Soetandyo
Wignjosoebroto
Perbincangan secara terbuka mengenai ‘amandemen
UUD-1945 yang komprehensif’ akan mengundang berbagai pikiran dan pendapat yang
tak akan selamanya searah. Perbedaan pendapat seperti ini terkadang demikian
kuat berlawanan, namun demikian tujuan utama dalam setiap dialog bukanlah untuk
mengabadikan perbedaan paham itu. Alih-alih, dialog haruslah dimaknakan sebagai
upaya untuk menemukan konsensus mengenai apa yang terbaik bagi kepentingan
bersama. Demikian jugalah halnya dengan perbincangan kali ini tentang
pembahasan dan rekomendasi Amandemen UUD 1945 secara komprehensif..
Ditengah-tengah perbincangan tentang ihwal amandemen UUD 45 secara komprehensif
ini ada sekurang-kurangnya 3 paham yang beragam berikut ragam usulannya. Yang
pertama adalah paham pro-amandemen ke arah diubahnya UUD 1945 sebagaimana yang
telah terlaksana dewasa ini. Yang kedua adalah kontra-amandemen untuk
membatalkan semua amandemen yang telah ada dan mengembalikan UUD dalam wujudnya
yang semula sebagaimana yang kita miliki pada hari-hari pertama proklamasi.
Yang ketiga adalah amandemen yang dikatakan bersifat moderat, yang hendak
“mengambil jalan tengah” dengan cara mengamandemen secara komprehensif UUD yang
ada, namun tanpa mengabaikan unsur-unsur esensial yang telah ada pada UUD 1945.
Melibatkan diri ke dalam perbincangan yang dibuka hari ini, izinkanlah saya
mengemukakan pendapat saya, yang boleh dibilangkan sebagai pikiran yang menolak
pemikiran dan kehendak untuk “kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen”
(yang, bahkan ada yang menyarankan untuk kembali ke UUD 1945, kalau perlu
dengan dekrit). Dasar argumentasi saya ialah, bahwa segala produk undang-undang
itu mestilah tak hanya hendak dibentuk untuk kepentingan sesaat dari masa kini,
melainkan juga untuk menjangkau kepentingan-kepentingan masa depan, dan tidak
untuk mengkonservasi kepentingan masa lalu. Demikian juga halnya, lebih-lebih
lagi, dengan produk legislasi konstitusi. Maka, perubahan atau amandemen
tentulah merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak mesti dikerjakan.
Saya setuju untuk memperlkukan UUD45 secara khidmat sebagai hasil perjanjian
luhur yang dihasilkan oleh our founding father atas nama bangsa Indonesia. Akan
tetapi, kitapun harus memandang UUD45 itu bukanlah barang yang telah sempurna,
yang tak lagi boleh dikaji ulang oleh the sons and the daughters. Apalagi kalau
kita ketahui bahwa UUD 1945 — yang mesti kita perlakukan secara khidmat itu —
disiapkan dalam waktu yang singkat, dan dalam suasana yang bergegas dalam situasi
yang darurat. Bahkan pembentukan UUD 1945 pda waktu itu belum kunjungsempat
menyelesaikan konflik paradigmatik antara para pembela paradigma “negara
dibangun atas dasar asas kekeluargaan” dan para pembela paradigma “bahwa
hak-hak warga negara perlu dijamin”. Amandemen-amandemen I, II, III, dan IV pun
sebenarnya dikerjakan dalam situasi yang darurat juga, yang menyebabkan
terjadinya rumusan-rumusan yang belum sepenuhnya memuasakan, yang oleh sebab
itu banyak mengundang kritik dan juga mengundang kehendak untuk melakukan
amandemen yang kelima.
Maka, apabila diperlukan amandemen yang kelima, alangkah seyogyanya apabila
amandemen yang kelima itu dikerjakan secara lebih didasari kajian yang visioner
dengan memperhatikan fungsionalisasi UUD untuk kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam masa yang menjangka masa depan. Agar fungsional untuk masa
depan, UUD mestilah diformulakan dalam bahasa yang lebih umum, bicara pada
asas-asasnya saja, yang open to future interpretation, mengingat bahwa masa
depan akan berbeda dengan masa ketika proses legislasi dikerjakan. Masa depan
adalah masa kini yang tak dapat menghindarkan diri dari berbagai perubahan.
Norma-norma implementatif suatu UUD pasti akan berubah.
Sekalipun demikian, saya tetap berpendapat bahwa perubahan macam apapun yang
terjadi, yang penting “ruh” UUD-45 haruslah tetap. Ruh lebih abadi daripada
wujud-wujud rumusan-rumusan kongkrit sebuah undang-undang, yang hanya akan bia
tertangkap lewat interpretasi-interpretasi kontemporer yang dapat
merelevansikan UUD secara maknawi dengan perubahan konteks-konteks sosial
politik yang terjadi. Dewasa ini, apapun konflik-konflik paradigmatik yang
terjadi – seperti misalnya antara lain nasionalisme versus humanisme,
sentralisme versus desentralisme, etatisme versus populisme, monisme versus
pluralisme — ruh UUD 1945 tetaplah berhakikat sebagai ruh keadilan,
anti-kekerasan, anti-eksploitasi, dan anti-penindasan yang dilakukan oleh
penguasa-penguasa yang gampang-gampang menyalahgunakan kekuasaannya. Sampai
kinipun ruh yang demikian itu haruslah tetap merupakan Zeitgeist UUD-1945, tak
peduli apakah yang harus dilawan itu penindasan oleh bangsa asing ataupun
bangsa sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar