Seperti yang dijelaskan Rachmat
Ramadhana dalam bukunya The Route of Happiness bahwa kehidupan social
masyarakat indonesia seolah berada pada titik nadir. Hal tersebut dapat kita
tangkap dari berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Berita
mengenai penyakit menyimpang, kemiskinan, bencana, wabah penyakit serta segala
yang berbau negatif lainnya—hampir setiap hari dilahap oleh kita. Belum lagi
fenomena jejaring sosial yang tumbuh begitu pesat di belahan nusantara ini, tak
ayal beragam curhatan penuh kegalauan kita menjadi bahan actual dalam berita
jejaring sosial media kita. Peralihan dunia humanis dan komunikatif menjadi
monolog, hal ini yang disebut oleh sosiolog dunia narasi kesadaran palsu.
Secara sosiologis, fenomena galau atau kehilangan
makna manusia, merupakan sebuah keniscayan jika dan berakibat kondisi romantisme
hilang dan tak terkendali oleh kita. Sederhananya, galau merupakan sebuah
kondisi yang berbeda dari pada sebelumnya yang timbul dari beberapa persoalan
besar atapun faktor yang ada. Kondisi tak terkendali dan tak seperti biasanya
inilah membuat kita seolah menjadi manusia yang terasingkan. Sering kali kita
bertanya pada saat kondisi kita mulai kehilangan arah bahkan kelihatan tanpa
makna hidup, diukur dalam dimensi modern, seperti kesuksesan materil,
instansme, oportunis, rasional, cepat, dinamis, hemat dan sebagainya—menjadi
pemicu utama dalam dunia kegalauan.
Beragam pertanyaan modern pun muncul seketika dan
tiba-tiba. Namun yang paling sering dipertanyakan adalah mengenai siapakah
kita ? Dan untuk apa kita hidup ? Dan sederet pertanyaan mengenai hakikat manusia
lainnya hadir bersamaan manakala kita terjerat dunia yang mulai tidak
bersahabat ini. Alhasil kita kehilangan
arah dari rangkaian zaman modern yang menjajaki diri kita.
Ada beberapa alasan mengapa kita terjerat dalam dunia
kegalauan modern : Pertama, Meminjam model. Seringkali kita memaksakan
kehidupan orang lain menjadi diri kita, baik style, kesuksesan maupun segala
bentuk kehidupan yang dimiliki orang lain seolah menjadi obat tersendiri bagi
kita, padahal setiap orang mempunyai style, pemikiran, serta minat yang
berbeda. Pada akhirnya kita kehilangan arah dan tujuan sebagai manusia yang
kreatif. Pemutusan kreatifitas dianggap mampu menjembatani nilai-nilai
kebahagiaan tanpa rasa galau, namun yang terjadi malah sebaliknya. Kedua, menggunakan penopang. Begitu banyak dari kita
ketika menjalani kehidupan ditopang dengan sekumpulan alat bantu. Perangkat
modern pun menjadi obat tersendiri untuk menopang diri kita. Dalam istilah
bisnis, penopang kehidupan terukur dalam rupaan materil, baik memiliki motor,
mobil mewah, rumah, uang yang banyak dan banyak lagi penopang lainnya. Namun
penopang tersebut belum tentu menjadi atribut kebahagan dalam kita. Buktinya
banyak orang yang kaya raya dan mempunyai kesuksesan belum tentu mendapat
kebahagian. Al hasil kesuksesan tanpa kebahagian sangat berpotensi menjadi
manusia yang terasing atau mengalami krisis kemanusiaan yaitu kegalauan. Ketiga, kehilangan keseimbangan. Terkadang kita
seringkali menjadi tak seimbang dalam beberapa hal. Seperti terlalu
mementingakan aspek fisikly dari pada aspek spiritual. Sibuk dengan aspek-aspek
tertentu akan berakibat fatal, konsekuensi logis dari hal itu adalah kehilangan
sesuatu hal yang mungkin itu merupakan hal terbaik dalam diri kita. Misalnya
saja kita terlalu ambisius untuk mengejar target peningkatan kualitas hidup
modern walaupun dengan mengorbankan kesehatan, keluarga ataupun sejenisnya. Hal
seperti inilah menjadi sebuah pilihan yang menyakitkan untuk mengajarkan kepada
kita tentang siapa diri kita sebenarnya. Keempat, berkativitas terlalu menggunakan otak kiri.
Norman Drummond menjelaskan bahwa begitu banyak orang yang bekerja dengan otak dan dengan mengabaikan hatinya.
Hasilnya sering kali juga kesuksesan tanpa kesenangan, tujuan-tujuan yang
dicapai tanpa makna prestasi yang sebenarnya. Hal seperti inilah yang membuat
kita terasa galau manakala kerja otak kiri terlalu mengeneralisir sebuah persoalan
kehidupan. Pada akhirnya manusia yang logis, analitis, non-emosional (tidak
berperasaan) menjadi langkah dalam mengarungi kehidupan. Padahal hal itu
menjadi problematis ketika kita menghilangkan sisi otak kanan kita. Ambil
contoh adalah kita akan merasa terasing jika kita tidak mendapatkan hasil
seperti orang lain miliki, padahal tujuan sesungguhnya pencapai kehidupan bukan
sesuatu yang dimiliki tetapi lebih kepada kebahagian dengan melibatkan otak
kanan seperti rasa gembira, simpati, cinta, kreatif non-analitis, empati, riang
serta beberapa kepuasan terhadap diri kita (menghargai diri) setelah kita
bekerja keras, bukan menghujatnya karena kita gagal dalam pencapaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar