Kamis, 27 September 2012

Analisis Komunitas Pendidikan di Indonesia


A.    Pendahuluan
Pendidikan di era globalisasi menghadapi berbagai tantangan yang semakin berat. Cepatnya perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat, di satu sisi dapat membawa kemajuan, namun juga sekaligus melahirkan kegelisahan pada masyarakat. Salah satu hal yang menggelisahkan adalah persoalan moral. Orang sepertinya tidak lagi memiliki pegangan akan norma-norma kebaikan. Dalam situasi ini, terutama dalam pendidikan, dibutuhkan sikap yang jelas arahnya dan norma-norma kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pendidikan tidak hanya dituntut untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan perubahan sosial yang ada, namun lebih dari itu, pendidikan juga dituntut untuk mampu mengantisipasi perubahan dalam menyiapkan generasi muda untuk mengarungi kehidupannya di masa yang akan datang.
Salah satu tantangan pendidikan masa depan adalah tetap berlangsungnya pendidikan nilai, supaya nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dalam perilaku, dapat ditransformasikan dari generasi ke generasi, khususnya dalam rangka menepis berbagai dampak negatif dari perubahan sosial. Namun dalam kenyataannya, seperti diungkapkan oleh Sudarminta (Atmadi, 2000:3) sungguhkah kegiatan pendidikan selama ini, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah sudah kita rancang dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh akan perlunya mempersiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantangan hidupnya di masa depan?. Institusi pendidikan, terutama sekolah, selama ini dianggap sebagai salah satu lembaga sosial yang paling konservatif dan statis dalam masyarakat. Sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sering kurang mampu mengikuti dan menanggapi arus perubahan cepat yang terjadi di masyarakat. Supaya kegiatan pendidikan mampu membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan hidupnya di masa depan, harus diantisipasi (berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada), apa yang menjadi tantangan hidup mereka di masa depan.
Dalam skala mikro, paradigma lama yang dijadikan sebagai dasar praksis pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatian pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang dikembangkan secara sistematis dan pedagogis (Suyanto dalam Sismono, 2006:128). Supaya pendidikan bermakna bagi kehidupan siswa, maka dalam proses pendidikan, guru harus sanggup mengembangkan aspek kognitif siswa (menyangkut knowledge) dan afektif (menyangkut moral and social action) secara simultan.
Pendidikan tidak hanya bertujuan menghasilkan pribadi yang cerdas dan terampil, tetapi juga menghasilkan pribadi yang memiliki nurani dan budi pekerti.Tanpa adanya integritas pribadi, kecerdasan dan ketrampilan bisa saja disalahgunakan untuk hal-hal yang merugikan. Untuk itu, disadari pentingnya pengembangan budi pekerti di pusat-pusat pendidikan, termasuk di sekolah.
Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas sekolah misalnya, sekurangnya ada tiga aspek pokok yang perlu diperhatikan, yaitu : proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan kultur sekolah (Oepdikbud, 1999:10). Dua hal yang disebut pertama sudah banyak menjadi fokus perhatian berbagai pihak yang peduli pada peningkatan kualitas pendidikan. Namun faktor yang ketiga, yaitu kultur sekolah, belum banyak diangkat sebagai salah satu faktor yang menentukan, termasuk dalam upaya pengembangan moral siswa di sekolah.

B.     Pembahasan
Sekolah sebagai satuan institusi pendidikan memiliki fungsi  strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Sebagai satuan terdepan  (the front liner), sekolah memiliki tugas merealisasikan rumusan-rumusan makro pengembangan SDM yang mengacu pada kriteria pemenuhan 8 standar nasional pendidikan ke dalam skala prioritas mikro pengembangan sekolah. Dalam mengusung visi dan misinya sebagai lembaga layanan publik untuk mencerdaskan anak bangsa, maka  diperlukan langkah-langkah kongkret pelaksanaan program sekolah, sehingga visi dan misi yang diusungnya tidak sekedar jargon figuratif etalase sekolah, dan yang dinilai paling fundamental adalah bagaimana program-program yang dilaksanakan tersebut mampu mengokohkan kultur sekolah(school attitude, school culture) dalam konteks upaya-upaya menumbuhkan kesadaran peka budaya belajar dan budaya mutu serta menciptakan masyarakat sekolah yang kondusif (condusive school society) yang dapat membentuk atmosfir pendidikan yang sehat di lingkungan sekolah.
Kultur sekolah pada dasarnya adalah suatu kondisi yang terbentuk dari seluruh sikap dan tindakan individu atau kelompok dalam komunitas sekolah yang cenderung untuk melakukan segala aktivitas berbasis belajar sehingga menjadi ciri, watak dan kebiasaan yang dimiliki. Kokohnya budaya sekolah diawali dengan membangun kesamaan persepsi bahwa sekolah yang didalamnya terdapat anggota komunitas interaktif kegiatan belajar mengajar adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan untuk membangun masyarakat yang berilmu, berbudaya dan berkeadaban (bermoral, beretika, dalam wujud karakter yang berakar kepada nilai-nilai agama, tradisi, adat dan kebiasaan positif) demi mewujudkan cita-cita dan harapan masa depan. Secara konseptual Deal dan Peterson (1999) menyampaikan teorinya bahwa budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, karyawan serta siswa sehingga menjadi ciri khas, karakter atau  watak yang dapat membentuk citra sekolah di masyarakat. Dilain pihak studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr menemukan adanya pengaruh dari lima dimensi budaya sekolah yaitu: tantangan akademik, prestasi, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan. Namun pada intinya penguatan budaya sekolah akan bermuara pada efektivitas pembelajaran yang tidak hanya didasarkan pada seberapa banyak ilmu pengetahuan dapat diserap oleh peserta didik, namun lebih ditekankan pada seberapa jauh ilmu pengetahuan tersebut dirasakan manfaatnya oleh peserta didik dalam wujud kompetensi yang teraplikasi ke dalam bentuk kecakapan hidup (life skills)   yang dapat dipergunakan di lapangan kehidupan nyata.
Saat ini kita perlu mencermati persoalan yang sedang dihadapi berkaitan dengan  desentralisasi pengelolaan pendidikan yang telah menempatkan sekolah sebagai unit utama basis peningkatan kualitas yang tentunya akan sangat berpengaruh pada perubahan kultur sekolah karena mekanisme kerja operasionalnya akan menitikberatkan pada pemberdayaan sekolah itu sendiri. Salah satunya adalah  dalam hal  orientasi kerja dimungkinkan akan mengakar dari inovasi- inovasi kreativitas  serta  mampu menghilangkan orientasi kerja yang serba instruktif (top down oriented) walaupun tampaknya sekolah belum mampu sepenuhnya mengembangkan ke arah itu  karena pengelolaan sekolah saat ini baru bersifat swa-manajemen (self managing school) yang dilaksanakan berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang masih sentralistik sehingga belum dapat membangun  penyelenggaraan secara mandiri (self governing school ). Oleh karenanya realitas sekolah masih berada  pada posisi pelaksana operasional kebijakan pendidikan atau user dari juknis juklak yang masih bersifat trial and error. Hal ini diasumsikan mungkin pemerintah belum bisa sepenuhnya memberikan kewenangan manajerial berkerangka manajemen berbasis sekolah sebagai bentuk otonomi yang diamanatkan Undang-undang Sisdiknas karena infrastruktur sekolah  yang dinilai belum siap menyelenggarakannya.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan upaya memperkokoh kultur sekolah Pertama, konsep pengembangan pendidikan yang dibuat oleh para pengambil kebijakan di tingkat pusat harus memiliki kejelasan serta terkondisi dalam bentuk transfer to public ownership (pemahaman mayoritas pelaksana pendidikan). Konsep pendidikan hendaknya berpijak di atas peta masalah sehingga menyentuh aspek-aspek substansial yang harus dikembangkan. Saat ini masalah pendidikan tidak dapat direduksi hanya sebatas masalah institusional pendidikan melainkan sebagai masalah bersegi banyak yang memiliki interdependensi dengan masalah lain dalam bentuk circular causation. Pendidikan dalam hal ini telah menerima imbas dari efek kumulatif problematika sosial-ekonomi-kultural. Dengan keadaan seperti itu maka peta masalah akan mengarah pada tuntutan emosional akan adanya konsep pendidikan yang lebih praktis yang dapat menjembatani dunia teoritis konsepsional dengan kebutuhan praktis yang lebih mendesak  Untuk itu sekolah tidak boleh disibukkan untuk menterjemahkan rumusan kebijakan yang juga sering mengundang kontroversi serta polemik berkepanjangan. KTSP berbaju desentralisasi, paradoks dengan fakta adanya penggiringan ke arah penyeragaman, UN yang mengkamuflase standar kompetensi lulusan dengan nilai batas kelulusan yang nampak dipaksakan, adanya budaya latah SKM, SSN yang dipublikasikan kepada masyarakat oleh sekolah penerima dana block grant, dan banyak lagi contoh persoalan yang mengundang kontroversi dan polemik yang diakibatkan oleh kekurang jelasan konsep pendidikan.
Kedua, secara fenomenal sekolah dihadapkan pada persinggungan encounter of values, pertemuan dua sistem nilai yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pranata sekolah yang dibangun di atas prinsip humanistik edukasional dalam kerangka pembentukan watak dan pengembangan potensi peserta didik berhadapan dengan pranata sosial di luar lingkungan sekolah  yang memiliki problematika multi dimensional. Sekolah sebagai tempat melatih peserta didik untuk memahami arti kehidupan melalui pembentukan karakter, penanaman disiplin serta penggalian potensi berhadapan dengan berbagai keprihatinan sosial di luar lingkungannya yang ditengarai dengan adanya bentuk-bentuk penyimpangan serta pelanggaran hukum dan tata tertib kehidupan. Potret sekolah saat ini agaknya telah terkontaminasi penyakit sosial. Penyalahgunaan obat terlarang, panyimpangan perilaku seksual, tawuran, munculnya geng-geng anak sekolah, merambahnya bentuk pornografi dan pornoaksi serta penyimpangan penggunaan media jejaring sosial facebook yang akhir-akhir ini menjadi berita utama di media masa, merupakan hal yang biasa terjadi di kalangan pelajar. Hal ini berimplikasi pada kebekuan dan kekakuan sistem sekolah dalam proses interaksi sosial edukasional.  Kebekuan sistem nampak dalam rutinitas keseharian sekolah yang menampilkan wajahnya dengan simbol-simbol normatif an sich yang tidak menyentuh kesadaran. Penghormatan kepada guru, pelaksanaan upacara bendera, tata-tertib berpakaian dan kerapian diri, disiplin belajar, dan terkadang masih terjadi pendekatan otoritas dan doktrinitas yang mengarah pada kekerasan dan penekanan mental (fit of depression) serta kamuflase perilaku peserta didik, adalah contoh-contoh symbol an sich yang sering menjadi kendala yang merintangi proses  interaksi belajar mengajar yang pada gilirannya mempengaruhi proses evaluasi untuk menentukan keberhasilan belajar. Untuk itu sekolah harus berupaya melakukan penguatan reciprocal relationship, hubungan timbal balik serta kerjasama yang kuat dengan orang tua dan masyarakat pemangku kepentingan (stakeholder) untuk  memperkokoh kultur sekolah sehingga tidak terkontaminasi berbagai penyakit sosial yang berdampak citra buruk terhadap sekolah.
Ketiga, berkenaan dengan sekolah sebagai kesatuan sosial edukasional. Sekolah yang terstruktur secara hierarkis dalam jabatan fungsional dan struktural serta peserta didik sebagai anggota komunitas interaktif kegiatan belajar mengajar, adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan. Sebagai sebuah sistem interaksi sosial yang dinamis, sekolah dapat dianalogikan dengan organisasi sepakbola. Sekolah diumpamakan sebagai lapangan sepakbola, kepala sekolah diibaratkan sebagai manajer, guru sebagai pelatih, peserta didik sebagai pemain, peraturan tata tertib sebagai wasit dan orang tua beserta masyarakat sebagai penonton yang mendukung terciptanya fairplay dalam pertandingan. Semua yang terkait dalam permainan sepakbola mengharapkan terciptanya gol indah yang diimpikan bersama. Organisasi sekolah dianalogikan sebagai organisasi sepakbola karena sama-sama berbasis masyarakat luas. Sekolah tumbuh dan dibesarkan di tengah-tengah masyarakat serta diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Seperti halnya sepakbola, sekolah pun memiliki ultimate goal, tujuan pendidikan yang menjadi impian yang dapat terwujud melalui partisipasi semua pihak terkait dalam mengkondisikan ‘fair play’ pendidikan dalam konteks penghindaran segala bentuk penyimpangan, pemagaran dan pemasungan kreativitas, penumpulan kemampuan dan kecakapan serta pengalinasian nilai-nilai fundamental kemanusiaan. Mengelola sekolah sebagai kesatuan sosial edukasional, tak ubahnya seperti bermain sepakbola, harus mampu bermain cantik dalam memberikan umpan terobosan ke berbagai lini dan sektor lapangan serta melakukan kerjasama tim dalam menggiring bola dan menyarangkannya ke gawang ‘tujuan pendidikan’.
Keempat, berkenaan dengan pengembangan manajerial sekolah. Benjamin, pakar pendidikan mengibaratkan sekolah sebagai kapal yang akan berlayar di laut lepas, kepala sekolah sebagai nakhoda, menetapkan visi, misi dan strategi, manyusun dan merancang tujuan yang ingin dicapai, memonitor perkembangan dan kemajuan peserta didik, mengevaluasi kinerja guru dan tenaga adminisatif serta melakukan evaluasi introspektif tugas-tugas leadership kepala sekolah yang ia laksanakan. Kepala sekolah juga harus membangun kesatuan komando (unity of command) untuk menciptakan tata kerja organisasi yang dapat menterjemahkan visi, misi, dan strategi yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Guru yang diibaratkan sebagai awak kapal harus mampu mengimplementasikan kebijakan kepala sekolah. Guru adalah variabel yang sangat menentukan. Keberhasilan guru dalam membentuk watak dan mengembangkan potensi siswa dapat dimaknai sebagai kemenangan perang. Hal ini  didasarkan pada fungsi strategis guru dalam perjuangan pendidikan yang digambarkan sebagai perang dalam konteks a battle of wits (perang pencerdasan) dan a battle for survival (perang perjuangan hidup). Peran, profesionalitas serta dedikasi  guru sangat penting dan menentukan dalam setiap pergeseran paradigma pendidikan yang terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dalam kerangka peningkatan kualitas sumber daya manusia. Persoalannya sejauh mana kesiapan guru dalam membunyikan genderang perang melawan kemiskinan ilmu pengetahuan, sejauh mana pula guru memiliki peralatan perang multi media berbasis ICT, penguasaan materi serta metoda dan pendekatan mengajar. Peserta didik yang diibaratkan sebagai penumpang kapal, adalah pemilik kodrat kemanusiaan (the nature of man) dan pemilik kodrat sosial (the nature of society) serta memiliki kecenderungan eksistensialistik dalam bentuk pencarian jati diri.  Seorang penggembala hewan dapat menggembala hewan ternaknya kemana ia suka. Sebuas-buas binatang akan dapat dijinakkan melalui cara-cara tertentu. Lain halnya dengan manusia yang dalam hal ini peserta didik, ia tidak dapat digembala seperti binatang atau dibentuk secara mekanik. Ia adalah manusia yang mendapat anugerah Tuhan berupa akal pikiran, intuisi serta gerak nurani ingin memiliki dirinya sendiri.
Kelima, berkenaan dengan konsensus nilai. Sekolah sebagai sistem sosial akan menciptakan sistem budaya yang terbentuk dari nilai-nilai, sikap, dan keyakinan masing-masing individu. Setiap individu guru memiliki persepsi dan cara pandang yang berbeda dalam menilai seorang siswa dalam hal pelanggaran disiplin, tentang rambut, pakaian, sepatu, aksesori, penggunaan handphone, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi aturan tata–tertib disiplin yang akan diterapkan di sekolah, dan tidak menutup kemungkinan terjadi konflik internal yang menghambat proses kegiatan pendidikan. Ketika terjadi perbedaan-perbedaan dalam menilai keputusan dan kebijakan yang diterapkan sekolah. Untuk menyikapi hal tersebut kita memerlukan kesepakatan dalam bentuk konsensus agar terdapat pemahaman yang sama dan sebangun tentang nilai dan ukuran sehingga tidak menghambat  pengembangan sekolah dalam peningkatan kualitas layanan pendidikan, malahan justru diharapkan nilai-nilai dan ukuran yang disepakati tersebut dapat mendukung keberhasilan program-program sekolah. Nilai dan ukuran yang disepakati seyogyanya memiliki fleksibilitas serta mampu mewujudkan kebersamaan dan keseragaman dalam bersikap dan bertindak yang pada gilirannya melahirkan school attitude (sikap dan tindakan sekolah) yang mencerminkan kultur sekolah itu sendiri. Nilai dan ukuran yang diterapkan juga harus mengedepankan prinsip keteladanan melalui sikap dan tindakan awal berupa ajakan self addressed “ lakukan seperti apa yang saya lakukan “ dan bukan ajakan self centered “ lakukan sebagaimana yang saya katakan”.
Keenam, ialah upaya membangun kepercayaan masyarakat (trust building) terhadap sekolah. Hal ini dimungkinkan apabila sekolah memiliki progress dan track record peningkatan kualitasnya. Yang perlu disadari bahwa sekolah masa kini dituntut untuk memiliki profil dan performance yang meyakinkan sehingga menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan di masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan menguat manakala sekolah mampu bertengger di atas kualitas kemampuan layanan publik yang membanggakan sesuai dinamika tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dari kepercayaan yang tumbuh  akan berimplikasi pada saling pengertian, kepedulian, dan tanggung jawab bersama terhadap kemajuan pendidikan.
Membangun dan mengokohkan kultur sekolah pada dasarnya adalah merupakan semangat pembenahan awal dari sebuah perubahan yang dinilai paling fundamental harus dilakukan untuk mengkondisikan sekolah berbudaya mutu dalam menghadapi perkembangan dunia yang semakin kompetitif . Pendidikan sebagai denyut nadi pencerdasan bangsa tidak boleh berhenti sepanjang hayat dan sekolah sebagai organ tubuh pendidikan tingkat satuan dengan kulturnya yang sehat, kualitatif-kompetitif-edukasional adalah miniatur kultur yang diharapkan mampu diterapkan di masyarakat kelak.

C.    Kesimpulan
Kepemimpinan kepala sekolah dan kreatifitas guru yang professional, inovatif, kreatif, merupakan salah satu tolak ukur dalam peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena kedua elemen ini merupakan figur yang bersentuhan langsung dengan proses pembelajaran, kedua elemen ini merupakan figur sentral yang dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat (orang tua) siswa, kepuasan masyarakat akan terlihat dari output dan outcome yang dilakukan pada setiap periode. Jika pelayanan yang baik kepada masyarakat maka mereka tidak akan secara sadar dan secara otomatis akan membantu segala kebutuhan yang di inginkan oleh pihak sekolah, sehingga dengan demikian maka tidak akan sulit bagi pihak sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah.
Pendidikan merupakan proses mempersiapkan generasi muda untuk hidup di masa yang akan datang. Tanpa bermaksud mengecilkan berbagai pihak yang telah mengupaya perbaikan pendidikan, kiranya perubahan-perubahan masih perlu terus dilaksanakan. Upaya yang telah dilakukan selama ini, lebih banyak menyangkut pada proses pembelajaran di kelas, kepemimpinan sekolah, sarana prasarana, dan manajemen pendidikan. Pembenahan pendidikan di sekolah melalui kultur sekolah, belum banyak diperhatikan dan dikembangkan. Padahal, pengembangan kultur sekolah tidak saja bermanfaat bagi peningkatan prestasi siswa di bidang akademik melainkan juga prestasi non akademik. Pendidikan merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat setempat, juga sebagai agen untuk mempertahankan nilai-nilai lama (conservative/maintenance learning), sekaligus mentransmisikan nilai-nilai baru (transformative /innovative learning). Pendidikan di sekolah dalam konteks ini, merupakan salah satu institusi yang berperan menanamkan nilai-nilai yang mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas sekolah. Proses pembelajan di sekolah merupakan sarana efektif untuk menanamkan tidak hanya pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (psikomotorik) saja, melainkan juga aspek afektif, yang meliputi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Semua warga sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kultur sekolah untuk mewujudkan pendidikan yang baik (good school atau effective school).

D.    Daftar Pustaka
Sairin, Sjafri. 2003. Kultur Sekolah dalam Era Multikultural. Makalah Seminar Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Pengembangan Kultur Sekolah, Pascasarjana, UNY, 12 Juni.
Vembriarto, St. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo

2 komentar: