Sabtu, 18 Mei 2013

Menuju Ke Arah Hukum Nasional Yang Modern


Soetandyo Wignjosoebroto
Masyarakat manusia berbentuk dalam ujud kesatuan-kesatuan. Di kesatuan-kesatuan itulah manusia-manusia terhimpun, berspesialisasi, dan berkomunikasi. Di situ puluhan anak-anak manusia disosialisasi, dikembangkan kepribadiannya, dan didudukkan ke dalam peran-peran dan status atau posisi masing-masing. Dalam kesatuan-kesatuan itulah anak-anak manusia – yang kini telah menjadi pemegang peran yang memiliki status-status itu – berperilaku menurut kaidah-kaidah yang telah diajarkan dan diketahui olehnya dan kemudian daripada itu juga harus ditaati olehnya. Itulah ketaatan yang tidak selalu bermula karena kesadaran dan kesediaan yang ikhlas untuk patuh, melainkan bisa juga karena “ketakutannya” akan terkena kontrol sosial dan ancaman sanksi yang melekat pada setiap kaidah itu. Berbicara mengenai kesatuan-kesatuan sosial tempat manusia hidup itu, kita tidak dapat membedakannya ke dalam dua tipe ideal paling dasar. Ialah tipe kesatuan sosial yang kecil sebagaimana dicontohkan dalam wujud komunitas-komunitas lokal, dan tipe kesatuan sosial yang berskala besar dan berformat kompleks sebagaimana dicontohkan dalam wujud masyarakat-masyarakat yang teroganisasi dalam bentuk kehidupan bernegara. Kesatuan-kesatuan yang kecil berisi warga-warga yang berjumlah tak lebih dari beberapa belas, atau beberapa puluh, atau sebanyak-banyaknya beberapa ratus saja, sedangkan yang besar berjumlah sampai ratusan ribuan atau bahkan jutaan orang. Dalam perbedaan ini, yang sebenarnya yang paling penting untuk diperhatikan dari sudut kajian sosiologi hukum sesungguhnya bukan besar kecilnya kesatuan-kesatuan itu, akan tetapi konsekuensinya. Apakah itu ? Ialah ciri-ciri pokok yang akan menandai peran-peran dan interaksi-interaksi antar manusia pemegang perang yang terjadi di dalam kesatuan-kesatuan tersebut. Mengkajinya sebagai bahasan teoritik, Emile Durkheim (0958-1917) mengenai masyarakat yang tersusun dari kesatuan-kesatuan kecil itu sebagai kesatuan-kesatuan sosial yang homogen berupa (serupa), namun dengan interaksi dan derajat integrasi antar kesatuan itu yang tidak intensif dan tidak pula erat. Sebabnya tak lain ialah karena masing-masing kesatuan ini amat nyata kalau berkedudukan otonom. Sementara itu, di lain pihak, kesatuan-kesatuan sosial yang kecil-kecil, yang satu sama lain tidak menampakkan keseragaman atau keserupaan. Alih-alih demikian, kesatuan-kesatuan tersebut merupakan unsur-unsur yang heterogen, tak lain karena masing-masing kesatuan.
Hukum dalam Masyarakat Lokal-Tradisional
Telah acapkali dikemukakan bahwa kaidah-kaidah hukum di masyarakat lokal – praindustrial yang tradisional itu – karena tak dikenalnya budaya baca tulis – hanya akan berupa asas-asas umum belaka, yang karena itu pula tak pernah bisa dirumuskan secara eksplisit dan baku. Eksis sebagai asas-asas umum belaka, kaidah-kaidah itu umumnya pula hanya diterima sebagai petunjuk pembeda buruk baik saja, dan hanya bisa disimpan dalam benak ingatan sementara pemuka masyarakat saja untuk kemudian di tafsir-tafsir menurut kebutuhan yang sering bervariasi dari kasus ke kasus. Sementara itu, seiring dengan ciri dan coraknya yang tak tertulis ini, hukum dalam kehidupan masyarakat yang lokal-praindustrial itu mempunyai pula coraknya yang kurang struktural. Dikatakan demikian tak lain ialah karena struktur atau organisasi kekuasaan (yang disebut juga organisasi pemerintahan) yang menunjang eksistensi dan kapasitas operasional hukum dalam masyarakat yang lokal-tradisional ini terbilang masih amat sederhananya. Struktur pemerintahan dalam masyarakat tradisional ini demikian sederhananya, sehingga boleh dibilang bahwa tertib kehidupan di masyarakat ini lebih tampak di kontrol oleh pribadi-pribadi yang diakui sebagai pemuka-pemuka yang karismatik daripada memberikan kesan telah dikontrol oleh suatu sistem organisasi yang impersonal. Tiada kaidah hukum yang tertulis secara pasti, dan tiadanya pula struktur pemerintahan yang terkembang, membawa pula konsekuensi bahwa kebijakan-kebijakan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pemerintahan di masyarakat-masyarakat praindustrial ini akan lebih condong tertampak sebagai refleksi kepribadian –kepribadian (dari para tokoh pemukanya) dari pada cermin tata perkaidahan yang baku dan berkepastian. Maka, karena lebih terikat pada – -dan diwarnai oleh – - kepribadian pribadi-pribadi pemegang tampuk kekuasaan, tidaklah mengherankan apabila hukum yang diterapkan di dalam masyarakat-masyarakat tradisional ini lebih merupakan “Interpasi-interpasi subyektif yang tak konsisten atas kaidah-kaidah sosial yang berlaku” daripada merupakan “ketentuan-ketentuan yang positif dan relatif baku dan karenanya juga akan terapkan secara konsisten” Dapatlah kemudian dimengerti mengapa tiadanya atau lemahnya organisasi pengolahan hukum dalam masyarakat-masyarakat pra-industri yang berstruktur sederhana itu akan ikut serta merta menyebabkan peran individu dan keluarga tampak lebih menonjol, mengatasi peran lembaga-lembaga kekuasaan yang berposisi mengatasi keluarga-keluarga. Peran keluarga ini tampak sekali dalam berbagai upaya mensosialisasikan kaidah-kaidah sosial ke dalam sanubari generasi keturunan, dan kemudian dari pada itu juga dalam hal melaksanakan kontrol dan penjatuhan sanksi atas dasar kaidah-kaidah adat yang berlaku. Hanya saja kontrol sosial yang mereka laksanakan lazimnya hanya efektif terhadap sesama warga di lingkungannya sendiri. Terhadap keluarga atau warga keluarga lain, keefektifan itu amatlah kecilnya, kecuali apabila keluarga yang bersangkutan merupakan keluarga yang amat jaya dan dapat menundukkan – umumnya atas dasar kekuatan dan kekerasan fisik – keluarga-keluarga lain yang akan dikontrolnya itu). Karena tiadanya organisasi politik yang mengatasi keluarga-keluarga yang ada, maka kontrol-mengontrol antar keluarga-kalaupun tak dikerjakan lewat adu kekuatan dalam proses-proses yang disebut self-redress – akan banyak dikerjakan lewat cara negoisasi (berunding langsung) atau cara mediasi (berunding dengan perantaraan orang ketiga yang berfungsi sebagai juru damai). Penyelesaian sengketa lewat cara adjudikasi, yaitu pemeriksaan perkara dan penjatuhan keputusan peradilan oleh pihak ketiga atas dasar legitimasi kekuasaan pemerintahan yang disebut badan yudisial) tidaklah ditemukan disini. Di tengah kenyataan dan kehidupan yang belum terlalu kompleks dan belum pula mengenal spesialisasi yang berlanjut itu, bolehlah dikatakan bahwa setiap orang di dalam kehidupan komunitas itu adalah “ahli hukum”. Diketahuilah bahwa setiap orang dalam komunitas itu selalu mengetahui – sebagai bagian dari pengetahuan tradisionalnya (yang di dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial disebut the local knowledge) – - apa yang harus dihukumkan dan apa pula yang tidak pernah dipandang oleh khalayak di tempat itu sebagai sesuatu yang selayaknya dihukumkan, baik mengenai ihwal materinya maupun mengenai ihwal prosedur pendayagunaannya. Dari kenyataan inilah datangnya istilah Popular law untuk menyebut hukum yang berkembang sebagai bagian dari adat masyarakat setempat, yang- seperti dikatakan oleh von Savigny – merupakan hukum yang di dalam realitasnya memang ist und wird mit dem Volke. Akan tetapi, karena dunia terus berputar dan alam terus beredar, perubahan-perubahan menuju ke kehidupan baru yang lebih berskala nasional telah menjadikan hukum rakyat seperti itu kehilangan fungsinya. Masyarakat nasional dengan kondisi-kondisi yang lain dan berbeda memerlukan konfigurasi hukum yang lain dan berbeda pula.
Hukum dalam Perkembangannya dalam Kehidupan Nasional Yang Modern
Perkembangan ke arah masyarakat industri telah menumbuhkan kebutuhan akan berlakunya tatanan hukum baru yang lebih memberikan kepastian-kepastian yang memungkinkan prediksi dan perencanaan usaha. Lebih tergerak untuk berorientasi ke masa depan daripada hendak berpaling dan bertahan saja secara konservatif ke keselamatan masa lampau, masyarakat industrial amat mengharapkan terciptanya kaidah-kaidah hukum yang tertulis dan berkepastian, tidak hanya dalam hal rumusan-rumusannya belaka akan tetapi juga dalam hal pemaknaan interpretatifnya. Masyarakat industrial modern yang dikelola secara rasional memang tidak akan dapat bertahan tanpa konsistensi-konsistensi yang mantap. Ditengah kenyataanya seperti itulah tampil mendesaknya kebutuhan dan tuntutan akan dikembangkannya. Sementara itu, tumbuhkembangnya berbagai organisasi kerja yang terspesialisasi di dalam masyarakat industrial, yang serta merta akan meningkatkan heterogenitas kehidupan di dalamnya. Telah menyebabkan berbagai aktivitas di dalam masyarakat industrial, ini tak akan mungkin dilangsungkan tanpa kemampuan pengelolaan sentral yang terorganisasi bersaranakan rujukan normatif yang berotoritas sentral pula. Kemampuan mengorganisasi kehidupan yang tinggi ini pulalah yang menyebabkan masyarakat industri mampu mengembangkan – atau setidak-tidaknya menenggang hadirnya – heterogenitas pada tataran unsur-unsurnya, namun pada saat yang bersamaan mampu pula mengintegrasikan semua yang unsur yang hitrogen itu ke dalam suatu sistem yang berformat besar. Multiplikasi organisasi ini pulalah yang menyebabkan masyarakat industrial kian bersifat struktural, dan berseiring dengan itu juga kian memerlukan pengendalian oleh hukum yang telah dipositifkan, dalam arti tidak hanya terumus jelas-jelas akan tetapi juga berlaku dan diberlakukan baku. Kebutuhan akan kontrol oleh hukum yang baku dan menurut doktrinnya menjamin kepastian ini pada gilirannya berbalik mengharuskan terkembangnya organisasi-organisasi dalam institusi hukum, ialah berbagai badan yang secara klasik dibedakan atas badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudisial. Kompeksitas kehidupan – dari yang lokal – praindustrial ke yang nasional – industrial – telah menyebabkan pula hadirnya kompleksitas dalam konfigurasi institusional hukum. Maka benarlah kiranya apa yang dikatakan oleh Donald Black, The Behavior of law, hlm.86, sebagai salah tesisnya, bahwa Law varies directly with organization. Ini berarti bahwa kian berganda-ganda jumlah dan ragam organisasi di dalam (seperti misalnya yang terjumpai di dalam komunitas-komunitas lokal praindustrial yang tak kompleks) akan kian kecil pula jumlah ragam hukum yang ada dan digunakan didalamnya. Maka dalam kenyataan seperti itu komunitas-komunitas tradisional akan lebih banyak dikuasai oleh kaidah-kaidah sosial yang non- hukum itu dari pada oleh kaidah-kaidah hukum yang berfungsi sebagai rujukan dalam setiap proses adjudikasi. Berbeda dengan masyarakat pra-industrial yang tradisional dan berkeadaan lebih sedenter ( tidak banyak bergerak pindah), kehidupan bermasyarakat industrial dalam tatanan kehidupan bernegara nasional yang modern itu terbilang benar dalam bilangan kehidupan yang bermobilitas tinggi. Hidup di tengah kehidupan bermasyarakat industrial memungkinkan (atau bahkan mengharuskan !) setiap orang untuk selalu bergerak dan berpindah sepanjang waktu, tidak hanya dalam maknanya yang geografik unntuk melintas-lintasi perbatsan negeri, akan tetapi juga acap dalam maknanya yang sosial dan okupasional. Orang-orang kini tidak hanya mudah berpindah tempat tinggal, akan tetapi juga berpindah kegiatan atau pekerjaan, diiringi oleh perubahan posisi serta status sosial yang melekat pada jenis kegiatan dan pekerjaan itu. Maka, berbeda dengan kehidupan dalam komunikasi lokal yang praindustrial yang condong “memaku” orang disuatu tempat dan di suatu posisi, yang lalu mencenderungkan pola hubungan antar – manusia disitu akan lebih mengesankan sifatnya yang seba kontraktual. Menyimak kenyataan mengenai tipe kehidupan yang berbeda seperti yang terpapar di muka itu dapatlah dengan segera dimengerti mengapa nyata pula perbedaan asal-muasal dan fungsi hukum di kedua tipe kehidupan itu. Sebagaimana dikatakan untuk pertama kalinya oleh Henry Maine, hukum dalam masyarakat tradisional itu berorientasi pada status, karena selalu memandang dan memperlakukan seseorang pada posisi atau status tertentu yang telah dipastikan untuknya, dengan segala hak dan Kewajiban yang telah ditetapkan untuk dan melekat pada masing-masing status itu. Sementara itu, hukum dalam masyarakat industrial yang modern itu boleh dipastikan akan selalu berorientasi pada terwujudnya kontrak, karena hukum disini memberikan keluasan kepada masing-masing pelaku hukum untuk secara dinamik menetapkan sendiri hak dan kewajibannya, sesuai dengan posisi hukum yang ingin dipilih dan ditetapkan sendiri oleh masing-masing pihak, lewat kontrak-kontrak yang buat atas dasar kesepakatan bersama secara suka dan rela. Dalam hubungan ini tak salah pulalah apabila dikatakan secara kategorikal bahwa berbeda dengan hukum dalam komunitas lokal yang cenderung berkekuatan eksternal dengan sifatnya yang hendak memaksakan, hukum modern akan cenderung berkekuatan internal (karena berasal dari para pihak sendiri) dengan sifatnya yang hendak tatacara dan syarat-syarat dasar terbentuknya saja.
Doktrin Hukum Modern
Perkembangan hukum yang secara fungsional memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan masyarakat bernegara nasional yang modern dalam suatu rentang waktu tertentu ternyata tertransformasi dan terkukuhkan sebagai doktrin. Sesungguhnya tertransformasikannya praktik hukum modern – yang semula “cuma” dimaksudkan untuk merespons kebutuhan hukum yang berkembang seiring dengan perubahan zaman – menjadi doktrin ini tak pernah pula lepas dari kenyataan berikut ini. Ialah bahwasannya model hukum yang hendak difungsikan untuk kepentingan kehidupan bernegara nasional yang modern itu adalah juga hasil realisasi cita-cita. Tak ayal sehubungan dengan hal ini, hukum modern adalah sesungguhnya suatu konstruksi konseptual, yang oleh sebab itu tidak hanya bernilai dan bermakna sebagai tradisi yang terwujud sebagai hasil pengalaman dan perkembangan suatu masyarakat modern, melainkan juga sebagai hasil refleksi, model ideal yang dicita-citakan, dan bahkan juga sebagai doktrin atau lebih-lebih lagi lalu menjadi semacam ideologi. Sangat mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian, mengatasi kesemena-menaan para penguasa otokratik di masa lalu dalam ihwal penciptaan dan pelaksanaan hukum, para pemikir hukum dan filsafat hukum mengetengahkan dan memperjuangkan ide hukum yang harus berstatus positif, dengan menolak berlakunya kaidah-kaidah sosial yang belum dipositifkan alias “disyahkan” tegas-tegas sebagai hukum dalam bentuk produk perundang-undangan. Inilah pemikiran positivisme yang amat marak pada masa pasca revolusi Perancis, yang serta merta menolak segala pemikiran yang serba metafisik dan – dalam alam pemikiran dan praktik hukum – yang serba metayuridis. Inilah era tatkala dalam teori maupun dalam praktik hukum – yang serba mau bicara mengenai hukum sebagai ius, melainkan hukum sebagai lege atau lex (alias ius yang telah constitutum, dan bukan ius yang masih berstatus constituendum). Inilah konstruksi dasar hukum modern yang liberal, yang disiapkan untuk menata kehidupan bernegara nasional dengan membukakan peluang luas bagi individu-individu warga negara untuk ikut serta dalam pengembangan hukum, baik diranahnya yang publik maupun diranahnya yang privat. Inilah konstruksi dasar yang membawa konsekuensi pada tumbuhkembangnya hukum modern dalam hal substansi maupun dalam hal struktur institusionalnya. Dalam hal substansinya, hukum modern tak cuma mengalami positivasinya melainkan juga sistemasinya sebagai suatu corpus juris yang berkoherensi tinggi sebagaimana dirasionalisasikan lewat pengembangan teori – atau tepatnya – doktrin-doktrinnya ! Mengalami positivisasi dan sistematisasi, hukum nasional yang modern inipun serta merta menuntut pengelolaan dan perawatannya – untuk kepentingan adjudikasi dalam proses-proses yudisial – tidak asal-asalan melainkan yang profesional oleh suatu angkatan ahlinya. Inilah ahli-ahli yang disebut jurists di Eropa Kontinental atau lawyers di Amerika. Pada gilirannya, pengadaan ahli-ahli hukum ini menuntut didirikannya pusat-pusat pelatihan dan pendidikan pada tatanannya yang paling tinggi, ialah tatanan universiter. Jaminan akan berlakunya kepastian hukum dengan langkah-langkah positivisasi dan sistemastisasi sebagaimana diutarakan di muka pada akhirnya memerlukan pengukuhan dan penegakannya pada ranahnya yang politik, dan tidak cukup manakala cuma disokong oleh legitimasi-legitimasinya dari dunia akademi dan atau profesi. Dari sinilah awalnya ide dan ideologi negara hukum, yang kemudian berlanjut dengan positivisasinya Grundnorm di dalam konstitusi-konstitusi. Akan tetapi, baik sebagai konsep maupun sebagai doktrin, apa yang selama ini diketengahkan oleh kaum legis profesional yang liberal dengan aliran positivismenya itu bukannya bisa berlangsung begitu saja tanpa cabaran. Oleh para pengkritiknya, ajaran positivisme yang mengidealkan hukum sebagai suatu institusi yang dapat dikonstruksi dan dikelola sebagai suatu otoritas yang mampu bertindak netral amatlah diragukan kebenarannya. Oleh para pengkritiknya ini, idealisasi hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah disepakati, yang dengan demikian – berdasarkan prinsip rule of law, dan tidak berdasarkan rule of men (yang para penciptanya sekalipun!) – dipastikan akan mempunyai otoritas internal yang akan mengikat sesiapapun dari pihak manapun, tidaklah bisa diterima begitu saja. Amat dipertanyakan apakah hukum positif seperti ini, sekalipun merupakan hasil kesepakatan (baik sebagaimana terjadi di ruang publik sebagai undang-undang maupun di ruang privat sebagai kontrak) akan benar-benar dipercaya akan bersifat bersifat netral dan akan dapat ditegakkan dengan mudah oleh badan yudisial yang konon berposisi independen dan karena itu tidak akan memihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar