Manusia mengalami perjalanan nasib yang berbeda dalam hidupnya. Tak ada yang
ingin hidup susah. Namun, jika perjuangan yang telah dilakukan tak bisa mengubah nasib seseorang, maka cara terbaik adalah menikmati hidup apa
adanya.
Pak Sadimin (35 tahun) asal Purworejo telah mengecap manis dan pahitnya kehidupan. Dalam kurun waktu 10 tahun, hidupnya tak mengalami
perubahan. Ia masih setia dengan profesinya sebagai tukang becak. Bapak satu
putera yang telah bercerai dengan istrinya ini dulunya adalah penjual siomay.
Keinginan mencari pengalaman lain membuatnya menjadi tukang becak. Dengan
penghasilan rata-rata antara Rp 10.000 - Rp. 15.000 perharinya, tukang becak yang biasa
mangkal di depan RSUD dr. Soetomo ini harus
menyisihkan Rp 3000,00 untuk disetorkan ke pemilik becak. Sedang untuk tempat
tinggal dan mandi, ia tak begitu ambil pusing. Ia biasa tidur dalam becaknya.
Untuk mandi, ia lakukan di sumur umum.
Sedang Pak Sastro (70 tahun) mempunyai cerita yang agak berbeda dengan Pak Sadimin. Laki-laki yang
masih segar di usia senjanya telah menjadi tukang becak selama 35 tahun. Ia yang mengaku asal Purwokerto ini dulunya adalah kuli
pelabuhan. Karena begitu besar resiko yang akan ditangungnya jika bekerja
sebagai kuli pelabuhan, anaknya menyuruhnya berhenti menjadi kuli pelabuhan dan
mencari pekerjaan lain. Akhirnya ia pun menjadi tukang becak yang biasanya
mangkal di depan RSUD dr. Soetomo. Rata-rata Pak
Sastro mendapat uang Rp 5000 sehari. Kecil memang! Tapi itu cukup mencukupi
kebutuhannya dan isrinya. Sedang anak-anaknya sudah menikah dan mencari nafkah
sendiri. Pendapatan itu sudah bersih. Artinya tidak dipotong untuk membayar
uang sewa karena becak yang dikendarainya adalah miliknya sendiri. Dengan
santai dan “nerimo” ia menjalani hidup yang
digariskan untuk dijalaninya.
Kisah-kisah duka banyak juga mewarnai kehidupan para tukang becak. Pak Suparman
(33 tahun), tukang becak asal Purwodadi ini mengalami sebuah peristiwa yang tak bisa
ia lupakan selama hidupnya. Pada tahun 1998 ketika krisis moneter mencapai
puncaknya, dia mengantar seorang penumpang. Sesampai di tempat yang ditujunya,
penumpang itu memintanya masuk ke rumah untuk mengambil bayarannya. Ia pun
memenuhi permintaan itu. Sayangnya, setelah ia ke luar rumah, ia tak lagi
menemukan becaknya. Becaknya raib tak berbekas dicuri orang. Bapak dua putera
ini mau tak mau jarus mengganti becak tersebut. Tapi, ia tak kapok menjadi
tukang becak. Laki-laki yang dulunya petani (sekarang pekerjaan itu dilanjutkan
istrinya) tetap menekuni profesinya sebagai tukang becak dan ia akan pulang ke
Purwodadi satu bulan sekali untuk memberikan jatah kepada isterinya sebesar Rp 300.000 sekali pulang. Sama dengan Pak Sadimin, Pak Suparman juga harus
menyisihkan hasil narik becaknya sebesar Rp 3000 untuk disetorkan ke pemilik
becak.
Kisah lain dimiliki oleh Pak Sutiyo (50 tahun), tukang becak yang mangkal di Jl. Karang Menjangan jadi tukang
becak selama 30 tahun. Dulunya ia adalah tentara tapi ketika diangkat dia langsung ditugaskan di
Ambon. Penugasan ini membuatnya mengundurkan diri sebagai tentara. Pilihan ini
ia lakukan karena menjadi tentara besar resikonya. Kalau sekarang ia menjadi
tukang becak, itu bukan pilihannya. Tapi, ketidakpunyaan ketrampilan membuatnya
menjalani profesi itu.
Pak Jumono (52 tahun) asal Yogya menceritakan masa lalunya sebagai buruh pabrik sebelum bekerja
sebagai tukang becak. Ia dulu bekerja di pabrik Kain di Tangerang. Karena kena
PHK, ia menjadi tukang becak sampai saat ini. Dua belas tahun sudah ia
menjalani kehidupan sebagai tukang becak. Usia tua menggerogoti kekuatannya
tapi ia masih bisa menyekolahkan anaknya hingga lulus STM. Laki-laki ini sehari
rata-rata mendapat uang Rp 20.000. Ia cukup senang menjalani profesi ini karena
uang yang didapatnya bisa langsung digunakan. Bandingkan dengan kerja di pabrik yang harus dua minggu atau satu bulan
baru kemudian gajian. Bapak berputera enam ini biasa mangkal di Jl. Karang
Menjangan.
Kisah-kisah di atas adalah kisah nyata yang tak semua orang menikmatinya. Tapi,
harapannya kita bisa bercermin dari kehidupan mereka. Kalau kita mendapat hidup
lebih enak dari mereka alangkah baiknya kalau kita bersyukur kepada Allah
dengan menyisihkan sedikit harta kita untuk orang-orang yang kurang beruntung
seperti mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar