Soetandyo
Wignjosoebroto
Masyarakat
manusia berbentuk dalam ujud kesatuan-kesatuan. Di kesatuan-kesatuan itulah
manusia-manusia terhimpun, berspesialisasi, dan berkomunikasi. Di situ puluhan
anak-anak manusia disosialisasi, dikembangkan kepribadiannya, dan didudukkan ke
dalam peran-peran dan status atau posisi masing-masing. Dalam kesatuan-kesatuan
itulah anak-anak manusia – yang kini telah menjadi pemegang peran yang memiliki
status-status itu – berperilaku menurut kaidah-kaidah yang telah diajarkan dan
diketahui olehnya dan kemudian daripada itu juga harus ditaati olehnya. Itulah
ketaatan yang tidak selalu bermula karena kesadaran dan kesediaan yang ikhlas
untuk patuh, melainkan bisa juga karena “ketakutannya” akan terkena kontrol
sosial dan ancaman sanksi yang melekat pada setiap kaidah itu. Berbicara
mengenai kesatuan-kesatuan sosial tempat manusia hidup itu, kita tidak dapat
membedakannya ke dalam dua tipe ideal paling dasar. Ialah tipe kesatuan sosial
yang kecil sebagaimana dicontohkan dalam wujud komunitas-komunitas lokal, dan
tipe kesatuan sosial yang berskala besar dan berformat kompleks sebagaimana
dicontohkan dalam wujud masyarakat-masyarakat yang teroganisasi dalam bentuk
kehidupan bernegara. Kesatuan-kesatuan yang kecil berisi warga-warga yang
berjumlah tak lebih dari beberapa belas, atau beberapa puluh, atau
sebanyak-banyaknya beberapa ratus saja, sedangkan yang besar berjumlah sampai
ratusan ribuan atau bahkan jutaan orang. Dalam perbedaan ini, yang sebenarnya
yang paling penting untuk diperhatikan dari sudut kajian sosiologi hukum
sesungguhnya bukan besar kecilnya kesatuan-kesatuan itu, akan tetapi
konsekuensinya. Apakah itu ? Ialah ciri-ciri pokok yang akan menandai
peran-peran dan interaksi-interaksi antar manusia pemegang perang yang terjadi
di dalam kesatuan-kesatuan tersebut. Mengkajinya sebagai bahasan teoritik,
Emile Durkheim (0958-1917) mengenai masyarakat yang tersusun dari
kesatuan-kesatuan kecil itu sebagai kesatuan-kesatuan sosial yang homogen
berupa (serupa), namun dengan interaksi dan derajat integrasi antar kesatuan
itu yang tidak intensif dan tidak pula erat. Sebabnya tak lain ialah karena
masing-masing kesatuan ini amat nyata kalau berkedudukan otonom. Sementara itu,
di lain pihak, kesatuan-kesatuan sosial yang kecil-kecil, yang satu sama lain
tidak menampakkan keseragaman atau keserupaan. Alih-alih demikian,
kesatuan-kesatuan tersebut merupakan unsur-unsur yang heterogen, tak lain
karena masing-masing kesatuan.
