Puisi Chairil anwar yang berjudul “AKU” memang
sangat termahsyur. Hampir semua siswa SMP dan SMU di era 80-an sampai 90-an
bahkan era-era sebelumnnya dipastikan mengingat satu kalimat pada puisi itu
“Aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang”. Setelah
bertahun-tahun lewat, kalimat “Aku ini binatang jalang“ mengingatkanku pada
nasib rakyat Indonesia beberapa tahun belakangan. Ketika hajatan pemilihan umum digelar,
baik itu pemilih presiden maupun legislatif.
Menjelang
pemilu, rakyat yang selama ini di acuhkan dipinggirkan bahkan dilupakan menjadi
komoditas yang paling dicari. Semua calon kandidat tiba-tiba mengaku dan merasa
dekat dengan rakyat kecil, orang pinggiran, manusia yang selama ini tidak jadi
prioritas, dan luput dari perhatian. Drama pun digelar oleh para politisi ini.
Ada yang jadi tukang becak dadakan, ada yang bermalam dirumah petani miskin,
ada yang berjanji menyekolahkan anak-anak orang miskin sampai perguruan tinggi,
ada yang makan nasi bungkus bersama-sama di warteg. Pendek kata kesan glamor
hilang dari para politisi ini, bahkan ada yang memeluk petani yang berkeringat
dan baru pulang dari sawah. Semuannya menunjukan bahwa mereka peduli, bahwa
mereka adalah bagian dari rakyat yang tidak berpunya. Hampir 24 jam televisi
mengiklankan "keakraban para politisi, petinggi partai dengan rakyat
miskin”. Seolah-olah tidak ada jarak dan kelas diantara mereka. Kelihatannya
semua begitu natural, seperti sahabat lama yang tidak pernah bertemu
bertahun-tahun dan kemudian bersama-sama menggali kenangan-kenangan indah yang
pernah dijalani bersama. Mengapa para politis dan petinggi partai melakukan hal
yang berlawanan 1000 derajat dengan “kebiasaaan berkelas meraka” ? semua orang
sudah tahu jawabannya. Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan dukungan dan suara
sebanyak-banyaknya demi melanggengkan kedudukan mereka dipuncak kekuaasaan.
Drama para
politisi ini sesungguhnya memuakan. Mungkin sebaiknya survey mengenai “seberapa
seringkah anda secara otomatis memindahkan channel anda ketika para politisi
gombal berpura-pura menyatu dengan rakyat” ? Saya yakin, jawaban polling akan
secara signifikan menunjukan tingginnya angka kemuakan terhadap perilaku pamer
kemesraan mereka dengan rakyat miskin menjelang pemilu. Yang menjadi pertanyaan
mungkin, mengapa mereka bersusah payah mengubah jalan hidup mewah dan memasang
muka manis kepada masayarakat ? Jawabannya tentu saja sesederhana pertanyaanya
“bahwa setengah rakyat indonesia adalah orang miskin. Setengah dari 250 juta,
berati 125 juta. Ini yang tidak dirilis BPS. Kenapa saya begitu yakin setengah
penduduk Indonesia miskin menurut para politisi ini ? Karena para politisi itu
bukan orang bodoh, mereka punya lembaga survey, punya hubungan dengan
universitas, dan para penelitinnya. Mereka mengetahui jumlah riil penduduk
miskin ketimbang BPS. Seandainya jumlah penduduk miskin seperti yang dilansir
BPS Cuma 30 juta, maka mereka tidak akan berepot ria memoles dan mengubah citra
mereka ke orang-orang miskin itu dalam hal ini masyarakat kebannyakan. Kalau
jumlah orang tidak miskin 120 juta, maka tidak perlu repot-repot berbaur dengan
masyarakat yang tidur di gubuk reot dan sering makan nasi aking. Mereka pasti
memiliki cara jitu lain dalam mendekati dan menebar pesona kepada masyarakat
kelas menengah itu. Bikin arisan orang kaya kah, atau apalah. Tapi mereka tahu,
basis massa dan kantong suara sesungguhnya ada di masyarakat kelas bawah yang
kemudian menjadi “KOMODITAS” pada setiap putaran pemilu.
Sehingga, tidak salah kalau kemudian nasib
masyarakat itu setelah pemilu persis apa yang di ungkapkan “Chairil Anwar” Aku
ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Mau bukti, lihat saja
setelah Pemilu usai, mana ada yang betah makan di warteg bersama para buruh ?
Tidak ada lagi pejabat yang memakai Rolex terlihat membawa becak dijalanan.
Nginapnya bukan lagi dirumah petani miskin di desa nun jauh disana yang tidak
dialiri listrik. Kembali lagi ke habitat, nginap di hotel bintang lima yang
tarifnnya semalam setara dengan harga kebun sang petani. Maka, sebagai orang
yang punya pendidikan sedikit, kita mesti berbuat sesuatu dan mengcounter para
politikus busuk semcam ini. Penyadaran perlu dilakukan di akar rumput walaupun
dengan cara-cara sederhana. Semoga di pemilu 2014, nasib rakyat indonesia tidak
lagi seperti puisi Chairil Anwar……………….”aku ini binatang jalang dari
kumpulannya yang terbuang”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar