Makin
lemah negara memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, makin rentan masyarakat oleh
menjamurnya kekerasan sosial. Bila negara tak mampu memenuhi kebutuhan dasar
rakyat—pangan, identitas, pengakuan sosial, dan keamanan—akan muncul gerakan
individu atau masyarakat mengambil alih dengan caranya sendiri. Cara yang
cenderung muncul adalah praktik liar yang menegasi norma dan hukum negara:
perampokan, penodongan, pemerasan, bahkan separatisme.
Adalah fakta selama ini bahwa negara yang direpresentasikan lembaga-lembaga
kekuasaan tak berbuat banyak memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Kebijakan negara
banyak bertentangan dengan kepentingan umum dan hukum negara hanya memberi
keadilan kepada yang bisa membeli. Kita seperti hidup di negara mabuk yang
kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaan.
Desakralisasi
demokrasi
Kekuasaan negara di Indonesia adalah hasil implementasi demokrasi melalui
pemilu yang diakui dan dikagumi dunia internasional. Sebagai bukti, pada 2007
Indonesia meraih penghargaan dari Asosiasi Konsultan Politik Internasional
sebagai negara demokratis. Pujian para pemimpin dunia sering muncul di podium
resmi kenegaraan. Namun, pada dasarnya mereka berada di luar kehidupan politik
Indonesia, hanya melihat kulit kekuasaan yang dibalut pakaian indah demokrasi
bernama pemilu.
DPR, presiden, dan lembaga hukum sebagai perwujudan negara demokrasi
sesungguhnya tak benar-benar demokratis sebab elite kekuasaan terlepas dari
rakyat sebagai sumber kekuasaannya. Mereka kini menggunakan kekuasaan semaunya
menyangkut kebijakan negara dan bagaimana hukum dilaksanakan.
Elite kekuasaan di negeri ini telah memutus ikatan transendental dengan rakyat
yang meniupkan roh kekuasaan melalui pemilu, seperti antara Sang Pencipta dan
hamba-Nya. Jika ikatan transendental itu masih kuat, tentu elite kekuasaan akan
selalu mengikuti dan menaati suara umum rakyat. Namun, ikatan itu telah putus.
Mereka yang ditiupkan roh kekuasaan telah berkhianat dengan menjadi
penguasa-penguasa yang melawan rakyat. Mereka seperti Lucifer, malaikat yang
melawan Tuhan di surga.
Itu sebabnya berbagai praktik kekuasaan selalu bertentangan dengan rakyat.
Pemutusan ikatan transendental dengan rakyat bisa dilihat dari meruaknya
praktik jahat selama ini di dalam negara. Korupsi M Nazaruddin hanya setitik
kasus terbaru dari menyemutnya kasus praktik jahat kekuasaan di Indonesia.
Saat ikatan transendental elite kekuasaan dengan rakyat terputus, menurut James
Hovard dalam Desacralizing Democracy to Save Liberty (2010), demokrasi mengalami
desakralisasi. Demokrasi telah didangkalkan dari maknanya sebagai sistem dan
nilai yang menjadi penghubung antara rakyat sang peniup roh kekuasaan dan para
elite sang hamba.
Pemilu telah melahirkan elite kekuasaan yang menentang kehendak umum rakyat
tentang kemaslahatan. Saat bersamaan rakyat tak mampu mengendalikan elite
kekuasaan, entah karena apatis, entah karena gagal menyuarakan tuntutannya
sehingga putus asa. Akibatnya, sebagian rakyat berhalusinasi bahwa hidup di
masa Orde Baru lebih menyenangkan ketimbang di masa demokrasi yang
terdesakralisasi ini.
Entropi
kekuasaan
Pengabaian negara memenuhi kebutuhan dasar rakyat itu menciptakan entropi
kekuasaan, yaitu kerusakan sistem kekuasaan. Entropi kekuasaan mengakibatkan
legislatif tak menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan secara optimal,
pemerintah eksekutif bekerja lamban mengatasi kemiskinan dan perlindungan
sosial, dan lembaga hukum tidak menegakkan hukum secara transparan dan adil.
Maka, rakyat seperti hidup di negara mabuk.
Menurut Pierre Rosanvallon pada Counter Democracy (2008), entropi kekuasaan
selalu meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada kekuasaan. Rakyat tak
lagi merasa terwakili oleh para legislator dan presiden yang mereka pilih
langsung dalam pemilu. Peningkatan ketidakpercayaan ini menemukan pengalaman
empirisnya pada kehidupan sehari-hari: miskin, lapangan kerja sempit, hingga
lemahnya perlindungan terhadap eksistensi identitas oleh negara.
Ketidakpercayaan kepada negara merupakan kimia sosial dari berbagai individu
atau kelompok sosial untuk mengubah dirinya menjadi ”pejuang liar”. Mereka
berupaya memenuhi kebutuhan dasar dengan cara sendiri dan tidak merasa perlu
lagi hormat pada aturan negara yang mengharuskan mereka tak mencuri, tak
merampok, tak berjudi, atau tak menjadi kurir jual beli narkotika. Jalan utama
mengembalikan ikatan transendental antara elite kekuasaan dan rakyat adalah
menghapus kekerasan yang meneror negeri.
Novri Susan Pengajar
Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar