kebaikan, tanpa melihat kepada apa dan siapa
yang disembah tiap pemeluk agama.
Artinya, pluralisme sosiologis ibarat satpam yang
hanya berjaga diluar rumah yang hanya bertindak bila ada gangguan keamanan atau
bila ada yang masuk ke dalam rumah tanpa izin,artinya tidak mencoba masuk ke
dalam kamar sang majikan untuk mengutak atik isi kamarnya atau mengutak atik
apa yang ada dalam fikiran sang majikan,sedang pluralisme ideologis ibarat
satpam yang mencoba masuk kedalam kamar serta kedalam fikiran sang majikan.
Sebab itu pluralisme sosiologis selalu lebih berupaya
mencoba mencari cari persamaan sebagai sesama manusia,selalu mencari upaya
perdamaian diantara sesama manusia dan sama sekali tidak mempermasalahkan isi
bagian dalam dari tiap agama yang dianutnya sebab faktor persamaan manusiawi
serta faktor kerukunan dan perdamaian yang lebih banyak dilihat-dikaji dan di
utama kan.
Pluralisme ideologis sebaliknya adalah cara
menyikapi adanya keragaman agama dengan cara lebih mencoba mencari persamaan dari
sisi agamanya (fokus ke-‘agama’-nya bukan ke-‘manusia’-nya) dan mencoba
mempermasalahkan isi bagian dalam dari tiap agama yang di anut lalu mencoba
menarik semacam ‘benang merah’ misal dengan membuat kesimpulan ‘semua agama
sama benar’.
Bahkan seorang penganut ideologi pluralisme yang
terlalu ‘ekstrim’ sampai memperlihatkan sikap tidak suka bila umat agama
tertentu membuat klaim kebenaran terhadap agama nya-beranggapan bahwa agamanya
sebagai ‘paling benar’,mungkin ia ingin siapapun pemeluk agama tidak mengklaim
bahwa agamanya sebagai ‘paling benar’,atau mungkin ia ingin tiap pemeluk agama
tidak lagi mempermasalahkan benar-salah agama yang dipeluknya asal baik dengan
sesama (?), atau mungkin ia ingin kebenaran agama dianggap ‘relatif’.
Nah masalahnya adalah ‘pluralisme ideologis’ ini
mungkin bisa saja maksudnya ‘baik’ karena bertujuan mencari kerukunan tetapi
karena terlalu masuk ‘kedalam’-terlalu banyak berbicara tentang ‘agama’ nya
bukan ‘manusia’ nya sehingga akhirnya malah menimbulkan keresahan tersendiri
pada pemeluk agama tertentu karena beberapa hal seperti : Semua agama itu tidak bisa dilihat dan dinilai dari
permukaan kulit luar semata,semua agama tidak bisa dianggap ‘sama rata dan
sejajar’ hanya karena dianggap sama sama mengajarkan akhlak-moralitas-kebaikan,sebab
inti dari agama bukan ajaran moral-ajaran kebaikannya tetapi lebih kepada : apa
dan siapa yang disembahnya,nah agama ‘nampak sama’ dari segi ajaran moralnya
tetapi akan nampak berbeda jauh bila melihat kepada apa dan siapa yang disembahnya. Sebab itu para pemeluk agama tentu menolak bila
tuhan yang disembah agama nya disama ratakan atau dianggap ‘sama saja’ dengan
tuhan yang disembah agama lain,contoh konkrit : muslim tentu akan menolak bila
Tuhan yang disembahnya harus disama ratakan atau disejajarkan dengan apa yang
dalam agama islam (maaf) dianggap sebagai ‘berhala’,begitu juga dengan penganut
agama lain juga tentu tak akan mau tuhan nya dianggap ‘sama’ dengan tuhan yang
disembah agama lain. Para pemeluk agama tentu menolak bila tidak boleh
menganggap agama yang mereka anut sebagai ‘yang paling benar’,sebab pertama,
itu adalah hak mereka yang menganut agama apapun,dan kedua,mereka menganut
agama tertentu tentu karena mereka meyakininya sebagai yang paling benar,bila
tidak menganggapnya sebagai yang paling benar tentu buat apa mereka menganutnya
?. Berlawanan dengan logika akal : pernyataan ‘semua
agama sama benar’ secara keilmuan otomatis akan menimbulkan konsekuensi
membenarkan semua tuhan yang disembah semua agama,misal,ada 100 agama dengan
tuhan yang disembahnya berbeda beda,maka menyebut ‘semua agama sebagai sama
benar’ akan berarti bahwa ada 100 tuhan yang menciptakan dan mengendalikan alam
semesta ini. bukankah itu suatu konsep - pemikiran yang sulit diterima logika
akal sehat ? Sebab menurut tela’ah logika yang mengendalikan alam semesta itu
mustahil lebih dari satu sebab ke stabilan dan ketertataan alam semesta
mustahil bila berdiri diatas dua atau lebih tuhan yang masing masing bisa
saling berselisih satu sama lain yang membuat terganggunya ke stabilan alam
semesta.(secara logika Tuhan harus satu). Bila konsep pluralisme terlalu ‘masuk kedalam’
sampai menolak klaim kebenaran dari suatu agama tertentu berarti kebenaran
agama tak boleh ada yang dianggap bersifat mutlak-menjadi harus dianggap
‘relative’ (?), atas gagasan demikian maka secara otomatis pemeluk agama secara
logis nantinya akan berfikir : ‘lha mengapa yang kebenarannya relative saya
jadikan keyakinan ?’, atau : ‘apakah keyakinan (hakiki) bisa berdiri diatas sesuatu
yang harus dianggap bersifat relative’ (?).
Sebab itu solusinya menurut saya, agar tidak menimbulkan keresahan diantara para
penganut agama,serta tidak menimbulkan problem pertentangan dengan logika maka
sebaiknya cukup bila penggagas pluralisme itu menganjurkan kepada para penganut
tiap agama itu untuk sekedar saling menghormati dan saling mencari persamaan
diantara mereka sebagai sesama manusia saja,agar hidup rukun dan damai,artinya
jangan terlalu masuk ‘ke dalam’ ke masalah yang berhubungan dengan inti agama
dengan membuat sikap atau pernyataan : Membuat benang merah pembicaraan mengenal masalah
agama yang berujung mengganggap ‘semua agama sama benar’. Menolak atau bersikap antipati terhadap klaim
kebenaran mutlak penganut agama tertentu.
Sebab itu bila ada yang keberatan tuhannya di samakan
dengan tuhan agama lain itu suatu hal yang wajar sebab fakta nya masing masing
penganut agama menyembah tuhan yang berbeda beda,dan klaim kebenaran oleh
penganut agama tertentu bukankah itu adalah hak masing masing sebagai
konsekuensi mereka menganut agama nya ? Bila manusia diberi hak oleh negara
untuk menganut agama tertentu maka bukankah hak nya pula untuk mengklaim
agamanya sebagai ‘yang paling benar’ ? Masa diberi hak beragama tetapi kemudian
tidak boleh menganggapnya sebagai ‘yang paling benar’ ? Masa diberi hak untuk
mencicipi gula tetapi tidak boleh mengatakan ‘gula itu mutlak manis’ ?.
Dengan kata lain bila kaum pluralis atau penggagas
pluralisme betul-betul ingin sekedar mencari kerukunan-kedamaian antar umat
beragama tak perlu sampai harus terlalu masuk ‘kedalam’ sampai membuat konsep
pemikiran atau rumusan ‘semua agama sama benar’ misal, atau menolak klaim
kebenaran mutlak dari golongan tertentu,atau sampai me relatifkan kebenaran
agama, biarlah soal benar-salah tentang agama dibicarakan oleh dan menjadi
dimensi pembicaraan para pemeluk agama masing masing,bahkan andai suatu saat
diantara mereka terlibat perdebatan masalah ‘kebenaran’ asal sebatas masih
mengikuti etika dan tetap saling menghormati, itu adalah dinamika yang
mencerdaskan,toh asal jangan saling menghujat dalam arti saling menghina satu
sama lain.
Dan dalam tiap agama sebenarnya telah ada didalamnya
ajaran untuk saling menghormati dan saling menghargai yang berbeda kepercayaan
toh ? (walau saling menghormati bukan berarti saling membenarkan).
Sebab itu mencari persamaan secara sosial sebagai
sama sama manusia,misal : sama sama butuh kehidupan ekonomi yang
mapan, stabil, sejahtera, sama-sama butuh kehidupan bermasyarakat yang
rukun, tenang, tentram, damai, sama sama bertanggung jawab secara sosial di lingkungannya masing-masing, sama-sama harus membangun dan mempertahankan
kedaulatan negara, sama sama membangun SDM yang berkualitas,sama sama mencegah
aksi kejahatan, dan sebagainya yang bersifat ‘sosiologis-humanistis’ menurut saya lebih
bermakna ketimbang terlalu mempermasalahkan hal hal yang lebih bersifat
‘ideologis’ yang malah bisa menimbulkan rasa resah-gelisah dikalangan penganut
agama tertentu.
Dan menurut saya di Indonesia ini ‘pluralisme
sosiologis’ telah berjalan secara alami karena bangsa bangsa timur punya
tradisi tenggang rasa dan tradisi saling menghormati,dan hati hati dengan ide
‘pluralisme ideologis’ yang lahir dari kepala beberapa pemikir terkemuka dari
dunia barat sana yang disamping bertentangan dengan logika akal sehat juga bisa
bisa membuat hubungan antar para pemeluk agama malah menjadi ‘keruh’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar