Hubungan antara manusia
(masyarakat desa) dan tanah mencangkup bentuk dan sifat. Terpenting adalah
pembagian dan penggunaan tanah (land division and land use), pemilikan
serta berbagai bentuk penguasaan tanah (land tenure), dan termasuk
luas sempit penguasaan tanah (size of land holding). Cara bagaimana
dibagi (land division) dan digunakan (land use) diantara dan
oleh penduduk tertentu (desa) sangat menentukan pengaruh terhadap kehidupan
sosial masyarakat (desa) tersebut. Besaran pengaruh tergantung kepada tingkat
perkembangan masyarakat itu. Untuk masyarakat desa yang masih tradisional, land
division dan land use tidak begitu terlihat bentuk maupun
peranannya, sebaliknya untuk masyarakat pertanian yang sudah maju. Masyarakat
desa yang maju terdapat pola mengenai pembagian tanah diantara penduduk dan
digunakan untuk kepetingan umum pula (untuk jalan, tempat umum) contohnya di
Amerika Serikat.
AS sebagai Negara berpenduduk
imigran dari penjuru dunia memiliki potensi terjadinya “rebutan tanah”. Hal ini
karena imigran eropa terbanyak di AS sudah modern telah terdeferensiasi cara
hidupnya termasuk para petani disana. Di AS dikenal sejumlah tipe land
division seperti: pola-pola hadap sungai (riverfront patterns), system dengan bentuk empat segi panjang (rectangular systems), system papan main
dam (checkerboard syatem), dll. land
division dan land use menyangkut pula pengalihan dan pewarisan
hak dari satu tangan kelainnya, baik vertikal (orang tua ke anak) atau
horizontal (transaksi jual beli).
Fenomena lain dari hubungan
manusia dan tanah terlihat dari konsep pemilikan dan penguasaan tanah (land
tenure), menurut Smith dan Zof adalah hak-hak yang dimiliki seseorang atas
tanah, yakni hak sah untuk menggunakan, mengolah, menjual, dan memanfaatkan
bagian-bagian tertentu dari permukaan tanahnya. Pokok pembicaraan Smith dan Zof
berpangkal pada dual hal yakni: sifat dari hak-hak atas kekayaan tanah beserta
cara dalam mana sifat itu tercipta, dan klasifikasi dari mereka yang terlibat
dalam proses pertanian berdasarkan system land tenure yang ada.
Menurut mereka jenis-jenis land tenure didunia bervariasi, namun dalam
garis besarnya yakni: system yang dikembangkan dinegara komunis, hak atas tanah
ada pada Negara, dan system dalam berbagai variasi menempatkan hak atas tanah
dibawak kepemilikin orang perorangan.
Pemilahan status land tenure
tersebut tidak hanya dilihat sebagai perbedaan kepemilikan serta fungsi-fungsi
yang terlekat padanya, melainkan dilihat dari dimensi sosialnya, dimensi sosial
pemilahan tersebut menggambarkan struktur sosial (khususnya stratifikasi
sosial) dari masyarakat (desa) yang bersangkutan. Secara garis besar dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepemilikan tanah yang rata-rata sama
lebih menguntungkan bagi perkembangan masyarakatnya dibanding keemilikan tanah
yang tidak rata atau timpang.
Untuk masyarakat berkembang khususnya di Indonesia
sendiri memiliki heterogenitas yang kuat sehingga malah menibulkan kesulitan
dalam menggambarkan secara umum system hubungan masyarakat desa dan tanah
mereka. Daerah geografis Indonesia yang luas dan beragam juga berpengaruh.
Sebelum Indonesia merdeka, banyak daerah yang memiliki adat istiadat tradisi
tersendiri, bahkan pemerintahan sendiri (kerajaan). Kondisi geografik dan belum
hadirnya teknologi maju menyebabkan isolasi phisik lalu menciptakan isolasi
sosial cultural. Ketika Indonesia merdeka lalu menetapkan peraturan-peraturan
yang mengatur tata milik dan tata guna tanah secara nasional, terjadi masalah
pada ketentuan legal formal dengan hukum adat setempat.
Awal kemerdekaan dan agak lama
setelah itu, masyarakat desa Indonesia bisa dikatakan tidak mengalami masalah land
division dan land use, karena ada pengaturan adat yang melembaga
sebelum Indonesia merdeka, dan jumlah penduduk yang belum padat (khususnya
Jawa). Namun setelah terjadi pergeseran pemilikan tanah dari system pemilikan
kolektif ke pribadi, meledaknya jumlah penduduk, dan berkembangnya kegiatan
diluar sektor pertanian (industri, bangunan) maka permasalahan land
division dan land use semakin dirasa.
Di Indonesia sendiri, masalah land tenure lebih
dirasa ketimbang land division, terlihat pada masyarakat petani kelas
bawah dan tidak begitu terlihat pada petani ladang. Luas area sawah memang
sempit dari pada luas area petani pekebun, namun karena petani sawah merupakan
petani paling banyak jumlahnya (di Jawa) maka peranannya sangat besar.
Persewaan adalah bentuk ikatan
ekonomi antara pemilik tanah dan penyewa yang dimana pemilik tanah menyerahkan
hak guna tanahnya kepada penyewa, sedang si penyewa menyerahkan sejumlah uang,
untuk jangka waktu tertentu, keuntungan, kerugian, dan biaya produksi berada
ditangan penyewa, dan apabila jangka waktu persewaan berakhir maka dengan
sendirinya tanah tersebut kembali pada pemiliknya.
Pergadaian adalah suatu bentuk
ikata ekonomi antara pemilik tanah dengan pihak lain yang dimana si pemilik
tanah menyerahkan hak guna tanahnya kepada pihak lain, pihak lain (pemegang
gadai) menyerahkan sejumlah uang yang besarnya sesuai dengan persetujuan, hak guna
tanah itu baru bisa dimiliki oleh pemilik tanah lagi setelah si pemilik
tersebut dapat mengembalikan uang gadainya. Minimal transaki pergadaian ini
satu kali panen.
Penyakapan atau system bagi hasil
adalah suatu bentuk ikatan ekonomi sosial yang dimana si pemilik tanah
menyerahkan tanahanya untuk digarap orang lain, umumnya mengenai beban dan
resiko ditanggung bersama serta mengenai besarnya bagian yang diterima
masing-masing pihak, yang kuat posisisnya akan berada pada pihak yang
diuntungkan, lebih sedikit menanggung resiko dan tentu mendapat lebih banyak
hasil panen.
Maro adalah bagi hasil yang
masing-masing pihak (pemilik tanah dan penyakap) mendapat separuh dari hasil
panenan. Bentuk lain, yakni Mertelu, bila pembagian hasil antara pemilik tanah
dan penyakap adalah sepertiga dari dua pertiga bagian, sedangkan Mrapat yakni
bila pembagian hasil menjadi seperempat dari tiga perempat bagian.
Kedokan adalah hampir menyerupai
sistem bagi hasil, yakni bahwa si penggarap atau buruh tani memperoleh imbalan
berupa hasil panen, bukan hasil upah uang.
Tebasan adalah suatu bentuk transaksi
pengalihan hak guna yang dimana dalam tanaman yang telah siap panen dijual
kepada pihak lain, sedangkan Ijon adalah suatu bentuk transaksi dalam mana
pemilik tanaman menjual tanamannya kepada peihak lain tatkala tanaman itu masih
jauh dari usia panen.
Berdasar pola pemilikan dan
penguasaan tanah semacam diatas, maka kaum petani dapat digolongkan menjadi :
pemilik penggarap murni (petani yang hanya bisa menggarap tanah miliknya sendiri),
penyewa dan penyakap murni (yakni mreka yang tidak memiliki tanah tetapi
menguasai tanah garapan melalui sewa atau bagi hasil), pemilik penyewa dan atau
pemilik penyakap (yakni petani disamping menggarap tanahnya sendiri juga
menggarap tanah milik orang lain lewat persewaan atau bagi hasil), pemilik
bukan penggarap (yakni bila tanah miliknya disewakan atau disakapkan kepada
orang lain yakni penyakap, penggarap, atau buruh tani), dan petani tunakisma
atau buruh tani.
Karena AS merupakan Negara imigran
terbanyak pemerintah perlu lebih teliti dan cermat dalam menyikap hubungan yang
terjadi antara masyarakat dengan tanahnya, pemerintah harus lebih selektif
mementingkan masyarakat lokal tetapi dilain sisi masyarkat imigran juga tidak
terdiskriminasi dengan adanya peraturan yang tegas yang diberlakukan oleh
pemerintah AS itu sendiri, perlu adanya peraturan yang tegas pada intinya agar
nantinya hal-hal semacam itu nantinya tidak dijakan sebuah keuntungan
besar-besaran, politisasi, atau komersil semata. Selain itu juga dengan
peraturan-peraturan yang jelas dan tegas serta penangan masalah yang tepat dan
tidak keluar dari jalur, hal ini dapat dicatat dalam statis untuk kedepannya
memperbaiki masyarakat petani bagaimana baik buruknya atau mencari keuntungan
yang lebih besar tanpa terus-terusan dengan hasil yang sama dan kurang
maksimal.
Jika di Indonesia sendiri
hubungan manusia dengan tanah sudah sangat komplek, bukan hanya manusia dan
tanahnya saja yang menjadi masalah, malahan merembet kejalur politik karena
dipolitisasi, mencari keuntungan oleh segelintir orang tertntu, dan akhirnya
marak terjadi akhir-akhir ini bentrok yang tak lain dan tak bukan disebabkan
masalah hubungan manusia (petani) dengan tanah. Lagi-lagi peraturan yang
diberlakukan pemerintah tidak tegas, masih saja petani jatuh miskin atau tetap
menjadi petani bawah karena kurangnya perhatian dari pemerintah, mereka memasok
berbagai hasil pertanian tetapi harga yang ditetapkan pemerintah tidak
sebanding dengan jerih payah usaha petani Indonesia sekarang ini, alhasil
petani kita tetap menjadi petani bawah, dan itu sudah teurun temurun. Dengan
orang-orang tertentu yang ingin berkuasa menyebabkan petani semakin banyak
khususnya buruh tani.
Faktor-Faktor Determinan Dalam Sektor Ekonomi Desa
·
Faktor Keluarga
Dalam bukunya
“Prakapitalisme di Asia” 1962 oleh J.H Boeke mengemukakan bahwa keluarga
merupakan unit swasembada artinya keluarga mewujudkan suatu unit mandiri yang
dapat menghidupi keluarga itu sendiri lewat kegiatan pertanian.
Roucek dan Warren (1962)
menyatakan juga bahwa fungsi keluarga sebagai unit ekonomi atau produksi
(disamping sebagai unit sosial) adalah salah satu karakteristik masyarakat
desa. Hal ini sebagai contohnya dapat dilihat di keluarga petani di Jawa
tradisional (prakapitalistik atau semi prakapitalistik), dalam keluarga tipe
ini suami mengerjakan sejumlah pekerjaan sekaligus seperti membuat persamaian
bibit, mengolah lahan, hingga siap tanam bahkan menyiang, dll. Sedang istri
mengerjakan sejumlah kegiatan seperti mengirim makanan, menanam padi, menuai
padi, menumbuk padi, dll. Lalu anak-anaknya sesuai jenis kelamin membantu
mereka disawah.
Pentingnya fungsi
ekonomi dalam keluarga petani prakapitalistik juga dikemukakan oleh A.V
Chaianov, menurutnya karakteristik yang sangat mendasar dari ekonomi petani
prakapitalistik adalah bahwa ekonomi mereka merupakan ekonomi keluarga. Seluruh
organisasinya ditentukan ukuran dan komposisi keluarga petani itu dan
koordinasi tuntutan-tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja.
Karena keluarga
merupakan unit ekonomi swasembada mandiri, maka pada tingkat masyaarakat
sebenarnya tidak terdapat sistem ekonomi yang jalin menjalin, saling tergantug
seperti dalam masyarakat kota. Maka pada masyarakat desa hakekatnya msyarakat
bukanlah merupakan satu kesatuan ekonomi melainkan lebih merupakan kesatuan
sosial.
·
Faktor Tanah
Dua karakteristik
pemilikan lahan memiliki pengaruh khas terhadap sistem pertanian ekonomi.
Karakteristik pemilikan ini adalah menyangkut luas sempitnya pemilikan lahan,
dan sistem land tenure. Pengaruh luas
sempitnya lahan terhadap sistem pertanian ekonomi : Pemilikan lahan sempit
cenderung pada system pertanian yang intensif, terlebih jika ditunjang
kesuburan tanah yang tinggi, contohnya pertanian sawah di Jawa umumnya, sedangkan
pemilikan tanah yang luas cenderung pada ekstensifikasi, contohnya perkebunan
diluar Jawa umumnya. Pengaruh perbedaan dalam luas pemilikan lahan pertanian
yang luas. Desa atau lingkungan tertentu yang memiliki lahan pertanian
rata-rata sama luasnya (one class system)
akan berbeda pengaruhnya terhadap sistem pertanian ekonomi dibanding dengan
desa yang rata-rata pemilikan lahan warganya tidak sama (tuan tanah berhadapan
dengan petani atau penggarap buruh disebut two class system).
Petani-petani dalam one class system cenderung menjadi
petani pemilik penggarap. one class
system dengan pemilikan lahan yang rata-rata luas seprti di AS akan lebih
mudah menerima pembaruan sistem pertanian. two
class system dilain pihak, akan melahirkan system pertanian yang penggarap.
Hubungan keduanya disebut patronclient
relationship. Dalam two class system
modernisasi petani sulit dikembangkan karena kebanyakan petani tidak memiliki
lahan pertanian sendiri, sedangkan tuan tanah tidak begitu tergiur kepada
pembaruan pertanian yang menjanjikan peningkatan produksi dan keuntungan,
kaarena mereka telah sangat mapan.
·
Faktor Pasar
Pasar secara umum
diartikan sebagai tempat terjadinya transaksi jual beli berbagai barang,
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi sistem ekonomi pertanian. Cocok tanam
baru memiliki arti sebagai sistem ekonomi tatkala petani mulai mempertukarkan
hasil-hasil pertanian mereka untuk berbagai kebutuhan selain untuk makan.
Dengan adanya pasar terjadi hubungan selain ekonomi yakni sosial kultural.
Dalam bukunya Eric R.
Wolf “Petani Suatu Tinjauan Antropologi” beberapa ringkasan dapat disimpulkan :
masyarakat desa cenderung membentuk dan mempertahankan cirinya sebagai
komunitas, ciri-ciri pembedanya bisa berkait dengan jenis tanaman khusus atau
produk tertentu yang dihasilkan (sebagian atau seluruh) komunitas itu, dan terjadi
pertukaran dipasar berdasar atas kekususan yang dimiliki masing-masing
komunitas tersebut.
Peranan pasar tidak hanya menciptakan sistem
ekonomi pertanian yang mengarahkan perkembangan ciri-ciri komunitas desa (untuk
menyesuaikan peran mereka dalam pertukaran pasar). Peranan pasar juga menyebabkan
semakin berkembangnya jaringan ketergantungan antara komunitas desa satu dengan
lainnya. Peran yang dimainkan dipasar itu (terutama pasar jaringan) juga
semakin banyak penduduk desa yang tidak tergantung pada pertanian. Mulai
terlihat penduduk desa yang secara jelas menjadi kelompok pedagang. Secara
demikian desa tidak lagi menjadi wilayah yang mandiri secara sosial dan
ekonomi, melainkan telah menjadi bagian dalam satuan sosial ekonomi yang lebih
luas. Dalam konteks ini sistem ekonomi pertanian semakin kompleks, menampung
dan mengakomodasikan pengaruh-pengaruh luar desa.
Dalam sektor ekonomi desa
memang mempunyai faktor determinan yang kompleks. Sistem pertanian pada
masyarakat desa yang dominan pertanian sangat vital bagi kehidupan mereka para
petani.
Pertama faktor
keluarga, salah satu faktor yang penting dalam sistem ekonomi pertanian. Karena
setiap keluarga berjuang dan bekerja keras mengelola, membagi, menentukan
kegiatan-kegiatan guna menunjang kebutuhan keluarga mereka. Kedua faktor tanah,
faktor ini menentukan setidaknya besarnya hasil pertanian nantinya yang akan
diperoleh, karena semakin luas tanahnya maka hasil pertanian jelas akan melimpah
pula. Ketiga adalah faktor pasar, hal yang tidak kalah pentingnya karena pasar
ini sebagai tempat mereka untuk menukarkan hasil pertanian mereka dengan
kebutunan yang diperluakan (barter) atau dengan alat penukaran barang berupa
uang.
Ketiga faktor tersebut
saling mempengaruhi satu sama lain. Tetapi jika kita benturkan pada keadaan
sekarang ini, keadaan modern, hal-hal atau faktor-faktor semacam ini sepertinya
semakin luntur. Anggapan menjadi petani akan memiliki nasib yang sama (miskin)
membuat generasi muda (anak-anak petani) mulai meninggalkan salah satu faktor
diatas tadi. Maka dari itu, tidak ada generasi selanjutnya yang akan menjadi
petani, mereka memilih mobilitas yang lebih tinggi dari seorang pekerja petani.
Saling Mempengaruhi Antara Sistem Ekonomi Dan Sistem Sosial
·
Pengaruh Sistem Ekonomi Pertanian
Terhadap Sistem Sosial
Pengaruh sistem
ekonomi pertanian terhadap sistem ekonomi berkaitan erat dengan faktor
teknologi dan sistem uang kapitalisme. Masyarakat petani yang belum menggunakan
teknologi modern dan belum menggunakan uang dalam sistem perekonomian mereka,
maka dalam kehidupan sosialnya ditandai adanya hubungan-hubungan akrab,
informal, serta bebas santai, karena dengan tidak adanya teknologi modern
tercipta kondisi yang membuat mereka saling tolong menolong (barter, gotong
royong). Kedekatan emosional sangat diperlukan sebab jika tidak hubungan mereka
akan tidak pula membuahkan kerjasama langsung.
Namun, kurukunan dan
solidaritas yang kuat pada masyarakat desa sebenarnya tidak hanya tercipta oleh
adanya tuntutan kerja sama langsung, melainkan juga disebabkan kesamaan yang
ada pada mereka seperti sama-sama kaum petani, sama-sama tiggal didesa yang
sama, dll. Kerukunan dan gotong royong diantara para petani ini semakin luntur
dengan adanya penggunaan teknologi diantara mereka. Hal ini dapat dimengerti
karena dengan teknologi modern memudahkan penggunanya dalam bertani dan tidak
mengurangi hasil pertanian malah menguntungkannya, serta hanya menggunakan
sedikit tenaga kerja manusia. Akibat hubungan emosional diantara para petani
ini semakin luntur atau bahkan hilang.
·
Pengaruh Sistem Sosial Terhadap Sistem
Ekonomi Pertanian
Petani menyikapi
pertanian sebagai way of life
(kebudayaan) berarti mereka menggeluti pertanian bukan sekedar sebagai mata
pencaharian melainkan menyangkut totalitas kehidupan mereka. Inti dari pola
kebudayaan petani bersahaja atau peasan adalah subsistensi dan tradisionalisme.
Kedua inilah sebagai faktor penghambat terlaksananya proses modernisasi
pertanian dikalangan masyarakat petani desa.
Komersialisasi sulit
dikembangkan dalam masyarakat semacam ini, karena mereka setiap hari dalam
hubungannya menggunakan rasionalitas sosial (norma-norma sosial termasuk adat
istiadat). Jika seseorang berperilaku menyimpang dari kebanyakan masyarakat
desa disana maka akan ada sanksi sosial dari masyarakat tersebut. Ikatan sosial
yang kuat terwujud dalam bentuk kerukunan yang tinggi, juga menciptakan semacam
keharusan sosial yakni berbagi dalam hal bertani tentunya seperti merelakan
sebagian tanah yang dimiliki untuk digarap orang lain.
Ciri khas masyarakat
desa yang mempunyai hubungan atau ikatan emosional yang tinggi membuat
masyarakat pertanian rukun tanpa adanya suatu masalah yang berarti.
Tetapi ketika sejumlah
atau segelintir orang yang ingin memperoleh keuntungan lebih tanpa memperhatikan
hubungan sosial masyarakat pertanian menyebabkan hubungan yang terjalin sejak
lama bahkan turun temurun semakin renggang karena penggunakan teknologi seeprti
sekarang ini, teknologi pertanian modern.
Tetapi masyarakat
pertanian sendiri mempunyai aturan yang tak tertulis, yakni suatu sanksi sosial
yang tentunya akan berlaku untuk orang-orang yang menyimpang atau keluar dari
jalur masyarakat petani pada umumnya.
Bahan Rujukan
·
Bahriadi, Dianto.
1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi
Kapital : Lima Kasus Intensifikasi Pertanian dengan Pola Contract Farming.
Jakarta : Akatiga.
·
Koentjaraningrat.
1984. Masyarakat desa di Indonesia. Jakarta
: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar