Baru-baru ini pemerintah mewacanakan untuk
menyederhanakan nilai mata uang Rupiah. Redenominasi ini dimaksudkan agar
nominal nilai uang menjadi lebih sederhana, tanpa mengubah nilai tukarnya. 100
Rupaih menjadi 10 Sen, 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah dan seterusnya. Meski demikian
apakah menjadi solusi terhadap kondisi ekonomi bangsa ini ? Ataukah hanya
sekedar usaha penyederhanaan semata, kiranya perlu pembacaan lebih lanjut. Agar
kekhawatiran, seperti inflasi, kontradiksi penggunaannya dapat dihindari.
Berangkat dari sini, tulisan berikut bukan ingin membahas lebih lanjut mengenai
Redenominasi, tetapi sekedar ingin melihat sisi sosiologis dari uang dalam
kehidupan. Dimana uang sedemikian lekat dengan keseharian dan semakin menjadi
tanpa keberadaan ditengah arus yang memungkinkan dapat dimaterialkan oleh yang
namanya uang.
Secara umum uang didefinisikan sebagai benda-benda
yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara dalam transaksi
perdagangan. Agar benda-benda itu diterima dan disetujui oleh masyarakat
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai uang. Syaratnya adalah nilainya tidak
mengalami perubahan, mudah dibawa, mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya,
tahan lama, jumlahnya terbatas dan bendanya mempunyai mutu yang sama.
Fungsi asli uang sedari awalnya adalah sebagai alat
tukar, sebagai satuan hitung dan sebagai penyimpan nilai. Sedangkan fungsi
turunannya adalah sebagai alat pembayaran, sebagai alat pembayaran utang,
sebagai alat penimbun atau pemindah kekayaan dan alat untuk meningkatkan status
sosial. Dalam memposisikan uang, terutama dalam mainstream ekonomi, hanya
sebatas sebagai alat. Sedangkan uang tidak hanya digunakan dalam wilayah
ekonomi semata, tetapi juga digunakan dalam aktifitas kehidupan masyarakat,
baik pada wilayah sosial, budaya maupun keagamaan. Hal ini menunjukkan adanya
proses perubahan pada tipe dan penggunaan uang di masyarakat saat ini.
Sisi sosiologis dari uang adalah usaha untuk melihat
bagaimana peranan dan fungsi uang. Sehingga menjadi peranan dan fungsi uang
dari sudut pandang sosiologi adalah sebuah analisis deskpritif untuk mengetahui
bagaimana uang dan masyarakat saling mempengaruhi secara timbal balik. Dalam
kehidupan masyarakat muslim Indonesia ditengah proses modernisasi, uang
merupakan bentuk rasionalisasi yang paling murni. Dimana segala sesuatu dapat
dinilai dengan uang. Kondisi tersebut merupakan rasionalisasi yang menjadi ciri
dari masyarakat modern. Dengan adanya keterlibatan uang, rasionalisasi semakin
nampak dalam tindakan dan hubungan sosial. Pada akhirnya, peranan dan fungsi uang
mendorong modernisasi dalam kehidupan masyarakat muslim di Indonesia.
Uang sering dianggap sebagai alat yang bersifat
netral dan bebas dari fenomena sosial. Dengan kata lain, uang adalah sesuatu
yang tidak ada sangkut pautnya dengan semua kegiatan non-ekonomi. Uang hanya
merupakan alat transaksi pasar, satuan hitung dan bersifat objektif. Dalam
penggunaan dan penetapan uang harus tunduk pada aturan main pasar. Artinya
pertukaran uang dalam suatu pasar, bebas dari kendala sosial, budaya dan
keagamaan. Peranan yang dikonsepsikan disini adalah “suatu yang menjadi bagian
atau memegang peran utama dalam terjadinya suatu peristiwa.” (WJS.
Poerwodarminto, 1987: 735). Fungsi uang sendiri dilihat dari dimensi sosialnya,
tepatnya dari fungsi turunan uang. Fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar,
satuan hitung dan penyimpan nilai. Sedangkan bila dilihat dari dimensi
sosialnya, bisa jadi menjadi status, munculnya stratifikasi, daya reifikasi dan
rasionalitas lainnya.
Relevansi dalam melihat uang dari sudut pandang
ekonomi dan dalam kerangka sosiologi digambarkan seperti berikut. Jika ekonomi
cenderung berpikir tentang kepentingan yang harmonis dan saling membutuhkan
dari berbagai pihak, misalnya dalam mekanisme permintaan dan penawaran. Maka
sosiologi cenderung lebih waspada dalam mengamati kemungkinan-kemungkinan
konflik sosial yang justru cenderung jauh dari keseimbangan. Jika ‘harga’ bagi
ekonomi sama dengan ‘norma’ bagi sosiologi, maka pengertian ‘pendapatan’ bagi
ekonomi juga paralel dengan pengertian ‘kekuasaan’ bagi sosiolog. Ini berarti
bahwa pembagian anggota masyarakat dalam kelas- kelas, sama dengan hirarki
kekuasaan dalam struktur masyarakat. Apabila dalam masyarakat terdapat
ketimpangan dalam pembagian pendapatan masyarakat, maka hubungan pertukaran
segera berubah menjadi hubungan kekuasaan. (Mubyanto, 1995: 32-36).
Sebelum peradaban modern dan sebelum adanya uang,
manusia menggunakan barang-barang yang dianggap berharga, unik dan langka dalam
melakukan transaksi. Mereka melalukan transaksi dengan sistem barter untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, akibat
dari banyaknya kendala yang dihadapi dalam sistem barter. Muncul gagasan
menciptakan suatu barang yang dapat dijadikan sebagai ukuran nilai semua
barang. Barang ciptaan tersebut yang akhirnya disetujui sebagai uang. Mulanya
uang berbahan logam, kemudian berubah menjadi kertas. Pada masa modern saat ini
uang berwujud kartu kredit atau uang elektronik. Perubahan dari uang logam ke
kertas kemudian ke uang elektronik mempengaruhi pula peranan dan fungsinya.
Uang dalam perspektif sosiologi uang yaitu suatu
kajian yang mempelajari hubungan masyarakat dan uang. Dalam kaitan kritik
terhadap kapitalisme, bagi Karl Marx dalam Capital: A Critique of Political
Economy (1967), uang adalah simbol keterasingan manusia. Uang adalah bentuk
paling sempurna dari proses pembendaan (reifikasi) semua hal. Uang
mengkuantifikasi semua nilai dan mengasingkan manusia dari ekisistensinya yang
paling murni.
Menurut Marx Weber, The Protentant Ethic Spirit of
Capitalism, ketika Protestanisme yang memberi penghargaan yang tinggi pada
akumulasi uang, sembari sedapat mungkin menghindari kenikmatan hidup, merupakan
daya dorong pertumbuhan kapitalisme. Uang berperan dalam memajukan hampir semua
sendi kehidupan manusia modern. Dalam Economy and Society (1978), Waber melihat
bahwa nilai uang yang melekat pada barang dan jasa tidak selalu berkaitan
dengan nilai gunanya pada saat pembelian. Tetapi dapat dipengaruhi oleh kepercayaan
tentang nilai tukar. Gagasan ini sesuai dengan diktum ekonomi klasik. Bahwa
harga suatu barang, dipengaruhi oleh perminataan, atau lebih dikenal dengan
hukum permintaan dan penawaran.
Georg Simmel dalam The Philosophy of Money melihat
uang sebagai berikut : Uang bukanlah substansi yang pada dirinya sendiri
bernilai dan karenanya dapat ditukarkan dengan apa saja. Uang pada hakikatnya
ialah relasi, yakni relasi pertukaran, yang diwujudkan secara jasmaniah. Uang
dengan kata lain ialah sebuah simbol dari relasi pertukaran, dan karena adanya
relasi itulah uang ada.
Relasi yang kemukakan oleh Simmel menjadi inti dari
sebuah uang, bukan uang itu sendiri.
Uang di Tengah Kehidupan. Barangsiapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat
atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan
baginya, memerintah para bijak-cendekia untuk memberinya pelajaran, memerintah
para raja untuk menjaganya-sejauh satu sen. (Thomas Carlyle).
Munculnya zaman baru, modern, yang didorong oleh
perkembangan rasionalisme, telah membawa berbagai dampak yang lahir dari
dinamika cara berpikir rasional. Hal ini kemudian berkembang menjadi cara
berpikir ilmiah. Setelah unsur rasional digabungkan dengan unsur empiris,
melahirkan beberapa akibat, dan gejala- gejalanya saling berhubungan. Dalam
kebudayaan, lahir cara hidup yang ditandai oleh modernitas. Dalam pandangan
hidup dan agama lahir sikap hidup sekuler. Sementara itu, dalam bidang ekonomi
berkembang logika kapital bergabung dengan logika industri. Dalam bidang
filsafat, terjadi pergeseran dari cara berpikir mitologis menjadi cara berpikir
metafisik. Dalam hubungan antarbangsa, kesadaran hak untuk menentukan diri
sendiri melahirkan nasionalisme. (Ignas Kleden dalam Basis, 2010: 4).
Sebagaimana yang diungkapakan oleh Simmel bahwa uang
adalah produk dari budaya modern dan merupakan manifestasi dari rasionalisasi
sosial. (Heru Nugroho, 2001: 122). Dapat diketahui dari adanya pertimbangan dan
perhitungan terlebih dahulu sebelum melakukan interaksi. Ketika dalam interaksi
itu dirasa tidak memberikan hasil yang bermanfaat terhadap diri secara material
maka hubungan itu tidak terjadi. Untuk melalukan interaksi itu dibutuhkan
sebuah “penghubung” yang mampu memberikan jalan untuk berinteraksi. Disatulah
uang sebagai penghubung. Akibatnya interaksi sosial yang sebelumnya memiliki
nilai kualitatif berubah dalam kerangka bentuk-bentuk kuantitatif.
Sebagai homo festivus, untuk menunjukkan bahwa
manusia adalah mahluk yang paling sering mengadakan festival. (Komaruddin
Hidayat, 2003: 29). Baik itu festival peribadatan agama yang disyari’ahkan
ataupun perayaan seni budaya Islam lainnya. Ramadhan dan Idul Fitri merupakan
perayaan yang paling menonjol. Gejala yang muncul dari kedua perayaan keagamaan
ini adalah bertambahnya kebutuhan yang kemudian mendorong konsumerisme. Dalam
ikatan sosial dapat juga dipahami semakin memudarnya hubungan yang terjalin.
Zakat dan Haji kini makin banyak yang melaksanakannya. Namun akalanya itu hanya
sebagai penanda kemampuan. Penanda-penanda material yang dikenakan muncul
sebagai pengganti kesholehan. Secara kodrati manusia mempunyai kecenderungan
menyukai segala sesuatu yang nampak indah dan menarik. Apa yang dihargai dan
dinilai, dilihat dari apa yang dikenakan dan yang tersematkan. Makna simbolis
itulah yang kini menjadi identitas. Dari sini uang menjadi dayaguna untuk
menjadikan simbolisasi itu melekat pada diri.
Uang digunakan juga sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhan sosial. Seperti acara kelahiran, perkawinan dan kematian. Pemberian
uang dalam suasana tersebut sebagai tanda kebahagiaan, do’a restu dan
belasungkawa, sebagai rasa simpati seseorang terhadap orang lain. Kehadiran
uang sebagai rasa simpati itu, menunjukkan bahwa seseorang yang memberikan uang
mengalami hal yang sama terhadap keadaan seseorang pada saat senang, sedih,
duka dan lain sebagainya.
Dari sejumlah uang yang disumbangkan dapat dipandang
sebagai jaminan sosial. Yaitu memberikan kontribusi kepada seseorang yang
tengah mengalami kondisi atau keadaan tertentu. Besar kecilnya uang yang
disumbangkan tidak berhubungan dengan keadaan ekonomi penyumbang. Tetapi
dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan dan sosial pada umumnya. Beberapa
‘kewajiban’ sosial yang berkembang di masyarakat seperti gotong royong, kerja
bakti, ronda malam dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya pada masa modern
dapat pula berganti menjadi uang. Kehidupan masyarakat yang semula dibangun
atas dasar kebersamaan itu kini mengamali perubahan, dengan melibatkan
penggunaan uang sebagai penggantinya. Kehadiran diri yang terhapus digantikan
oleh kehadiran uang. Dengan kata lain subjek diganti dengan sejumlah uang mampu
membiayai kewajiban dan kebutuhan sosial.
Dalam Islam dijelaskan bagaimana memposisikan
kebendaan. Uang sebagai salah satu dari kebendaan, masuk didalamnya. Islam
menegaskan bahwa realitas kebendaan, merupakan realitas yang terendah, dan
kesadaran kebendaan juga kesadaran yang terendah. Namun demkian, dunia
kebendaan yang rendah itu bukan berarti tidak mempunyai fungsi. Fungsinya
adalah untuk menguji kemampuan manusia sebagai khalifah di bumi dalam
memposisikan kebendaan itu sendiri. Bila ia cenderung menempatkan kebendaan itu
sebagai satu-satunya tujuan yang harus dipenuhi akan menimbulkan ketimpangan
sosial dalam masyarakat. Sebab semua bertujuan untuk mencapai kemajuan material,
bahkan kekayaan orang perorangan, keluarga dan bangsa.
lebih bagus lagi cantumkan dafus pak
BalasHapus