Dalam setiap kesempatan Ketua Dewan Pembina dan
juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, SBY, selalu menekankan pentingnya
para kader PD mengedepankan perilaku politik yang bersih, cerdas, dan santun.
Terkait dengan kemelut di tubuh PD yang mencapai klimaksnya ketika Anas
ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang oleh KPK, menarik dipertanyakan
siapa diantara SBY dengan Anas yang lebih bersih, cerdas,dan santun?
Soal siapa
yang lebih bersih, jika yang dimaksudkan adalah bersih dari praktik politik
menghalalkan segala cara termasuk korupsi dan money politic, hanya sejarah yang
bisa membuktikannya. Soal kesantunan juga relatif sulit diukur karena ukuran
kesantunan itu bisa berbeda antara satu komunitas dengan komitas lain.
Perbedaan etnis, agama, dan faham bisa membuat ukuran kesantuan orang
berbeda-beda.
Tetapi soal
kecerdasan, kita bisa mengulasnya berdasarkan sikap dan pemikiran kedua tokoh
penting PD itu yang mereka pertontonkan dihadapan publik. Jika bacaan
kecerdasan terhadap kedua politisi yang berbeda generasi itu kita fokuskan pada
momen puncak ketika Anas ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang oleh KPK,
maka dapat disimpulkan bahwa Anas lebih cerdas ketimbang SBY.
Anas
ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus Hambalang pada Jumat lalu. Malam
harinya pihak Anas langsung menjanjikan bahwa esok harinya Anas akan memberikan
keterangan pers di kantor DPP Partai Demokrat. Pagi harinya, Ahmad Mubarok yang
dikenal sebagai pendukung Anas, melalui layar TV menguatkan bahwa Anas akan
menyampaikan pidato pengunduran dirinya pada Sabtu siang.
Maka jadilah
acara jumpa pers pada Sabtu siang itu sebagai momen paling dinanti banyak
orang. Kantor DPP PD pun, tak pelak, menjadi lautan wartawan sejak pagi hingga
petang. Dalam acara pidato (monolog) politik itu Anas tampil sangat tenang, berbicara
lancar dalam kalimat yang sangat tertata dengan pilihan kata yang tajam dan
penuh makna. Puncak jumpa pers itu dipungkas Anas dengan aksi copot jaket
Kebesaran Partai Demokrat.
Langkah cepat
Anas merespon keputusan KPK adalah keputusan tepat dan strategis. Sebab dengan
memberikan pidato “perpisahan” sarat makna yang mendahului kubu lawannya Anas
telah memberikan bahan bacaan yang bisa membuat publik, khususnya para kader
PD, bertanya-tanya.
Pertanyaan-pertanyaan
publik yang terpicu oleh pidato Anas itu akan menjadi beban tersendiri bagi
kubu lawannya (baca : Dewan Pembina/Majelis Tinggi). Sebab merekalah yang akan
jadi sasaran publik dan kader tempat meminta penjelasan/konfirmasi tentang
makna (benar/tidaknya) apa yang dikatakan Anas.
Sementara Anas
sendri, pasca aksi copot jaketnya itu, dapat dipastikan akan bungkam karena dia
telah menyatakan memilik satandar etik tersendiri, terlebih bila dia langsung
ditahan oleh KPK.
Di sinilah
Anas sudah menang satu langkah dibandingkan dengan kubu SBY. Kubu SBY
sepertinya asyik bertepuk tangan dan sibuk memikirkan agenda KLB menyusul
keputusan KPK. Bahkan rencana merumuskan agenda strategis partai baru akan
diadakan sehari kemudian.
Dengan
telatnya kubu SBY merespon penetapan KPK itu, apa pun agenda yang akan
dilakukan Majelis Tinggi PD, apakah rapat pimpinan nasional atau KLB, semuanya
sudah jadi antiklimaks. Kalau pun ada yang menarik dan ingin diketahui publik
hanyalah siapa sosok yang akan menggantikan Anas.
Hal-hal yang
berkaitan dengan isu intevensi istana terhadap KPK atau soal posisi kader pro
Anas, sudah tidak lagi memiliki greget. Sebab Anas sudah meninggalkan isu itu
sebagai pekerjaan rumah para elit PD pasca pengunduran dirinya.
Menjadi PR
yang sangat tidak ringan jika pidato Anas yang memang mengharukan itu (terbukti
dia disambut peluk dan tangis koleganya sehabis pidato) dipandang publik dan
atau sebagian kader PD sebagai sebuah kebenaran.
Selamat menghadapi proses hukum, Bung Anas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar