Sejak lama, ide tentang masyarakat didominasi oleh
ide politik yang tak lain adalah negara. Ini terjadi karena keyakinan bahwa
hanya institusi politik yang mampu mengkonstruksikan tatanan sosial,
menginterpretasi fungsi-fungsi dan mengontrol bekerjanya fungsi-fungsi yang
dibuatnya. Ide ini terus menerus ditanamkan pada warga masyarakat dan telah
bersifat hegemonis. Masyarakat pada umumnya juga diterjemahkan sebagai entitas
sosioekonomi. Melalui institusi politik yang adalah negara, masyarakat mengatur
fungsi-fungsi ekonominya sehingga kehidupan sosial dimungkinkan. Ide ini lalu
dikaitkan dengan ide bahwa negara adalah pencipta dan penjaga utama integrasi
sosial. Untuk itu, selain sebuah sistem penyeragaman ideologis yang mapan
dibutuhkan state ideological aparatus yang kuat.
Namun, tampaknya negara sebagai institusi politik
tanpa tandingan di masyarakat modern mulai kehilangan peran sentralnya itu.
Penyebabnya adalah kesenjangan antara aksi-aksi rasional yang dibuatnya dengan
kebutuhan atas individualitas dan/atau komunalitas. Dua simtom yang
mengindikasikan hal ini adalah pertama, hilangnya kontrol negara terhadap
ekonomi. Prinsip kapitalisme yang bertujuan untuk menumpuk kekayaan pribadi
(pemilik modal) telah meraih sukses besar dalam mencuri kekuasaan negara. Dalam
banyak kasus, negara bahkan menjadi kaki tangan kapitalisme yang
dilegimitasikan oleh paham liberalisme dan, saat ini, termanifestasikan dalam
paham dan kebijakan neo-liberalisme. Kaum intelektual, yaitu para ilmuan
ekonomi dan politik, dianggap paling berperan dalam memberikan
legimitasi-legimitasi ideologis bagi berjayanya kapitalisme.
Sebagian besar masyarakat dunia kemudian mengalami
apa yang dinamakan “marketisasi gelombang ketiga” atau third wave
marketization” (Buroway 2008:56). Marketisasi gelombang ketiga telah muncul
sejak tahun 1970-an yang ditandai oleh tiga ciri utama, yaitu melemahnya
serikat pekerja, privatisasi sumber-sumber daya alam dan munculnya kelompok
borjuasi nasional multi-ras. Berbeda dengan marketisasi gelombang pertama yang
menaruh perhatian pada komodifikasi buruh (pertengahan abad ke 19) dan
marketisasi gelombang kedua yang menitikberatkan pada komodifikasi uang
(puncaknya pada 1930-an), maka pada marketisasi gelombang ketiga telah terjadi
komodifikasi besar-besaran terhadap alam, tanah, lingkungan, dan tubuh.
Simtom kedua dari kegagalan negara adalah hilangnya
kontrol negara terhadap akar kehidupan sosiokultural. Hal ini terlihat ketika
mansyarakat tampak semakin plural. Globalisasi telah memungkinkan perubahan
sosial pada masyarakat jaringan terbuka yang mengakibatkan meningkatnya
individualisme dan komunalisme di satu sisi dan, di sisi lain, menurutnya
nasionalisme. Pertanyaan tentang eksistensi, kebebasan berekspresi dan
identitas mengalami bukan sekadar komposisi tetapi rekomposisi.
Kritisisme terhadap ide tentang masyarakat dengan
demikian menjadi sesuatu yang tak terhindarkan bagi para ilmuan sosial.
Kehancuran teori dan institusi-institusi utama dari kehidupan sosial sudah di
depan mata. Dua dunia, di satu sisi ekonomi yang merupakan dunia obyektif, dan
dunia kultural di sisi lain yang merupakan dunia subyektif, masing-masing
berjalan berkebalikan. Dalam interpretasi yang paling ekstrem, dapat dikatakan:
kematian atau hilangnya masyarakat. Lalu bagaimana dengan sosiologi ?.
Para sosiolog zaman klasik dikenal sebagai pemikir
sosial yang melakukan analisis terhadap masyarakat dan bukan individu. Apa yang
dikatakan khas sebagai analisis sosiologis adalah bila membicarakan sistem
sosial, norma, nilai dan peran sosial dengan fondasi yang diletakkan dalam
sosiologi adalah seperti yang dipikirkan oleh Auguste Comte, yaitu yang disebut
sebagai “ilmu sosial alam,” dimana sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
sesuatu yang “hidup”. Sejak itu, positivisme menjadi jiwa para sosiolog. Hal
ini juga yang menjadikan sosiologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang spesifik,
berbeda dengan ilmu yang lainnya.
Dalam pandangan sosiologi klasik, masyarakat
didefinisikan sebagai sebuah kesatuan dari mekanisme-mekanisme interdependen
yang memastikan integrasi atau kombinasi yang saling tergantung dari
elemen-elemen yang beroposisi antara individualisme dari aktor-aktor dengan
internalisasi dari norma-norma yang terinstitusionalisasi untuk tujuan
integrasi kolektif (Touraine 2007b:184). Namun kritik terhadap bangunan teori
sosiologi klasik justru berpusat pada tegangan antara sistem sosial di satu
sisi dan aktor di sisi lain. Hal ini juga dapat diartikan sebagai tarik menarik
antara masyarakat dengan komunitas atau individu, antara determinasi sosial
dengan independensi, antara ekonomi-politik dengan sosio-kultural, antara
obyektivitas yang psitivistik dengan subyektivitas yang kreatif.
Dalam konteks ini, sosiologi kemudian dianggap
menjadi salah satu ilmu pelopor dari “peminggiran” bila tidak mau dikatakan
“pematian” Subyek. Dalam pandangan strukturalisme fungsional Emile Dhurkeim,
misalnya, individu merupakan bagian kecil dari fungsi-fungsi yang saling
terkait dalam rangka gerak hidup masyarakat. Sebelum Dhurkeim, proyek
penghancuran subyek bahkan telah dimulai oleh Nietzsche, Freud dan setelah itu
Marx (Touraine 2007b:185). Dengan demikian sosiologi sebenarnya tidak dapat
dikatakan sebagai penerus filsafat pencerahan.
Memang benar terdapat pemikir-pemikir yang
dikategorikan dalam tradisi “pemikiran individualistis,” seperti Tocqueville
dan Weber. Mereka menganalisis fenomena sosial sebagai akibat dari aksi dan
kepercayaan individu. Namun demikian, individu tidak sama dengan Subyek.
Strukturalisme bahkan semakin menguat di Eropa setelah era Weber dan mencapai
puncaknya pada tahun 60-an. ketika itu, strukturalisme tidak hanya menjadi
kekhususan sosiologi, bahkan merambat ke ilmu-ilmu sosial secara luas termasuk
di dalamnya adalah antropologi dan linguistik. Beberapa tokoh strukturalis yang
populer antara lain adalah Claude Levi-Strauss, Louis Althusser, Jaques Lacan,
Rolland Barthens dan Michel Foucault.
Tahun 1980-an merupakan fase baru dalam sosiologi
ketika “kembalinya subyek”menjadi tema sentral dalam sosiologi. Misi sosiolog
era ini adalah membongkar dominasi strukturalisme yang akut dalam sosiologi dan
mempertimbangkan konstruksi individu sebagai aktor dan prinsip sentral dari
penilaian moral. Alain Touraine, (1925-…), sosiolog prancis, dapat dikatakan
sebagai perintis proyek rekomposisi teori Subyek dalam sosiologi. Dalam hal ini
Touraine banyak mendapat inspirasi dari filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre
yang telah terlebih dahulu mengambil posisi “untuk Subyek”dalam apa yang
dikenal secara populer sebagai filsafat Subyek, filsafat kebebasan dan filsafat
pertanggungjawaban.
Touraine mendirikan laboratorium Sociologie
Industrielle atau menjadi Centre d’Etudes des Mouvements sociaux atau Pusat
Studi Gerakan sosial di bawah Ecole Partique des Hautes etudes (EPHE) yang
merupakan bagian dari Sorbonne tahun 1970. Tahun 1981, Touraine mendirikan
Centre d’Analyse et d’Intervention sociologiques (CADIS) atau Pusat Analisis
dan intervensi sosiologi daibawah Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales
(EHESS) Paris dan memimpin laboratorium itu hingga tahun 1993. Sejak 1960,
Touraine adalah direktur pengajaran di EHESS dan saat ini menjadi profesor
emeritus.
Touraine dikenal sebagai pemikir kritis yang
melayangkan kritik tajam kepada para pemikir strukturalis, terutama Claude
Lévi-Strauss dalam kategori science Naturelle de l’homme atau ilmu alam tentang
manusia bersama dengan ilmu linguistik karena sama sekali tidak memberikan arti
penting pada Subyek. Selain Levi-Strauss, Louis Althusser dan Pierre Bourdieu
tak lepas dari kritik Touraine. Bagi Touraine, zaman Althuserian dianggap
sebagai zaman “kejahatan”bila tidak mau dikatakan “terorisme”atas Subyek.
Sementara perseturuannya dengan Pierre Bourdieu dan kawan-kawannya telah
berimbas pada para sosiolog dalam lingkaran Touraine (Ténedos 2006a dan 2006b).
Dalam proyek “pengembalian Subyek,’’ Touraine tidak
bekerja sendiri. Centre d’Analyse et d’Intervention Sociologique (CADIS) adalah
laboratorium tempat dia bekerja bersama sekelompok peneliti kawakan seperti
Francois Dubet, Farhard Kosrokhavar, Nilüfer Göle dan Michel Wieviorka,
presiden International Sociological Association (ISA) periode 2006-2010. Di
sini dilakukan eksaminasi-eksaminasi terhadap implikasi teoritis dan
metodologis dari pendekatan Subyek dalam bidang yang sangat beragam, mulai dari
sosiologi konflik, gerakan sosial, tenaga kerja, pendidikan, gender, rasisme
dan multikulturalisme.
“Kembalinya Subyek”juga telah menjadi bahasa utama
dalam pertemuan para sosiolog tingkat dunia pada International sociological
Association (ISA) 1st Forum tahun 2008 di Barcelona, selain juga telah menjadi
agenda pendekatan utama dalam ISA World Congress XVII di Gothendburg, Swedia,
Juli 2010, yang mengambil tema Sociology on the Move. Saat ini juga telah
banyak karya-karya sosiologi post-kontemporer yang memberi arti penting pada
Subyek seperti yang terlihat dalam karya Manuel Castells, sosiolog Spanyol, dalam
karyanya yang mendunia The Rise of Network Society; Michael Buroway, sosiolog
Amerika yang sedang naik daun karena pemikirannya tentang Public Sociology dan
Ulrich Beck, sosiolog Jerman dalam bukunya yang terkenal World Risk Society
yang menyatakan bahwa modernitas kedua (second modernity) ditandai dengan
kembali munculnya individualisme.
Critique de la Modernité (diterjemahkan dalam bahas
Inggris: Critique of Modernity), terbit tahun 1992, merupakan buku yang
menjelaskan secara mendasr pemikiran Touraine tentang Subyek. Namun pertanyaan
tentang “aktor atau sistem ?” sudah mengemuka sejak buku La Voix et le Regard
(diterjemahkan dalam bahasa Inggris: The Voice and the Eye) yang terbit tahun
1978 saat Touraine pertama kali memperkenalkan metode intervensi sociologis.
Pembicaraan tentang Subyek juga telah dikemukakan pada buku yang meraih sukses
internasional Le retour de l’acteur (Kembalinya Aktor) terbit tahun 1984.
Setelah Critique de la Modernité, terbit buku-buku lain yang lebih
mengeksplorasi subyek secara berturut-turut Qu’est-ce que la démocratie ? (Apa
itu Demokrasi?) tahun 1994; pourrons-nous vivre ensemble ? Egaux et différents
(Dapatkah Kita Hidup Bersama ? Setara dan Berbeda) tahun 1997; Un nouveau paradigme
pour comprendre le monde aujourd’ hui (paradigma baru untuk memahami dunia saat
ini) tahun 2005 dan Penser autrement (berpikir yang lain) tahun 2007.
Pemikiran Touraine tentang subyek dimulai dengan
kritiknya atas modernitas. Menurutnya, selama ini, terdapat tiga kesalahan
utama orang-orang dalam memandang modernitas. Pertama, melihat bahwa modernitas
hanya dimiliki oleh logika mayoritas (general, umum, publik). Touraine melihat
bahwa ada minoritas seperti kaum imigran misalnya yang sering luput diperhatikan.
Kedua adalah melihat dunia akan take off (lepas landas). Bagi Touraine ini
berbahaya karena menggambarkan betapa kita sepertinya dengan modernitas akan
tercerabut dari sebuah peradaban yang sudah kita miliki sebelumnya. Seakan-akan
dengan modernitas kita akan terputus-dengan kehidupan sebelumnya. Ketiga, orang
selalu menyamakan modernitas dengan individualisme. Modernitas selalu
dibayangkan dengan sosok individu yang begitu independen bahkan digambarkan
seperti seorang businessman yang begitu gemar berinovasi, berinvestasi dan
mengambil risiko dalam usaha: individualisme narsistik yang begitu konsumtif.
Selain itu, pertanyaan “tidak ada modernitas tanpa
rasionalitas” adalah tidak sepenuhnya benar. Bagi Touraine, modernitas juga
berarti formasi atau pembentukan Subyek-subyek di dalam dunia yang dapat
mengemban tanggung jawab untuk diri mereka dan untuk masyarakat. Untuk itu
proses subyektivasi seharusnya dibiarkan terjadi dalam dunia modern. Modernitas
tidak boleh direduksi dengan model kapitalisme murni yang muncul pada masa
modern. Untuk itu modernitas harus didefinisikan ulang dalam nuansa yang
positif dan bukan yang negatif atau dengan mengungkapkan kritik yang terus
menerus dan menyalahkan.
Bagaimana seharusnya modernitas dimaknai ulang ?
Touraine membedakan antara apa yang disebut sebagai modernitas yang selama ini
termanifestasi, yaitu yang ia sebut “modernitas yang terfragmentasi” (modernite
éclaté) dan “modernitas baru” (nouvelle modernité) (Touraine 1992). Terdapat
empat elemen penting dalam modernitas, yaitu kehidupan, bangsa, konsumsi dan
organisasi bisnis.
Dalam modernitas yang terfragmentasi, keempat elemen modernitas digerakan dan dipengaruhi oleh apa yang dinamakan
sebagai rasionalitas instrumental yang dalam terminologi Weber disebut
zweckrationalität, yaitu rasionalitas yang menitikberatkan pada efisiensi dan
efektivitas sebuah produksi. Rasionalitas ini berkaitan dengan bagaimana
tingkah laku manusia atau obyek di masyarakat dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Modernitas yang sangat rasional seperti ini telah mengalienasikan
manusia sebagai Subyek karena rasionalitas instrumental mendominasi tidak hanya
pada tataran konsumsi dan dalam organisasi bisnis, tetapi juga dalam aspek
kultural, yaitu kehidupan dan bangsa. Manusia yang dianggap rasional adalah,
misalnya, yang tidak membawa perasaan-perasaan personalnya dalam kehidupan
sosial.
Di sisi lain, modernitas baru adalah modernitas yang
terbentuk dari tarik menarik antara Subyek dan rasio, yaitu tegangan antara
Subyek yang dibentuk oleh kultur kehidupan dan bangsa di satu sisi dan rasio
yang dibentuk oleh kultur konsumsi dan organisasi bisnis.
Modernitas baru adalah modernitas yang tidak menolak rasio, konsumsi dan
organisasi bisnis, tetapi yang memeberikan ruang kepada individu untuk menjadi
Subyek dan, kemudian, aktor sosial. Modernitas baru adalah modernitas yang
humanistik ketika kehidupan dan bangsa melahirkan Subyek-subyek yang merdeka
untuk transformasi sosial.
Setidaknya tiga terminologi; individu, subyek dan
aktor (aktor sosial), harus didefinisikan secara berbeda dengan melihat
keterkaitan satu sama lain. Individu adalah sebuah kesatuan unik dimana
bercampur kehidupan dan pemikiran, pengalaman dan kesadaran. Sementara Subyek
adalah jalan, kontrol terhadap kehidupan yang sifatnya personal sehingga
individu dapat berubah menjadi aktor yang masuk atau berada dalam relasi-relasi
sosial dan melakukan perubahan terhadapnya dengan tidak melekatkan diri pada
kelompok atau kolektivitas. Seperti ditulis Touraine : Bahasa aslinya ? Subyek adalah sebuah konstruksi individu (atau
kelompok) sebagai aktor, yang dihubungkan dengan kebebasan yang terafirmasi
serta pengalaman yang menghidupinya, yang diasumsikan dan direinterpretasikan.
Subyek adalah usaha untuk mengubah situasi yang hidup melalui aksi yang bebas.
Bila Subyek adalah virtualitas, kapasitas, modal dan potensi, maka aktor
merupakan individu yang bertindak, yang memodifikasi lingkungan material dan
sosialnya.
Individu tidak secara otomatis akan menjadi Subyek.
Individu dikatakan telah menjadi Subyek bila dia telah memiliki karakter
kreatif yang dapat menjadi kekuatan dan modal untuk bertindak bagi pembebasan
dirinya. Seperti ditulis Hans Joas dalam La creativite de l’agir (kreatif untuk
bertindak), Subyek adalah “le caractere createur de l’agir humain” atau
karakter pencipta untuk bertindak manusiawi (Joas 2008:15). Walau demikian,
untuk menjadi Subyek sifatnya adalah sukarela. Kesukarelaan itu merupakan hasil
dari proses subyektivasi. Subyektivasi adalah penetrasi Subyek ke dalam
individu yang menimbulkan perubahan parsial individu menjadi Subyek (Touraine
1992:269-270). Normalnya dan yang terjadi selama ini, tatanan dunia yang sudah
ada dijadikan prinsip orientasi untuk bersikap-tindak. Subyektivitas adalah
kebalikannya. Subyektivasi merupakan perlawanan terhadap ketertundukan individu
atas nilai-nilai transenden. Prinsip utama dari moralitas yang dianut adalah
kebebasan dan kreativitas yang berhadapan dengan semua bentuk ketergantungan.
Bila penetrasi dalam subyektivasi berhasil dan
individu dikatakan telah menjadi subyek, situasi ini tidak juga secara otomatis
akan menjadikan indvidu sebagai aktor. Menjadi aktor dalam dunia riel ternyata
bukan sesuatu yang mudah. Dapat dibayangkan bila seseorang berada dalam posisi
yang subordinat, minoritas, termarjinalkan dan atau tereksklusi secara sosial,
maka memanifestasikan aksi pasti harus dibayar dengan harga yang mahal. Walau
begitu, subyek dan aktor bukan sesuatu yang terpisahkan. Subyek dan aktor
bertahan bersama dengan individualisme, memberikan keuntungan pada logika
sistem dimana aktor melakukan pencarian-pencarian rasional (yang terkalkulasi
dan terprediksi) dari ketertarikan-ketertarikannya.
Ketegangan antara sistem sosial dan aktor dengan
demikian harus dilihat secara baru, yaitu dengan membedakan antara
“independensi” dan “otonomi”. Sebagai individu yang hidup dalam yang sosial,
indvidu yang menjadi Subyek adalah “ototnom”; dia tidak mungkin terpisah atau
tercabut dari lingkungan sosialnya. Hal ini berbeda dengan ide tentang
“independensi”yang berarti terpisah dari kehidupan sosial. Subyek yang otonom
adalah Subyek yang bertanggungjawab pada dirinya dan pada lingkungan sosialnya.
Dia mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosialnya, memilih dan mengambil
keputusan, bertanggungjawab terhadap pilihannya, dan mampu merumuskan
tujuan-tujuan dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, menjadi subyek berarti
juga memikirkan individu lainnya dalam kehidupan kolektif.
Ide tentang otonomi berarti juga “menjadi manusia”dan
“menjadi Subyek”. Pada saat Subyek telah dapat melakukan sesuatu untuk
pembebasannya maka dia akan menjadi “aktor sosial”. Ide tentang aktor sosial
ini sekaligus menjembatani dan memecahkan kebuntuan dari tarik-menarik antara
sistem dan aktor. Dengan demikian, tugas sosiologi dewasa ini bukan untuk
menganalisis sistem sosial, tetapi untuk memahami aktor sosial karena arti dari
tindakan bukan didasarkan pada “logika sistem” tetapi pada “logika aktor”.
Sosiologi akhirnya juga harus mengambil peran sentral sebagai motor penggerak
kelahiran Subyek dan aktor sosial.
Melihat pada subyek mengubah cara pandang tentang
dunia, kehidupan, budaya dan juga sejarah. Dalam era subyek, budaya tidak
sekadar direproduksi tetapi diproduksi. Dapat dikatakan bahwa tidak ada budaya
yang seratus persen sama dengan yang terjadi pada zaman nenek moyang. Hal ini
juga meliputi seluruh aspek kebudayaan itu, termasuk sistem kepercayaan.
Evolusi sejarah perubahan sosial telah membuktikan hal ini sebagai tanda bahwa
daya kreativitas manusia menjadi kunci transformasi sosiokultural. Oleh karena
itu, usaha-usaha “pemurnian”yang pada zaman ini sebenarnya adalah sia-sia. Apa
yang dikatakan “murni”itu sendiri sebenarnya telah bergerak ke arah
dekomposisi.
Dewasa ini, subyek omnipresent dan tak terelakan
hampir di seluruh bidang kehidupan. Dalam studi sosiologi agama misalnya, para
sosiolog menemukan bahwa menjadi beragama atau memilih sebuah agama lebih
merupakan pilihan individual. Keputusan yang diambil adalah keputusan personal
dan atas tanggungjawab sendiri, bukan karena sesuatu di luar individu. Tentunya
ada “sejarah”mengapa seseorang sampai pada keputusan ini, namun intinya adalah
bahwa bagi banyak orang “menjadi beragama”sudah merupakan otoritas individual
dan bukan di luar dirinya. Pernyataan-pernyataan yang bersifat personal ini
seringkali hadir di ruang publik sebagai ungkapan otonomi individu, yaitu
individu yang mau mempertanggungjawabkan pilihannya kepada publik; individu
yang tidak terpisah dari lingkungan sosialnya.
Perubahan seperti ini wajar. Banyak keluarga modern
merupakan keluarga demokratis sebab setiap anggota keluarga telah memiliki
“tempatnya”, termasuk dalam hal ini, anak. Dulu, anak lebih ditempatkan sebagai
manusia “setengah jadi”, “tidak matang,” tidak dapat bertanggungjawab untuk
dirinya dan tidak dapat menjadi Subyek. Saat ini, dalam usia yang semakin dini,
anak telah diletakkan sebagai Subyek. Anak-anak telah diberi ruang untuk
berlatih membangun diri sebagai Subyek. Intinya adalah diberi ruang sehingga
individu (anak) memiliki kesempatan untuk “menjadi”. Ini mengingatkan pada
ajaran filusuf klasik, guru dari pada guru (Socrates) yang mengajarkan bahwa
dalam dunia pendidikan murid harus ditempatkan sebagai Subyek dan bukan Obyek.
Kritik terhadap kapitalisasi dan ideologisasi institusi pendidikan biasanya
berkaitan dengan diletakannya murid sebagai obyek.
Selain meletakkan dasar kemunculan identitas kultural
yang bersifat individual, subyek juga telah memicu menguatnya identitas
kultural kolektif. Dalam hal ini, identitas individual bukan tidak memiliki
hubungan positif dengan identitas kolektif (walau juga bersifat paradoksal),
karen identitas kolekif sebenarnya direproduksi dan diproduksi secara personal
dan bukan hanya sekadar sebuah warisan; ini berkebalikan dengan konsep habitus
Bourdieuian yang mengilustrasikan bahwa habitus tak lain adalah “sistem
pengaturan yang telah dirumuskan” (systéme de dispositions réglées), yang
merupakan “tema karib”dari keseluruhan tingkah laku individu yang memungkinkan
berlakunya determinisme supra-individual karena bias sosialisasi berdasarkan
kategori-kategori sosial. Habitus menafikkan kreativitas dan
perubahan-perubahan personal dan juga perubahan sosial.
Penemuan-penemuan personal itu kemudian mengarahkan
pada penciptaan budaya-budaya kolektif. Bekerja, menciptakan, memodifikasi,
menemukan kembali dan memproteksi tradisi adalah kecendrungan baru yang muncul
hampir di setiap masyarakat. Yang dikatakan sebagai batik atau makanan
tradisional, misalnya, saat ini telah mengalami”kebaruan.” Tulisan Eric
Hobsbawm dan Terence Ranger (1983) dalam The Invention of Tradition adalah
salah satu contoh yang menggambarkan dengan baik proses reinterpretasi dan
dekomposisi budaya. Penciptaan budaya dalam konteks itu merupakan keseluruhan
praktik yang terorganisir secara terbuka dan taktis, yang merupakan bagian dari
aturan-aturan yang diterima, ritual dan simbolisasi alam, yang bertujuan untuk
mempelajari dan mengingat kembali beragam nilai dan norma, yang secara otomatis
berimplikasi pada kelanjutan dari yang lalu.
Karena proses produksi dan reproduksi berjalan terus,
masyarakat “ultra-modern”yang merupakan sebuah dunia pertukaran kultural yang
intensif, memiliki karakteristik autoreproduksi budaya, yang pada akhirnya
menjadikan keragaman dalam masyarakat semakin berlipat ganda. Keragaman saat
ini bahkan tidak lagi berhubungan dengan negara bangsa karena masyarakat telah
menjadi sangat terbuka (open society) dan dunia tak ubahnya adalah mangkok dari
sebuah universalitas kebudayaan-kebudayaan. Proses ini semakin kuat karena
masyarakat lokal dan nasional semakin lama semakin mengalami deteritorialisasi,
yaitu proses pencerabutan teritorial yang disebabkan migrasi dan mobilitas
penduduk lainnya. Masyarakat diaspora yang bergerak dengan logikanya sendiri
adalah yang paling menggambarkan sumirnya batas-batas negara yang dengan cepat
digantikan transnasionalisme dan masyarakat jaringan (network society) lintas
batas.
Bikhu Parekh (2003:3) merupakan tiga bentuk keragaman
dalam masyarakat modern yang dapat dilihat juga sebagai kemunculan keragaman
lintas batas. Pertama adalah keragaman subkultur yang merupakan keragaman
identitas karena munculnya subkultur-subkultur baru di luar kultur dominan.
Sehingga, walaupun sebagian kecil lainnya memiliki keyakinan dan praktik hidup
khusus atau relatif berbeda dengan cara hidup orang pada umumnya, misalnya saja
kelompok gay dan lesbian.
Keduanya adalah keragaman prespektif yang muncul bila
terdapat sebagian anggota masyarakat yang kritis terhadap prinsip-prinsip atau
nilai-nilai budaya dominan yang dianggap tidak ideal dan mencari jalan
alternatif baru untuk memperbaiki keadaan. Keragaman ini biasanya muncul dri
kalangan intelektual, misalnya para feminis atau environmentalist. Ketiga
adalah keragaman komunal yang muncul bila terdapat anggota-anggota masyarakat
yang hidup dalam kelompok-kelompok yang terorganisir dengan baik dan berbagai
sistem dan praktik kehidupan tertentu yang berbeda dari masyarakat pada
umumnya, misalnya saja, kelompok-kelompok keagamaan baru, kelompok etnis atau
imigran yang hidup diwilayah tertentu.
Perubahan struktur masyarakat hiper-plural dunia yang
sedemikian brutal ini merupakan tantangan bagi negara dan masyarakat bangsa
berkaitan dengan integrasi sosial. Untuk itu politik integrasi harus dikaji
ulang. Selama ini, dalam sistem negara demokrasi modern, paling tidak telah
berkembang dua politik integrasi yang populer, yaitu politik liberalisme dan
komunitarianisme. Apa yang dikemas sebagai model politik integrasi alternatif
di banyak negara lebih merupakan pengembangan lebih lanjut atau penggabungan
dari kedua model ini.
Debat filsafat politik dan moral antara para pemikir
liberal dan komunitarian mengemuka di dunia anglo-amerika sejak tulisan John
Rawls, Theory of justice muncul tahun 1971, yang telah dianggap sebagai karya
klasik liberalisme modern. Ambisi Rawls untuk memperbarui makna “kontrak sosial”
dan membangun kembali prinsip-prinsip yang “benar” dari institusi hukum telah
melahirkan kritik, baik dari para pemikir libertarian maupun komunitarian.
Secara umum, teori Rawls dianggap justru menjustifikasi ketidakadilan
sosio-ekonomi atas nama efektivitas ekonomi. Pemikir libertarian seperti Robert
Nozick menilai bahwa Rawls memberikan perhatian pada kebebasan, namun pada saat
yang sama memberikan tempat yang berlebihan kepada kekuasaan negara. Di sisi
lain, para pemikir komunitarian seperti Charles Taylor, Michael Walzer dan
Alasdair MacIntyre menolak dasar teori Rawls yang seakan-akan mengandung
prinsip-prinsip yang diterima secara universal namun melepaskan individu dari
ikatan-ikatan sosialnya (Halpern 2009:78). Dalam bukunya Liberalism and the Limits
of Justuce, Michael Sandel yang juga sering disebut sebagai salah satu pemikir
komunitarian, melayangkan kritik kepada Rawls (1998). Menurutnya, ide Rawls
tentang individu tidak lain adalah individu yang abstrak, tanpa akar kultural,
agama dan tanpa kedalaman moral; sebuah atom yang ahistoris.
Debat antara pemikir liberal dan komunitarian yang
berkembang di Amerika dan Kanada di antara para filsuf politik menemukan varian
berbeda di tempat lain. Tahun 1980-an di prancis, Régis Debray mengangkat diskusi
tentang pembedaan antara apa yang disebut “Republikan” dan “Demokrat”. Secara
umum, para pemikir republikan memiliki kesamaan dengan pemikir liberal
(walaupun pada umumnya kata “liberal” kurang disenangi di Prancis). Mereka
percaya bahwa dalam ruang publik tidak ada tempat selain untuk
individu-individu yang bebas dan setara di hadapan hukum. Berhadapan dengan
multikulturalitas, model integrasi republikan meletakan dasar penyikapan yang
“toleran” terhadap keragaman kultural atau yang sering disebut “Politik
Toleransi”. Artinya, negara beroposisi mentolerir hidupnya keragaman budaya dan
identitas kultural baik individual maupun kelompok tanpa harus mengakui atau
“mengurusi” berbagai urusan mereka. Di sisi lain, negara mengembangkan sebuah
sistem politik kenegaraan yang bersifat netral dan terbebas dari
pengaruh-pengaruh kelompok. Perancis adalah salah satu contoh negara yang
menggunakan politik integrasi ini; Laïcité (pemisahan antara kekuasaan negara
dengan agama) telah menjadi ujung tombak integrasi nasional di negara itu.
Di sisi lain, para pemikir demokrat yang idak begitu
jauh pemikirannya dari para komunitaris anglo-saxon, lebih memilih apa yang
dinamakan sebagai “politik pengakuan”. Dalam politik pengakuan, negara
mengenali dan mengakui keberadaan berbagai budaya, menjamin serta memberikan
hak-hak hidup bagi setiap kolektivitas kultural. Politik pengakuan juga dikenal
dalam dunia anglo-saxon sebagai politik multikulturalisme. Multikulturalisme
dimengerti sebagai sebuah kebijakan publik yang terintegrasi dalam
intitusi-institusi, hukum dan tindakan pemerintahan yang memberikan pengakuan
di ruang publik kepada perbedaan-perbedaan kultural atau paling kurang beberapa
di antara mereka, (Wieviorka 2004:294).
Wieviorka (2004:294) membedakan dua model utama multikulturalisme,
yaitu “multikulturalisme terintegrasi” (integrated multiculturalism) dan
“multikulturalisme terfragmentasi” (fragmented multiculturalism).
Multukulturalisme terintegrasi memberikan perhatian pada permintaan akan
pengakuan budaya dan perjuangan melawan ketidakadilan sosial. Kanada, Australia
dan Swedia adalah tiga contoh masyarakat yang memiliki tipikal
multikulturalisme terinetgrasi. Secara berkebalikan, dalam multikulturalisme
terfragmentasi, kebijakan-kebijakan dibuat secara berbeda untuk
kelompok-kelompok kultural yang beragam sehingga kesetaraan dan keadilan sosial
dapat direalisasikan. Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat; kebijakan
khusus dibuat untuk lebih memudahkan akses orang kulit hitam masuk dalam
pekerjaan di sektor publik.
Politik multikulturalisme dapat dikatakan model
termutakhir yang muncul dari kritik atas model integrasi yang lebih tua;
integrasi ala republikanis. Yang menjadi kegalauan para multikulturalis adalah
bahwa dengan model republikanis; ruang yang diberikan untuk keragaman
identitas-identitas kultural di ruang publik semakin hilang atas nama integrasi
nasional (kecintaan pada negara). Kasus pelarangan pemakaian jilbab di
sekolah-sekolah publik di Prancis misalnya, dianggap sebagai peminggiran
sistematis terhadap hak-hak kelompok minoritas dan pencerabutan budaya secara
paksa demi unifikasi. Ini mengapa diskursus politik integrasi saat ini lebih
mengambil posisi politik multikulturalisme dibandingkan politik republikanisme
yang negara-sentris.
Dalam sepuluh tahun terakhir, para pemikir mulai
meragukan multikulturalisme karena semakin terlihat banyak mengandung kelemahan
dan paradoxalitas. Beberapa kritik mendasar terhadap multikulturalisme adalah
pertama, masalah pengakuan dan pengenalan identitas kultural justru memunculkan
eksklusi sosial karena paradoksalitas dari usaha identifikasi adalah tidak
teridentifikasinya “yang lain”. Artinya, ada pertanyaan mendasar yang muncul;
sampai sejauh mana usaha mengenali itu dilakukan dan apa kriteria-kriteria yang
dianggap adil yang dipakai sehingga dapat menjamin terciptanya keadilan di
antara kelompok.
Politik pengakuan juga mengandaikan sebuah
diskontinuitas produksi dan reproduksi budaya, padahal realitas berjalan secara
berkebalikan. Kontinuitas produksi dan reproduksi budaya secara praktis tidak
hanya membuat keragaman antar kelompok meningkat tetapi juga pluralitas di
dalam setiap kelompok. Paradoksalitas terlihat sebagai berikut; bagi mereka
yang ingin membuat unifikasi berdasrkan agama atau kultur tertentu, masalah
akan segera muncul ketika di antara mereka sendiri yang tergabung dalam satu
kategori identitas kultur, ternyata telah memiliki dan terus memproduksi
perbedaan-perbedaan yang semakin besar (Touraine 1997).
Kritik lain untuk multikulturalisme berkaitan dengan
pemberian dan penjaminan hak. Ketika ruang begitu besar diberikan kepada
kelompok, maka terdapat dua bahaya berkaitan dengan integrasi nasional dan
sosial. Pertama menguatnya tuntutan atas kemerdekaan teritorial bagi
kelompok-kelompok yang merasa tidak sejalan dengan status quo. Kedua menguatnya
identitas-identitas kelompok tanpa arah yang dengan cepat dapat menghasilkan
ketegangan antarkelompok bahkan konflik-konflik sosial berdarah. Dalam
masyarakat yang lebih mapan, ketegangan juga muncul yang biasanya ditandai
dengan aksi-aksi demonstrasi dan protes yang merupakan afirmasi bagi identitas
kultural dan hak-hak minoritas etis, sosial dan moral.
Apa yang ditakutkan oleh para negarawan selama ini
telah terbukti, yaitu bahwa baik model republikanis maupun multikulturalis
nyatanya tidak berhasil menjaga integrasi sosial. Ketika Inggris diguncang
kerusuhan rasial pada oktober 2005, negarawan Prancis merasa berbangga diri
dengan mengatakan bahwa hal itu akibat politik komunitarian Inggris yang
terlalu memberikan ruang kebebasan kelompok. Namun tidak lama berselang,
giliran Prancis mengalami sebuah kejadian luar biasa yang tidak pernah
diprediksi sebelumnya; kerusuhan rasial besar-besaran di daerah sub-urban Paris
yang menyebar di beberapa kota besar lainnya. Dua peristiwa ini menyimpulkan
bahwa konflik-konflik terbuka antarkelompok yang terjadi tidak memiliki
hubungan lurus dengan model integrasi tertentu. Sebaliknya, kedua model
integrasi bahkan diyakini berkontribusi dalam memproduksi kekerasan kolektif
dan eksklusi sosial.
Para pemikir pendekatan Subyek telah dengan cepat
mengenali kelemahan paling mendasar dari dua sistem politik integrasi
republikanisme dan multikulturalisme yang tidak lain adalah anti-Subyek.
Politik republikanisme telah memenjarakan individu dalam ruang ekonomi-politik
negara yang sangat rasional, sementara ide politik multikulturalisme yang
selama ini diyakini membawa semangat pembebasan atas individu dan kelompok
secara cepat berbalik mematikan Subyek, yang disebabkan berkembangnya semangat
komunitarian membabi buta yang mengarah pada totalitarianisme kelompok. Dengan
demikian, dalam konteks yang lebih luas, Subyek tidak saja berhadapan dengan
entitas di luar dirinya yang begitu dominan, yaitu negara/masyarakat, tetapi
juga ditundukkan oleh aturan-aturan kelompok.
Para pemikir menawarkan pendekatan Subyek adalah
mengkonstruksikan sebuah pendekatan integrasi sosial yang benar-benar dapat
berjalan pada masyarakat era “modernitas baru” yang hiper pluri-kultural.
Caranya adalah dengan memberi perhatian pada Subyek yang hidup dalam lingkungan
sosialnya, yaitu kelompok serta masyarakat. Pertanyaan tentang bagaimana hidup
bersama sebenarnya adalah pertanyaan yang sangat dekat kaitannya dengan
eksistensi Subyek.
Demokrasi modern dengan demikian harus dirumuskan
ulang sebagai apa yang Touraine namakan “Demokrasi Kultural” (Allemand 1998).
Demokrasi kultural meliputi pangakuan atas keragaman jalan, tujuan dan
asal-usul. Demokrasi kultural mengafirmasikan solidaritas yang diperlukan
dengan meredefinisikannya sebagai sebuah keseluruhan jaminan institusional
hak-hak setiap individu untuk berkesempatan menjadi Subyek. Untuk itu, politik
integrasi tidak cukup didefinisikan dengan sekadar “ politik toleransi” atau
pun “politik pengakuan” tetapi sebagai “Politik untuk Subyek”, yaitu sebuah
rezim yang memberikan sebanyak mungkin kesempatan kepada sebanyak mungkin orang
untuk mendapatkan subyektivitasnya; untuk hidup sebagai Subyek. Seperti ditulis
Touraine.
Setelah berjalan dengan hak-hak sipil dan terus
mengusahakan keadilan sosial, demokrasi kultural akhirnya juga harus menjadi
instrumen bagi pengakuan atas “yang lain” dan sebagai ruang bagi komunikasi antar-kultural.
Pemikir pro-Subyek yang lebih moderat, seperti Michel
Wieviorka, mencoba memberikan pemaknaan ulang terhadap multikulturalisme, yaitu
dengan mengemukakan apa yang disebutnya sebagai “Multiculturalisme Tempéré”
atau yang saya terjemahkan secara bebas sebagai “Multikulturalisme
Berkarakter”. Multikulturalisme berkarakter adalah politik yang memberikan
hak-hak kebudayaan kepada individu. Artinya, keikutsertaan seseorang pada
sebuah identitas kultural harus merupakan pilihan dan keputusan setiap
individu, dan bukan sebuah keharusan atau kewajiban atau pun sebuah perintah
yang tidak dapat ditolak. Dengan kata lain, harus ada kemungkinan bagi individu
untuk pergi ketika dia menginginkannya, keikutsertaannya dalam sebuah identitas
kultural tertentu (Wieviorka 2008:173). Multikulturalisme berkarakter mengakui
dan mengenali partikularitas dari kelompok-kelompok kultural, tradisi-tradisi,
bahasa-bahasa, dan sebagainya, dan pada saat yang sama memberikan ruang untuk
Subyek, hak-hak asasi manusia, rasionalitas dan demokrasi sekaligus.
Model kulturalisme dengan spirit yang sama
dipopulerkan oleh filsuf Kanada, Will Kymlicka tahun 1995 dalam bukunya
Multicultural citizenship sebagai “multikulturalisme liberal”, yaitu
multikulturalisme yang memberikan penghormatan sekaligus pengakuan politik
terhadap berbagai perbedaan kultural yang berjalan bersamaan dengan
prinsip-prinsip politik liberal (kebebasan individu) yang bersifat universal
(Kymlicka 2003).
Bagaimana “politik untuk Subyek” dan multikulturalisme
berkarakter” secara riel dapat berjalan ? Ini mengandaikan adanya reformasi
dalam dua institusi penting masyarakat, yaitu hukum dan pendidikan, selain dari
proses subyektivasi serta autoproduksi-reproduksi dan komitmen aktor-aktor
sosial di dalamnya. Para juris berperan menjaga dan memastikan berjalan politik
untuk subyek dan multikulturalisme yang berkarakter dengan benar; hak-hak
setiap individu untuk menjadi Subyek dapat terpenuhi, demikian pula hak-hak
kultural kelompok. Sementara institusi pendidikan bertugas untuk melahirkan
Subyek-subyek melalui proses subyektivasi. Tentunya hal ini bisa berhasil bila
institusi pendidikan menempatkan peserta didiknya sebagai Subyek bukan Obyek di
mana penemuan Subyek merupakan sebuah kesukarelaan. Oleh karena itu, terminologi
“edukasi” lebih tepat dipakai dibandingkan “sosialisasi” karena lebih bersifat
membebaskan individu untuk berkembang sementara sosialisasi lebih bermakna
indoktrinasi.
Sejak lama, masyarakat Indonesia adalah sebuah
kubangan multikultural. Dalam bukunya yang terkenal Le Carrefour Javanais,
Denys Lombard (1990), sejarahwan Prancis, mencatat bahwa pulau Jawa yang
merupakan pulau penting di Nusantara, tidak lain adalah sebuah “perempatan”;
berbagai peradaban dunia saling berjumpa dan menumbuhkan dan tempat yang subur
bagi persilangan budaya. Dengan demikian, sebenarnya masyarakat kita adalah
sebuah komunitas raksasa yang sudah sangat terbiasa dengan perbedaan dan
pertemuan, serta produksi dan reproduksi budaya. Hal ini karena sejak lahir dan
selama hidupnya, masyarakat kita hidup bersama keragaman itu; mulai dari ras,
etnis, sub-etnis, bahasa dan bahkan sistem kepercayaan. Dan setelah masuknya
berbagai agama “import,” multikulturalitas ditambah lagi dengan keragaman
agama.
Ketika sebuah masyarakat modern yang disama-artikan
dengan negara dibentuk, timbullah masalah. Tahun 1944, J.S. Furnivall, seorang
politikus dan administrator Inggris, pernah menulis bahwa masyarakat Indonesia
bersama dengan Malaisya dan singapura dalah plural society atau masyarakat
majemuk, yaitu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan
sosial yang hidup bersama tetapi tidak memiliki satu kesatuan politik dan
sangat kurang memiliki tujuan sosial bersama (Furnivall 2994:446). Bila tesis
Furnivall ini diterima, masyarakat kita selain terbiasa hidup dalam perbedaan
juga terbiasa tidak berada dalam sebuah kesatuan politik tertentu dan terbiasa
tidak memiliki tujuan sosial bersama.
Negara Modern yang dibentuk dengan nama Negara
Kesatuan republik Indonesia (NKRI) meminta hal yang berkebalikan dari kebiasaan
masyarakat kita itu. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, inspirasi
tentang ide “kemerdekaan”dan “negara modern” pada masyarakat yang terkolonisasi
datang dari semangat zaman pencerahan di Eropa tatkala spirit pembebasan
menjadi salah satu keutamaannya. Ini adalah implikasi dari kolonialisasi.
Pertanyaannya, apakah bentuk negara kesatuan yang dikemukakan zaman itu, dalam
situasi emosionalitas yang tinggi dan semangat yang menggebu-gebu untuk
mengusir penjajah adalah benar-benar yang dibutuhkan oleh masyarakat kita ?
Masalahnya, apa yang dihadapi masyarakat kita selama lebih dari 60 tahun yang
dikatakan “merdeka” kelihatannya masih jauh dari esensi kata merdeka itu
sendiri. Berhadapan dengan semua hal, hingga saat ini masyarakat kita tetap
mengenal apa yang dinamakan “masyarakat korban”. Sementara bila berhadapan
dengan multikulturalitas, masyarakat kita terbelenggu dalam unfikasi. Ini semua
memberikan konsekuensi besar pada individu, yaitu matinya Subyek.
Sosiologi dunia saat ini sedang melakukan
perubahan-prubahan mendasar dalam menyikapi masyarakat zaman ini yang bergerak
cepat. Untuk itu para sosiolog harus memiliki ambisi yang lebih besar untuk
sebuah “perubahan”, yaitu dengan memikirkan dan merefleksikan kembali tentang
dirinya, orang-orang lain, komunitas dan masyarakat. Keinginan untuk sebuah
transformasi besar paradigma sosiologi dunia kepada “Kembalinya Subyek” tampak
semakin termanifestasi di semua sektor dan yang paling utama adalah dalam
menganalisis tema sentral sosiologi abad ini, yaitu multikulturalitas
masyarakat dunia.
Bagaimana dengan sosiologi Indonesia ? Menurut saya,
ada dua hal penting yang dapat dilihat kembali oleh para sosiolog di Indonesia.
Pertama, adalah dengan bertanya kembali tentang apa peran sosiologi untuk
individu-individu, komunitas dan masyarakat Indonesia selama ini. Apakah
sosilogi Indonesia telah menjadi ilmu yang benar-benar kontekstual,
membebaskan, manusiawi dan berguna bagi individu-individu, komunitas dan
masyarakat, atau justru menjadi sponsor mainstream kekuasaan ? Dengan kata lain,
apakah sosiologi telah dapat berperan mensponsori kelahiran Subyek-subyek ?
Kedua adalah dengan merefleksikan kembali bagaimana sosiologi Indonesia tidak
hanya melihat individu-individu, komunitas dan masyarakat Indonesia, tetapi
juga meletakkan dirinya dalam sebuah bagian dari konstelasi
hiper-multikulturalitas dunia yang super-kompleks. Yang saya maksud adalah bahwa ada proses
pembentukan, pemaknaan dan refleksi atas budaya serta identitas. Kata
‘rekomposisi’ saya gunakan unutk menunjukan betapa budaya dan identitas tidak
hanya sekedar dimaknai lalu diamini tetapi juga dibentuk kembali. Mengalami
proses produksi dan reproduksi. Pembentukan, penghancuran dan pembentukan
kembali yang bahkan sama sekali berbeda dengan yang sebelumnya. Sosiologi mempelajari yang hidup sebagai fenomena
alam atau “natura”, bukan lagi sebagai entitas yang terkait dalam kesatuan
dengan “Desus” atau Tuhan. Sosiologi menjadi sebuah ilmu baru saat itu yang
mencoba melegimitasi eksistensi dunia dan hidup manusia pada yang sekular. Yang
sekular dimengerti secara empiris dan psitivistik. Masyarakat dilihat begitu
organis, sama seperti sebuah mahluk hidup yang biologis. Neitzsche misalnya mengungkapkan pemikiran
tentang kehendak untuk berkuasa dan “ubermensch” yang terkesan begitu
merendahkan kelemahan manusia yang manusiawi. Sikap misogininya melengkapi
bagaimana ia dapat dianggap mematikan individu sebagai subyek. Sementara
Sigmund Freud melihat struktur individu sebagai id, ego dan superego, yang mau
menyederhanakan jiwa manusia sebagai yang terpetakan dan dapat dianalisis
secara obyektif. Freud juga menghadirkan struktur masyarakat Eropa masa
pra-pencerahan yang begitu hirarkis yang dapat dikatakan telah mematikan
individu sbagai subyek. Dalam semangat yang sama, Marx tentang materialisme
historis dan hubungan infrastruktur-suprastruktur menjadi bukti bagaimana ia
mengesampingkan manusia sebagai subyek. Dengan demikian, rasionalisasi sangat
dominan dalam pemikiran tiga tokoh itu. Kata ‘tempéré’ dalam bahasa Perancis sama
artinya dengan ‘doux’ yang berarti “lembut” atau “ramah” dan memiliki arti yang
berlawanan dengan “berlebihan” atau “ekstrem”. Saya memilih kata “berkarakter”
karena ada kedekatan arti (rasa bahasa yang sama) di antara keduanya dimana
“berkarakter” disini dipahami sebagai “yang memiliki kualitas dan keutamaan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar