Mungkin diantara sekian banyak sosiolog di Indonesia,
ada beberapa yang sering kita dengar dan baca hasil karya dan penelitian mereka
seperti Koentjaraningrat, Soekanto, Selo Soemardjan ataupun mungkin Sajogyo.
Diantara para sosiolog yang telah disebutkan mungkin hanya satu yang sering
disebutkan oleh para mahasiswa maupun peneliti yang mendalami ilmu sosiologi
pedesaan, yaitu Sajogyo.
Sosiolog yang satu ini memang berbeda pemikirannya
jika kita bandingkan dengan para sosiolog yang lain. Sajogyo yang dilahirkan di
Karanganyar 21 Mei 1926, mencoba untuk lebih konsern dan mendalami sosiologi
pedesaan yang menurut beliau merupakan cara untuk ikut mensejahterakan
masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa penduduk Indonesia sebagian besar
bertempat tinggal di daerah perdesaan dan mempunyai mata pencaharian sebagai
petani, Sehingga menurut Sajogyo wilayah perdesaanlah yang harus menjadi basis
penelitian para sosiolog.
Sajogyo yang merupakan anak dari salah seorang guru bahasa
Belanda, mengenyam pendidikan dasar dan menengahnya di daerah Purwokerto dan
melanjutkan sekolah menengah atas di Yogyakarta. Setelah menamatkan SMA di
Yogyakarta, beliau meneruskan pendidikan tingginya di Bogor, tepatnya di
Fakultas Pertanian UI tahun 1950 (yang sekarang telah menjadi Institute
Pertanian Bogor). Disaat teman-teman seperjuangannya menamatkan S1-nya selama
kurang lebih 7 tahun, berbeda dengan Sajogyo yang berhasil menyelesaikan studi
S1 nya hanya dalam waktu 5 tahun dengan skripsi dan penelitian dibawah
bimbingan Prof. Wertheim (yang saat itu merupakan Guru Besar Tamu di
Indonesia).
Karena kepandaian dan kecerdasannya, Sajogyo yang
bernama asli Kamto Utomo ini dipromosikan oleh Prof. Wertheim untuk melanjutkan
pendidikannya menjadi Doktor. Dalam setiap penelitiannya, Sajogyo selalu
mencoba melihat pertanian dari sudut sosial-ekonomi, karena menurutnya
pertanian itu bukan hanya masalah budidaya saja, tetapi juga menyangkut masalah
interaksi sosial dan juga ekonominya. Sayogyo yang selalu menjadi mahasiswa
kebanggaan Prof. Wertheim karena fokus penelitiannya terhadap masyarakat kecil
pada wilayah perdesaan berhasil merumuskan Standar Garis Kemiskinan di
Indonesia berdasarkan konsumsi bahan pokok yaitu beras perkapita selama setahun
yang kemudian menjadi rujukan bagi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur
Standar Garis Kemiskinan di Indonesia.
Sosok Sayogyo bukanlah orang yang serba tahu, tapi
merupakan orang yang selalu ingin tahu dan beliau juga dikenal sebagai
seseorang yang selalu berpikir jauh kedepan. Jika kita hanya sempat berpikir
tentang hari kemarin, hari ini dan esok tapi beliau telah jauh berlari berpikir
ke masa depan. Hal ini terlihat saat ia sedang mengenyam pendidikan Post
Doktoral di University of Chicago. Saat itu di Indonesia sedang terjadi
“Revolusi Hijau” yang merupakan tujuan pembangunan pertanian di Indonesia,
sehingga peristiwa ini menginspirasi beliau untuk menyelesaikan tulisannya yang
berjudul “Modernization Without Development”. Tulisan ini berisi tentang revolusi
hijau yang sedang terjadi di Indonesia yang semakin memiskinkan petani miskin
dan menciptakan petani tanpa lahan, dan sebaliknya malah melahirkan petani
golongan atas yaitu orang-orang yang memiliki modal besar yang memanfaatkan
lahan pertanian untuk kepentingannya sendiri. Keberhasilan Sajogyo dalam bidang
penelitian masyarakat perdesaan yang sering dianggap termajinalkan, telah
membawa Sajogyo menjadi seorang ilmuwan yang dibanggakan oleh Indonesia, bahkan
dunia internasional pun mengakui kehebatan dari seorang sosiolog “rakyat kecil”
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar