A.
Pendahuluan
Pendidikan
di era globalisasi menghadapi berbagai tantangan yang semakin berat. Cepatnya
perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat, di satu
sisi dapat membawa kemajuan, namun juga sekaligus melahirkan kegelisahan pada
masyarakat. Salah satu hal yang menggelisahkan adalah persoalan moral. Orang
sepertinya tidak lagi memiliki pegangan akan norma-norma kebaikan. Dalam
situasi ini, terutama dalam pendidikan, dibutuhkan sikap yang jelas arahnya dan
norma-norma kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pendidikan
tidak hanya dituntut untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan perubahan sosial
yang ada, namun lebih dari itu, pendidikan juga dituntut untuk mampu
mengantisipasi perubahan dalam menyiapkan generasi muda untuk mengarungi
kehidupannya di masa yang akan datang.
Salah satu
tantangan pendidikan masa depan adalah tetap berlangsungnya pendidikan nilai,
supaya nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dalam perilaku, dapat
ditransformasikan dari generasi ke generasi, khususnya dalam rangka menepis
berbagai dampak negatif dari perubahan sosial. Namun dalam kenyataannya,
seperti diungkapkan oleh Sudarminta (Atmadi, 2000:3) sungguhkah kegiatan
pendidikan selama ini, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah sudah
kita rancang dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh akan perlunya
mempersiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantangan hidupnya di masa
depan?. Institusi pendidikan, terutama sekolah, selama ini dianggap sebagai
salah satu lembaga sosial yang paling konservatif dan statis dalam masyarakat.
Sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sering kurang mampu mengikuti
dan menanggapi arus perubahan cepat yang terjadi di masyarakat. Supaya kegiatan
pendidikan mampu membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan hidupnya di
masa depan, harus diantisipasi (berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang
ada), apa yang menjadi tantangan hidup mereka di masa depan.
Dalam skala
mikro, paradigma lama yang dijadikan sebagai dasar praksis pembelajaran di
hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatian pada kemampuan otak
kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang dikembangkan secara
sistematis dan pedagogis (Suyanto dalam Sismono, 2006:128). Supaya pendidikan
bermakna bagi kehidupan siswa, maka dalam proses pendidikan, guru harus sanggup
mengembangkan aspek kognitif siswa (menyangkut knowledge) dan
afektif (menyangkut moral and social action) secara simultan.
Pendidikan
tidak hanya bertujuan menghasilkan pribadi yang cerdas dan terampil, tetapi
juga menghasilkan pribadi yang memiliki nurani dan budi pekerti.Tanpa adanya
integritas pribadi, kecerdasan dan ketrampilan bisa saja disalahgunakan untuk
hal-hal yang merugikan. Untuk itu, disadari pentingnya pengembangan budi
pekerti di pusat-pusat pendidikan, termasuk di sekolah.
Dalam
kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas sekolah misalnya, sekurangnya ada
tiga aspek pokok yang perlu diperhatikan, yaitu : proses
belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan kultur sekolah
(Oepdikbud, 1999:10). Dua hal yang disebut pertama sudah banyak menjadi fokus
perhatian berbagai pihak yang peduli pada peningkatan kualitas pendidikan.
Namun faktor yang ketiga, yaitu kultur sekolah, belum banyak diangkat sebagai
salah satu faktor yang menentukan, termasuk dalam upaya pengembangan moral
siswa di sekolah.
B.
Pembahasan
Sekolah sebagai satuan institusi
pendidikan memiliki fungsi strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
Sebagai satuan terdepan (the front liner), sekolah memiliki tugas
merealisasikan rumusan-rumusan makro pengembangan SDM yang mengacu pada
kriteria pemenuhan 8 standar nasional pendidikan ke dalam skala prioritas mikro
pengembangan sekolah. Dalam mengusung visi dan misinya sebagai lembaga layanan
publik untuk mencerdaskan anak bangsa, maka diperlukan langkah-langkah kongkret
pelaksanaan program sekolah, sehingga visi dan misi yang diusungnya tidak
sekedar jargon figuratif etalase sekolah, dan yang dinilai paling fundamental
adalah bagaimana program-program yang dilaksanakan tersebut mampu mengokohkan
kultur sekolah(school attitude, school culture) dalam konteks
upaya-upaya menumbuhkan kesadaran peka budaya belajar dan budaya mutu serta
menciptakan masyarakat sekolah yang kondusif (condusive school society)
yang dapat membentuk atmosfir pendidikan yang sehat di lingkungan sekolah.
Kultur sekolah pada dasarnya adalah
suatu kondisi yang terbentuk dari seluruh sikap dan tindakan individu atau
kelompok dalam komunitas sekolah yang cenderung untuk melakukan segala
aktivitas berbasis belajar sehingga menjadi ciri, watak dan kebiasaan yang
dimiliki. Kokohnya budaya sekolah diawali dengan membangun kesamaan persepsi
bahwa sekolah yang didalamnya terdapat anggota komunitas interaktif kegiatan
belajar mengajar adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan untuk membangun
masyarakat yang berilmu, berbudaya dan berkeadaban (bermoral, beretika, dalam
wujud karakter yang berakar kepada nilai-nilai agama, tradisi, adat dan
kebiasaan positif) demi mewujudkan cita-cita dan harapan masa
depan. Secara konseptual Deal dan Peterson (1999) menyampaikan teorinya
bahwa budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, karyawan
serta siswa sehingga menjadi ciri khas, karakter atau watak yang dapat
membentuk citra sekolah di masyarakat. Dilain pihak studi yang dilakukan Leslie
J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr menemukan adanya pengaruh dari lima dimensi
budaya sekolah yaitu: tantangan akademik, prestasi, penghargaan terhadap
prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan. Namun pada
intinya penguatan budaya sekolah akan bermuara pada efektivitas pembelajaran
yang tidak hanya didasarkan pada seberapa banyak ilmu pengetahuan dapat diserap
oleh peserta didik, namun lebih ditekankan pada seberapa jauh ilmu pengetahuan
tersebut dirasakan manfaatnya oleh peserta didik dalam wujud kompetensi yang
teraplikasi ke dalam bentuk kecakapan hidup (life skills)
yang dapat dipergunakan di lapangan kehidupan nyata.
Saat ini kita perlu mencermati
persoalan yang sedang dihadapi berkaitan dengan desentralisasi
pengelolaan pendidikan yang telah menempatkan sekolah sebagai unit utama basis
peningkatan kualitas yang tentunya akan sangat berpengaruh pada perubahan
kultur sekolah karena mekanisme kerja operasionalnya akan menitikberatkan pada
pemberdayaan sekolah itu sendiri. Salah satunya adalah dalam hal
orientasi kerja dimungkinkan akan mengakar dari inovasi- inovasi
kreativitas serta mampu menghilangkan orientasi kerja yang
serba instruktif (top down oriented) walaupun tampaknya sekolah belum
mampu sepenuhnya mengembangkan ke arah itu karena pengelolaan sekolah
saat ini baru bersifat swa-manajemen (self managing school) yang
dilaksanakan berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang masih sentralistik sehingga
belum dapat membangun penyelenggaraan secara mandiri (self governing
school ).
Oleh karenanya realitas sekolah masih berada pada posisi pelaksana
operasional kebijakan pendidikan atau user dari juknis juklak
yang masih bersifat trial and error. Hal ini diasumsikan mungkin
pemerintah belum bisa sepenuhnya memberikan kewenangan manajerial berkerangka
manajemen berbasis sekolah sebagai bentuk otonomi yang diamanatkan
Undang-undang Sisdiknas karena infrastruktur sekolah yang dinilai belum
siap menyelenggarakannya.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan upaya memperkokoh
kultur sekolah Pertama,
konsep pengembangan pendidikan yang dibuat oleh para pengambil kebijakan di
tingkat pusat harus memiliki kejelasan serta terkondisi dalam bentuk transfer to public ownership (pemahaman
mayoritas pelaksana pendidikan). Konsep pendidikan hendaknya berpijak di atas
peta masalah sehingga menyentuh aspek-aspek substansial yang harus
dikembangkan. Saat ini masalah pendidikan tidak dapat direduksi hanya sebatas
masalah institusional pendidikan melainkan sebagai masalah bersegi banyak yang
memiliki interdependensi dengan masalah lain dalam bentuk circular causation. Pendidikan dalam hal ini telah menerima imbas
dari efek kumulatif problematika sosial-ekonomi-kultural. Dengan keadaan
seperti itu maka peta masalah akan mengarah pada tuntutan emosional akan adanya
konsep pendidikan yang lebih praktis yang dapat menjembatani dunia teoritis
konsepsional dengan kebutuhan praktis yang lebih mendesak Untuk itu
sekolah tidak boleh disibukkan untuk menterjemahkan rumusan kebijakan yang juga
sering mengundang kontroversi serta polemik berkepanjangan. KTSP berbaju
desentralisasi, paradoks dengan fakta adanya penggiringan ke arah penyeragaman,
UN yang mengkamuflase standar kompetensi lulusan dengan nilai batas kelulusan
yang nampak dipaksakan, adanya budaya latah SKM, SSN yang dipublikasikan kepada
masyarakat oleh sekolah penerima dana block
grant, dan banyak lagi contoh persoalan yang mengundang kontroversi dan
polemik yang diakibatkan oleh kekurang jelasan konsep pendidikan.
Kedua,
secara fenomenal sekolah dihadapkan pada persinggungan encounter of values, pertemuan dua sistem nilai yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Pranata sekolah yang dibangun di atas prinsip
humanistik edukasional dalam kerangka pembentukan watak dan pengembangan potensi
peserta didik berhadapan dengan pranata sosial di luar lingkungan sekolah
yang memiliki problematika multi dimensional. Sekolah sebagai tempat
melatih peserta didik untuk memahami arti kehidupan melalui pembentukan
karakter, penanaman disiplin serta penggalian potensi berhadapan dengan
berbagai keprihatinan sosial di luar lingkungannya yang ditengarai dengan
adanya bentuk-bentuk penyimpangan serta pelanggaran hukum dan tata tertib
kehidupan. Potret sekolah saat ini agaknya telah terkontaminasi penyakit
sosial. Penyalahgunaan obat terlarang, panyimpangan perilaku seksual, tawuran,
munculnya geng-geng anak sekolah, merambahnya bentuk pornografi dan pornoaksi
serta penyimpangan penggunaan media jejaring sosial facebook yang akhir-akhir
ini menjadi berita utama di media masa, merupakan hal yang biasa terjadi di
kalangan pelajar. Hal ini berimplikasi pada kebekuan dan kekakuan sistem
sekolah dalam proses interaksi sosial edukasional. Kebekuan sistem nampak
dalam rutinitas keseharian sekolah yang menampilkan wajahnya dengan
simbol-simbol normatif an sich yang
tidak menyentuh kesadaran. Penghormatan kepada guru, pelaksanaan upacara
bendera, tata-tertib berpakaian dan kerapian diri, disiplin belajar, dan
terkadang masih terjadi pendekatan otoritas dan doktrinitas yang mengarah pada
kekerasan dan penekanan mental (fit of
depression) serta kamuflase perilaku peserta didik, adalah contoh-contoh symbol an sich yang sering menjadi
kendala yang merintangi proses interaksi belajar mengajar yang pada
gilirannya mempengaruhi proses evaluasi untuk menentukan keberhasilan belajar. Untuk
itu sekolah harus berupaya melakukan penguatan reciprocal relationship, hubungan timbal balik serta kerjasama yang
kuat dengan orang tua dan masyarakat pemangku kepentingan (stakeholder) untuk memperkokoh kultur sekolah sehingga tidak
terkontaminasi berbagai penyakit sosial yang berdampak citra buruk terhadap
sekolah.
Ketiga, berkenaan dengan sekolah
sebagai kesatuan sosial edukasional. Sekolah yang terstruktur secara hierarkis
dalam jabatan fungsional dan struktural serta peserta didik sebagai anggota
komunitas interaktif kegiatan belajar mengajar, adalah sebuah organisasi yang
memiliki tujuan. Sebagai sebuah sistem interaksi sosial yang dinamis, sekolah
dapat dianalogikan dengan organisasi sepakbola. Sekolah diumpamakan sebagai
lapangan sepakbola, kepala sekolah diibaratkan sebagai manajer, guru sebagai
pelatih, peserta didik sebagai pemain, peraturan tata tertib sebagai wasit dan
orang tua beserta masyarakat sebagai penonton yang mendukung terciptanya fairplay dalam pertandingan. Semua yang
terkait dalam permainan sepakbola mengharapkan terciptanya gol indah yang
diimpikan bersama. Organisasi sekolah dianalogikan sebagai organisasi sepakbola
karena sama-sama berbasis masyarakat luas. Sekolah tumbuh dan dibesarkan di
tengah-tengah masyarakat serta diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
tersebut. Seperti halnya sepakbola, sekolah pun memiliki ultimate goal, tujuan pendidikan yang menjadi impian yang dapat
terwujud melalui partisipasi semua pihak terkait dalam mengkondisikan ‘fair play’ pendidikan dalam konteks penghindaran
segala bentuk penyimpangan, pemagaran dan pemasungan kreativitas, penumpulan
kemampuan dan kecakapan serta pengalinasian nilai-nilai fundamental
kemanusiaan. Mengelola
sekolah sebagai kesatuan sosial edukasional, tak ubahnya seperti bermain
sepakbola, harus mampu bermain cantik dalam memberikan umpan terobosan ke
berbagai lini dan sektor lapangan serta melakukan kerjasama tim dalam
menggiring bola dan menyarangkannya ke gawang ‘tujuan pendidikan’.
Keempat, berkenaan dengan pengembangan
manajerial sekolah. Benjamin, pakar
pendidikan mengibaratkan sekolah sebagai kapal yang akan berlayar di laut lepas,
kepala sekolah sebagai nakhoda, menetapkan visi, misi dan strategi, manyusun
dan merancang tujuan yang ingin dicapai, memonitor perkembangan dan kemajuan
peserta didik, mengevaluasi kinerja guru dan tenaga adminisatif serta melakukan
evaluasi introspektif tugas-tugas leadership
kepala sekolah yang ia laksanakan. Kepala sekolah juga harus membangun kesatuan
komando (unity of command) untuk
menciptakan tata kerja organisasi yang dapat menterjemahkan visi, misi, dan
strategi yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Guru yang
diibaratkan sebagai awak kapal harus mampu mengimplementasikan kebijakan kepala
sekolah. Guru adalah variabel yang sangat menentukan. Keberhasilan guru dalam
membentuk watak dan mengembangkan potensi siswa dapat dimaknai sebagai
kemenangan perang. Hal ini didasarkan pada fungsi strategis guru dalam
perjuangan pendidikan yang digambarkan sebagai perang dalam konteks a battle of wits (perang pencerdasan)
dan a battle for survival (perang
perjuangan hidup). Peran, profesionalitas serta dedikasi guru sangat
penting dan menentukan dalam setiap pergeseran paradigma pendidikan yang terus
mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dalam kerangka peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Persoalannya sejauh mana kesiapan guru dalam
membunyikan genderang perang melawan kemiskinan ilmu pengetahuan, sejauh mana
pula guru memiliki peralatan perang multi media berbasis ICT, penguasaan materi
serta metoda dan pendekatan mengajar. Peserta didik yang diibaratkan sebagai
penumpang kapal, adalah pemilik kodrat kemanusiaan (the nature of man) dan pemilik kodrat sosial (the nature of society) serta memiliki kecenderungan
eksistensialistik dalam bentuk pencarian jati diri. Seorang penggembala
hewan dapat menggembala hewan ternaknya kemana ia suka. Sebuas-buas binatang
akan dapat dijinakkan melalui cara-cara tertentu. Lain halnya dengan manusia
yang dalam hal ini peserta didik, ia tidak dapat digembala seperti binatang
atau dibentuk secara mekanik. Ia adalah manusia yang mendapat anugerah Tuhan
berupa akal pikiran, intuisi serta gerak nurani ingin memiliki dirinya sendiri.
Kelima, berkenaan dengan konsensus nilai.
Sekolah sebagai sistem sosial akan menciptakan sistem budaya yang terbentuk dari
nilai-nilai, sikap, dan keyakinan masing-masing individu. Setiap individu guru
memiliki persepsi dan cara pandang yang berbeda dalam menilai seorang siswa
dalam hal pelanggaran disiplin, tentang rambut, pakaian, sepatu, aksesori, penggunaan
handphone, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya. Hal tersebut akan sangat
mempengaruhi aturan tata–tertib disiplin yang akan diterapkan di sekolah, dan
tidak menutup kemungkinan terjadi konflik internal yang menghambat proses
kegiatan pendidikan. Ketika terjadi perbedaan-perbedaan dalam menilai keputusan
dan kebijakan yang diterapkan sekolah. Untuk menyikapi hal tersebut kita
memerlukan kesepakatan dalam bentuk konsensus agar terdapat pemahaman yang sama
dan sebangun tentang nilai dan ukuran sehingga tidak menghambat
pengembangan sekolah dalam peningkatan kualitas layanan pendidikan, malahan
justru diharapkan nilai-nilai dan ukuran yang disepakati tersebut dapat
mendukung keberhasilan program-program sekolah. Nilai dan ukuran yang
disepakati seyogyanya memiliki fleksibilitas serta mampu mewujudkan kebersamaan
dan keseragaman dalam bersikap dan bertindak yang pada gilirannya melahirkan school attitude (sikap dan tindakan
sekolah) yang mencerminkan kultur sekolah itu sendiri. Nilai dan ukuran yang
diterapkan juga harus mengedepankan prinsip keteladanan melalui sikap dan
tindakan awal berupa ajakan self addressed “ lakukan seperti apa yang saya lakukan
“ dan bukan ajakan self centered “ lakukan sebagaimana yang saya katakan”.
Keenam, ialah upaya membangun kepercayaan
masyarakat (trust building) terhadap
sekolah. Hal ini dimungkinkan apabila sekolah memiliki progress dan track record peningkatan kualitasnya. Yang perlu
disadari bahwa sekolah masa kini dituntut untuk memiliki profil dan performance yang meyakinkan sehingga menumbuhkan
rasa memiliki dan kebanggaan di masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan menguat
manakala sekolah mampu bertengger di atas kualitas kemampuan layanan publik
yang membanggakan sesuai dinamika tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dari
kepercayaan yang tumbuh akan berimplikasi pada saling pengertian,
kepedulian, dan tanggung jawab bersama terhadap kemajuan pendidikan.
Membangun dan mengokohkan kultur sekolah pada dasarnya adalah
merupakan semangat pembenahan awal dari sebuah perubahan yang dinilai paling
fundamental harus dilakukan untuk mengkondisikan sekolah berbudaya mutu dalam
menghadapi perkembangan dunia yang semakin kompetitif . Pendidikan sebagai
denyut nadi pencerdasan bangsa tidak boleh berhenti sepanjang hayat dan sekolah
sebagai organ tubuh pendidikan tingkat satuan dengan kulturnya yang sehat,
kualitatif-kompetitif-edukasional adalah miniatur kultur yang diharapkan mampu
diterapkan di masyarakat kelak.
C.
Kesimpulan
Kepemimpinan kepala sekolah dan
kreatifitas guru yang professional, inovatif, kreatif, merupakan salah satu
tolak ukur dalam peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena kedua elemen
ini merupakan figur yang bersentuhan langsung dengan proses pembelajaran, kedua
elemen ini merupakan figur sentral yang dapat memberikan kepercayaan kepada
masyarakat (orang tua) siswa, kepuasan masyarakat akan terlihat dari output dan outcome yang dilakukan pada setiap periode. Jika pelayanan yang
baik kepada masyarakat maka mereka tidak akan secara sadar dan secara otomatis
akan membantu segala kebutuhan yang di inginkan oleh pihak sekolah, sehingga
dengan demikian maka tidak akan sulit bagi pihak sekolah untuk meningkatkan
mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah.
Pendidikan merupakan proses
mempersiapkan generasi muda untuk hidup di masa yang akan datang. Tanpa
bermaksud mengecilkan berbagai pihak yang telah mengupaya perbaikan pendidikan,
kiranya perubahan-perubahan masih perlu terus dilaksanakan. Upaya yang telah
dilakukan selama ini, lebih banyak menyangkut pada proses pembelajaran di kelas,
kepemimpinan sekolah, sarana prasarana, dan manajemen pendidikan. Pembenahan
pendidikan di sekolah melalui kultur sekolah, belum banyak diperhatikan dan
dikembangkan. Padahal, pengembangan kultur sekolah tidak saja bermanfaat bagi
peningkatan prestasi siswa di bidang akademik melainkan juga prestasi non
akademik. Pendidikan merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai budaya yang ada
dalam masyarakat setempat, juga sebagai agen untuk mempertahankan nilai-nilai
lama (conservative/maintenance learning), sekaligus mentransmisikan
nilai-nilai baru (transformative /innovative learning). Pendidikan
di sekolah dalam konteks ini, merupakan salah satu institusi yang berperan
menanamkan nilai-nilai yang mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas
sekolah. Proses pembelajan di sekolah merupakan sarana efektif untuk menanamkan
tidak hanya pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (psikomotorik) saja,
melainkan juga aspek afektif, yang meliputi nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat. Semua warga sekolah memiliki tanggung jawab untuk
mengembangkan kultur sekolah untuk mewujudkan pendidikan yang baik (good
school atau effective school).
D.
Daftar
Pustaka
Sairin,
Sjafri. 2003. Kultur Sekolah dalam Era Multikultural. Makalah
Seminar Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Pengembangan Kultur Sekolah,
Pascasarjana, UNY, 12 Juni.
Vembriarto,
St. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo
sanggat membantu saya untuk membuat makalah :)
BalasHapusSemoga bermanfaat
BalasHapus