Rabu, 26 September 2012

Gender dan Kajian Perempuan



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum, keagamaan, maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai ketimpangan dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya ketidakadilan gender.
Pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang stratifikasi sosial. Sedangkan tujuan penyusyunan makalh ini adalah sebagai pemenuhan tugas matakuliah pengantar Sosipologi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca.

B. Batasan Masalah


1. Bagaimana masyarakat di sekitar anda menyebut hal-hal yang bersifat kodrati dan bukan kodrati!
2. Adakah  ketimpangan (ketidakadilan) gender dan kesetaraan di sekitar Anda!

3. Apakah ciri-ciri ketimpangan gender dan keadilan gender  menurut masyarakat di lingkungan Anda!
4. Apa akibat terjadinya ketimpangan (ketidakadilan) gender baik bagi individu yang mengalami atau pun lingkungan mereka berada (tempat tinggal, tempat kerja dll)!
5. Apakah faktor yang mempengaruhi dan menghambat  terjadinya keadilan (kesetaraan) gender  di sekitar Anda!



BAB II
PEMBAHASAN


A. Hal-hal yang Bersifat Kodrati dan bukan Kodrati didalam Masyarakat


Mengapa selama ini orang sering mencampuradukkan pengertian Gender dan kodrat? Dikarenakan perbedaan kodrat yang dimiliki perempuan dan laki-laki tersebut, masyarakat mulai memilah-milah peran sosial seperti apa yang (dianggap) pantas untuk laki-laki dan bagian mana yang (dianggap) sesuai untuk perempuan. Misalnya, hanya karena kodratnya perempuan mempunyai rahim dan bisa melahirkan anak, maka kemudian berkembang anggapan umum di masyarakat bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab mengurus anak. Selanjutnya, anggapan tersebut semakin berkembang jauh dimana perempuan dipandang tidak pantas sibuk di luar rumah karena tugas perempuan mengurus anak akan terbengkalai. Kebiasaan ini lama kelamaan berkembang di masyarakat menjadi suatu tradisi dimana perempuan dianalogikan dengan pekerjaanpekerjaan domestik dan ‘feminin’ sementara laki-laki dengan pekerjaan-pekerjaan publik dan ‘maskulin’. Peran Gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan. Peran Gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai hasil bentukan sosial, tentunya peran Gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi dan tempat yang berbeda sehingga sangat mungkin dipertukarkan diantara laki-laki dan perempuan. Mengurus anak, mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, dll) adalah peran yang bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, sehingga bisa bertukar tempat tanpa menyalahi kodrat. Dengan demikian, pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa kita istilahkan sebagai peran Gender. Jika peran Gender dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan bisa disesuaikan dengan kondisi yang dialami seseorang, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menganggap aneh seorang suami yang pekerjaan sehari-harinya memasak dan mengasuh anak-anaknya, sementara istrinya bekerja di luar rumah. Karena di lain waktu dan kondisi, ketika sang suami memilih bekerja di luar rumah dan istrinya memilih untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, juga bukan hal yang dianggap aneh.

B. Ketimpangan dan kesetaraan Gender di Lingkungan Masyarakat

Kasus
Di daerah kita masing-masing sering kita jumpai
seorang istri yang memilih bekerja di rumah dan suaminya memilih bekerja buruh di pabrik. Pada saat mengambil keputusan di keluarga, istri bebas menentukan apakah dia ingin bekerja di luar atau di dalam rumah. Demikian juga sang suami tidak keberatan untuk bertukar peran suatu saat istrinya mempunyai kesempatan bekerja di pabrik. Dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa telah tercipta kesetaraan Gender di dalam keluarga tersebut. Istri tidak dipaksa suami untuk tinggal di rumah dan suami tidak diharuskan bekerja di pabrik. Mereka memilih peran tersebut atas dasar kemampuan dan keinginan masing-masing pihak, tidak ada paksaan ataupun tekanan dari istri maupun suami. Kesetaraan Gender tercipta manakala istri dan suami mempunyai peluang yang sama untuk memilih jenis pekerjaan yang disukainya dan mempunyai posisi yang sama saat mengambil keputusan dalam keluarga. Sedangkan pada kebanyakan kasus, korban KDRT adalah perempuan. Tentu saja laki-laki pun bisa jadi korban kekerasan dalam rumah tangga meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan. Dari sekitar 10 sampai 69 persen dari pasangan hidup di dunia, perempuan menjadi korban kekerasan fisik dari pasangannya. Prosentase ini belum termasuk pada kekerasan psikis (mental) dan seksual, yang tentunya menimbulkan dampak lebih panjang dan kompleks bukan hanya bagi korban kekerasan tersebut (perempuan) tapi juga bagi yang menyaksikan kekerasan tersebut terjadi di dalam keluarga, yaitu anak-anak.

Penjelasan

Tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa membicarakan kesetaraan Gender adalah sesuatu yang mengada-ada. Hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda. ‘Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan biaya saja, toh nantinya akan kembali juga masuk dapur’. Pernah mendengar ungkapan seperti itu? Hal ini masih kerap terlontar saat dipertanyakan apakah anak perempuan atau laki-laki yang akan diberikan kesempatan untuk meneruskan sekolah. Dari ungkapan tersebut sudah dapat kita lihat ada dua hal yang mencerminkan tidak adanya kesetaraan Gender yaitu: Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki  untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan lingkungannya, Laki-laki tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka memilih ‘masuk  dapur’. Pemikiran seperti ini umumnya muncul terutama pada kelompok masyarakat tradisional-patriarkhi yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur. Bukan kodratnya perempuan untuk masuk dapur, karena kegiatan memasak di dapur tidak ada kaitannya dengan ciri-ciri biologis yang ada pada perempuan. Kegiatan memasak di dapur (atau kegiatan domestik lainnya) adalah suatu bentuk pilihan pekerjaan dari sekian banyak jenis pekerjaan yang tersedia (misalnya guru, dokter, pilot, supir, montir, pedagang, dll), yang  tentu saja boleh dipilih oleh perempuan ataupun laki-laki. Kesetaraan Gender memberikan pilihan, peluang dan kesempatan tersebut sama besarnya pada perempuan dan laki-laki.


C. Ciri-ciri Ketimpangan dan Keadilan Gender didalam Masyarakat

Bentuk-bentuk atau ciri-ciri ketidakadilan gender itu antara lain peminggiran (Marginalisasi), penomorduaan (Subordinasi), pelebelan (Stereotip), kekerasan (Violence), beban kerja berlebihan (Multiple Burden).
Contoh ketidakadilan gender pada remaja,  jika terjadi kehamilan pada remaja putri yang masih sekolah maka hanya remaja putri tersebut yang dikeluarkan dari sekolah sementara remaja putra yang menghamili tidak dikeluarkan. Seharusnya jika mungkin, kedua-duanya tetap diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa seorang pria tidak dapat dimintai pertanggung jawaban jika si perempuan yang menggodanya dengan baju atau sikap menggoda. Oleh sebab itu semua pria seharusnya mampu mengontrol dorongan seksual mereka. Mereka yang mengatakan tidak mampu menngontrol dorongan seksual mereka berarti bohong dan tidak dewasa. Jika pria tidak bisa mengontrol diri sendiri berarti mereka punya masalah. Tidak akan pernah dan tidak mungkin ada alasan  untuk menyakiti orang lain.
Dalam konteks contoh kasus diatas seharusnya perempuan mendapat perlakuan yang sama (gender) sehingga tidak terjadi pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi, sehingga tidak tercipta adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, seperti hak dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.


D. Akibat dari Ketimpangan atau Ketidakadilan Gender

1.   1. Kekerasan Ekonomi
Merupakan setiap tindakan yang mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi atau tereksploitasi. Seperti  kaum perempuan mendapatkan warisan lebih kecil daripada kaum laki-laki, kemungkinan tidak diberi uang belanja oleh suami. Dan  dalam hubungan kerja, perempuan sering mendapatkan upah lebih rendah daripada upah laki-laki.
2.      Marginalisasi
merupakan suatu kondisi dimana posisi perempuan terpinggirkan, seperti dalam hal kerja pihak perusahaan cenderung menekan upah buruh perempuan, karena perempuan dianggap tidak banyak menuntut meskipun upah mereka lebih rendah dari laki-laki, selain itu karena mereka dianggap bukan pencari nafkah utama. Selain itu kondisi kerja mereka  buruk seperti tempat dan situasi kerja yang membahayakan kesehatan, tidak adanya jaminan keselamatan, dan kesehatan kerja (K3), tidak adanya jaminan sosial (Jamsostek),  dan mereka tidak pernah mendapatkan cuti haid. Marginalisasi juga berarti meminggirkan perempuan menjadi pekerja sektor informal yang jauh dari akses perlindungan hukum, dengan kondisi seperti penghasilannya tidak menentu dan tidak berkesinambungan juga waktu atau jam kerjanya panjang.
3.      Kekerasan Sosial
yaitu berupa Domestifikasi, dimana perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap pengurusan rumah tangga. Mereka tetap dituntut untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak walaupun mereka bekerja mencari nafkah (produksi). Hal ini menyebabkan banyak kaum  perempuan terutama yang sudah berumah tangga ingin bekerja dekat dengan rumah agar tetap bisa mengurus rumah tangganya.
4.      Beban kerja yang berlebih
Merupakan tuntutan terhadap kaum perempuan untuk tetap memikirkan dan membagi waktunya dalam mengurus rumah tangga, melayani suami atau anggota keluarga yang lain dan merawat anak, walaupun mereka bekerja mencari nafkah (produksi). Sehingga  mengakibatkan jam kerja perempuan menjadi sangat panjang dan beban kerja berlebih. Hal ini juga yang memungkinkan mereka menjadi kurang istirahat, kelelahan, tidak ada waktu untuk mengurus diri sendiri, kekurangan waktu luang, kesulitan membagi waktu, tertekan dan mengalami gangguan hubungan dengan suami, anak atau anggota keluarga yang lainnya.
5.      Tidak diakui sebagai pencari nafkah keluarga
Kaum perempuan secara de facto banyak yang bekerja mencari nafkah, bahkan pada perempuan kelas bawah istri secara tidak langsung dituntut untuk mencari nafkah, dan apabila satu pekerjaan penghasilannya belum mencukupi, maka mereka akan mencari sumber penghasilan lainnya. Namun walaupun perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tetap saja dia dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Hal ini disebabkan, karena adanya anggapan yang melekat dalam masyarakat patriarki bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama dalam keluarganya dan penghasilan kerja perempuan dianggap sebagai tambahan penghasilan suami.
6.      Kekerasan fisik, kekerasan priskologis dan kekerasan seksual
Selain mengalami hal-hal diatas, perempuan juga bisa mengalami kekerasan lain seperti : kekerasan fisik, yaitu setiap sikap dan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, luka fisik atau cacat pada tubuh. Yang termasuk kekerasan fisik meliputi pemukulan, beban kerja yang berlebih atau perampasan kemerdekaan yang sewenang-wenang ( tidak boleh bergaul, tidak boleh menyatakan pendapat, dsb). Kekerasan psikologis, yaitu setiap sikap dan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya atau bahkan hingga gila. Kekerasan seksual, yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual atau memaksa untuk berhubungan seksual.


E. Faktor yang Menghambat Keadilan dan Kesetaraan Gender

Ada banyak faktor penghambat upaya untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat kita. Berbagai faktor penghambat yang akan dibahas adalah: faktor budaya, stereotipe, political will, dan keengganan/ketakutan laki-laki bila perempuan menjadi pemimpin mereka, serta terakhir adalah kesalahan perempuan sendiri. Pertama faktor Budaya. Budaya adalah faktor yang paling dominan yang menghambat proses pembangunan. Misalnya kebudayaan-kebudayaan lokal akan bertentangan dengan ide-ide modernisasi dan globalisasi dalam pembangunan. Sama halnya dengan isu gender yang berbau modern dan global berusaha merubah kebiasaan dan pola hidup yang dianggap lokal dan tradisional. Kedua, faktor stereotipe. Anggapan bahwa perempuan lemah, emosional, boros, dipenden, tidak sabar, tidak cocok jadi pemimpin dan lain-lain hanyalah hasil konstruksi sosial-budaya suatu masyarakat untuk selalu memojokkan perempuan. Tampaknya stereotipe negatif seperti ini sudah melekat dan dianggap sebagai kodrat bagi perempuan sehingga merupakan suatu hal yang tidak bisa diubah. Stereotipe seperti ini sudah melekat dalam pikiran laki-laki dan perempuan dan tampaknya hal ini telah dijadikan senjata oleh laki-laki untuk menghambat kemajuan bagi perempuan. Ketiga, faktor political will. Hingga saat ini berbagai peraturan yang mengatur tentang kesetaraan dan keadilan gender sudah cukup memadai. Namun disayangkan political will dari pemerintah masih belum tanggap untuk mendukung dan menjalankan berbagai peraturan tersebut. Landasan idiil(Pancasila) dan landasan konstitusionil(UUD 1945), GBHN 1999 dan Inpres no:9/2000 secara eksplisit dan implisit sudah menyinggung tentang kesetaraan dan keadilan jender. Di tambah lagi dengan berbagai Konvensi PBB yang telah dirativikasi, misalnya Konvensi PBB yang dirativikasi dengan UU No 7 tahun 1984 tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan; Konvensi PBB yang dirativikasi dengan UU No: 68 tahun 1968 tentang hak berpolitik perempuan; Konvensi ILO Nomor 100 tentang persamaan hak untuk perlakuan yang adil; Konvensi ILO No: 111 dirativikasi dengan UU No:21/1999 tentang diskriminasi mengenai upah dan jabatan. Masalahnya pemerintah masih enggan untuk menindaklanjuti berbagai peraturan tersebut. Hal ini mungkin juga dilandasi oleh faktor budaya dan agama di atas yang seolah-olah hanya melegalkan posisi perempuan sebagai subordinatif bagi laki-laki. Apalagi bila kebijakan itu menyentuh kepentingan agama, maka pemerintahpun harus berhati-hati. Keempat, ketakutan kaum lelaki pada perempuan. Faktor ketakutan ini wajar, karena sejak jaman Adam dan Hawa laki-laki selalu menang, dan perempuan disalahkan. Laki-laki adalah kepala rumah tangga dan sumber utama/tulang punggung ekonomi keluarga. Ada kekawatiran bila perempuan menjadi pemimpin sementara suaminya menjadi bahawan isterinya atau pangkat dan jabatannya jauh di bawah isterinya, akan menimbulkan tekanan psikologis yang luar biasa. Di samping itu, perempuan yang menjadi pemimpin agak susah untuk diajak berkolusi karena ketegasan dan kejujuran mereka. Bayangkan saja seorang guru perempuan yang suaminya nganggur atau “swasta”. Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan dan harga diri suaminya, yang seharusnya suaminyalah yang menjadi guru dan tulang punggung ekonomi keluarga. Namun sebenarnya perasaan seperti itu tidak perlu terjadi bila masing-masing sudah bisa memahami dan menerima konsep jender yang seharusnya kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kelima, kesalahan perempuan sendiri. Di samping beberapa faktor di atas, sebenarnya kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan adalah kesalahan perempuan itu sendiri. Sebenarnya apa yang dihadapi oleh perempuan pada saat ini bukanlah masalah yang mengganggu mereka, sehingga timbul sifat apatis dan menyerah pada keadaan. Sifat menyerah pada keadaan ini dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki hidup muncul dari pengaruh nilai-nilai agama dan budaya agar bila ada masalah menyerahkan masalah itu pada Tuhan dan seolah-olah tidak boleh ada usaha lain selain hanya berserah pada Tuhan.



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Akhirnya, timbul pertanyaan: Bisakah perempuan berubah dan mensejajarkan peran mereka sama dengan laki-laki ? Jawabnya BISA. Yang terpenting adanya keberanian, kemauan dan kesediaan untuk berubah. Perubahan bisa dilakukan secara sendiri-sendiri melalui kesadaran sendiri, dan melalui perjuangan kolektif organisasi perempuan. Sebagai contoh kecil ada komitmen dari perempuan sendiri untuk tidak mau dimadu, untuk tidak menjadi isteri simpanan, mengadukan ke pihak berwajib bila suami menyiksa; ikut kegiatan partai politik, giat dalam organisasi apa saja, rajin membaca koran dan majalah dan buku-buku ilmiah lainnya untuk meningkatkan pengetahuan. Kemudian merubah arah dan bentuk kegiatan bulanan Dharma Wanita yang mengarah pada upaya peningkatan kesadaran kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Upaya-upaya tersebut tentunya tidak akan mulus tanpa didukung oleh kaum lelaki, dan oleh sebab itu kaum lelaki harus sadar dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan diri terutama peran mereka supaya tidak hanya berkecimpung di sekitar kegiatan reproduksi(domestik) saja. Saya percaya bahwa perempuan juga memiliki kemampuan dan ketangguhan yang sama dengan lelaki dalam semua kesempatan. Cuma disayangkan berbagai kesempatan emas tersebut selalu diserobot oleh laki-laki. Yang terpenting sekarang kita tahu berbagai faktor penghambat kesetaraan dan keadilan jender. Setelah itu kita ditawarkan apakah masih mau dibelenggu oleh faktor penghambat itu atau berusaha keluar dari belenggu tersebut. Ini adalah tantangan sekaligus harapan bagi perempuan. Selamat berjuang.

B. Kritik dan Saran

Tentunya dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa maklah ini jauh dari kata sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar dalam penyusunan makalah yang akan datang akan lebih baik dari yang sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA


Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo. 1998
Syarbaini, Syahrial. Dasar-Dasar Sosiologi. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009

Moore,H.L. 1988. Feminism and Anthropology. Cambridge: Polity Press.
Saptari,R, 1997. Studi Perempuan: Sebuah Pengantar dalam Saptari,R. dan
Holzner (eds), Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar
Studi Perempuan.
Susilastuti DH, Hudayana,B., dan Hrdyastuti, 1994. Fe¬minisasi Pasar

1 komentar:

  1. Numpang Lapak ya gan..Salam kenal
    AGEN POKER ONLINE TERPERCAYA DAN TERBESAR DI INDONESIA,BONUS JACPOTNYA TERBESAR
    Domino Online
    Judi Domino
    Agen Judi Terpercaya
    Domino Online Indonesia
    Agen Poker Online

    BalasHapus