Setiap kali bencana melanda, dalam hal ini bencana
alam, selalu timbul pertanyaan; apakah bencana merupakan peringatan dari Tuhan
ataukah fenomena alam biasa ? Apakah bencana merupakan kehendak Tuhan ataukah
murni kesalahan manusia ? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu muncul ketika ribuan
nyawa melayang dan kerusakan yang maha dahsyat seakan mematahkan semangat
manusia untuk kembali memulai kehidupannya.
Paradigma berfikir masyarakat tentang bencana (alam)
sebagian besar didominasi oleh keyakinan bahwa bencana merupakan kehendak dari
Tuhan. Dalam konteks sebagai ujian, bencana merupakan cara Tuhan menguji
makhluknya sejauh mana mereka taat dan mengakui kebesaranNya. Sebagai
peringatan atau teguran, Tuhan diyakini murka karena manusia lalai dengan
ajaran agama dan menimpakan malapetaka. Baik ujian maupun peringatan, pandangan
ini memposisikan manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya, dan setiap
kesalahan akibat dosa manusia karena tidak menjalankan segala perintah-Nya.
Dalam Islam, pandangan ini bisa dimaklumi mengingat
dalam hal teologis, sebagian besar muslim Indonesia menganut aliran Asy’ariah,
yakni aliran yang diperkenalkan oleh seorang ulama Abu Hasan Al’Asyari dari
Irak. Salah satu inti keyakinan dari aliran ini adalah tidak mengenal free will
& free act dalam atau dengan bahasa lain menafikan potensi manusia. Segala
sesuatu yang ada atau terjadi di dunia adalah merupakan kehendak Tuhan.
Dalam pandangan mereka yang menganut aliran ini,
sebelum dilahirkan manusia sudah memiliki tiga ketetapan yang tidak diketahui
dan dirubah oleh manusia: rejeki (baca: berhubungan dengan ekonomi), jodoh
(baca:berhubungan dengan keturunan, sosial dan pertumbuhan masyarakat) dan
kematian. Dalam konteks inilah setiap dampak dari bencana (baik itu korban jiwa
maupun kerusakan) harus diterima dengan pasrah dan sikap sabar, sebagai bentuk
pengakuan manusia atas kebesaran Tuhan, tanpa ada upaya untuk menggali kenapa
bencana bisa terjadi.
Mereka yang menganut aliran ini umumnya juga
menganggap bahwa bencana (alam) dan merupakan hukuman akibat kesalahan/dosa
yang dilakukan manusia karena mengingkari ajaran Tuhan dalam konteks ritual,
meski secara ilmiah sama sekali tidak bisa dijelaskan bagaimana korelasinya.
Misalnya yang paling sering muncul adalah bencana (alam) akibat banyak tindak
maksiat yang dilakukan manusia seperti berzina, minuman keras atau tidak
menjalankan ritual ibadah tertentu.
Keyakinan fatalistik ini selalu dijadikan tempat
berlindung dari pihak tertentu, utamanya pemegang kekuasaan sebagai alat untuk
menghindar dari tanggung jawab sosial mereka. Bencana sebagai kehendak Tuhan
menjadi legitimasi dari sikap ketidakberpihakan dan pengabaian penguasa
terhadap setiap penderitaan dan hilangnya hak sosial ekonomi masyarakat ketika
bencana terjadi. Kasus lumpur Lapindo yang tidak kunjung selesai adalah salah
satu contoh nyata keyakinan fatalistik masyarakat yang dijadikan pembenaran
oleh penguasa untuk tidak memenuhi hak sosial ekonomi korban dengan alasan
semburan lumpur merupakan bencana alam.
Memang belakangan ini mulai muncul pemikiran
progresif yang memberikan cara pandang baru dalam menyikapi bencana meskipun
pandangan ini seperti arus kecil ditengah pusaran ombak mayoritas kaum
fatalistik di negeri ini. Pandangan ini meyakini bahwa bencana yang terjadi
adalah akibat dari kesalahan manusia dalam kehidupan sosialnya, bagaimana
manusia mengelola dan memperlakukan alam yang bersumber dari cara pandangnya
terhadap alam semesta.
Dalam Al Quran sendiri ada tiga istilah yang
berhubungan dengan bencana, yaitu azab, musibah dan bala. Azab ditujukan kepada
para pendosa, tanpa ada penjelasan apa penyebabnya dan biasanya merupakan kisah
yang sangat luas maknanya. Misalnya banjir besar pada zaman Nabi Nuh, atau
wabah penyakit pada zaman Nabi Luth dan azab yang ditujukan pasukan Abrahah
yang mencoba menyerang dan menghancurkan Ka’bah.
Sedangkan musibah dan bala ditujukan baik kepada
pendosa maupun orang baik-baik, dan sebagian besar bisa dipahami oleh akal
manusia. Istilah yang barangkali dekat dengan bencana dalam Al Quran disebut
dengan fasad (kerusakan). Jika merujuk pada ayat Al Quran, ada dua jenis
bencana, yaitu : Pertama, adalah bencana yang diakibatkan oleh
fenomena alam, seperti banjir, gunung meletus atau angin topan. Sebagai contoh,
dalam Al Quran sendiri diterangkan bahwa fungsi gunung adalah sebagai pasak
bumi sebagaimana yang diterangkan dalam Surat An-Naba ayat 7, namun ternyata
juga bisa menimbulkan bencana karena memuntahkan debu, lahar panas, dan gas
beracun (Surat Al-Mursalat ayat 10), fenomena tsunami seperti dalam surat At
Takwin ayat 6, dan angin topan dalam surat Al Fushilat ayat 16. Bencana dalam kategori ini merupakan sunnatullah
(hukum alam), di mana manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencegahnya,
tetapi manusia dimungkinkan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya dengan
kemampuan akalnya. Ini sesuai dengan ayat Al Baqarah ayat 286 “Allah tidak akan
memberikan cobaan di luar kemampuan hambaNya”. Bahkan surat Al Ra’du ayat 11
menyatakan ”….sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”, yang dengan jelas
bisa dimaknai bahwa realitas di mana manusia hidup dalam alam semesta yang
penuh dengan ancaman bencana tidak seharusnya disikapi secara pasrah atau
fatalistik, melainkan harus dicari bagaimana cara untuk mengatasinya, atau
setidaknya mengurangi kerusakan-kerusakan akibat dari fenomena alam tersebut. Kedua, bencana atau kerusakan sebagai kesalahan
manusia sendiri. Beberapa ayat yang menjadi dasar dari pandangan ini antara
lain; ”Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan
tangan kalian” (QS As Syura : 30). Atau dalam surat As Syura ayat 30 yaitu ”…dan
musibah apa saja yang menimpa kalian, maka itu karena disebabkan perbuatan
tangan- tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syura: 30). Dan ayat yang dengan gamblang
menyatakan peran manusia dalam kerusakan alam yaitu surat Ar Rum ayat 41:
”Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan
tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Beberapa ayat Al Quran diatas jelas menunjukkan bahwa
bencana yang terjadi tidak semata karena kesalahan atau dosa teologis manusia
yang tidak mengindahkan ajaran Tuhannya tanpa ada korelasi atau sebab akibat
yang melatar belakangi bencana tersebut. Bencana lebih merupakan akibat dari
dosa sosial manusia, yakni ketika mereka mengelola dan memanfaatkan alam
semesta untuk keberlangsungan hidupnya dengan cara yang melebihi batas dan
mengabaikan etika.
Disahkannya UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana menjadi bukti yang menggembirakan dari berubahnya cara pandang para
pengambil kebijakan di negeri ini. Bencana (alam) tidak lagi dianggap sebagai
isu sampingan atau tambahan, kalah ”seksi” dibanding isu-isu pembangunan
lainnya seperti stabilitas politik, ekonomi, pertahanan maupun isu lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektifkah
penerapan undang-undang tersebut di Indonesia yang mayoritas didominasi cara
pandang fatalisik ini, atau sejauh mana perangkat-perangkat turunan dari UU
tersebut bisa digunakan oleh pengambil kebijakan untuk menyediakan kebijakan
yang memihak kepentingan masyarakat umum dalam penanggulangan bencana, tidak
saja untuk tindakan reaktif pasca bencana, tetapi juga tindakan-tindakan
preventif dalam arti bencana bisa dicegah sebelumnya.
Merubah paradigma berpikir fatalistik soal bencana
juga bukan sesuatu yang mudah karena ia terkait dengan keyakinan yang juga
mengambil landasan dan sumbernya dari kitab suci. Peran dari tokoh-tokoh agama,
cerdik cendekia dan pengambil kebijakan menjadi penting untuk menjelaskan
berbagai hal tentang bencana (alam), sebagai upaya untuk menghapus mental
pasrah dan cara pandang fatalistik tersebut, sekaligus juga meningkatkan
pengetahuan dan kapasitas masyarakat dalam menanggulangi bencana untuk
meminimalisir korban jiwa dan kerusakan yang terjadi.