Hukum dalam
Masyarakat Lokal-Tradisional
Telah
acapkali dikemukakan bahwa kaidah-kaidah hukum di masyarakat lokal –
praindustrial yang tradisional itu – karena tak dikenalnya budaya baca tulis –
hanya akan berupa asas-asas umum belaka, yang karena itu pula tak pernah bisa
dirumuskan secara eksplisit dan baku. Eksis sebagai asas-asas umum belaka,
kaidah-kaidah itu umumnya pula hanya diterima sebagai petunjuk pembeda buruk
baik saja, dan hanya bisa disimpan dalam benak ingatan sementara pemuka
masyarakat saja untuk kemudian di tafsir-tafsir menurut kebutuhan yang sering
bervariasi dari kasus ke kasus. Sementara itu, seiring dengan ciri dan coraknya
yang tak tertulis ini, hukum dalam kehidupan masyarakat yang
lokal-praindustrial itu mempunyai pula coraknya yang kurang struktural. Dikatakan
demikian tak lain ialah karena struktur atau organisasi kekuasaan (yang disebut
juga organisasi pemerintahan) yang menunjang eksistensi dan kapasitas
operasional hukum dalam masyarakat yang lokal-tradisional ini terbilang masih
amat sederhananya. Struktur pemerintahan dalam masyarakat tradisional ini
demikian sederhananya, sehingga boleh dibilang bahwa tertib kehidupan di
masyarakat ini lebih tampak di kontrol oleh pribadi-pribadi yang diakui sebagai
pemuka-pemuka yang karismatik daripada memberikan kesan telah dikontrol oleh
suatu sistem organisasi yang impersonal. Tiada kaidah hukum yang tertulis
secara pasti, dan tiadanya pula struktur pemerintahan yang terkembang, membawa
pula konsekuensi bahwa kebijakan-kebijakan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan
pemerintahan di masyarakat-masyarakat praindustrial ini akan lebih condong
tertampak sebagai refleksi kepribadian –kepribadian (dari para tokoh pemukanya)
dari pada cermin tata perkaidahan yang baku dan berkepastian. Maka, karena
lebih terikat pada – -dan diwarnai oleh – - kepribadian pribadi-pribadi
pemegang tampuk kekuasaan, tidaklah mengherankan apabila hukum yang diterapkan
di dalam masyarakat-masyarakat tradisional ini lebih merupakan
“Interpasi-interpasi subyektif yang tak konsisten atas kaidah-kaidah sosial
yang berlaku” daripada merupakan “ketentuan-ketentuan yang positif dan relatif
baku dan karenanya juga akan terapkan secara konsisten” Dapatlah kemudian
dimengerti mengapa tiadanya atau lemahnya organisasi pengolahan hukum dalam
masyarakat-masyarakat pra-industri yang berstruktur sederhana itu akan ikut
serta merta menyebabkan peran individu dan keluarga tampak lebih menonjol,
mengatasi peran lembaga-lembaga kekuasaan yang berposisi mengatasi
keluarga-keluarga. Peran keluarga ini tampak sekali dalam berbagai upaya
mensosialisasikan kaidah-kaidah sosial ke dalam sanubari generasi keturunan,
dan kemudian dari pada itu juga dalam hal melaksanakan kontrol dan penjatuhan
sanksi atas dasar kaidah-kaidah adat yang berlaku. Hanya saja kontrol sosial
yang mereka laksanakan lazimnya hanya efektif terhadap sesama warga di
lingkungannya sendiri. Terhadap keluarga atau warga keluarga lain, keefektifan
itu amatlah kecilnya, kecuali apabila keluarga yang bersangkutan merupakan
keluarga yang amat jaya dan dapat menundukkan – umumnya atas dasar kekuatan dan
kekerasan fisik – keluarga-keluarga lain yang akan dikontrolnya itu). Karena
tiadanya organisasi politik yang mengatasi keluarga-keluarga yang ada, maka
kontrol-mengontrol antar keluarga-kalaupun tak dikerjakan lewat adu kekuatan
dalam proses-proses yang disebut self-redress – akan banyak dikerjakan lewat
cara negoisasi (berunding langsung) atau cara mediasi (berunding dengan
perantaraan orang ketiga yang berfungsi sebagai juru damai). Penyelesaian
sengketa lewat cara adjudikasi, yaitu pemeriksaan perkara dan penjatuhan
keputusan peradilan oleh pihak ketiga atas dasar legitimasi kekuasaan
pemerintahan yang disebut badan yudisial) tidaklah ditemukan disini. Di tengah
kenyataan dan kehidupan yang belum terlalu kompleks dan belum pula mengenal
spesialisasi yang berlanjut itu, bolehlah dikatakan bahwa setiap orang di dalam
kehidupan komunitas itu adalah “ahli hukum”. Diketahuilah bahwa setiap orang
dalam komunitas itu selalu mengetahui – sebagai bagian dari pengetahuan tradisionalnya
(yang di dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial disebut the local knowledge) – -
apa yang harus dihukumkan dan apa pula yang tidak pernah dipandang oleh
khalayak di tempat itu sebagai sesuatu yang selayaknya dihukumkan, baik
mengenai ihwal materinya maupun mengenai ihwal prosedur pendayagunaannya. Dari
kenyataan inilah datangnya istilah Popular law untuk menyebut hukum yang
berkembang sebagai bagian dari adat masyarakat setempat, yang- seperti
dikatakan oleh von Savigny – merupakan hukum yang di dalam realitasnya memang
ist und wird mit dem Volke. Akan tetapi, karena dunia terus berputar dan alam
terus beredar, perubahan-perubahan menuju ke kehidupan baru yang lebih berskala
nasional telah menjadikan hukum rakyat seperti itu kehilangan fungsinya. Masyarakat
nasional dengan kondisi-kondisi yang lain dan berbeda memerlukan konfigurasi
hukum yang lain dan berbeda pula.
Hukum dalam
Perkembangannya dalam Kehidupan Nasional Yang Modern
Perkembangan
ke arah masyarakat industri telah menumbuhkan kebutuhan akan berlakunya tatanan
hukum baru yang lebih memberikan kepastian-kepastian yang memungkinkan prediksi
dan perencanaan usaha. Lebih tergerak untuk berorientasi ke masa depan daripada
hendak berpaling dan bertahan saja secara konservatif ke keselamatan masa lampau,
masyarakat industrial amat mengharapkan terciptanya kaidah-kaidah hukum yang
tertulis dan berkepastian, tidak hanya dalam hal rumusan-rumusannya belaka akan
tetapi juga dalam hal pemaknaan interpretatifnya. Masyarakat industrial modern
yang dikelola secara rasional memang tidak akan dapat bertahan tanpa
konsistensi-konsistensi yang mantap. Ditengah kenyataanya seperti itulah tampil
mendesaknya kebutuhan dan tuntutan akan dikembangkannya. Sementara itu,
tumbuhkembangnya berbagai organisasi kerja yang terspesialisasi di dalam
masyarakat industrial, yang serta merta akan meningkatkan heterogenitas
kehidupan di dalamnya. Telah menyebabkan berbagai aktivitas di dalam masyarakat
industrial, ini tak akan mungkin dilangsungkan tanpa kemampuan pengelolaan sentral
yang terorganisasi bersaranakan rujukan normatif yang berotoritas sentral pula.
Kemampuan mengorganisasi kehidupan yang tinggi ini pulalah yang menyebabkan
masyarakat industri mampu mengembangkan – atau setidak-tidaknya menenggang
hadirnya – heterogenitas pada tataran unsur-unsurnya, namun pada saat yang
bersamaan mampu pula mengintegrasikan semua yang unsur yang hitrogen itu ke
dalam suatu sistem yang berformat besar. Multiplikasi organisasi ini pulalah
yang menyebabkan masyarakat industrial kian bersifat struktural, dan berseiring
dengan itu juga kian memerlukan pengendalian oleh hukum yang telah
dipositifkan, dalam arti tidak hanya terumus jelas-jelas akan tetapi juga
berlaku dan diberlakukan baku. Kebutuhan akan kontrol oleh hukum yang baku dan
menurut doktrinnya menjamin kepastian ini pada gilirannya berbalik mengharuskan
terkembangnya organisasi-organisasi dalam institusi hukum, ialah berbagai badan
yang secara klasik dibedakan atas badan legislatif, badan eksekutif dan badan
yudisial. Kompeksitas kehidupan – dari yang lokal – praindustrial ke yang
nasional – industrial – telah menyebabkan pula hadirnya kompleksitas dalam
konfigurasi institusional hukum. Maka benarlah kiranya apa yang dikatakan oleh
Donald Black, The Behavior of law, hlm.86, sebagai salah tesisnya, bahwa Law
varies directly with organization. Ini berarti bahwa kian berganda-ganda jumlah
dan ragam organisasi di dalam (seperti misalnya yang terjumpai di dalam
komunitas-komunitas lokal praindustrial yang tak kompleks) akan kian kecil pula
jumlah ragam hukum yang ada dan digunakan didalamnya. Maka dalam kenyataan
seperti itu komunitas-komunitas tradisional akan lebih banyak dikuasai oleh
kaidah-kaidah sosial yang non- hukum itu dari pada oleh kaidah-kaidah hukum
yang berfungsi sebagai rujukan dalam setiap proses adjudikasi. Berbeda dengan
masyarakat pra-industrial yang tradisional dan berkeadaan lebih sedenter (
tidak banyak bergerak pindah), kehidupan bermasyarakat industrial dalam tatanan
kehidupan bernegara nasional yang modern itu terbilang benar dalam bilangan
kehidupan yang bermobilitas tinggi. Hidup di tengah kehidupan bermasyarakat
industrial memungkinkan (atau bahkan mengharuskan !) setiap orang untuk selalu
bergerak dan berpindah sepanjang waktu, tidak hanya dalam maknanya yang geografik
unntuk melintas-lintasi perbatsan negeri, akan tetapi juga acap dalam maknanya
yang sosial dan okupasional. Orang-orang kini tidak hanya mudah berpindah
tempat tinggal, akan tetapi juga berpindah kegiatan atau pekerjaan, diiringi
oleh perubahan posisi serta status sosial yang melekat pada jenis kegiatan dan
pekerjaan itu. Maka, berbeda dengan kehidupan dalam komunikasi lokal yang
praindustrial yang condong “memaku” orang disuatu tempat dan di suatu posisi,
yang lalu mencenderungkan pola hubungan antar – manusia disitu akan lebih
mengesankan sifatnya yang seba kontraktual. Menyimak kenyataan mengenai tipe
kehidupan yang berbeda seperti yang terpapar di muka itu dapatlah dengan segera
dimengerti mengapa nyata pula perbedaan asal-muasal dan fungsi hukum di kedua
tipe kehidupan itu. Sebagaimana dikatakan untuk pertama kalinya oleh Henry
Maine, hukum dalam masyarakat tradisional itu berorientasi pada status, karena
selalu memandang dan memperlakukan seseorang pada posisi atau status tertentu
yang telah dipastikan untuknya, dengan segala hak dan Kewajiban yang telah
ditetapkan untuk dan melekat pada masing-masing status itu. Sementara itu,
hukum dalam masyarakat industrial yang modern itu boleh dipastikan akan selalu
berorientasi pada terwujudnya kontrak, karena hukum disini memberikan keluasan
kepada masing-masing pelaku hukum untuk secara dinamik menetapkan sendiri hak
dan kewajibannya, sesuai dengan posisi hukum yang ingin dipilih dan ditetapkan
sendiri oleh masing-masing pihak, lewat kontrak-kontrak yang buat atas dasar
kesepakatan bersama secara suka dan rela. Dalam hubungan ini tak salah pulalah
apabila dikatakan secara kategorikal bahwa berbeda dengan hukum dalam komunitas
lokal yang cenderung berkekuatan eksternal dengan sifatnya yang hendak memaksakan,
hukum modern akan cenderung berkekuatan internal (karena berasal dari para
pihak sendiri) dengan sifatnya yang hendak tatacara dan syarat-syarat dasar
terbentuknya saja.
Doktrin
Hukum Modern
Perkembangan hukum yang secara fungsional memenuhi
kebutuhan hukum dalam kehidupan masyarakat bernegara nasional yang modern dalam
suatu rentang waktu tertentu ternyata tertransformasi dan terkukuhkan sebagai
doktrin. Sesungguhnya tertransformasikannya praktik hukum modern – yang semula
“cuma” dimaksudkan untuk merespons kebutuhan hukum yang berkembang seiring
dengan perubahan zaman – menjadi doktrin ini tak pernah pula lepas dari
kenyataan berikut ini. Ialah bahwasannya model hukum yang hendak difungsikan
untuk kepentingan kehidupan bernegara nasional yang modern itu adalah juga
hasil realisasi cita-cita. Tak ayal sehubungan dengan hal ini, hukum modern
adalah sesungguhnya suatu konstruksi konseptual, yang oleh sebab itu tidak
hanya bernilai dan bermakna sebagai tradisi yang terwujud sebagai hasil
pengalaman dan perkembangan suatu masyarakat modern, melainkan juga sebagai
hasil refleksi, model ideal yang dicita-citakan, dan bahkan juga sebagai
doktrin atau lebih-lebih lagi lalu menjadi semacam ideologi. Sangat
mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian, mengatasi kesemena-menaan
para penguasa otokratik di masa lalu dalam ihwal penciptaan dan pelaksanaan
hukum, para pemikir hukum dan filsafat hukum mengetengahkan dan memperjuangkan
ide hukum yang harus berstatus positif, dengan menolak berlakunya kaidah-kaidah
sosial yang belum dipositifkan alias “disyahkan” tegas-tegas sebagai hukum
dalam bentuk produk perundang-undangan. Inilah pemikiran positivisme yang amat
marak pada masa pasca revolusi Perancis, yang serta merta menolak segala
pemikiran yang serba metafisik dan – dalam alam pemikiran dan praktik hukum –
yang serba metayuridis. Inilah era tatkala dalam teori maupun dalam praktik
hukum – yang serba mau bicara mengenai hukum sebagai ius, melainkan hukum
sebagai lege atau lex (alias ius yang telah constitutum, dan bukan ius yang
masih berstatus constituendum). Inilah konstruksi dasar hukum modern yang
liberal, yang disiapkan untuk menata kehidupan bernegara nasional dengan
membukakan peluang luas bagi individu-individu warga negara untuk ikut serta
dalam pengembangan hukum, baik diranahnya yang publik maupun diranahnya yang
privat. Inilah konstruksi dasar yang membawa konsekuensi pada tumbuhkembangnya
hukum modern dalam hal substansi maupun dalam hal struktur institusionalnya.
Dalam hal substansinya, hukum modern tak cuma mengalami positivasinya melainkan
juga sistemasinya sebagai suatu corpus juris yang berkoherensi tinggi
sebagaimana dirasionalisasikan lewat pengembangan teori – atau tepatnya –
doktrin-doktrinnya ! Mengalami positivisasi dan sistematisasi, hukum nasional
yang modern inipun serta merta menuntut pengelolaan dan perawatannya – untuk
kepentingan adjudikasi dalam proses-proses yudisial – tidak asal-asalan
melainkan yang profesional oleh suatu angkatan ahlinya. Inilah ahli-ahli yang
disebut jurists di Eropa Kontinental atau lawyers di Amerika. Pada gilirannya,
pengadaan ahli-ahli hukum ini menuntut didirikannya pusat-pusat pelatihan dan
pendidikan pada tatanannya yang paling tinggi, ialah tatanan universiter.
Jaminan akan berlakunya kepastian hukum dengan langkah-langkah positivisasi dan
sistemastisasi sebagaimana diutarakan di muka pada akhirnya memerlukan
pengukuhan dan penegakannya pada ranahnya yang politik, dan tidak cukup
manakala cuma disokong oleh legitimasi-legitimasinya dari dunia akademi dan atau
profesi. Dari sinilah awalnya ide dan ideologi negara hukum, yang kemudian
berlanjut dengan positivisasinya Grundnorm di dalam konstitusi-konstitusi. Akan
tetapi, baik sebagai konsep maupun sebagai doktrin, apa yang selama ini
diketengahkan oleh kaum legis profesional yang liberal dengan aliran
positivismenya itu bukannya bisa berlangsung begitu saja tanpa cabaran. Oleh
para pengkritiknya, ajaran positivisme yang mengidealkan hukum sebagai suatu
institusi yang dapat dikonstruksi dan dikelola sebagai suatu otoritas yang
mampu bertindak netral amatlah diragukan kebenarannya. Oleh para pengkritiknya
ini, idealisasi hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah
disepakati, yang dengan demikian – berdasarkan prinsip rule of law, dan tidak
berdasarkan rule of men (yang para penciptanya sekalipun!) – dipastikan akan
mempunyai otoritas internal yang akan mengikat sesiapapun dari pihak manapun,
tidaklah bisa diterima begitu saja. Amat dipertanyakan apakah hukum positif
seperti ini, sekalipun merupakan hasil kesepakatan (baik sebagaimana terjadi di
ruang publik sebagai undang-undang maupun di ruang privat sebagai kontrak) akan
benar-benar dipercaya akan bersifat bersifat netral dan akan dapat ditegakkan
dengan mudah oleh badan yudisial yang konon berposisi independen dan karena itu
tidak akan memihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar