Rabu, 08 Januari 2014

Sisi Sosiologis dari Uang

Baru-baru ini pemerintah mewacanakan untuk menyederhanakan nilai mata uang Rupiah. Redenominasi ini dimaksudkan agar nominal nilai uang menjadi lebih sederhana, tanpa mengubah nilai tukarnya. 100 Rupaih menjadi 10 Sen, 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah dan seterusnya. Meski demikian apakah menjadi solusi terhadap kondisi ekonomi bangsa ini ? Ataukah hanya sekedar usaha penyederhanaan semata, kiranya perlu pembacaan lebih lanjut. Agar kekhawatiran, seperti inflasi, kontradiksi penggunaannya dapat dihindari. Berangkat dari sini, tulisan berikut bukan ingin membahas lebih lanjut mengenai Redenominasi, tetapi sekedar ingin melihat sisi sosiologis dari uang dalam kehidupan. Dimana uang sedemikian lekat dengan keseharian dan semakin menjadi tanpa keberadaan ditengah arus yang memungkinkan dapat dimaterialkan oleh yang namanya uang.
Secara umum uang didefinisikan sebagai benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara dalam transaksi perdagangan. Agar benda-benda itu diterima dan disetujui oleh masyarakat haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai uang. Syaratnya adalah nilainya tidak mengalami perubahan, mudah dibawa, mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya, tahan lama, jumlahnya terbatas dan bendanya mempunyai mutu yang sama.
Fungsi asli uang sedari awalnya adalah sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung dan sebagai penyimpan nilai. Sedangkan fungsi turunannya adalah sebagai alat pembayaran, sebagai alat pembayaran utang, sebagai alat penimbun atau pemindah kekayaan dan alat untuk meningkatkan status sosial. Dalam memposisikan uang, terutama dalam mainstream ekonomi, hanya sebatas sebagai alat. Sedangkan uang tidak hanya digunakan dalam wilayah ekonomi semata, tetapi juga digunakan dalam aktifitas kehidupan masyarakat, baik pada wilayah sosial, budaya maupun keagamaan. Hal ini menunjukkan adanya proses perubahan pada tipe dan penggunaan uang di masyarakat saat ini.
Sisi sosiologis dari uang adalah usaha untuk melihat bagaimana peranan dan fungsi uang. Sehingga menjadi peranan dan fungsi uang dari sudut pandang sosiologi adalah sebuah analisis deskpritif untuk mengetahui bagaimana uang dan masyarakat saling mempengaruhi secara timbal balik. Dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia ditengah proses modernisasi, uang merupakan bentuk rasionalisasi yang paling murni. Dimana segala sesuatu dapat dinilai dengan uang. Kondisi tersebut merupakan rasionalisasi yang menjadi ciri dari masyarakat modern. Dengan adanya keterlibatan uang, rasionalisasi semakin nampak dalam tindakan dan hubungan sosial. Pada akhirnya, peranan dan fungsi uang mendorong modernisasi dalam kehidupan masyarakat muslim di Indonesia.
Uang sering dianggap sebagai alat yang bersifat netral dan bebas dari fenomena sosial. Dengan kata lain, uang adalah sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan semua kegiatan non-ekonomi. Uang hanya merupakan alat transaksi pasar, satuan hitung dan bersifat objektif. Dalam penggunaan dan penetapan uang harus tunduk pada aturan main pasar. Artinya pertukaran uang dalam suatu pasar, bebas dari kendala sosial, budaya dan keagamaan. Peranan yang dikonsepsikan disini adalah “suatu yang menjadi bagian atau memegang peran utama dalam terjadinya suatu peristiwa.” (WJS. Poerwodarminto, 1987: 735). Fungsi uang sendiri dilihat dari dimensi sosialnya, tepatnya dari fungsi turunan uang. Fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar, satuan hitung dan penyimpan nilai. Sedangkan bila dilihat dari dimensi sosialnya, bisa jadi menjadi status, munculnya stratifikasi, daya reifikasi dan rasionalitas lainnya.
Relevansi dalam melihat uang dari sudut pandang ekonomi dan dalam kerangka sosiologi digambarkan seperti berikut. Jika ekonomi cenderung berpikir tentang kepentingan yang harmonis dan saling membutuhkan dari berbagai pihak, misalnya dalam mekanisme permintaan dan penawaran. Maka sosiologi cenderung lebih waspada dalam mengamati kemungkinan-kemungkinan konflik sosial yang justru cenderung jauh dari keseimbangan. Jika ‘harga’ bagi ekonomi sama dengan ‘norma’ bagi sosiologi, maka pengertian ‘pendapatan’ bagi ekonomi juga paralel dengan pengertian ‘kekuasaan’ bagi sosiolog. Ini berarti bahwa pembagian anggota masyarakat dalam kelas- kelas, sama dengan hirarki kekuasaan dalam struktur masyarakat. Apabila dalam masyarakat terdapat ketimpangan dalam pembagian pendapatan masyarakat, maka hubungan pertukaran segera berubah menjadi hubungan kekuasaan. (Mubyanto, 1995: 32-36).
Sebelum peradaban modern dan sebelum adanya uang, manusia menggunakan barang-barang yang dianggap berharga, unik dan langka dalam melakukan transaksi. Mereka melalukan transaksi dengan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, akibat dari banyaknya kendala yang dihadapi dalam sistem barter. Muncul gagasan menciptakan suatu barang yang dapat dijadikan sebagai ukuran nilai semua barang. Barang ciptaan tersebut yang akhirnya disetujui sebagai uang. Mulanya uang berbahan logam, kemudian berubah menjadi kertas. Pada masa modern saat ini uang berwujud kartu kredit atau uang elektronik. Perubahan dari uang logam ke kertas kemudian ke uang elektronik mempengaruhi pula peranan dan fungsinya.
Uang dalam perspektif sosiologi uang yaitu suatu kajian yang mempelajari hubungan masyarakat dan uang. Dalam kaitan kritik terhadap kapitalisme, bagi Karl Marx dalam Capital: A Critique of Political Economy (1967), uang adalah simbol keterasingan manusia. Uang adalah bentuk paling sempurna dari proses pembendaan (reifikasi) semua hal. Uang mengkuantifikasi semua nilai dan mengasingkan manusia dari ekisistensinya yang paling murni.
Menurut Marx Weber, The Protentant Ethic Spirit of Capitalism, ketika Protestanisme yang memberi penghargaan yang tinggi pada akumulasi uang, sembari sedapat mungkin menghindari kenikmatan hidup, merupakan daya dorong pertumbuhan kapitalisme. Uang berperan dalam memajukan hampir semua sendi kehidupan manusia modern. Dalam Economy and Society (1978), Waber melihat bahwa nilai uang yang melekat pada barang dan jasa tidak selalu berkaitan dengan nilai gunanya pada saat pembelian. Tetapi dapat dipengaruhi oleh kepercayaan tentang nilai tukar. Gagasan ini sesuai dengan diktum ekonomi klasik. Bahwa harga suatu barang, dipengaruhi oleh perminataan, atau lebih dikenal dengan hukum permintaan dan penawaran.
Georg Simmel dalam The Philosophy of Money melihat uang sebagai berikut : Uang bukanlah substansi yang pada dirinya sendiri bernilai dan karenanya dapat ditukarkan dengan apa saja. Uang pada hakikatnya ialah relasi, yakni relasi pertukaran, yang diwujudkan secara jasmaniah. Uang dengan kata lain ialah sebuah simbol dari relasi pertukaran, dan karena adanya relasi itulah uang ada.
Relasi yang kemukakan oleh Simmel menjadi inti dari sebuah uang, bukan uang itu sendiri.
Uang di Tengah Kehidupan. Barangsiapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para bijak-cendekia untuk memberinya pelajaran, memerintah para raja untuk menjaganya-sejauh satu sen. (Thomas Carlyle).
Munculnya zaman baru, modern, yang didorong oleh perkembangan rasionalisme, telah membawa berbagai dampak yang lahir dari dinamika cara berpikir rasional. Hal ini kemudian berkembang menjadi cara berpikir ilmiah. Setelah unsur rasional digabungkan dengan unsur empiris, melahirkan beberapa akibat, dan gejala- gejalanya saling berhubungan. Dalam kebudayaan, lahir cara hidup yang ditandai oleh modernitas. Dalam pandangan hidup dan agama lahir sikap hidup sekuler. Sementara itu, dalam bidang ekonomi berkembang logika kapital bergabung dengan logika industri. Dalam bidang filsafat, terjadi pergeseran dari cara berpikir mitologis menjadi cara berpikir metafisik. Dalam hubungan antarbangsa, kesadaran hak untuk menentukan diri sendiri melahirkan nasionalisme. (Ignas Kleden dalam Basis, 2010: 4).
Sebagaimana yang diungkapakan oleh Simmel bahwa uang adalah produk dari budaya modern dan merupakan manifestasi dari rasionalisasi sosial. (Heru Nugroho, 2001: 122). Dapat diketahui dari adanya pertimbangan dan perhitungan terlebih dahulu sebelum melakukan interaksi. Ketika dalam interaksi itu dirasa tidak memberikan hasil yang bermanfaat terhadap diri secara material maka hubungan itu tidak terjadi. Untuk melalukan interaksi itu dibutuhkan sebuah “penghubung” yang mampu memberikan jalan untuk berinteraksi. Disatulah uang sebagai penghubung. Akibatnya interaksi sosial yang sebelumnya memiliki nilai kualitatif berubah dalam kerangka bentuk-bentuk kuantitatif.
Sebagai homo festivus, untuk menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk yang paling sering mengadakan festival. (Komaruddin Hidayat, 2003: 29). Baik itu festival peribadatan agama yang disyari’ahkan ataupun perayaan seni budaya Islam lainnya. Ramadhan dan Idul Fitri merupakan perayaan yang paling menonjol. Gejala yang muncul dari kedua perayaan keagamaan ini adalah bertambahnya kebutuhan yang kemudian mendorong konsumerisme. Dalam ikatan sosial dapat juga dipahami semakin memudarnya hubungan yang terjalin. Zakat dan Haji kini makin banyak yang melaksanakannya. Namun akalanya itu hanya sebagai penanda kemampuan. Penanda-penanda material yang dikenakan muncul sebagai pengganti kesholehan. Secara kodrati manusia mempunyai kecenderungan menyukai segala sesuatu yang nampak indah dan menarik. Apa yang dihargai dan dinilai, dilihat dari apa yang dikenakan dan yang tersematkan. Makna simbolis itulah yang kini menjadi identitas. Dari sini uang menjadi dayaguna untuk menjadikan simbolisasi itu melekat pada diri.
Uang digunakan juga sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sosial. Seperti acara kelahiran, perkawinan dan kematian. Pemberian uang dalam suasana tersebut sebagai tanda kebahagiaan, do’a restu dan belasungkawa, sebagai rasa simpati seseorang terhadap orang lain. Kehadiran uang sebagai rasa simpati itu, menunjukkan bahwa seseorang yang memberikan uang mengalami hal yang sama terhadap keadaan seseorang pada saat senang, sedih, duka dan lain sebagainya.
Dari sejumlah uang yang disumbangkan dapat dipandang sebagai jaminan sosial. Yaitu memberikan kontribusi kepada seseorang yang tengah mengalami kondisi atau keadaan tertentu. Besar kecilnya uang yang disumbangkan tidak berhubungan dengan keadaan ekonomi penyumbang. Tetapi dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan dan sosial pada umumnya. Beberapa ‘kewajiban’ sosial yang berkembang di masyarakat seperti gotong royong, kerja bakti, ronda malam dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya pada masa modern dapat pula berganti menjadi uang. Kehidupan masyarakat yang semula dibangun atas dasar kebersamaan itu kini mengamali perubahan, dengan melibatkan penggunaan uang sebagai penggantinya. Kehadiran diri yang terhapus digantikan oleh kehadiran uang. Dengan kata lain subjek diganti dengan sejumlah uang mampu membiayai kewajiban dan kebutuhan sosial.
Dalam Islam dijelaskan bagaimana memposisikan kebendaan. Uang sebagai salah satu dari kebendaan, masuk didalamnya. Islam menegaskan bahwa realitas kebendaan, merupakan realitas yang terendah, dan kesadaran kebendaan juga kesadaran yang terendah. Namun demkian, dunia kebendaan yang rendah itu bukan berarti tidak mempunyai fungsi. Fungsinya adalah untuk menguji kemampuan manusia sebagai khalifah di bumi dalam memposisikan kebendaan itu sendiri. Bila ia cenderung menempatkan kebendaan itu sebagai satu-satunya tujuan yang harus dipenuhi akan menimbulkan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Sebab semua bertujuan untuk mencapai kemajuan material, bahkan kekayaan orang perorangan, keluarga dan bangsa.

1 komentar: