Jumat, 31 Mei 2013

Sekilas tentang Mereka - Mata Najwa on Campus Universitas Airlangga

Najwa Shihab adalah salah satu wartawan atau reporter populer Metro TV yang kemudian menjadi presenter atau pembawa acara Metro TV. Najwa lahir di Makassar (Sulawesi Selatan) 16 September 1977. Acara yang dipandu oleh Najwa antara lain menjadi anchor program berita prime time Metro Hari Ini dan program talk show Today’s Dialogue. Najwa adalah puteri kedua Quraisy Shihab, Menteri Agama era Kabinet Pembangunan VII. Nana menikah dengan Ibrahim Assegaf, dan sudah memiliki satu orang anak laki-laki yang akrab dipanggil Izzat. Najwa Shihab sendiri akrab dengan panggilan Nana.
Najwa adalah alumni Fakultas Hukum UI tahun 2000. Semasa SMA ia terpilih mengikuti program AFS, yang di Indonesia program ini dilaksanakan oleh Yayasan Bina Antarbudaya, selama satu tahun di Amerika Serikat. Merintis karier di RCTI, tahun 2001 ia memilih bergabung dengan Metro TV karena stasiun TV itu dinilai lebih menjawab minat besarnya terhadap dunia jurnalistik.
Pada tahun 2005, ia memperoleh penghargaan dari PWI Pusat dan PWI Jaya untuk lapora-laporannya dari Aceh, saat bencana tsunami melanda kawasan itu, Desember 2004. Liputan dan laporannya dinilai memberi andil bagi meluasnya kepedulian dan empati masyarakat luas terhadap tragedi kemanusiaan tersebut.
Najwa tiba di Aceh pada hari-hari pertama bencana, menjadi saksi mata kedahsyatan musibah itu, berada di tengah tumpukan mayat yang belum terurus, dan menjadi saksi pula betapa pemerintah tidak siap menghadapinya. Tak heran beberapa laporan live-nya amat emosional. Meski demikian ia tidak kehilangan daya kritis dan ketajamannya, kendati orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas penanganan pasca-bencana adalah Alwi Shihab, Menko Kesra waktu itu, yang tak lain adalah pamannya. Pakar komunikasi UI, Effendi Ghazali yang terkesan dengan laporan-laporannya, menyebut fenomena itu sebagai Shihab vs Shihab.
Tahun 2006 ia terpilih sebagai Jurnalis Terbaik Metro TV, dan masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik Panasonic Awards. Pada tahun yang sama, bersama sejumlah wartawan dari berbagai negara, Najwa terpilih menjadi peserta Senior Journalist Seminar yang berlangsung di sejumlah kota di AS, dan menjadi pembicara pada Konvensi Asian American Journalist Association.
Tahun 2007, pengakuan terhadap profesionalisme Najwa tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga manca negara. Terbukti, selain kembali masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik Panasonic Awards, ia juga masuk nominasi (5 besar) ajang yang lebih bergengsi di tingkat Asia, yaitu Asian Television Awards untuk kategori Best Current Affairs/Talkshow presenter. Pengumuman pemenang dilangsungkan bulan November 2007 di Singapura. Jika pada Panasonic Awards pemenang dipilih dari jumlah sms terbanyak, maka penentuan pemenang pada Asian TV Awards dilakukan oleh panel juri yang beranggotakan TV broadcaster senior dari berbagai negara di Asia.
Salah satu acara yang dipandu Najwa Shihab dan cukup membekas di benak publik, adalah debat kandidat Gubernur DKI Jakarta. Debat yang mempertemukan pasangan Fauzi Bowo-Priyanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar itu diselenggarakan oleh KPUD DKI Jakarta, disiarkan secara langsung oleh Metro TV dan Jak TV. Najwa terpilih sebagai pemandu debat menyisihkan sejumlah pembawa acara yang diseleksi KPUD DKI Jakarta.
Kendati telah memutuskan untuk total di dunia jurnalistik dan TV broadcast, Najwa terus menerus berupaya memperkuat dan memperkaya wawasan keilmuannya. Awal 2008 mendatang dia akan terbang ke Australia sebagai peraih Full Scholarship for Australian Leadership Awards. Ia akan mendalami hukum media.
Tahun 2010, kembali Najwa Shihab masuk sebagai nominasi Presenter Berita Terbaik Panasonic Awards. Walaupun pada akhirnya Putra Nababan lah sebagai pemenangnya.
Najwa termasuk wartawan yang pertama mewawancarai Presiden SBY, tidak lama setelah pelantikan. Hampir semua tokoh politk nasional pernah ia wawancarai. Tokoh mancanegara yang pernah ia wawancarai, antara lain adalah mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Presenter Najwa Shihab dari MetroTV meraih penghargaan Young Global Leader (YGL) 2011 dari World Economic Forum (WEF) yang berkedudukan di Geneva, Swiss.
Penghargaan YGL diberikan WEF setiap tahun terhadap para profesional muda berusia di bawah 40 tahun dari seluruh dunia.
Ribuan kandidat diseleksi secara ketat oleh sebuah Komite Seleksi yang diketuai Ratu Rania Al Abdullah dari Yordania. Najwa Shihab terlilih sebagai YGL 2011 setelah Komite Seleksi melakukan penyaringan yang sangat ketat terhadap ribuan profesional muda di berbagai disiplin ilmu dan profesi, dari seluruh dunia.
Dalam surat yang ditandatangani oleh Executive Chairman The Forum of Young Global Leaders, Klaus Schwab dan Senior Director Head of The Forum of Young Global Leaders, David Aikman, Najwa Shihab terpilih sebagai YGL 2011 karena pencapaian profesional, komitmen terhadap masyarakat dan kontribusinya yang potensial dalam membentuk masa depan dunia dengan kepemimpinannya yang memberi inspirasi terhadap kaum muda lainnya.
Dengan pencapaian itu, Najwa Shihab diundang untuk menjadi anggota aktif dari The Forum of Young Global Leaders. Forum ini merupakan jaringan profesional muda pilihan dari seluruh dunia yang diharapkan mampu memberikan dampak yang signifikan bagi penyelesaian masalah global. Najwa Shibab bergabung dengan Metro TV sebagai news presenter sejak 2000 dan kini ia menjadi anchor program Mata Najwa.
Pujian untuk Nana pun meluncur dari pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendy Gazali. Dia menyitir judul film drama komedi terkenal Amerika, Kramer Vs Kramer yang dianalogikannya menjadi “Shihab Vs Shihab”.
Shihab pertama adalah Najwa Shihab, kedua Alwi Shihab, yang masih punya hubungan saudara dengan Nana. “Najwa mengkritik penanganan bencana yang dilakukan pemerintah yang diwakili oleh Menko Kesra Alwi Shihab,” kata Effendy Ghazali. Dalam reportasenya, Najwa menyampaikan bahwa bantuan terlambat dan tak terkoordinasi, sementara mayat-mayat bergelimpangan tidak tertangani.
“Shihab Vs Shihab”, kata Effendy, untuk menggambarkan bagaimana Najwa Shihab sebagai wartawan tetap garang dalam menyuarakan kepentingan publik dan korban tsunami di Aceh.
Wanita kelahiran 16 september 1977 ini hidup dalam keluarga religius. Nana kecil, saat di Makasar, sudah masuk TK Al-Quran. Dia masih ingat betul, kalau melakukan kesalahan, sang guru memukulnya dengan kayu kecil. Sekolah Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hidayah (1984-1990), lalu SMP Al-Ikhlas, Jeruk Purut, Jakarta Selatan, pada 1990-1993. Aktivitas sampai SMU, dipimpin ibunya, Nana dengan lima orang saudaranya sejak magrib harus ada di rumah. “Jadi berjamaah magrib, ngaji Al-Quran, lalu ratib Haddad bersama. Itu ritual keluarga sampai saya SMU.” Setelah kuliah, karena banyak kegiatan, Nana baru boleh keluar setelah magrib.
Keluarganya memang sangat memprihatikan faktor pendidikan. “Pendekatan pendidikan di keluarga tidak pernah dengan cara-cara yang otoriter. Saya rasa itu sangat mempengaruhi, bagaimana pola didik orang tua ke anak akan mempengaruhi perilaku,” ujarnya.
Pendidikan, bagi keluarga Shihab, adalah nomor wahid, tidak bisa ditawar-tawar. Dulu waktu kelas dua SMU, Nana dapat kesempatan AFS (America Field Service), program pertukaran pelajar ke Amerika. Sempat keluarga menolak karena harus melepas selama setahun anak cewek yang baru usia 16 tahun tinggal di keluarga asuh. “Sempat terjadi perdebatan keluarga. Waktu itu yang paling mendukung ayah saya. Apa pun untuk pendidikan akan diperbolehkan, dalam usia itu pun beliau sudah memberikan kepercayaan, walaupun di sana dia sudah dibekali agama, mereka percaya shalatnya tidak akan ditinggal. Dan alhamdulillah saya bisa menjaga kepercayaan itu,” cerita Nana.
Quraish Shihab, pakar tafsir itu, bagi Nana, adalah sosok bapak yang santai. “Seneng joke-joke Abu Nawas, ketawa-ketawa,” kisahnya. Jadi beliau, kata Nana, membebaskan pilihan kepada anak-anaknya untuk sekolah ke mana saja.
Tidak hanya persoalan pendidikan, kebebasan juga diberikan oleh sang bapak untuk menentukan pasangan hidupnya. “Bahkan saat saya memutuskan untuk nikah muda, 20 tahun, ayah memberi kepercayaan. Bagi beliau yang penting kuliah selesai.” Menjelang pernikahan, kata Nana, keluarga sempat ragu, tapi karena pengalaman kakak yang nikah saat usia 19 tahun akhirnya diizinkan. Tapi sebelum itu mereka sekeluarga umroh dulu. “Di sana ayah bertanya, ‘udah mantep?’ saya jawab, ‘udah’. Ya sudah diizinkan,” tutur Nana.
Kendati dalam keluarga religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan. Menurut Nana, kalau orang pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga tidak apa-apa. “Saya sih seperti itu dan saya percaya itu.”
Karena memang, kata Nana, alasan ayahnya yang lebih penting adalah terhormat. Karena bukan berarti yang berjilbab tidak terhormat dan yang berjilbab sangat terhormat, karena kan masih banyak interpretasi tentang hal itu. Menurut Nana, yang penting tampil terhormat dan banyak cara untuk terhormat selain dengan jilbab. “Tidak pernah ada keharusan untuk berjilbab,” ucapnya.
Dengan cara berpakaian seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang komplain. “Karena mungkin melihat ayah, kalau ditanya orang pendapatnya membolehkan, membebaskan berjilbab atau tidak. Jadi banyak alasan dari ayah saya. Kalau ada yang komplain, paling pas bercanda. Dan saya selalu bilang: ya insyaallah mudah-mudahan suatu saat. Yang pasti hatinya berjilbab kok.”
Nana kagum pada yang pakai jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai jilbab, mungkin suatu saat. “Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban atau beban untuk berjilbab,” katanya, “Karena sejauh saya bisa menjalankan kewajiban saya sebagai muslimah tidak masalah berjilbab atau tidak.”
Meski kini ada rekan reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak terpengaruh. Sampai saat ini, dia merasa apa yang dilakukannya sudah berada pada jalur yang benar. Kalau nanti ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan memakai jilbab, tanpa ragu Nana akan memakainya. “Apa yang dilakukan orang kan bukan berarti kita akan terpengaruh. Kalau sekarang ada yang berjilbab kemudian saya ikut. Menurut saya, rugi kalau berjilbab alasannya itu,” ujarnya.

Bambang Widjojanto merupakan seorang pengacara, pernah memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan merupakan pendiri Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) bersama almarhum Munir. Pada tahun 1993 pemegang gelar master hukum dari University of London, Inggris ini pernah mendapat penghargaan Robert F. Kennedy Human Right Awards karena dinilai konsisten membela hak-hak warga Papua.
Bambang Widjojanto banyak beraktivitas dalam kegiatan lembaga swadaya masyarakat, meski juga tercatat sebagai advokat.
Latar belakang pendidikannya beragam. Dia menyelesaikan studi di di Universitas Jayabaya pada tahun 1984 dan kemudian menempuh sejumlah pendidikan formal dan non formal terkait dengan hak azasi manusia di Amerika Serikat, Belanda dan Inggris.
Sepak terjangnya dalam bidang HAM, membuatnya meraih penghargaan Kennedy Human Rights Award. Dia juga aktif dalam gerakan antikorupsi di Indonesia Corruption Watch dan Partnership of Governance Reform. Dia bahkan aktif dalam berbagai aktifitas Yayasan Tifa dan Kontras.
Bambang Widjojanto memiliki kualitas yang lebih tinggi untuk memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dr. Bambang Widjojanto, kelahiran Jakarta 18 Oktober 1959, seorang advokat pembenci koruptor. Mantan Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia (1995-2000), ini lebih rela menangani kasus perceraian daripada menjadi pengacara untuk tersangka korupsi. Di mata dia, korupsi adalah kejahatan terbesar terhadap rakyat dan kemanusiaan.
Sikap yang menunjukkan kebencian kepada koruptor ini tampaknya telah menjadi 'kekuatan' yang membuat dirinya layak dijagokan menjadi salah satu calon kuat ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dia memang dikenal seorang
Aktivis antikorupsi. Dia salah seorang advokat yang ikut mendirikan Indonesian Corruption Watch (ICW). Di mata publik dia terkesan sebagai seorang advokat yang punya sikap tegas dan berani memerangi korupsi.
Publik yang awam hukum sangat terkesan dengan sikap lebih rela menangani kasus perceraian daripada menjadi pengacara untuk tersangka korupsi itu. Namun, bagi orang yang melek hukum, sikap mengharamkan diri menjadi pengacara untuk tersangka korupsi, yang bermakna sangat membenci tersangka korupsi, itu justru menunjukkan strata pemahamannya tentang prinsip hukum untuk menegakkan keadilan, belum mencapai tingkat yang mumpuni. Apalagi untuk memimpin sebuah lembaga yang mempunyai kewenangan luar biasa, seperti KPK, yang terkesan superbody (superpower), jika tidak dilaksanakan sesuai prinsip hukum untuk menegakkan keadilan, sangat berpotensi melanggar hak azasi manusia.
Tidak ada manusia yang sempurna, demikian juga Bambang Widjojanto, bukanlah malaikat. Walaupun semangat pada awal pembentukan KPK, ada harapan memilih 'manusia setengah malaikat' untuk memimpin KPK. Tapi semangat 'membenci koruptor' yang telah dimilikinya bisa bernilai positif bila diterapkan dengan filosofi dan cita hukum serta asas penegakan hukum yang berkeadilan. Sehinga penegakan hukum (peberantasan korupsi) tidak didikte oleh publik, LSM, dan pers (trial by the public pressure dan trial by the press).
Padahal, sangat diyakini, sebagai seorang doktor ilmu hukum, Bambang sangat hafal asas praduga tak bersalah atau "presumption of innocence". Apalagi seorang advokat dan pimpinan KPK, sangat mutlak untuk memahami asas praduga tak bersalah itu. Asas di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Bukankah asas ini sangat penting pada demokrasi modern di negara berasas hukum? Bukankah seorang tersangka penjahat yang diancam hukuman di atas lima tahun diwajibkan didampingi pengacara? Bukankah sebuah asas hukum bahwa seorang tersangka penjahat (korupsi atau teror sekalipun) layak didampingi pengacara. Justru itulah tugas mulia pengacara (pembela), sebagaimana mulianya tugas jaksa (penuntut umum) dan hakim (pengadil).
Sekadar mengingatkan, dalam konsiderans UU tentang Bantuan Hukum yang baru disahkan DPR dan pemerintah, disebut bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.
Maka selain keberanian, ketegasan, komitmen dan ke-Aktivisan antikorupsi (yang tentu sangat penting), juga terpenting kedalaman pemahaman tentang filosofi dan cita hukum yang diamanatkan dalam UU Antikorupsi dan UU KPK itu sendiri. Bagaimana pimpinan KPK memahami dan mengimplementasikan UU tersebut harus menjadi landasan keberanian memerangi korupsi.
Perjalanan waktu, selama proses seleksi, diharapkan membuat Bambang lebih matang. Banyak pihak tidak meragukan hal ini, walaupun ada juga pihak yang meragukannya. Sepak terjang Bambang sebagai seorang advokat, penggiat LBH dalam menegakkan hak asasi manusia dan aktivitasnya dalam kegiatan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi sebuah jaminan tentang komitmennya memberantas korupsi. Apalagi karena ketekunannya di bidang hak azasi manusia, dia telah memperoleh penghargaan Kennedy Human Rights Award pada 1993.
Nama Bambang semakin melambung saat aktif sebagai Tim Pembela Bibit dan Chandra. Selain itu, dia juga pernah aktif sebagai panitia seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi (Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 154/2009); Anggota Gerakan Anti Korupsi (Garansi); Anggota Koalisi untuk Pembentukan UU Mahkamah Konstitusi (MK); Anggota Tim Gugatan Judicial Review untuk kasus Release and Discharge; Anggota Tim Pembentukan Regulasi Panitia Pengawas Pemilu; Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN); Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras); dan Pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW).
Bambang Widjojanto meraih gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jayabaya pada 1984. Sebelumnya, dia sempat nyambi kuliah Sastra Belanda di Universitas Indonesia (UI). Kemudian, dia menempuh berbagai pendidikan formal maupun non formal terkait hak azasi manusia, di Amerika Serikat dan Belanda. Dia juga menempuh program postgraduate di School of Oriental and Africand Studies, London University. Lalu pada tahun 2009 telah memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.
Karir hukumnya diawali sebagai advokat (Aktivis) lembaga bantuan hukum (LBH), di LBH Jakarta dan LBH Jayapura pada 1986 sampai 1993.Kemudian, dia menggantikan Adnan Buyung Nasution menjadi Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia (1995-2000).
Tidak ada manusia yang sempurna, demikian juga Bambang Widjojanto, bukanlah malaikat. Walaupun semangat pada awal pembentukan KPK, ada harapan memilih 'manusia setengah malaikat' untuk memimpin KPK. Tapi semangat 'membenci koruptor' yang telah dimilikinya bisa bernilai positif bila diterapkan dengan filosofi dan cita hukum serta asas penegakan hukum yang berkeadilan. Sehinga penegakan hukum (peberantasan korupsi) tidak didikte oleh publik, LSM, dan pers (trial by the public pressure dan trial by the press).

Mahfud MD terlahir dengan nama lengkap Mohammad Mahfud dilahirkan pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang Madura, Mahfud MD saat ini tercatat sebagai Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Indonesia, Mahfud MD terlahir dari pasangan Mahmodin dan Suti Khadidjah. Mahmodin, pria asal Desa Plakpak, Kecamatan Pangantenan ini adalah pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Mahmodin lebih dikenal dengan panggilan Pak Emmo (suku kata kedua dari Mah-mo-din, yang ditambahi awalan em). Dalam bislit pengangkatannya sebagai pegawai negeri, Emmo diberi nama lengkap oleh pemerintah menjadi Emmo Prawiro Truno. Sebagai pegawai rendahan, Mahmodin kerap berpindah-pindah tugas. Setelah dari Omben, ketika Mahfud berusia dua bulan, keluarga Mahmodin berpindah lagi ke daerah asalnya yaitu Pamekasan dan ditempatkan di Kecamatan Waru. Di sanalah Mahfud menghabiskan masa kecilnya dan memulai pendidikan sampai usia 12 tahun. Dimulai belajar dari surau sampai lulus SD.
Mahfud MD adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, Tiga kakaknya antara lain Dhaifah, Maihasanah dan Zahratun. Sementara ketiga adiknya bernama Siti Hunainah, Achmad Subkhi dan Siti Marwiyah. Latar kehidupan keluarganya yang berada di lingkungan taat beragama membuat pemberian nama arab tersebut penting. Khusus bagi Mahfud, arti dari nama “Mahfud” sendiri adalah “orang yang terjaga”. Dengan nama itu diharapkan Mahfud senantiasa terjaga dari hal-hal yang buruk. Adapun inisial MD di belakang nama Mahfud adalah singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin, dan bukan merupakan gelar akademik seperti sebagian orang menganggapnya. Sebenarnya sampai lulus SD tidak ada inisial MD di belakang nama Mahfud. Baru ketika ia memasuki sekolah lanjutan pertama, tepatnya masuk ke Pendidikan Guru Agama (PGA), tambahan nama itu bermula. Saat di kelas I sekolah tersebut ada tiga murid yang bernama Mohammad Mahfud. Hal itu membuat wali kelasnya meminta agar di belakang setiap nama Mahfud diberi tanda A, B, dan C. Namun karena kode tersebut dirasa seperti nomer becak, wali kelas lalu memutuskan untuk memasang nama ayahnya masing-masing dibelakang nama mahfud. Jadilah Mahfud memakai nama Mahfud Mahmodin sedangkan teman sekelasnya yang lain bernama Mahfud Musyaffa’ dan Mahfud Madani. Dalam perjalanannya, Mahfud merasa bahwa rangkaian nama Mahfud Mahmodin terdengar kurang keren sehingga Mahmodin disingkatnya menjadi MD. Tambahan nama inisial itu semula hanya dipakai di kelas, tetapi pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP (PGA), inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi, dan Guru Besar. Hal itu disebabkan karena nama pada ijazah di setiap tingkat dibuat berdasarkan nama pada ijazah sebelumnya. Berangkat dari situlah nama resmi Mahfud menjadi Moh. Mahfud MD.
Secara umum, pendidikan atau sekolah Mahfud MD cenderung zig-zag. Maksudnya, rangkaian pendidikannya merupakan kombinasi dari pendidikan agama dan pendidikan umum. Mahfud mengenyam pendidikan dasar dengan belajar agama Islam dari surau dan madrasah diniyyah di desa Waru, utara Pamekasan. Masuk usia tujuh tahun, Mahfud disibukkan dengan belajra setiap harinya. Pagi hari menjalani pendidikan Sekolah Dasar, belajar di madrasah ibtidaiyah pada sorenya, dan menghabiskan waktu malam hingga pagi di surau. Setamat dari SD, Mahfud dikirim belajar ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan. Pada masa itu, ada kebanggaan tersendiri bagiorang Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz, kyai atau guru agama. Lulus dari PGA setelah 4 tahun belajar, Mahfud terpilih mengikuti Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama yang terletak di Yogyakarta. Sekolah ini merekrut lulusan terbaik dari PGA dan MTs seluruh Indonesia.
Mahfud tamat dari PHIN pada 1978, rencananya hendak melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an) di Mesir. Sementara menunggu persetujuan beasiswa, Mahfud coba-coba kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Sastra (Jurusan Sastra Arab) UGM. Tapi rupanya karena telanjur betah di Fakultas Hukum, Mahfud memutuskan meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang dirangkapnya dengan kuliah di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada Jurusan Sastra Arab. Namun kuliahnya di Fakutas Sastra tidak berlanjut karena merasa ilmu bahasa Arab yang diperoleh di jurusan itu tidak lebih dari yang didapat ketika di pesantren dulu. Mengingat kemampuan ekonomi orang tua yang pas-pasan, Mahfud giat mencari biaya kuliah sendiri termasuk gigih mendapatkan beasiswa. Hal itu tidak sulit bagi Mahfud, melalui tulisan-tulisan yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Masa Kini, Mahfud berhasil mendapatkan honorarium. Begitu juga, beasiswa Rektor UII, Yayasan Supersemar dan Yayasan Dharma Siswa Madura berhasil diperolehnya.
Sejak SMP MD, Mahfud remaja tertarik menyaksikan hingar bingar kampanye pemilu. Disitulah bibit-bibit kecintaannya pada politik terlihat. Pada masa kuliah kecintaannya pada politik semakin membuncah dan disalurkannya dengan malang melintang diberbagai organisasi kemahasiswaan intra universiter seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan Pers Mahasiswa. Sebelumnya Mahfud juga aktif di organisasi ekstra universiter Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihannya pada HMI didorong oleh pemahamannya terhadap medan politik di UII. Saat itu untuk bisa menjadi pimpinan organisasi intra kampus harus berstempel sebagai aktivis HMI. Namun dari beberapa organisasi intra kampus yang pernah ia ikuti, hanya Lembaga Pers Mahasiswa yang paling ia tekuni. Sejarah mencatat ia pernah menjadi pimpinan di majalah Mahasiswa Keadilan (tingkat fakultas hukum), ia juga memimpin Majalah Mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang pernah dipimpinnya pernah dibreidel sampai dua kali. Pertama dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo (tahun 1978) dan terakhir dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada tahun 1983.
Lulus dari Fakultas Hukum pada tahun 1983, Mahfud tertarik untuk ikut bekerja, mengajar di almamaternya sebagai dosen dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sekian waktu menggeluti ilmu hukum, Mahfud menemukan berbagai kegundahan terkait peran dan posisi hukum. Kekecewaannya pada hukum mulai terungkap, Mahfud menilai hukum selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Berangkat dari kegundahan itu, Mahfud termotivasi ingin belajar Ilmu Politik. Menurut Mahfud, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Dia melihat bahwa energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum sehingga ia ingin belajar ilmu politik. Oleh sebab itu, ketika datang peluang memasuki Program Pasca Sarjana S-2 dalam bidang Ilmu Politik pada tahun1985 di UGM, Mahfud tanpa ragu-ragu segera mengikutinya. Di UGM, Mahfud menerima kuliah dari dosen-dosen Ilmu Politik terkenal seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhamin, Amien Rais, dan lain-lain.
Keputusannya mengambil Ilmu Politik yang notabene berbeda dengan konsentrasinya di bidang hukum tata negara bukan tanpa konsekuensi. Sebab sebagai dosen (PNS), bila mengambil studi lanjut di luar bidangnya tidak akan dihitung untuk jenjang kepangkatan. Karena itulah selepas lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud kemudian mengikuti pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993). Disertasi doktornya tentang “Politik Hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.
Dalam sejarah pendidikan doktor di UGM, Mahfud tercatat sebagai peserta pendidikan doktor yang menyelesaikan studinya dengan cepat. Pendidikan S-3 di UGM itu diselesaikannya hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Sampai saat itu (1993) untuk bidang Ilmu-Ilmu Sosial di UGM hampir tidak ada yang bisa menyelesaikan secepat itu, rata-rata pendidikan doktor diselesaikan selama 5 tahun. Tentang kecepatannya menyelesaikan studi S-3 itu Mahfud mengatakan bukan karena dirinya pandai atau memiliki keistimewaan tertentu, malainkan karena ketekunan dan dukungan dari para promotornya yaitu Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono, dan Prof. Affan Gaffar. Selain selalu tekun membaca dan menulis di semua tempat untuk keperluan disertasinya, ketiga promotor tersebut juga mengirim Mahfud ke Amerika Serikat, tepatnya ke Columbia University (New York) dan Northern Illinois University (DeKalb) untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun.
Ketika melakukan studi pustaka di Pusat Studi Asia, Columbia University, New York Mahfud berkumpul dengan Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII yang sekarang menjadi hakim agung, sedangkan ketika menjadi peneliti akademik di Northern Illinois University, DeKalb Mahfud berkumpul dengan Andi A. Mallarangeng yang sekarang menjadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu Andi Mallarangeng menjadi Ketua Perhimpunan Muslim di wilayah itu sehingga Mahfud diberi satu kamar tanpa menyewa di sebuah kamar yang dijadikan masjid dan tempat berkumpulnya keluarga mahasiswa muslim di berbagai negara. Perjalanan karier pekerjaan dan jabatan Mahfud MD termasuk langka dan tidak lazim karena begitu luar biasa. Bagaimana tidak, dimulai dari karier sebagai kemudian secara luar biasa mengecap jabatan penting dan strategis secara berurutan pada tiga cabang kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Mahfud MD memulai karier sebagai dosen di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada tahun 1984 dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada 1986-1988, Mahfud dipercaya memangku jabatan Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara FH UII, dan berlanjut dilantik menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Hukum UII dari 1988 hingga 1990. Pada tahun 1993, gelar Doktor telah diraihnya dari Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Berikutnya, jabatan sebagai Direktur Karyasiswa UII dijalani dari 1991 sampai dengan 1993. Pada 1994, UII memilihnya sebagai Pembantu Rektor I untuk masa jabatan 1994-1998. Di tahun 1997-1999, Mahfud tercatat sebagai Anggota Panelis Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Mahfud sempat juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UII pada 1998-2001. Dalam rentang waktu yang sama yakni 1998-1999 Mahfud juga menjabat sebagai Asesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Puncaknya, Mahfud MD dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor bidang Politik Hukum pada tahun 2000, dalam usia masih relatif muda yakni 40 tahun.
Mahfud tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih derajat Doktor pada tahun 1993. Dia meloncat mendahului bekas dosen dan senior-seniornya di UII, bahkan tidak sedikit dari bekas dosen dan senior-seniornya yang kemudian menjadi mahasiswa atau dibimbingnya dalam menempuh pendidikan pascasarjana. Didukung oleh karya tulisnya yang sangat banyak, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun makalah ilmiah, dari Lektor Madya, Mahfud melompat lagi, langsung menjadi Guru Besar. Jika dihitung dari awal menjadi dosen sampai meraih gelar guru besar, Mahfud hanya membutuhkan waktu 12 tahun. Hal itu menjadi sesuatu yang cukup berkesan baginya. Sebab umumnya seseorang bisa merengkuh gelar Guru Besar minimal membutuhkan waktu 20 tahun sejak awal kariernya. Dengan rentang waktu tersebut, Mahfud memegang rekor tercepat dalam sejarah pencapaian gelar Guru Besar. Pencapain itu diraih Mahfud saat usianya baru menginjak 41 tahun. Tidak heran jika pada waktu itu, Mahfud tergolong sebagai Guru Besar termuda di zamannya. Satu nama yang dapat disejajarkan adalah Yusril Ihza Mahendra, yang juga meraih gelar Guru Besar pada usia muda.
Karier Mahfud MD kian cemerlang, tidak saja dalam lingkup akademik tetapi masuk ke jajaran birokrasi eksekutif di level pusat ketika di tahun 1999-2000 didaulat menjadi Pelaksana Tugas Staf Ahli Menteri Negara Urusan HAM (Eselon I B). Berikutnya pada tahun 2000 diangkat pada jabatan Eselon I A sebagai Deputi Menteri Negara Urusan HAM, yang membidangi produk legislasi urusan HAM. Belum cukup sampai di situ, kariernya terus menanjak pada 2000-2001 saat mantan aktivis HMI ini dikukuhkan sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Persatuan Nasional di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, Mahfud ditawari jabatan Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid tetapi menolak karena merasa tidak memiliki kemampuan teknis. Selain menjadi Menteri Pertahanan, Mahfud sempat pula merangkap sebagai Menteri Kehakiman dan HAM setelah Yusril Ihza Mahendra diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman dan HAM oleh Presiden Gus Dur pada 8 Februari 2001. Meski diakui, Mahfud tidak pernah efektif menjadi Menteri Kehakiman karena diangkat pada 20 Juli 2001 dan Senin, 23 Juli, Gus Dur lengser. Sejak itu Mahfud menjadi Menteri Kehakiman dan HAM demisioner.
Ingin mencoba dunia baru, Mahfud MD memutuskan terjun ke politik praktis. Mahfud sempat menjadi Ketua Departemen Hukum dan Keadilan DPP Partai Amanat Nasional (PAN) di awal-awal partai itu dibentuk dimana Mahfud juga turut membidani. Sempat memutuskan untuk kembali menekuni dunia akademis dengan keluar dari PAN dan kembali ke kampus. Meski memulai karier di PAN, Mahfud tak meneruskan langkahnya di partai yang dia deklarasikan itu, justru kemudian bergabung dengan mentornya, Gus Dur di Partai Kebangkitan Bangsa. Tidak menunggu lama, Mahfud dipercaya menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2002-2005. Di tengah-tengah kesibukan berpolitik itu, Universitas Islam Kadiri (Uniska) meminang Mahfud MD untuk menjadi Rektor periode 2003-2006. Meski bersedia, namun beberapa waktu kemudian Mahfud mengundurkan diri karena khawatir tidak dapat berbuat optimal saat menjadi Rektor akibat kesibukan serta domisilinya yang di luar Kediri. Kiprahnya terus berlanjut, kali ini di dunia politik, Mahdud terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2008. Mahfud MD bertugas di Komisi III DPR sejak 2004.bersama koleganya di Fraksi Kebangkitan Bangsa. Namun sejak 2008, Mahfud MD berpindah ke Komisi I DPR. Di samping menjadi anggota legislatif, sejak 2006 Mahfud juga menjadi Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham).
Belum puas berkarier di eksekutif dan legislatif, Mahfud MD mantap menjatuhkan pilihan mengabdi di ranah yudikatif untuk menjadi hakim konstitusi melalui jalur DPR. Setelah melalui serangkaian proses uji kelayakan dan kepatutan bersama 16 calon hakim konstitusi di Komisi III DPR akhirnya Mahfud bersama dengan Akil Mochtar dan Jimly Asshiddiqie terpilih menjadi hakim konstitusi dari jalur DPR. Mahfud MD terpilih menggantikan hakim Konstitusi Achmad Roestandi yang memasuki masa purna tugas. Pelantikannya menjadi Hakim Konstitusi terhitung sejak 1 April 2008, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 14/P/Tahun 2008, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2008. Selanjutnya, pada pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang berlangsung terbuka di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 19 Agustus 2008, Mahfud MD terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2011 menggantikan ketua sebelumnya, Jimly Asshiddiqie. Dalam pemungutan suara, Mahfud menang tipis, satu suara yakni mendapat 5 suara sedang Jimly 4 suara. Secara resmi, Mahfud MD dilantik dan mengangkat sumpah Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, pada Kamis 21 Agustus 2008.

Agus Hadi Sudjiwo atau lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo adalah seorang budayawan Indonesia. Ia adalah lulusan dari ITB. Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang. Selain itu ia juga sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang berarti “Ketawa Bareng Tejo”. Ia lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962.
Dalam aksinya sebagai dalang, dia suka melanggar berbagai pakem seperti Rahwana dibuatnya jadi baik, Pandawa dibikinnya tidak selalu benar dan sebagainya. Ia seringkali menghindari pola hitam putih dalam pagelarannya.
Saat kuliah di jurusan Matematika dan jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, hasrat berkesenian Sujiwo mulai berkembang. Saat itu Sujiwo Tejo menjadi penyiar radio kampus, main teater, dan mendirikan Ludruk ITB bersama budayawan Nirwan Dewanto. Sujiwo Tejo juga menjabat Kepala Bidang Pedalangan pada Persatuan Seni Tari dan Karawitan Jawa di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1981-1983 dan pernah membuat hymne jurusan Teknik Sipil ITB pada Orientasi Studi tahun 1983.
Sujiwo Tejo yang mendalang wayang kulit sejak anak-anak, mulai mencipta sendiri lakon-lakon wayang kulit sebagai awal profesinya di dunia wayang dengan judul Semar Mesem (1994). Ia juga menyelesaikan 13 episode wayang kulit Ramayana di Televisi Pendidikan Indonesia tahun 1996, disusul wayang acappella berjudul Shinta Obong dan lakon Bisma Gugur. Pergumulannya dengan komunitas Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI), memberinya peluang untuk mengembangkan dirinya secara total di bidang kesenian. Selain mengajar teater di EKI sejak 1997, Sujiwo Tejo juga memberikan workshop teater di berbagai daerah di Indonesia sejak 1998. Berlanjut pada tahun 1999, Tejo memprakarsai berdirinya Jaringan Dalang. Tujuannya adalah untuk memberi nafas baru bagi tumbuhnya nilai-nilai wayang dalam kehidupan masyarakat masa kini. Bahkan pada tahun 2004, Sujiwo Tejo mendalang keliling Yunani.
Pada tahun 1998, Sujiwo Tejo mulai dikenal masyarakat sebagai penyanyi (selain sebagai dalang) berkat lagu-lagunya dalam album Pada Suatu Ketika. Video klip “Pada Suatu Ketika” meraih penghargaan video klip terbaik pada Grand Final Video Musik Indonesia 1999, dan video klip lainnya merupakan nominator video klip terbaik untuk Grand Final Video Musik Indonesia tahun 2000. Kemudian diikuti labum berikutnya yaitu Pada Sebuah Ranjang (1999), Syair Dunia Maya (2005), dan Yaiyo (2007).
Selain ndalang, Sujiwo Tejo juga aktif dalam menggelar atau turut serta dalam pertunjukan teater. Antara lain, membuat pertunjukan Laki-laki kolaborasi dengan koreografer Rusdy Rukmarata di Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu, 1999. Sujiwo Tejo juga menjadi Sang Dalang dalam pementasan EKI Dancer Company yang bertajuk Lovers and Liars di Balai Sarbini, Sabtu dan Minggu, 27-28 Februari 2004.
Selain teater, Sujiwo Tejo juga bermain dan menjadi sutradara film. Debut filmnya adalah Telegram (2001) arahan Slamet Rahardjo dengan lawan main Ayu Azhari. Film ini bahkan meraih Best Actress untuk Ayu Azhari dalam Asia-Pacific Film Festival. Kemudian dilanjutkan Kafir (2002), Kanibal (2004) menjadi Dukun Kuntetdilaga, Janji Joni (2005), dan Kala (2007). Bersama Meriam Bellina, Sujiwo Tejo membintangi Gala Misteri SCTV yang berjudul Kafir-Tidak Diterima di Bumi (2004).
Sujiwo Tejo juga menggarap musik untuk pertunjukan musikal berjudul Battle of Love-when love turns sour, yang digelar 31 Mei sampai 2 Juni 2005 di Gedung Kesenian Jakarta. Hasil pertunjukan karya bersama Rusdy Rukmarata (sutradara & koreografer) dan Sujiwo Tejo (komposer musik) akan digunakan untuk membiayai program pendidikan dan pelatihan bagi anak-anak putus sekolah yang dikelola oleh Yayasan Titian Penerus Bangsa. Sujiwo Tejo juga menyutradarai drama musikal yang berjudul ‘Pangeran Katak dan Puteri Impian’ yang digelar di Jakarta Convention Center tanggal 1 dan 2 Juli 2006.

Pandji Pragiwaksono, Lahir di Singapura, 18 Junu 1979 adalah seorang penyiar radio, presenter televisi, dan aktor Indonesia. ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB angakatan 1997 dan merupakan salah satu alumni SMA Kolese Gonzaga angakatan ke 8. Pandji menikah dengan Gamila pada tahun 2006. Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo mengawali karir sebagai penyiar radio, sebelum kemudian terkenal sebagai pembawa acara reality show KENA DEH dan kuis HOLE IN THE WALL.
Pria yang biasa dipanggil Pandji ini, kemudian juga merilis album perdananya bertajuk PROVOCATIVE PROACTIVE PANDJI. Album yang bergenre Rap dan R&B itu, melibatkan penyanyi jazz Tompi dan istri Pandji sendiri, Gamila Arif yang nimbrung dengan menyanyikan lagu You Think You Know.
Album berisikan dua belas lagu itu merupakan hasil obsesi karyanya yang menurutnya tidak memperhitungkan utung maupun rugi. Bahkan setengah dari tiap pembelian CD akan disumbangkan kepada anak-anak yang menderita kanker melalui C3 atau Community for Children with Cancer.
Lagu ciptaan ayah satu anak yang diproduksi Rizky Record ini di antaranya Bajak Lagu Ini, Morning People feat Steny Agustaf, Dulu Dia Bukan Siapa-Siapa, Ghost Song, Ada Yang Salah feat Tompi, Untuk Indonesia feat Joeniar Arief, Drusteelo, Tabib Qiu, HipHop Help, Mulanya Biasa Saja feat Angga 'Maliq & D`Essentials' Puradireja, Di Bayang Masa Lalu, Kembali Tertawa dan I Know (Kan Kembali).
Pada 2009, Pandji kembali merilis album keduanya, YOU'LL NEVER KNOW WHEN SOMEONE COMES IN AND PRESS PLAY ON YOUR PAUSED LIFE. Dan di awal 2010, pada 21 Januari bersama para penyiar yang tergabung di MRA, Pandji menyumbangkan suaranya di album THIS IS ME, yang merupakan album charity. Penjualan dan keuntungan album ini akan diberikan pada yayasan Onkologi Anak Indonesia.
Pandji Pragiwagsono, menulis sebuah buku di blognya, yang berjudul "Nasional Is Me" dalam tulisan itu saya merasakan bahwa semangat Nasional yang sangat membara dari tulisan-tulisan dia, tulisan-tulisan sangat sederhana tapi itu sangat inspiratif, di dalam bukunya itu dia sangat menonjolkan rasa nasionalisme yang dia punya dan kesederhanaan-kesederhanaan dari dia. Rasa Nasionalisme dijaman sekrang memang sudah sangat menurun, rasa peduli kita tentang namanya nasionalisme itu sudah sangat kurang sekali. seiring perkembangan zaman, rasa nasionalisme itu pun pudar, kebudayaan baru yang sekarang ini masuk jadinya mulai menipis nasionalisme dengan bangsa kita.
Pandji Pragiwaksono merupakan sosok yang membuat saya kagum, dimana dia masih bertahan dengan rasa nasionalisme dia, dan selalu mendengungkan itu dimana-mana, dia pun mempunyai cara sendiri untuk menerbitkan lagu-lagu yang baru saja ia relise, seorang yang kritis dalam menanggapi masalah-masalah yang sedang update sekarang, apalagi dia sekarang ngebawain acara Provoactive proactive beuhh makin keren aja si mas Pandji.

1 komentar:

  1. mas saya anak UB malang.. mau tanya punya full video nya ga? kalo mau minta di mana ? soalnya saya liat di youtube cuma 39 menit saja. di potong2.. mohon infonya ya semoga bermanfaat.. tolong hubungi saya di facebook saya search drh imam aditya putra .. mohon bantuannya makasi mas

    BalasHapus