A. Latar Belakang
Terdapat banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan
pengertian korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu
menjauh dari hakikat dan pengertian korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang
menggunakan istilah “ikhtilas” untuk menyebutkan prilaku koruptor, meskipun
dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet atau merampas harta orang
lain. Sementara itu terdapat pengungkapan “Ghulul” dan mengistilahkan “Akhdul
Amwal Bil Bathil”, sebagaimana disebutkan oleh al-qur’an dalam surat
al-baqarah : 188
وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Realitanya praktikal korupsi yang selama ini terjadi
ialah berkaitan dengan pemerintahan sebuah Negara atau public office, sebab
esensi korupsi merupakan prilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku
di pemerintahan yang terletak pada penggunaan kekuasaan dan wewenang yang
terkadung dalam suatu jabatan di sau pihak dan di pihak lain terdapat unsure
perolehan atau keuntungan, baik berupa uang atau lainnya. Sehingga tidak salah
apabila ada yang memberikan definisi korupsi dengan ungkapan “Akhdul Amwal
Hukumah Bil Bathil” apapun istilahnya, korupsi laksana dunia hantu dalam
kehidupan manusia. Mengapa saya mengungkapkan dunia hantu, sebab dunia hantu
merupakan dunia yang tidak tampak wujut jasadnya, akan tetapi hanya dapat
dirasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi yang
mengimplikasikan terhadap dunia ketidak jujuran, kebohongan, dan hilangnya
sebuah kepercayaan.
B. Rumusan Masalah
1.
Jelaskan
pengertian korupsi dalam perspektif islam?
2.
Sebutkan
sangsi tindak pidana korupsi dalam perspektif islam?
C. Pembahasan
1.
Jelaskan
pengertian korupsi dalam perspektif islam?
Secara garis
besar korupsi merupakan persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan
Onghokham Menyebutkan bahwa korupsi ada ketiak orang mulai melakukan pemisahan
antara keuangan pribadi dan keuangan umum, dan pemisahan tersebut tidak ada
dalam konsep kekuasaan tradisoanal. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat
sistem politik modern dikenal. Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah
adanya pemisahan antara kepentigan keuangan pribadi dari seorang pejabat Negara
dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul dibarat setelah adanya revolusi
perancis dan dinegara-negara Anglo-sakson, misalnya Ingris dan amerika serikat
yang timbul pada abad ke 19. Semenjak itulah penyalahgunaan wewenang demi
kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan dianggap sebagai tindakan
korupsi.
Demokrasi
yang muncul di akhir abad ke 18 dibarat melihat pejabat sebagai orang yang
diberi wewenang, sebab dipercaya oleh public. Penyalahgunaan dari kepercayaan
tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan.
Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat,
dan dikelolo oleh rakyat dan diperuntungkan oleh rakyat.
Konsep
politik yang semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang ada pada
konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradisional raja atau
pemimpin merupakan Negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara raja
dengan Negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja menerima
upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan Negara guna
kepentingan pribadi atau keluarganya. Perbuatan tersebtu tidak dianggap sebagai
korupsi, kekuasaan pilitik yang ada ditangan raja bukan berasal dari rakyat dan
rakyat sendiri menganggap wajar apabila seorang raja memperoleh manfaat pribadi
dari kekuasaanya.
Adapun
pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi apabila terdapat konsepsi dan
pengaturan pemisahan keuangan pribadi, sebab seorang raja tradisional tidak
dianggap sebagai koruptor apabila menggunakan uang Negara, karena raja adalah
Negara itu sendiri. Akan tetapi secara tidak disadari sebenarnya konsepsi
mengenai anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan
politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara
keuangan dari raja atau pejabat Negara dengan Negara, hal tersebut yang
memunculkan kosepsi anti korupsi. Dengan demikian korupsi dapat didefinisikan
sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan Negara (dalam konsep modern) yang
melayani kepentingan umum untuk kepentingan pribadi atau perindividu. Akan
tetapi praktek korupsi sendiri seperti halnya suap menyuap sering ditemui
ditengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan Negara. Istilah korupsi
data pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi.
Definisi ini
tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula terhadap korupsi politik dan administratif. Seorang
administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menyras pembayaran tidak
resmi dari para investor (domestik maupun asing) memakai sumber pemerintah,
keduduka, martabat, status, atau kewenangannya yang resmi untuk keuntungan
pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindakan korupsi.
2.
Sebutkan
sangsi tindak pidana korupsi dalam perspektif islam?
Islam
sebagai sistem nilai memegang peranan penting untuk memberikan pencerahan nila,
penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak dengan
memanfaatkan potensi baik setiap individu, yaitu hati nurani. Lebih jauh islam
tidak hanya berkomitmen dengan upaya pensalehan individu, akan tetapi jungan
pensalehan social. Dalam pensalehan social ini islam mengembangkan semangat
untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling
menasehati. Pada dasarnya islam mengembangkan semongat control social. Dalam
bentuk lain, islam juga mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas,
sistim yang mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistem
pengawasan administrative dan managerial yang ketat. Oleh sebab itu dalam
memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi seharusnya tidak pandang
bulu, apakah ia adalah seorang pejabat ataukah lainnya. Tujuan hukuman tersebut
adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan,
sehingga dapat diciptakan rasa dama, dan rukun dalam masyarakat.
Korupsi
merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara’ meskipun nash tidak
menjelaskan had atau kifarahnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan hukuman
ta’zir atas kemaksiatan tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa
kemiripan, diantaranya ialah mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, dan lain
sebagainya. Maka perbuatan tersebtu termsuk dalam jarimah ta’zir yang penting.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadis nabi yang diriwayatkan oelh ahmad dan
tirmizy, yang artinya : Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda
: Tidak ada (hukuman) potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan
perampas/pencopet. (HR.Ahmad dan Tirmizy).
Sebagai
aturan pokok islam membolehkan menjatuhkan hukuan ta’zir atas perbuatan maksiat
apabila dikehendaki oleh kepentingan umum, artinya perbuatan-perbuatan dan
keadaan yang dapat dijatuhi hukuman ta’zir tidak mungkin ditentukan hukumannya
sebelumnya, sebab hal tersebut tergantung pada sifat-sifat tertentu, dan
apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidak lagi dilarang
dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut merugikan kepentingan dan
ketertiban umum, dan apabila perbuatan tersebtu telah dibuktikan didepan
pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan
hukuman ta’zir yang sesuai untuknya. Perjatuhan hukuman ta’zir untuk
kepentingan dan ketertiban umum ini merujuk terhadap perbuatan rasulullah saw,
dimana ia pernah menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri unta setelah
diketahui buktinya ia tidak mencurinya, maka nabi membebaskannya. Syariat islam
sendiri tidak menentukan macam-macam hukuman untuk ta’zir, akan tetapi hanya
menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya,
seperti nasehat, ancaman, sampai hukuman yang seberat-beratnya.
Penerapan sepenuhnya diserahkan
terhadap hakim (penguasa), dengan kewenagan yang dimilikinya, ia dapat
menetapkan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya,
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum islam dalam menjatuhkan hukuman
yaitu:
1. Tujuan
penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum.
2. Efektifita hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa
harus merendahkan martabat pelakunya.
3. Sepadan
dengan kejahatannya sehingga terasa adil.
Seorang hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa bedat
dan ringannya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang
telah ditetapkan sanksi hukuman oleh nash, seorang hakim tidak punya pilihan
lain kecuali menerapkannya. Meskpun sangsi hukuman bagi pelaku korupsi tidak
dijelaskan dalam nash secara tegas, akan tetapi perampasan dan penghianatan
dapat diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi.
1. pengertian dan jenis-jenis ta’zir
Ta’zir ialah
hukuman terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara tegas bentuk sangsinya
didalam nash. Hukuman ini dijatuhkan unutk memberikan pelajaran terhadap
terpidana agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah ia lakukan, jadi jenis
hukumannya disebut dengan Uqubah Mukhayyarah (hukuman pilihan). Jarimah
sendiri yang dikenal dengan hukuman ta’zir ada dua jenis yaitu :
a. jarimah yang dikenakan hukuman had
dan qishash, apabila tidak terpenuhi salah satu rukunnya seperti pada jarimah
pencurian dihukum ta’zir bagi orang yang mencuri barang yang tidak disimpan
dengan baik, atau bagi orang yang mencuri barang yang tidak mencapai nishab
pecurian. Pada jarimah zina dihuk ta’zir bagi yang menyetubuhi pada selain pada
oral sex. Pada jarimah qadzaf dihukum ta’zir bagi yang mengqadzaf dengan
tuduhan berciuman bukan berzina.
b. Jarimah yang tidak dikenakan hukuman
had dan qishash, seperti jarimah penghianatan terhadap sesuatu amanah yang
telah diberikan jarimah pembakaran, suap dan lain sebagainya.
2. Penerapan Ta’zir bagi pelaku korupsi.
Hukuman ta’zir dapat diterapkan
kepada pelaku korupsi. Dapat diketahui bahwa korupsi termasuk dalam salah satu
jarimah yang tidak disebutkan oleh nash secara tegas, oleh sebab itu ia tidak
termasuk dalam jenis jarimah yang hukumannya adalah had dan qishash. Korupsi
sama halnya seperti hokum Ghasab, meskipun harta yang dihasikan sipelaku
korupsi melebihi dari nashab harta curian yang hukumannya potong tangan. Tidak
bisa disamakan dengan hukuman terhadap pecuri yaitu potong tangan, hal ini
disebabkan oleh masuknya syubhat. Akan tetapi disamakan atau diqiyaskan pada
hukuman pencurian yang berupa pencurian pengambilan uang hasil curian.
Dalam jarimah sendiri korupsi ada
tiga unsure yang dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam menentukan besar
hukuman, yaitu :
1) Perampasan harta orang lain.
2) Penghianatan atau penyalahgunaan wewenang.
3) Kerjasama atau kongkalikong dalam kejahatan.
Ketiga unsur tersebut telah jelas
dilarang dalam syari’at islam. Selanjutnya tergantung kepada kebijaksanaan akal
sehat keyakinan dan rasa keadilan hakim yang didasarkan pada rasa keadilan
masyarakat untuk menentukan hukuman bagi pelaku korupsi. Meskipun seorang hakim
diberi kebebasan untuk mengenakan ta’zir, akan tetapi dalam menentukan hukuman
seorang hakim hendaknya memperhatikan ketentuan umum perberian sangsi dalam
hokum pidana islam yaitu :
a. Hukuman hanya dilimpahkan kepada
orang yang berbuat jarimah, tidak boleh orang yang tidak berbuat jahat dikenai
hukuman.
b. Adaya kesengajaan seseorang dihukum
karena kejahatan apabila ada unsur kesengajaan untuk berbuat jahat, tidak ada
kesengajaan berarti karena kelalaian, salah, atau lupa. Meskipun demian karena
kelalaian salah atau lupa tetap diberikan hukuman, meskipun bukan hukuman
kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan yang bersifat mendidik.
c. Hukuman hanya akan dijatuhkan
apabila kejahatan tersebut secara meyakinkan telah diperbuatnya.
d. Berhati-hati dalam menentukan
hukuman, membiarkan tidak dihukum dan menyerahkannya kepada allah apabila tidak
cukum bukti.
Batas
minimal hukuman ta’zil tidak dapat ditentukan, akan tetapi adalah semua hukuman
menyakitkan bagi manusia, bisa berupa perkataan, tindakan atau diasingkan.
Terkadang seseorang dihukum ta’zir dengan memberinya nasehat atau teguran,
terkadang juga seorang dihukum ta’zir dengan mengusirnya dengan meninggalkannya
sehingga ia bertaubat.
Uraian
tersebut menegaskan bahwa hukuman jarimah ta’zir sangatlah bervariasi mulai
dari pemberian teguran sampai pada pemenjaraan dan pengasingan. Mengenai Uqubah
sendiri dibagi menjadi dua yaitu :
1) Pidana atas jiwa (Al-Uqubah
Al-Nafsiyah), yaitu hukuman yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang,
seperti peringatan dan ancaman.
2) Pidana atas badan (Al-Uqubah
Al-Badaniyyah), yaitu hukuman yang dikenakan pada bagan manusia seperti
hukuman mati atau hukuman dera, dan lain sebagainya.
3) Pidana atas harta (Al-Uqubah
Al-Maliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas harta kekayaan seseorang,
seperti diyat, denda, dan perampasan.
4) Pidana atas kemerdekaan, yaitu
hukuman yang dijatuhkan kepada kemerdekaan manusia seperti hukuman pengasingan
(Al-Hasb) atau penjara (Al-Sijn).
D. Kesimpulan
Tujuan utama syari’at Islam (maqashid
al-syari’ah) ialah menjaga dan melindungi kemanusiaan. Perlindungan ini
dirumuskan oleh para ulama dalam 5 tujuan (al-maqashid al-khamsah),
yakni perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), perlindungan terhadap
jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-aql), perlindungan
terhadap keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifzh
al-mal).
Tindakan korupsi jelas merupakan
perlawanan terhadap tujuan kelima; hifzh al-mal. Apabila dalam
kepustakaan hukum Islam, contoh populer perbuatan melawan tujuan hifdh al-mal
ini adalah kejahatan mencuri (al-sariqah) milik perorangan, maka korupsi
sebagai kejahatan mencuri harta milik bangsa dan negara lebih layak lagi untuk
dicatat sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap prinsip hifzh al-mal.
Korupsi bukanlah pencurian biasa dengan dampaknya yang bersifat
personal-individual, melainkan ia merupakan bentuk pencurian besar dengan
dampaknya yang bersifat massal-komunal. Bahkan ketika korupsi sudah merajalela
dalam suatu negara sehingga negara itu nyaris bangkrut dan tak berdaya dalam
menyejahterakan kehidupan rakyatnya, tidak mampu menyelamatkan mereka dari
ancaman gizi buruk dan busung lapar yang mendera, maka korupsi lebih jauh dapat
dianggap sebagai ancaman bagi tujuan syari’at dalam melindungi jiwa manusia (hifzh
al-nafs).
Dari uraian mengenai korupsi dalam
bentuk ghulul dan suap, maka dapat disimpulkan bahwa Islam telah
melarang tindakan korupsi baik berbentuk ghulul maupun suap. Walaupun
tidak terdapat sanksi dalam bentuk nash qath’i mengenai hukuman bagi
koruptor, bukan berarti tidak adanya sanksi bagi pelaku korupsi. Adapun pelaku
yang melalukan korupsi dapat dihukum ta’zir sesuai dengan tingkat
kejahatannya.
luar biasa kajian anda dalam perspektif islam yang anda gunakan, bahwa tindakan korupsi merupakan salah satu tindakan yang berlawanan dengan tujuan agama atau pun menjaga keamanan harta setiap uamat manusia. ini bukan tanpa alasan karena karena masalah arta sering kali menimbulkan kekacawan yang kemudian merambat keberbagai bidang keidupan manusia.namun sayang sekali kajian anda tidak mengkoparasikan antara perspektif yang lain misalnya dari perspektif sosiologisnya, karena saya raya tindakan amoral tidak serta merta dari satu masalah saja akan tetapi lebi kompelk lagi, yaitu terdiri dari berbagai problema yang semuanya saling berkaitan satu lain. sehingga satu kajian tidakla cukup untuk mengungkap satu permasalahan secara gamlang. terima kasih, salam persaabatan...,,,,
BalasHapusTerima kasih, salam persahabatan.
BalasHapus