BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum, keagamaan, maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai ketimpangan dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya ketidakadilan gender.
Pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang
stratifikasi sosial. Sedangkan tujuan penyusyunan makalh ini adalah sebagai
pemenuhan tugas matakuliah pengantar Sosipologi. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca.
B. Batasan Masalah
B. Batasan Masalah
1. Bagaimana masyarakat di
sekitar anda menyebut hal-hal yang bersifat kodrati dan bukan kodrati!
2. Adakah
ketimpangan
(ketidakadilan) gender dan kesetaraan di
sekitar Anda!
3. Apakah ciri-ciri
ketimpangan gender dan keadilan gender
menurut masyarakat di lingkungan Anda!
4. Apa akibat terjadinya
ketimpangan (ketidakadilan) gender
baik bagi individu yang mengalami atau pun
lingkungan mereka berada (tempat tinggal, tempat kerja dll)!
5.
Apakah faktor yang mempengaruhi dan
menghambat terjadinya keadilan
(kesetaraan) gender di sekitar Anda!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hal-hal yang Bersifat Kodrati dan bukan
Kodrati didalam Masyarakat
Mengapa selama ini orang sering mencampuradukkan
pengertian Gender dan kodrat? Dikarenakan
perbedaan kodrat yang dimiliki perempuan dan laki-laki tersebut, masyarakat
mulai memilah-milah peran
sosial seperti apa yang (dianggap)
pantas untuk laki-laki dan bagian mana yang (dianggap) sesuai untuk perempuan.
Misalnya, hanya karena kodratnya perempuan mempunyai rahim dan bisa melahirkan anak, maka kemudian berkembang anggapan umum
di masyarakat bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab mengurus anak.
Selanjutnya, anggapan tersebut semakin berkembang jauh dimana perempuan dipandang
tidak pantas sibuk di luar rumah karena tugas perempuan mengurus anak akan terbengkalai. Kebiasaan ini
lama kelamaan berkembang di masyarakat menjadi suatu tradisi dimana perempuan
dianalogikan dengan pekerjaanpekerjaan domestik dan ‘feminin’ sementara
laki-laki dengan pekerjaan-pekerjaan publik dan ‘maskulin’. Peran Gender adalah peran yang diciptakan
masyarakat bagi lelaki dan perempuan. Peran Gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk
nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Sebagai hasil bentukan sosial, tentunya peran Gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi dan tempat yang
berbeda sehingga sangat mungkin dipertukarkan diantara laki-laki dan perempuan.
Mengurus anak, mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak,
mencuci, dll) adalah peran yang bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan,
sehingga bisa bertukar tempat tanpa menyalahi kodrat.
Dengan demikian,
pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa kita istilahkan sebagai peran Gender. Jika peran Gender dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan bisa
disesuaikan dengan kondisi yang dialami seseorang, maka tidak ada alasan lagi
bagi kita untuk menganggap aneh seorang suami yang pekerjaan sehari-harinya
memasak dan mengasuh anak-anaknya, sementara istrinya bekerja di luar rumah.
Karena di lain waktu dan kondisi, ketika sang suami memilih bekerja di luar
rumah dan istrinya memilih untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, juga bukan
hal yang dianggap aneh.
B. Ketimpangan dan kesetaraan Gender di
Lingkungan Masyarakat
Kasus
Di daerah kita masing-masing sering kita jumpai seorang istri yang memilih bekerja di rumah dan suaminya memilih bekerja buruh di pabrik. Pada saat mengambil keputusan di keluarga, istri bebas menentukan apakah dia ingin bekerja di luar atau di dalam rumah. Demikian juga sang suami tidak keberatan untuk bertukar peran suatu saat istrinya mempunyai kesempatan bekerja di pabrik. Dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa telah tercipta kesetaraan Gender di dalam keluarga tersebut. Istri tidak dipaksa suami untuk tinggal di rumah dan suami tidak diharuskan bekerja di pabrik. Mereka memilih peran tersebut atas dasar kemampuan dan keinginan masing-masing pihak, tidak ada paksaan ataupun tekanan dari istri maupun suami. Kesetaraan Gender tercipta manakala istri dan suami mempunyai peluang yang sama untuk memilih jenis pekerjaan yang disukainya dan mempunyai posisi yang sama saat mengambil keputusan dalam keluarga. Sedangkan pada kebanyakan kasus, korban KDRT adalah perempuan. Tentu saja laki-laki pun bisa jadi korban kekerasan dalam rumah tangga meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan. Dari sekitar 10 sampai 69 persen dari pasangan hidup di dunia, perempuan menjadi korban kekerasan fisik dari pasangannya. Prosentase ini belum termasuk pada kekerasan psikis (mental) dan seksual, yang tentunya menimbulkan dampak lebih panjang dan kompleks bukan hanya bagi korban kekerasan tersebut (perempuan) tapi juga bagi yang menyaksikan kekerasan tersebut terjadi di dalam keluarga, yaitu anak-anak.
Di daerah kita masing-masing sering kita jumpai seorang istri yang memilih bekerja di rumah dan suaminya memilih bekerja buruh di pabrik. Pada saat mengambil keputusan di keluarga, istri bebas menentukan apakah dia ingin bekerja di luar atau di dalam rumah. Demikian juga sang suami tidak keberatan untuk bertukar peran suatu saat istrinya mempunyai kesempatan bekerja di pabrik. Dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa telah tercipta kesetaraan Gender di dalam keluarga tersebut. Istri tidak dipaksa suami untuk tinggal di rumah dan suami tidak diharuskan bekerja di pabrik. Mereka memilih peran tersebut atas dasar kemampuan dan keinginan masing-masing pihak, tidak ada paksaan ataupun tekanan dari istri maupun suami. Kesetaraan Gender tercipta manakala istri dan suami mempunyai peluang yang sama untuk memilih jenis pekerjaan yang disukainya dan mempunyai posisi yang sama saat mengambil keputusan dalam keluarga. Sedangkan pada kebanyakan kasus, korban KDRT adalah perempuan. Tentu saja laki-laki pun bisa jadi korban kekerasan dalam rumah tangga meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan. Dari sekitar 10 sampai 69 persen dari pasangan hidup di dunia, perempuan menjadi korban kekerasan fisik dari pasangannya. Prosentase ini belum termasuk pada kekerasan psikis (mental) dan seksual, yang tentunya menimbulkan dampak lebih panjang dan kompleks bukan hanya bagi korban kekerasan tersebut (perempuan) tapi juga bagi yang menyaksikan kekerasan tersebut terjadi di dalam keluarga, yaitu anak-anak.
Penjelasan
Tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa membicarakan kesetaraan Gender adalah sesuatu yang mengada-ada. Hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda. ‘Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan biaya saja, toh nantinya akan kembali juga masuk dapur’. Pernah mendengar ungkapan seperti itu? Hal ini masih kerap terlontar saat dipertanyakan apakah anak perempuan atau laki-laki yang akan diberikan kesempatan untuk meneruskan sekolah. Dari ungkapan tersebut sudah dapat kita lihat ada dua hal yang mencerminkan tidak adanya kesetaraan Gender yaitu: Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan lingkungannya, Laki-laki tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka memilih ‘masuk dapur’. Pemikiran seperti ini umumnya muncul terutama pada kelompok masyarakat tradisional-patriarkhi yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur. Bukan kodratnya perempuan untuk masuk dapur, karena kegiatan memasak di dapur tidak ada kaitannya dengan ciri-ciri biologis yang ada pada perempuan. Kegiatan memasak di dapur (atau kegiatan domestik lainnya) adalah suatu bentuk pilihan pekerjaan dari sekian banyak jenis pekerjaan yang tersedia (misalnya guru, dokter, pilot, supir, montir, pedagang, dll), yang tentu saja boleh dipilih oleh perempuan ataupun laki-laki. Kesetaraan Gender memberikan pilihan, peluang dan kesempatan tersebut sama besarnya pada perempuan dan laki-laki.
C. Ciri-ciri Ketimpangan dan Keadilan Gender
didalam Masyarakat
Bentuk-bentuk
atau ciri-ciri ketidakadilan gender itu antara lain peminggiran
(Marginalisasi), penomorduaan (Subordinasi), pelebelan (Stereotip), kekerasan
(Violence), beban kerja berlebihan (Multiple Burden).
Contoh
ketidakadilan gender pada remaja, jika terjadi kehamilan pada remaja
putri yang masih sekolah maka hanya remaja putri tersebut yang dikeluarkan dari
sekolah sementara remaja putra yang menghamili tidak dikeluarkan. Seharusnya
jika mungkin, kedua-duanya tetap diberi kesempatan untuk melanjutkan
sekolahnya.
Selanjutnya
dikatakan bahwa seorang pria tidak dapat dimintai pertanggung jawaban jika si
perempuan yang menggodanya dengan baju atau sikap menggoda. Oleh sebab itu semua pria seharusnya mampu mengontrol dorongan seksual
mereka. Mereka yang mengatakan tidak mampu menngontrol dorongan seksual mereka
berarti bohong dan tidak dewasa. Jika pria tidak bisa mengontrol diri sendiri
berarti mereka punya masalah. Tidak akan
pernah dan tidak mungkin ada alasan untuk menyakiti orang lain.
Dalam
konteks contoh kasus diatas seharusnya perempuan mendapat perlakuan yang
sama (gender) sehingga tidak terjadi pembatasan peran, penyingkiran atau pilih
kasih yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi, sehingga tidak
tercipta adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, seperti hak dalam
bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.
D. Akibat dari Ketimpangan atau Ketidakadilan
Gender
1. 1. Kekerasan Ekonomi
Merupakan
setiap tindakan yang mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi atau
tereksploitasi. Seperti kaum perempuan mendapatkan warisan lebih kecil
daripada kaum laki-laki, kemungkinan tidak diberi uang belanja oleh suami.
Dan dalam hubungan kerja, perempuan sering mendapatkan upah lebih rendah
daripada upah laki-laki.
2. Marginalisasi
merupakan
suatu kondisi dimana posisi perempuan terpinggirkan, seperti dalam hal kerja
pihak perusahaan cenderung menekan upah buruh perempuan, karena perempuan
dianggap tidak banyak menuntut meskipun upah mereka lebih rendah dari
laki-laki, selain itu karena mereka dianggap bukan pencari nafkah utama. Selain
itu kondisi kerja mereka buruk seperti tempat dan situasi kerja yang
membahayakan kesehatan, tidak adanya jaminan keselamatan, dan kesehatan kerja (K3), tidak adanya
jaminan sosial (Jamsostek), dan mereka tidak pernah mendapatkan cuti haid. Marginalisasi juga berarti
meminggirkan perempuan menjadi pekerja sektor informal yang jauh dari akses
perlindungan hukum, dengan kondisi seperti penghasilannya tidak menentu dan
tidak berkesinambungan juga waktu
atau jam kerjanya panjang.
3. Kekerasan
Sosial
yaitu berupa Domestifikasi, dimana perempuan dianggap bertanggung jawab
terhadap pengurusan rumah tangga. Mereka tetap dituntut untuk mengurus rumah
tangga dan mengasuh anak walaupun mereka bekerja mencari nafkah (produksi). Hal
ini menyebabkan banyak kaum perempuan terutama yang sudah berumah tangga
ingin bekerja dekat dengan rumah agar tetap bisa mengurus rumah tangganya.
4. Beban
kerja yang berlebih
Merupakan tuntutan terhadap kaum
perempuan untuk tetap memikirkan dan membagi waktunya dalam mengurus rumah
tangga, melayani suami atau anggota keluarga yang lain dan merawat anak,
walaupun mereka bekerja mencari nafkah (produksi). Sehingga mengakibatkan
jam kerja perempuan menjadi sangat panjang dan beban kerja berlebih. Hal ini juga
yang memungkinkan mereka menjadi kurang istirahat, kelelahan, tidak ada waktu
untuk mengurus diri sendiri, kekurangan waktu luang, kesulitan membagi waktu,
tertekan dan mengalami gangguan hubungan dengan suami, anak atau anggota
keluarga yang lainnya.
5. Tidak
diakui sebagai pencari nafkah keluarga
Kaum perempuan secara de facto
banyak yang bekerja mencari nafkah, bahkan pada perempuan kelas bawah istri
secara tidak langsung dituntut untuk mencari nafkah, dan apabila satu pekerjaan
penghasilannya belum mencukupi, maka mereka akan mencari sumber penghasilan
lainnya. Namun walaupun perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
tetap saja dia dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Hal ini disebabkan,
karena adanya anggapan yang melekat dalam masyarakat patriarki bahwa perempuan
bukan pencari nafkah utama dalam keluarganya dan penghasilan kerja perempuan
dianggap sebagai tambahan penghasilan suami.
6. Kekerasan
fisik, kekerasan priskologis dan kekerasan seksual
Selain mengalami hal-hal diatas,
perempuan juga bisa mengalami kekerasan lain seperti : kekerasan fisik, yaitu setiap sikap dan perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, luka fisik atau cacat pada tubuh. Yang termasuk
kekerasan fisik meliputi pemukulan, beban kerja yang berlebih atau perampasan kemerdekaan
yang sewenang-wenang ( tidak boleh bergaul, tidak boleh menyatakan pendapat,
dsb). Kekerasan psikologis,
yaitu setiap sikap dan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya atau
bahkan hingga gila. Kekerasan seksual,
yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual atau memaksa untuk
berhubungan seksual.
E. Faktor yang Menghambat Keadilan dan
Kesetaraan Gender
Ada banyak faktor penghambat
upaya untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat
kita. Berbagai faktor penghambat yang akan dibahas adalah: faktor budaya,
stereotipe, political will, dan keengganan/ketakutan laki-laki bila perempuan menjadi
pemimpin mereka, serta terakhir adalah kesalahan perempuan sendiri. Pertama
faktor Budaya. Budaya adalah faktor yang paling dominan yang menghambat proses
pembangunan. Misalnya kebudayaan-kebudayaan lokal akan bertentangan dengan
ide-ide modernisasi dan globalisasi dalam pembangunan. Sama halnya dengan isu
gender yang berbau modern dan global berusaha merubah kebiasaan dan pola hidup
yang dianggap lokal dan tradisional. Kedua, faktor stereotipe. Anggapan bahwa
perempuan lemah, emosional, boros, dipenden, tidak sabar, tidak cocok jadi
pemimpin dan lain-lain hanyalah hasil konstruksi sosial-budaya suatu masyarakat
untuk selalu memojokkan perempuan. Tampaknya stereotipe negatif seperti ini
sudah melekat dan dianggap sebagai kodrat bagi perempuan sehingga merupakan
suatu hal yang tidak bisa diubah. Stereotipe seperti ini sudah melekat dalam
pikiran laki-laki dan perempuan dan tampaknya hal ini telah dijadikan senjata
oleh laki-laki untuk menghambat kemajuan bagi perempuan. Ketiga, faktor
political will. Hingga saat ini berbagai peraturan yang mengatur tentang
kesetaraan dan keadilan gender sudah cukup memadai. Namun disayangkan political
will dari pemerintah masih belum tanggap untuk mendukung dan menjalankan
berbagai peraturan tersebut. Landasan idiil(Pancasila) dan landasan
konstitusionil(UUD 1945), GBHN 1999 dan Inpres no:9/2000 secara eksplisit dan
implisit sudah menyinggung tentang kesetaraan dan keadilan jender. Di tambah
lagi dengan berbagai Konvensi PBB yang telah dirativikasi, misalnya Konvensi PBB
yang dirativikasi dengan UU No 7 tahun 1984 tentang penghapusan semua bentuk
diskriminasi terhadap perempuan; Konvensi PBB yang dirativikasi dengan UU No:
68 tahun 1968 tentang hak berpolitik perempuan; Konvensi ILO Nomor 100 tentang
persamaan hak untuk perlakuan yang adil; Konvensi ILO No: 111 dirativikasi
dengan UU No:21/1999 tentang diskriminasi mengenai upah dan jabatan. Masalahnya
pemerintah masih enggan untuk menindaklanjuti berbagai peraturan tersebut. Hal
ini mungkin juga dilandasi oleh faktor budaya dan agama di atas yang
seolah-olah hanya melegalkan posisi perempuan sebagai subordinatif bagi
laki-laki. Apalagi bila kebijakan itu menyentuh kepentingan agama, maka
pemerintahpun harus berhati-hati. Keempat, ketakutan kaum lelaki pada
perempuan. Faktor ketakutan ini wajar, karena sejak jaman Adam dan Hawa
laki-laki selalu menang, dan perempuan disalahkan. Laki-laki adalah kepala
rumah tangga dan sumber utama/tulang punggung ekonomi keluarga. Ada kekawatiran
bila perempuan menjadi pemimpin sementara suaminya menjadi bahawan isterinya
atau pangkat dan jabatannya jauh di bawah isterinya, akan menimbulkan tekanan
psikologis yang luar biasa. Di samping itu, perempuan yang menjadi pemimpin
agak susah untuk diajak berkolusi karena ketegasan dan kejujuran mereka.
Bayangkan saja seorang guru perempuan yang suaminya nganggur atau “swasta”.
Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan dan harga diri suaminya, yang seharusnya
suaminyalah yang menjadi guru dan tulang punggung ekonomi keluarga. Namun
sebenarnya perasaan seperti itu tidak perlu terjadi bila masing-masing sudah
bisa memahami dan menerima konsep jender yang seharusnya kita praktekkan dalam
kehidupan kita sehari-hari. Kelima, kesalahan perempuan sendiri. Di samping
beberapa faktor di atas, sebenarnya kesenjangan gender antara laki-laki dan
perempuan adalah kesalahan perempuan itu sendiri. Sebenarnya apa yang dihadapi
oleh perempuan pada saat ini bukanlah masalah yang mengganggu mereka, sehingga
timbul sifat apatis dan menyerah pada keadaan. Sifat menyerah pada keadaan ini
dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki hidup muncul dari pengaruh nilai-nilai
agama dan budaya agar bila ada masalah menyerahkan masalah itu pada Tuhan dan
seolah-olah tidak boleh ada usaha lain selain hanya berserah pada Tuhan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhirnya, timbul pertanyaan: Bisakah perempuan berubah dan mensejajarkan peran mereka sama dengan laki-laki ? Jawabnya BISA. Yang terpenting adanya keberanian, kemauan dan kesediaan untuk berubah. Perubahan bisa dilakukan secara sendiri-sendiri melalui kesadaran sendiri, dan melalui perjuangan kolektif organisasi perempuan. Sebagai contoh kecil ada komitmen dari perempuan sendiri untuk tidak mau dimadu, untuk tidak menjadi isteri simpanan, mengadukan ke pihak berwajib bila suami menyiksa; ikut kegiatan partai politik, giat dalam organisasi apa saja, rajin membaca koran dan majalah dan buku-buku ilmiah lainnya untuk meningkatkan pengetahuan. Kemudian merubah arah dan bentuk kegiatan bulanan Dharma Wanita yang mengarah pada upaya peningkatan kesadaran kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Upaya-upaya tersebut tentunya tidak akan mulus tanpa didukung oleh kaum lelaki, dan oleh sebab itu kaum lelaki harus sadar dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan diri terutama peran mereka supaya tidak hanya berkecimpung di sekitar kegiatan reproduksi(domestik) saja. Saya percaya bahwa perempuan juga memiliki kemampuan dan ketangguhan yang sama dengan lelaki dalam semua kesempatan. Cuma disayangkan berbagai kesempatan emas tersebut selalu diserobot oleh laki-laki. Yang terpenting sekarang kita tahu berbagai faktor penghambat kesetaraan dan keadilan jender. Setelah itu kita ditawarkan apakah masih mau dibelenggu oleh faktor penghambat itu atau berusaha keluar dari belenggu tersebut. Ini adalah tantangan sekaligus harapan bagi perempuan. Selamat berjuang.
B. Kritik dan Saran
Tentunya dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa maklah ini jauh dari kata sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar dalam penyusunan makalah yang akan datang akan lebih baik dari yang sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta : PT Raja Grafindo. 1998
Syarbaini, Syahrial. Dasar-Dasar Sosiologi.
Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009
Moore,H.L. 1988. Feminism and Anthropology.
Cambridge: Polity Press.
Saptari,R, 1997. Studi Perempuan: Sebuah Pengantar dalam Saptari,R. dan
Holzner (eds), Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar
Studi Perempuan.
Susilastuti DH, Hudayana,B., dan Hrdyastuti, 1994. Fe¬minisasi Pasar
Numpang Lapak ya gan..Salam kenal
BalasHapusAGEN POKER ONLINE TERPERCAYA DAN TERBESAR DI INDONESIA,BONUS JACPOTNYA TERBESAR
Domino Online
Judi Domino
Agen Judi Terpercaya
Domino Online Indonesia
Agen Poker Online