Terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang fenomena
keaslian desa di Indonesia. Beberapa pakar di Belanda seperti Van Den Berg dan
Kern berpendapat bahwa desa-desa di Jawa adalah buatan India. Sedangkan pakar
Belanda lainnya, yang diwakili oleh Van Vollenhaven, De Louter, Brandes, dan
Liefrinck, berpendapat bahwa desa-desa di Indonesia itu bersifat asli, Begitu
juga dengan Sutardjo Kartohadikoesoemo, yang berpendapat bahwa desa-desa di
Jawa itu asli, bukan buatan India maupun Belanda.
Di samping pendapat di atas, dikemukakan pula bahwa
desa-desa tersebut juga bukan buatan Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa
sebelum Indonesia merdeka, desa-desa tersebut sudah ada. Desa-desa tersebut
mempunyai kedudukan sebagai desa yang mandiri. Akan tetapi setelah Indonesia
merdeka maka dilakukan beberapa pembenahan, yang juga menyangkut kedudukan desa
sebagai desa yang mandiri tersebut. Melalui beberapa peraturan perundangan,
desa mempunyai kedudukan sebagai kesatuan sosial dan hukum (adat) yang masih
diberi kebebasan tertentu dan desa sebagai kesatuan administratif yaitu
merupakan bagian integral dari Negara Republik Indonesia. Selanjutnya menurut
Undang undang Nomor 5 Tahun 1979 pengertian desa dibedakan menjadi “desa” dan
“kalurahan”.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang berisi tentang dimungkinkannya tindakan untuk membentuk, memecah, menyatukan dan menghapus desa dan kelurahan, membawa kemungkinan bagi perubahan pada desa dan kelurahan baik dalam hal volume maupun statusnya. Perubahan yang ada menunjukkan bahwa jumlah desa dari tahun ke tahun memperlihatkan adanya gejala kenaikan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang berisi tentang dimungkinkannya tindakan untuk membentuk, memecah, menyatukan dan menghapus desa dan kelurahan, membawa kemungkinan bagi perubahan pada desa dan kelurahan baik dalam hal volume maupun statusnya. Perubahan yang ada menunjukkan bahwa jumlah desa dari tahun ke tahun memperlihatkan adanya gejala kenaikan.
Berbicara tentang ciri khas desa tidaklah mudah,
mengingat bahwa desa-desa di Indonesia sangat beragam. Sehubungan dengan hal
itu, Koentjaraningrat mengemukakan perlunya berbagai sistem prinsip yang dapat
dipakai dalam mengklasifikasikan aneka warna bentuk desa di Indonesia. Di
samping itu, untuk menandai ciri-ciri desa di Indonesia, perlu diperhitungkan
pula faktor-faktor antara lain : tingkat teknologi dan kondisi geografis, keberagaman
suku bangsa di Indonesia, perbedaan dalam dasar-dasar peradaban suatu kawasan,
dan pengaruh kekuasaan luar desa.
Keberagaman desa-desa di Indonesia menyebabkan terjadinya
kesulitan dalam usaha untuk menyeragamkan desa-desa tersebut. Salah satu
kesulitan adalah kesulitan dalam mencari padanan desa di Jawa dengan fenomena
serupa yang ada di luar Jawa. Usaha yang telah dilakukan antara lain adalah
pembakuan desa di Indonesia lewat Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 29 April
1969 (Nomor Desa 5/1/29) kepada para gubernur seluruh Indonesia.
Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat
yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Menurut C.S. Kansil desa adalah
suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerntahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut
Bintarto desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi,
politik, dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya
dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain. Paul H. Landis desa
adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa, dengan ciri ciri sebagai berikut :
mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa, ada
pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, cara berusaha
(ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam (seperti
: iklim, keadaan, alam, kekayaan alam)
sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan, sistem
kehidupannya berkelompok, termasuk kedalam masyarakat homogen dalam hal
matapencaharian, agama, adat-istiadat, homogenitas sosial, hubungan primer,
kontrol sosial yang ketat, gotong-royong, ikatan sosial, magis religius. Dari
beberapa pengertian tentang desa diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa desa
adalah sebuah wilayah yang ditempati sejumlah penduduk yang daerahnya masih
dipenuhi oleh pepohonan dan lahan kosong, dan kekerabatan diantara penduduknya
sangat erat dimana penduduknya memiliki sistem pemerintahan sendiri.
Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik) Talcot Parsons menggambarkan
masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mebngenal
ciri-ciri sebagai berikut : Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih
sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan
perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang
lain dan menolongnya tanpa pamrih. Orientasi kolektif sifat ini merupakan
konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak
suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya
semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat
terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari
luar. Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan kita ini mengenal bermacam
macam gejala, diantaranya sebagai berikut : Konflik (pertengkaran).
Pertengkaran terjadi biasanya berkisar pada masalah sehari-hari rumah tangga
dan sering menjalar keluar rumah tangga.Sedang sumber banyak pertengkaran itu
rupa-rupanya berkisar pada masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan, dsb.
Kontroversi (pertentangan). Pertentangan ini bisa disebabkan oleh perubahan
konsep-konsep kebudayaan (adat-istiadat), psikologi atau dalam hubungannya
dengan guna-guna (black magic). Kompetisi (persaingan). Masyarakat Pedesaan
adalah manusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai manusia biasa dan mempunyai
saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu maka wujud
persaingan itu bisa positif dan bisa negatif.
Secara umum sering kali terdapat persepsi yang salah tentang keberadaan
masyarakat desa, di mana masyarakat desa cenderung dipandang rendah. Padahal
kenyataannya masyarakat desa mempunyai peranan yang penting dalam sejarah
pembentukan dan perkembangan peradaban masyarakat manusia.
Sebelum dikenal kegiatan bercocok tanam yang merupakan cikal bakal
terbentuknya komunitas masyarakat desa, maka sejarah kehidupan manusia secara
umum mengalami proses perkembangan yang sangat lamban. Sekitar 1.990.000 tahun
mereka menjalani kehidupan yang sangat bersahaja dengan sistem mata pencaharian
food gathering economics (berburu, meramu, dan menangkap ikan). Sifat mata
pencaharian semacam ini kurang memungkinkan mereka untuk saling berhubungan dan
menjalin kerja sama secara teratur dan permanen karena mereka harus selalu
berpindah (mobil) mengikuti pola kehidupan binatang buruannya. Pola kehidupan
mereka ini lebih menunjukkan pada bentuk pra-masyarakat, artinya belum
mencerminkan kehidupan bermasyarakat yang teratur dan permanen.
Dikenalnya kegiatan bercocok tanam sekitar 10.000 tahun yang lalu telah
mengubah keadaan yang ada. Sifat tanaman yang terikat pada tempat (imobil) dan
waktu telah memaksa orang untuk menetap. Biasanya mereka menetap pada
tempat-tempat tertentu, yaitu di tempat-tempat yang subur seperti di tepi-tepi
sungai dan danau, sehingga terjadilah pengelompokan. Di dalam pengelompokan ini
terjadilah hubungan yang teratur di antara mereka. Selanjutnya dalam kondisi
ini terciptalah akumulasi simbol-simbol yang merupakan awal dan landasan bagi
perkembangan peradaban manusia. Kegiatan bercocok tanam juga menandai lahirnya
fenomena desa sebab desa dalam pengertian pokoknya berarti tempat menetap dan
bermukim dari sekelompok orang yang memiliki ketergantungan terhadap suatu
tempat.
Masyarakat desa sering kali dipahami dalam keterkaitannya dengan kegiatan
pertanian. Akan tetapi hal tersebut tidak cukup memadai, sebab kita juga harus
mengaitkannya dengan konteks perubahan dan perkembangan dunia karena desa juga
merupakan bagian integral dari kehidupan dunia. Agar mampu memahami desa dengan
segala dinamikanya maka dibutuhkan teori atau perspektif (wawasan) sebagai
kerangka berpikir. Dalam hal ini desa setidak-tidaknya dapat dijelaskan dari
teori-teori tentang perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Teori yang
dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena desa adalah teori dari ilmu-ilmu
sosial termasuk di dalamnya teori sosiologi.Teori sosiologi yang digunakan
adalah yang mengacu pada teori evolusi sosial dari Herbert Spencer, yang
merupakan turunan dari teori evolusi biologi Charles Darwin. Teori evolusi
sosial ini berusaha menjelaskan fenomena desa sebagai proses perubahan dan
perkembangan masyarakat dari yang masih bersahaja menuju masyarakat yang
kompleks. Ternyata teori evolusi sosial yang bersifat umum tersebut tidak cukup
memadai untuk dapat menjelaskan fenomena masyarakat desa secara lebih
komprehensif, sehingga diperlukan teori-teori yang sifatnya lebih
khusus.Teori-teori ini mencoba menjelaskan perkembangan masyarakat lewat
tahap-tahap tertentu. Teori-teori khusus ini merupakan model dikotomi dan
trikotomi yang membagi masyarakat menjadi pilah dua maupun pilah tiga.
Teori-teori ini termasuk ke dalam kubu teori modernisme. Terdapat kubu teori
lain yang berlawanan dari kubu teori modernisme yaitu kubu teori dependensi.
Kalau teori modernisasi berpendapat bahwa semua masyarakat akan berubah dan
berkembang menjadi modern, maka teori dependensi berpendapat bahwa kapitalisme
modern menyebabkan masyarakat pinggiran menjadi tergantung pada negara-negara
maju sehingga mengalami keterbelakangan.
Mengingat bahwa pada kenyataannya terdapat dominasi dari sistem kapitalisme
modern, penyebarluasan teknologi modern dan komunikasi informasi maka dalam
menggunakan kedua kubu teori tersebut sebaiknya juga harus memperhatikan
pendapat Howard Newby. H. Newby berpendapat bahwa studi mengenai masyarakat
desa saat ini hendaknya memfokuskan perhatian pada proses penyesuaian
masyarakat desa terhadap merasuknya sistem kapitalisme modern. Pada umumnya pengertian desa sering dikaitkan dengan sektor
pertanian, alasannya asal-muasal desa karena pengenalan cocok tanam. Secara
keilmuan, ahli sosiologi menyatakan bahwa desa merupakan lingkungan di mana
warga memiliki hubungan akrab dan bersifat informal. Paul H. Landis yang
mewakili pakar sosiologi pedesaan, mengemukakan 3 definisi desa untuk tujuan
analisis yang berbeda-beda, yaitu analisis statistik, analisis sosial
psikologis, dan analisis ekonomi. Menurut Roucek dan Warren, untuk
memahami masyarakat desa dapat dilihat dari karakteristiknya yaitu : besarnya
peranan kelompok primer, faktor geografis sebagai dasar pembentukan kelompok, hubungan
bersifat akrab dan langgeng, homogen, keluarga sebagai unit ekonomi, populasi
anak dalam proporsi lebih besar.
Di dalam konsep struktur sosial terkandung pengertian
adanya hubungan-hubungan yang jelas dan teratur antara orang yang satu dengan
yang lainnya. Untuk dapat membangun pola hubungan yang jelas dan teratur
tersebut tentu ada semacam ‘aturan main’ yang diakui dan dianut oleh pihakpihak
yang terlibat. Aturan main tersebut adalah norma atau kaidah ini menjadi lebih
konkret dan bersifat mengikat maka diperlukan lembaga (institusi).
Pitirin Sorokin membedakan struktur sosial menjadi struktur sosial vertikal dan horizontal. Struktur sosial vertikal (pelapisan atau stratifikasi sosial) menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkis, sedangkan struktur sosial horizontal (diferensiasi sosial) menggambarkan variasi/beragamnya dalam pengelompokan-pengelompokan sosial. Smith dan Zopf mengemukakan pendapat tentang pola pemukiman. Menurut mereka pola pemukiman berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan (spatial) antara pemukiman penduduk desa yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian mereka. Sementara itu Paul H. Landis menggambarkan adanya empat tipe pola pemukiman yaitu pola pemukiman : mengelompok murni, mengelompok tidak murni, menyebar teratur, dan menyebar tidak teratur. Menurut tipe pola pemukiman mengelompok murni yang paling dominan di dunia, sedangkan yang paling ideal adalah pola pemukiman tipe menyebar teratur. Di Indonesia, terutama di Jawa cenderung memperlihatkan pola pemukiman tipe mengelompok murni.
Pitirin Sorokin membedakan struktur sosial menjadi struktur sosial vertikal dan horizontal. Struktur sosial vertikal (pelapisan atau stratifikasi sosial) menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkis, sedangkan struktur sosial horizontal (diferensiasi sosial) menggambarkan variasi/beragamnya dalam pengelompokan-pengelompokan sosial. Smith dan Zopf mengemukakan pendapat tentang pola pemukiman. Menurut mereka pola pemukiman berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan (spatial) antara pemukiman penduduk desa yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian mereka. Sementara itu Paul H. Landis menggambarkan adanya empat tipe pola pemukiman yaitu pola pemukiman : mengelompok murni, mengelompok tidak murni, menyebar teratur, dan menyebar tidak teratur. Menurut tipe pola pemukiman mengelompok murni yang paling dominan di dunia, sedangkan yang paling ideal adalah pola pemukiman tipe menyebar teratur. Di Indonesia, terutama di Jawa cenderung memperlihatkan pola pemukiman tipe mengelompok murni.
Struktur biososial adalah struktur sosial (vertikal
maupun horizontal) yang berkaitan dengan faktor-faktor biologis seperti jenis
kelamin, usia, perkawinan, suku bangsa dan lainnya. Keterkaitan antara faktor
biologis dan struktur sosial diperlihatkan melalui sifat mata pencaharian, di
mana ketika masyarakat masih pada taraf food gathering economic sampai dengan
ketika bercocok tanam, maka pengalaman dan tenaga fisik menjadi faktor yang
dominan. Dengan demikian orang yang lebih tua dan orang yang secara fisik lebih
kuat (laki-laki dianggap lebih kuat dibandingkan perempuan) menempati kedudukan
sosial yang tinggi.
Struktur sosial vertikal (stratifikasi atau pelapisan
sosial) merupakan gambaran dari kelompok-kelompok sosial dalam susunan
hierarkis. Untuk mengenalinya maka digunakan lambang status (status symbols).
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan
berikut! Lambang status adalah semua hal atau benda yang menjadi pertanda dari
suatu lapisan sosial seperti kekayaan, gaya hidup, pendidikan, keturunan, dan
sebagainya. Lambang status ini dianggap mempunyai ‘nilai’ di dalam masyarakat.
Sutardjo Kartohadikoesoemo mengklasifikasikan penduduk
desa Jawa menjadi beberapa lapisan sosial berdasarkan faktor
pemilikan/penguasaan lahan pertanian, yaitu : Warga desa yang memiliki tanah
pertanian, rumah dan tanah pekarangan. Warga desa yang mempunyai rumah dan
tanah pekarangan. Warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang
lain. Warga desa yang kawin dan mondok di rumah orang lain. Dan pemuda yang
belum kawin. Berdasarkan kerangka dari Smith dan Zopf, pelapisan sosial
masyarakat desa di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan kriteria yakni : luas
atau sempitnya pemilikan atau penguasaan tanah, adanya pihak lain di luar
sektor pertanian, sistem persewaan atau penguasaan tanah, dan sifat pekerjaan.
Struktur sosial horizontal merupakan gambaran mengenai
keberagaman pengelompokan sosial dalam masyarakat. Secara umum masyarakat desa
merupakan komunitas yang kecil sehingga antara orang yang satu dengan yang
lainnya terdapat kemungkinan yang besar untuk saling berhubungan secara
langsung dan saling mengenal secara “pribadi”. Hubungan semacam ini disebut
hubungan primer dan kelompoknya disebut kelompok primer. Kelompok primer yang
utama dalam masyarakat adalah keluarga, lalu ketetanggaan dan komunitas. Keluarga
merupakan kelompok sosial yang mempunyai peran dan pengaruh yang paling
dominan. Smith dan Zopf secara umum membedakan dua pola umum desa yaitu desa
sistem satu kelas dan desa sistem dua kelas atau desa di mana pemilikan lahan
pertanian penduduk mempunyai luas yang rata-rata sama. Sedangkan desa sistem
dua kelas adalah tipe desa di mana terdapat perbedaan yang mencolok dalam luas
pemilikan lahan pertanian. Di dalam desa sistem satu kelas terdapat
pelapisan/stratifikasi sosial,sedangkan di dalam desa sistem dua kelas terdapat
polarisasi sosial.
Pola Kebudayaan Masyarakat Desa Terhadap berbagai
definisi tentang kebudayaan, antara lain yang mengemukakan bahwa way of life,
yaitu way of thinking, way of feeling, dan way of doing. Untuk menganalisa
masyarakat pedesaan yang bersifat bersahaja maka diperlukan konsep kebudayaan
yang sederhana pula yaitu kebudayaan dilihat dari aspek kebudayaan dan
non-kebudayaan (immaterial culture). Dengan kata lain kebudayaan dilihat
sebagai suatu sistem nilai dan norma (adat istiadat) yang mengatur perilaku dan
perikehidupan masyarakat desa.
Pola kebudayaan masyarakat desa termasuk pola kebudayaan
tradisional, yaitu merupakan produk dari benarnya pengaruh alam terhadap
masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis besar
kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh : sejauh
mana ketergantungan terhadap alam, tingkat teknologi yang dimiliki, dan sistem
produksi yang diterapkan. Paul H. Landis juga mengemukakan ciri-ciri kebudayaan
tradisional yaitu : adaptasinya pasif, rendahnya tingkat invasi, tebalnya rasa
kolektivitas, kebiasaan hidup yang lamban, kepercayaan kepada takhayul, kebutuhan
material yang bersahaja, rendahnya kesadaran terhadap waktu, cenderung bersifat
praktis, dan standar moral yang kaku.
Persyaratan bagi eksistensi pola kebudayaan tradisional
tidak hanya menyangkut kesembilan ciri-ciri di atas, melainkan juga harus
memperhitungkan kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa) seperti pengaruh
struktur kekuatan tertentu yang mendominasi desa. Berbagai kerajaan yang
tersebar di persada Nusantara memiliki pengaruh yang sangat menentukan bagi
pola kebudayaan masyarakat desa. Pengaruh kerajaan juga menyangkut masalah
penguasaan kerajaan terhadap tanah pertanian (sistem feodalisme) sehingga
masyarakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi pada kerajaan. Di
daerah-daerah yang tidak terdapat kerajaan maka sistem kekerabatan mempunyai
pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan pola kebudayaan tradisional. Dengan
kata lain, pola kebudayaan mereka identik dengan sistem kekerabatannya.
Tradisi dibedakan dalam pengertian sebagai tradisi
sinkronik dan diakronik. Dalam pengertian tradisi diakronik, antara yang
tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan.
Sedangkan dalam tradisi sinkronik, tradisi justru bersifat situasional Untuk
memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan
berikut! artinya mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sehingga antara yang
tradisional dengan yang modern tidak bertentangan. Dalam pembahasan tentang
masyarakat desa yang bersahaja, maka pengertian.tradisi diakronis yang
digunakan.
Pengertian tradisi dan adat istiadat dikonkretkan lagi
menjadi hukum adat. Pengertian hukum adat di sini lebih mengacu pada pengertian
hukum asli yang ada di pelbagai daerah di Indonesia. Hukum adat yang mengatur
kehidupan masyarakat-masyarakat di pelbagai daerah di Indonesia ini tidak
terlepas dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya pengaruh dari agama Hindu,
Islam, dan pemerintahan kolonial.
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum adat di
Indonesia, perlu dibedakan dua tipe desa berdasarkan perbedaan integritas
masyarakatnya yaitu desa-desa di luar Jawa dan di Jawa. Integritas desa-desa di
luar Jawa didasarkan atas hubungan darah (genealogis), sedangkan integritas
desa-desa di Jawa lebih didasarkan pada ikatan hubungan daerah (geografis).
Pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah maka hukum
adatnya kurang memiliki kekuatan pengikat dan pengendali dibandingkan dengan
hukum adat pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah.
Untuk desa-desa di Jawa umumnya, di daerah pedalaman
khususnya, melemahnya tradisi serta hukum adat bukan saja karena sifatnya
sebagai tipe desa geografis, melainkan terutama untuk intervensi yang
dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa). Kekuatan supradesa
ini adalah dari kekuatan kerajaan dan pemerintah kolonial.
Terdapat beberapa definisi yang mencoba menjelaskan
tentang perbedaan pengertian society dan community. Akan tetapi pada dasarnya
komunitas itu mempunyai dua karakteristik yaitu adanya ikatan kedaerahan, dan ikatan
emosional di antara warganya. Pada pembahasan ini komunitas desa diartikan
sebagai komunitas kecil yang relatif masih bersahaja, yang masih jelas memiliki
ketergantungan terhadap tempat tinggal (lingkungan) mereka entah sebagai
petani, nelayan atau yang lainnya.
Corak dan sifat komunitas desa didasarkan pada sistem
mata pencaharian pokok mereka yaitu sistem pertaniannya. Sistem pertanian lahan
kering akan menciptakan tipe komunitas yang berbeda dengan sistem pertanian
lahan basah. Di samping itu jenis-jenis tanaman juga akan menyebabkan perbedaan
tipe komunitas. Selanjutnya D. Whittlesey mengemukakan tentang sembilan corak
sistem pertanian yaitu : bercocok tanam di ladang berpindah, bercocok tanam
tanpa irigasi menetap, bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana
dan tanaman pokok padi, bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi
sederhana tanpa padi, bercocok tanam sekitar Lautan Tengah, pertanian
buah-buahan, pertanian komersial dengan mekanisasi berdasarkan tanaman gandum,
pertanian komersial dengan mekanisasi, dan pertanian perkebunan dengan
mekanisasi.
Selain komunitas desa pertanian terdapat pula komunitas
desa nelayan. Faktor penentu struktur komunitas desa nelayan adalah pemilikan
sarana menangkap ikan (perahu, jaring-jaring, harpun, dan lainnya). Secara umum
terdapat dua strata pokok dalam struktur masyarakat desa nelayan yaitu juragan
dan buruh nelayan. Selain itu terdapat pula strata komando kapal yang posisinya
ada di tengah-tengah kedua strata tersebut. Kondisi komunitas desa nelayan ini
ternyata lebih miskin dibanding komunitas desa pertanian.
Komunitas Peasan
(Peasant). Terdapat bermacam-macam
definisi yang mencoba menjelaskan pengertian tentang peasan. Definisi-definisi
tersebut pada dasarnya mengacu pada sistem kehidupan peasan yang bersifat
subsisten, artinya masyarakat dengan tingkat hidup yang minimal atau hanya
sekedar untuk hidup. Sistem kehidupan subsisten ini bisa dikarenakan faktor
kultural, yaitu sudah menjadi way of life yang diyakini dan membudaya di antara
kelompok masyarakat, bisa pula karena faktor struktural yaitu karena faktor
kepemilikan tanah.
Sehubungan dengan pola kebudayaan subsisten peasan,
Everett M. Rogers mengemukakan tentang karakteristik dari subkultur peasan
yaitu saling tidak mempercayai dalam berhubungan antara satu dengan yang
lainnya, pemahaman tentang keterbatasan segala sesuatu di dunia, sikap
tergantung sekaligus bermusuhan terhadap kekuasaan, familisme yang tebal,
tingkat inovasi yang rendah, fatalisme, tingkat aspirasi yang rendah, kurangnya
sikap penangguhan kepuasan, pandangan yang sempit mengenai dunia, dan derajat
empati yang rendah. Karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Everett M.
Rogers tersebut di atas tidak semua cocok dengan karakteristik peasan di
Indonesia. Peasan di Indonesia lebih cenderung saling mempercayai antara satu
dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebersamaan atau kolektivitas yang
tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar