Pada sistem
demokrasi, salah satu ciri pengelolaan konflik politik yang buruk adalah
mobilisasi kekerasan sampai pada level perusakan, teror, dan pembunuhan.
Contoh aktual:
kekerasan dalam konflik politik dengan isu pemekaran wilayah di Muara Rupit,
Sumatera Selatan, pada akhir April 2013 yang menewaskan empat warga.
Konflik
politik yang sering melibatkan sentimen identitas dan heterogonitas kepentingan
mampu menciptakan eskalasi ketegangan yang berlanjut pada praktik kekerasan,
terutama pada situasi di mana komunikasi inklusif sebagai metode untuk
mengungkapkan aspirasi dan negosiasi tak tersedia. Alhasil, konflik kekerasan
di Muara Rupit mengindikasikan bahwa komunikasi inklusif telah gagal
dikonstruksikan oleh para aktor berkonflik di dalamnya, baik aktor negara
maupun non-negara.
Kelembagaan
dialog
Komunikasi
inklusif merupakan proses dinamis dari berbagai kepentingan untuk melakukan
transformasi konflik, yaitu mengubah konflik menjadi pemecahan masalah yang
konstruktif. Pada komunikasi inklusif, setiap aktor berkonflik berada pada
relasi kuasa yang setara dan berpeluang sama dalam beraspirasi tanpa penggunaan
kekerasan. Komunikasi inklusif sendiri butuh dua materi dasar: kelembagaan
dialog dan kesadaran subyektif para aktor berkonflik.
Pada sistem
demokrasi, kelembagaan dialog jadi bagian dari fungsi lembaga negara.
Kelembagaan dialog secara normatif telah diatur dalam konstitusi dan
perundang-undangan sehingga negara harus menyediakan kelembagaan dialog untuk
mengelola konflik politik secara konstruktif. Kelembagaan dialog memasukkan
setiap aktor berkonflik ke dalam aturan main, yang salah satu substansi
pentingnya adalah praktik nir-kekerasan.
Praktik
nir-kekerasan selalu memungkinkan terjadi pertukaran informasi dan saling
memahami tentang cara menyelesaikan masalah secara diskursif. Fase
kesalingpahaman akan diikuti oleh kondisi konsensus di mana para aktor
berkonflik harus mengikuti dan melaksanakan isi pemecahan masalah. Namun, dalam
konteks konflik politik, kelembagaan dialog butuh niat baik dari kepemimpinan
dalam struktur kekuasaan negara. Sebab, kelembagaan dialog pada dasarnya
mengorbankan kepentingan sempit elitis dengan mengutamakan kepentingan umum.
Sayangnya,
salah satu paradoks politik demokrasi Indonesia sesungguhnya terlihat dari
keengganan kepemimpinan dalam struktur kekuasaan negara menyediakan kelembagaan
dialog. Kuatnya kepentingan sempit para elite sering kali menghalangi
kelembagaan dialog diciptakan dalam rangka mengelola konflik.
Akibatnya, konflik-konflik
politik terkait isu sumber daya alam, tata ruang perkotaan, dan pemekaran
wilayah disarati oleh mobilisasi kekerasan aktor negara. Hanya beberapa kasus
kepemimpinan negara, terutama di level daerah, yang berani menyediakan
kelembagaan dialog untuk mengelola konflik politik.
Kesadaran
subyektif
Setelah
kelembagaan dialog, materi kedua untuk mengonstruksi komunikasi inklusif adalah
kesadaran subyektif berkonflik dalam sistem demokrasi. Sesungguhnya demokrasi
menyediakan kebebasan sekaligus mengisi kesadaran subyektif dengan nilai
kebaikan, seperti toleransi, keadilan, dan kesetaraan yang memihak praktik
perdamaian.
Nilai kebaikan
dalam kesadaran subyektif, meminjam istilah Hannah Arend dalam The Life of the
Mind (1978), membangun kecerdasan berpikir dan bertindak. Dengan begitu,
demokrasi secara ideal membentuk kesadaran subyektif masyarakat yang cerdas
mengelola konflik secara demokratis. Suatu kecerdasan yang ditandai oleh
reproduksi nilai kebaikan demokrasi yang damai.
Akan tetapi,
runtutan konflik penuh adegan kekerasan di Indonesia mengindikasikan masyarakat
masih tidak cerdas mengelola konflik. Masyarakat, dengan berbagai kelompok
kepentingan di dalamnya, mudah merusak bangunan publik, menyerang tetangga
desa, bahkan membunuh anggota komunitas lain. Praktik kekerasan menyebabkan
masyarakat kian bodoh dan kehilangan kemampuan mendeteksi pemecahan akar
masalah konflik.
Ketika
ketidakhadiran kelembagaan dialog dan ketidakcerdasan mengelola konflik
menyublim sebagai fakta sosial, komunikasi inklusif hanya fatamorgana. Oleh
karena itu, sejarah konflik dalam kehidupan berbangsa-bernegara dalam rentang
demokratisasi cenderung sarat oleh kekerasan. Laporan Sistem Nasional Pemantau
Kekerasan periode Mei-Agustus 2012 di sembilan provinsi memperlihatkan 1.516
insiden konflik kekerasan, menyebabkan 192 orang tewas, 1.958 cedera, dan 261
bangunan rusak.
Laporan ini
suatu peringatan: aktor negara dan non-negara telah gagal berkonflik secara
demokratis. Untuk itu, kepemimpinan dalam struktur kekuasaan negara dan
masyarakat perlu bekerja sama mengonstruksi komunikasi inklusif. Negara harus
memasang niat politik lebih kuat dalam menyediakan kelembagaan dialog,
sedangkan masyarakat mengisi kesadaran subyektif dengan nilai kebaikan
demokrasi agar cerdas mengelola konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar