Oleh Novri
Susan (Sosiolog Unair dan Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia)
Ruang publik Indonesia mengalami eskalasi kegelisahan atas kondisi negara yang
semakin parah karena digerogoti oleh jejaring parasit pembangunan, seperti
mafia hukum, politikus korup, dan pejabat lemah integritas.
Jejaring parasit tersebut mengacak-acak sistem
demokrasi melalui praktik suap, manipulasi hukum dan kebijakan negara. Salah
satu tujuannya, mencuri kekayaan negara yang mestinya dimanfaatkan untuk
pendanaan pembangunan nasional.
Pada kondisi ini, di manakah kekuasaan eksekutif presiden? Rakyat tak merasakan
hadirnya presiden yang seharusnya mengoptimalkan sumber daya kekuasaan
eksekutifnya untuk menyelamatkan negara dari jejaring parasit pembangunan.
Rakyat melihat presiden seolah ada di titik nol kekuasaan. Tak bisa berbuat
apa-apa; terlihat loyo di hadapan jejaring parasit pembangunan yang kian
percaya diri menggerogoti negara.
Sosok pemimpin negara bisa disebut punya kekuasaan transformatif ketika tak
ragu memanfaatkan sumber kekuasaannya untuk melakukan perubahan pada kondisi
yang dianggap lebih ideal. Ketidakraguan itu diindikasikan oleh reproduksi
praktik politik kreatif dan tegas untuk mencapai perubahan yang divisikan.
Sumber-sumber kekuasaan transformatif presiden di Indonesia paling tidak bisa
ditemukan dari konstitusi dan legitimasi pemilu. Kedua sumber kekuasaan
presiden perlu diterjemahkan secara kreatif ke dalam praktik politik tegas
menghadapi jejaring parasit pembangunan.
Berhadapan dengan jejaring parasit pembangunan seperti Nunun Nurbaeti atau
Nazaruddin, misalnya, presiden bisa memandatkan secara tegas kepada Kapolri dan
Ketua KPK untuk segera menangkapnya dengan batasan waktu yang jelas. Melalui
sumber kekuasaan konstitusinya, presiden bisa memberi Kapolri dan Ketua KPK
sanksi jika gagal melaksanakan mandat itu.
Praktik politik presiden tersebut tak boleh sekadar imbauan, tetapi merupakan
praktik politik konkret dan ketegasan seorang pemimpin negara yang memiliki
kekuasaan eksekutif. Selama ini, ketika dituntut mengoptimalkan kekuasaan
eksekutifnya kepada kepolisian, kejaksaan, atau KPK, Presiden SBY justru
menolaknya dengan alasan harus mengikuti prosedur, sesuai mekanisme lembaga,
atau taat pada konstitusi.
Secara normatif alasan-alasan tersebut benar, tetapi salah besar pada
perspektif evaluasi tentang konstitusional atau tidak dari praktik politik
presiden. Fakta legalnya, kepala dari lembaga-lembaga hukum tersebut diangkat,
diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada kekuasaan presiden. Langkah menekan
mereka sebagai permintaan pertanggungjawaban tugas dari presiden adalah
konstitusional.
Tanpa demarkasi
Fred R Dallmayr (The Promise of Democracy, 2010) secara pedas mengatakan,
kekuasaan yang dihasilkan oleh demokrasi sering kali gagal menyelamatkan
kondisi negara karena tidak segera menciptakan demarkasi tegas terhadap
kekuatan politik jahat. Akibatnya, kekuasaan demokrasi sesungguhnya dimuati dan
dipengaruhi oleh kekuatan politik jahat yang licin dan gesit.
Pada kondisi tersebut, kekuasaan demokrasi hanya mampu menciptakan ilusi tanpa
harapan bagi rakyatnya. Kekuasaan menabur janji manis untuk menenangkan
kegelisahan rakyat. Namun negara tetap berada dalam keadaan lemah atau gagal
menciptakan kemakmuran rakyat karena digerogoti kekuatan politik jahat yang
menyatu dengan kekuasaan demokrasi. Melalui teori Dallmayr, tampaknya SBY tak
mampu mempraktikkan kekuasaan transformatif karena tak punya demarkasi dengan
kekuatan politik jahat, termasuk di dalamnya dengan jejaring parasit
pembangunan.
Faktanya, pemerintahan SBY melakukan koalisi politik tidak berdasarkan pada
kesamaan visi menciptakan negara kuat demokratis, tetapi sebagai hasil dari
transaksi politik yang sarat skandal kekuasaan. Bagaimana mungkin presiden
mempraktikkan kekuasaan transformatif jika di dalam lingkaran kekuasaannya
tumbuh kuat jejaring parasit pembangunan? Pada realitas inilah presiden memang
berada di titik nol kekuasaan eksekutif, yang tidak mampu menciptakan negara
kuat dan demokratis.
Pada kenyataannya, kekuasaan hasil demokrasi Indonesia sekarang ini tak
memiliki demarkasi dengan kekuatan politik jahat, bahkan jejaringnya menyatu
dalam lingkaran kekuasaan. Upaya membangun demarkasi jelas membutuhkan
improvisasi radikal praktik politik presiden.
Misalnya, presiden harus berani memberikan komando penindakan tegas para elite
politik dan pejabat semua lembaga yang terindikasi melakukan praktik korupsi
tanpa pandang bulu. Perlawanan pasti akan muncul, apalagi jika presiden dianggap
punya dosa malapraktik kekuasaan selama periode pemerintahannya. Namun, demi
kepentingan menyelamatkan negara, presiden seharusnya berdiri paling depan
menghadapi segala risiko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar