Senin, 13 Mei 2013

REPOSISI BUDAYA DALAM MEWUJUDKAN SUSTAINABILITAS PEMBANGUNAN EKONOMI BANGSA


REPOSISI BUDAYA
DALAM MEWUJUDKAN SUSTAINABILITAS PEMBANGUNAN EKONOMI BANGSA 

Widayat


Culture as a unique characteristic of a nation has capital function in creating sustainability of economic development. In the culture, capital function can be seen from two aspects; as an instrument and constituent. Furthermore, culture contains physical (tangible) and non-physical (intangible) aspects that are useful in building nation's competitive and advantageous competence, as well as a source of national income.



Kepemilikan ribuan kekayaan alam dan budaya yang tersebar  di seluruh wilayah Indonesia menunjukkan betapa negeri ini layak mendapatkan julukan bak “Rangkaian Mutu Manikam”. Keestimewaan  tersebut  merupakan daya tarik dan menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar. Sehingga tak hayal banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang tertarik untuk sekadar menikmati keistimewaan tersebut. Ungkapan, “Bukalah mata pada berbagai tradisi dan budaya” serta “Manjakan diri Anda dalam kemegahan Indonesia” menjadi sebuah pernyataan cerdas dan elegan  yang dirancang oleh tim Branding Indonesia dengan Majalah SWA, yang amat dalam maknanya (SWA, 2009).
Betapa menariknya kekayaan dan budaya Indonesia nampak dari jumlah Wisatawan mancanegara (Wisman) dan Wisatawan Nusantara (Wisnus) yang cukup berarti. Berdasar dari situs Departemen Komunikasi dan Indormatika (Depkominfo), pada 2008 jumlah Wisman sebanyak sekitar 6,43 juta orang. Jumlah Wisman tersebut mengalami kenaikan sekitar 27,73% dibandingkan tahun 2002 yang hanya sekitar 5,03 juta orang.  Pada Juli 2009, jumlah Wisman mengalami kenaikan  sebesar 2,56%. Walaupun, pada tahun 2006 jumlah Wisman sempat mengalami penurunan hingga hanya sebanyak 4,87 juta  orang saja atau turun  sekitar 3% dibandingkan tahun 2002.  
Dalam kurun lima tahun hingga 2008, jumlah Wisman rata-rata sekitar 5,23 juta orang. Sementara jumlah Wisnus   hanya mengalami kenaikan sebesar 11,23% dalam  lima tahun. Pada tahun 2002, jumlah Wisnus sebanyak 105,4 juta orang, tahun 2008 mengalami kenaikan hingga mencapai 117,2 juta orang.
Besarnya potensi ekonomi dari kunjungan Wisman dan Wisnus nampak dari sumbangan devisa dan pendapatan negara. Rata-rata besarnya pengeluaran oleh wisman  tiap tahun sebesar US$103,59. Jumlah pengeluaran rata-rata mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari US$91,29 pada tahun 2002, hingga mencapai US$137,38 pada tahun 2008.  Sedangkan jumlah total pengeluaran Wisnus rata-rata selama lima tahun sebesar  Rp.86,64 triliun. Pada tahun 2002 hanya sebesar Rp. 68,82 triliun, mengalami kenaikan hampir dua kali lipat hingga   mencapai  Wisnus Rp.123,17 Triliun pada tahun 2008.
Sumbangan devisa negara dari kunjungan Wisman pada tahun 2008  sekitar US$ 7,38 juta. Jumlah tersebut mengalami kenaikan yang berarti jika dibandingkan pada tahun 2004 yang hanya sebesar US$4,79 juta. Pada tahun 2008 jumlah devisa yang disumbang oleh  Wisman sebesar angka tersebut menempatkan urutan ke empat penyumbang devisa setelah minyak, gas, kelapa sawit dan olahan karet.
Bahkan, Throsby (1997),  mengatakan   dalam kajian  pembangunan ekonomi bangsa culture dan development merupakan  sebuah fondasi yang berkaitan.  Demikian juga UNESCO,   melalui Word Commission on Culture and Development (WCCD)  telah lama menegaskan,  bahwa sustainabillitas suatu negara  menempatkan  budaya (culture) sebagai suatu yang amat penting. 
Dari sekelumit fenomena diatas memunculkan sebuah pertanyaan besar  yakni  dimana posisi  budaya  dalam pembangunan sustainabilitas ekonomi  bangsa?

Konsep Budaya
Pertama kali muncul istilah budaya sekitar tahun 1871. Istilah tersebut dikenalkan oleh seorang antroplog Edward B. Taylor. Menurutnya, budaya adalah “that complex whole which includes knowledge, beliefs, art, moral, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a members of society” (Susanto, et. al.,2008). Dari sudut pandang ilmu sosiologi, budaya lebih merupakan sikap kelompok masyarakat dalam menghadapi fenomena yang terjadi disekitarnya.
Sementara itu, Kayam (1996), memandang  budaya bukan merupakan suatu yang given sebagaimana pandangan banyak orang. Budaya bukan  pula sesuatu yang konkrit memiliki batas-batas yang  kaku, sehingga budaya seakan-akan  menjadi variabel bebas yang agung, yang mempengaruhi  perkembangan  fenomena. Budaya adalah suatu proses dialektika dinamis. Dalam proses dialektika tersebut ada unsur-unsur yang terlibat, sistem ekonomi adalah salah satunya.
Terkait dengan pembangunan ekonomi bangsa, budaya dapat dilihat dari dua sisi.  Pertama sebagai suatu instrumen yang berperan dalam mempromosikan kemajuan  ekonomi.  Sisi yang lain, budaya merupakan  sebuah  konstituen yang berperan dan sangat diperlukan yakni sebagai  karakteristik peradaban yang memberikan makna akan eksistensi masyarakat suatu negara. Kedua sisi dalam melihat budaya tersebut mendekatkan kita pada suatu pandangan  bahwa pembangunan ekonomi (economic development) sangat berdekatan dengan pembangunan manusia (human development). Kedua pembangunan tersebut memerankan budaya sebagai instrumen di satu sisi dan sebagai  konstituen di sisi yang lain.
Lantas, jika  konsep budaya dan  pembangunan dipertimbangkan secara bersama-sama maka  pembangunan dan ekonomi merupakan bagian dari  People’s Culture.  Budaya tidak boleh diartikan secara sempit sebagai  materi atau benda. Lebih dari itu budaya merupakan  tujuan atau hasil dari suatu proses yang bertahap. Bahkan dalam pandangan antropologi sebagaimana di sampaikan oleh Marshal dan Sahlin, bahwa hubungan budaya dan ekonomi sangat inklusif. Sementara dari sisi  budaya sebagai  konstituen  dapat diinterpretasikan sebagai  representasi dari nilai kelompok dan pembangunan merupakan  proses  memperbesar kesempatan manusia dalam memilih dengan berbagai keterbatasan sumber daya.

Budaya Sebagai Kapital
Kapital (capital) merupakan istilah yang tidak asing dalam ilmu ekonomi, baik dalam  level mikro maupun makro. Istilah tersebut telah banyak dipakai diberbagai bidang yang terkadang dipadukan dengan istilah lain, seperti  Social Capital (Sony,2009), Intelectual Capital (Caroll & Tansey, 2000; Ulum,2009), serta Cultural Capital
Social capital dan intelektual capital merujuk pada aset non fisik yang tidak kasat mata yang dimiliki oleh masyarakat. Sementara, modal budaya (cultural capital) sering digunakan dalam menjelaskan suatu yang berbeda dengan makna yang berbeda pula. Dalam Teori Weber, cultural capital didefinisikan sebagai kompetensi dalam suatu masyarakat.
Makna dan peran  kapital dalam ekonomi produksi  telah banyak dipahami dan sedikit sekali yang meragukan kepentinganya. Secara bebas, kapital bisa  dimaknai sebagai sumber daya yang dimiliki oleh suatu lembaga atau negara, yang mana eksistensi sumberdaya tersebut menentukan perkembangan, kemajuan lembaga atau negara tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Abeysekera (2007) dalam konteks intelectual capital  perubahan ekonomi global akhir-akhir ini mengarah  pada  meningkatnya peran kapital.   
Kapital dalam pendekatan ekonomi dapat dipilah menjadi dua. Pertama,  dapat berupa benda fisik yang kasat mata (tangible capital). Kapital dalam bentuk benda fisik dapat berupa  bentuk bangunan, lokasi, objek, artwork, dan kekayaan alam. Kedua, kapital dalam bentuk non fisik yang tidak bisa dilihat dengan mata (intangible capital).  Modal jenis kedua ini dapat berupa  modal sosial (social capital), Modal intelektual  (intelectual capital) berupa ide, keyakinan, nilai yang dianut bersama oleh suatu kelompok masyarakat.
Baik kapital fisik maupun non fisik yang dimiliki oleh suatu negara, dapat dijadikan dasar sebagai keunggulan bersaing yang dapat menghasilkan atau sebagai sumber dana bagi daerah dimana budaya tersebut berada sekaligus bagi negara.  Kedua jenis budaya tersebut menjadi sarana yang dapat mendatangkan pendapatan yang tidak kecil, bilamana mampu mengoptimalkan. Kemampuan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki akan membentuk sebuah kompetensi inti bagi suatu negara atau bangsa.
Lebih jauh, Black dan Porter (2000), memaparkan bahwa keunggulan bersaing dapat diciptakan melalui beberapa hal, yakni; melakukan sesuatu lebih baik dari apa yang dilakukan orang lain, melakukan sesuatu yang sulit dilakukan orang lain, melakukan sesuatu yang bernilai, melakukan sesuatu yang sulit digantikan dan  melakukan sesuatu yang memiliki margin biaya manfaat yang lebih tinggi. Budaya adalah salah satu wujudnya. Karena budaya bukan semata-mata benda fisik dan merupakan  tujuan bertahap dari proses dialektika maka budaya memberikan kesan unik yang berbeda dengan yang lain. Artinya bahwa karya budaya merupakan keunikan dan menjadi keunggulan negara bangsa.
Selain itu, keunggulan kompetitif diciptakan melalui kumpulan beberapa sumberdaya yang unik. Sumberdaya yang dimiliki oleh suatu negara  sebagian merupakan sumberdaya berwujud (tangibles asset) dan sebagian yang lain  sumberdaya tak berwujud (intangible asset). Kedua jenis sumberdaya tersebut merupakan sumber kompetensi inti.   Nilai strategis  dari sumberdaya tersebut ditunjukkan oleh tingkat kontribusi yang dapat diberikan kepada pengembangan kapabilitas, kompetensi inti dan keunggulan kompetitif negara. Seperti pada uraian diatas, betapa besar sumbangan devisa bagi negara hanya karena aspek kepemilikan budaya dan kekayaan. Artiya budaya memiliki peran sebagai sumber kompetensi inti dan selanjutnya menjadi sebuah keunggulan bagi negara.
Kompetensi inti  dapat dibangun dan dikembangkan dengan dukungan sumber daya yang dimiliki. Pengembangan kompetensi inti  yang memiliki daya tahan dapat dilakukaan dengan dua cara, yakni;
1.      Pemberian kriteria yang spesifik dari sumberdaya dan kapabilitas yang menjadi kompetensi inti.
2.       Analisis Rantai Nilai (value chain). Analisis ini digunakan untuk memilih penciptaan kompetensi inti yang harus dipelihara, ditingkatkan dan dikembangkan.  Selanjutnya, jika budaya dijadikan sebagai salah satu kapital bangsa, maka perlu dipelihara, dikembangan  atau dikemas  agar menjadi lebih bernilai.
Sumber daya yang merupakan kompetensi inti sebagaimana dikemukakan oleh Hit et. al. (2001) memiliki beberapa kriteria, yakni: Pertama, bernilai (valuable), aset atau sumberdaya yang merupakan  sumber kompetensi inti, yang digunakan untuk menghadapi perubahan lingkungan global harus senantiasa memiliki nilai yang mampu memberikan kontribusi secara finansial maupun non finansial yang berarti.
Kedua,  langka, aset yang dimiliki  keberadaannya terbatas dan tidak mudah untuk didapatkan dan dimiliki oleh yang lain sebagai pesaing pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Sifat atau ciri langka ini  tidak mudah didapatkan pada aset yang berwujud. Hal ini disebabkan aset berwujud   sangat mudah diduplikasi atau ditiru oleh  yang lain, sehingga menyebabkan sifat langka ini menjadi hilang.  Aset yang tidak berwujud, seperti budaya,  daya kreatifitas dan intelejensi yang dimiliki SDM  lebih memiliki sifat langka dibandingkan dengan aset berwujud.  
Ketiga, terlalu mahal untuk ditiru  dan tidak ada produk pengganti. Agar suatu kapabilitas  menjadi kompetensi inti,  ia harus  bernilai dan tidak dapat digantikan. Sementara  itu, ia harus unik tidak dapat digantikan dan ini menjadi karakteristik yang dimilki oleh budaya bangsa tertentu.  Karakteristik  kompetensi yang dipaparkan diatas dimiliki oleh  budaya.  Misalkan, budaya Toraja, suku Asmat dan masih banyak karya dari suku primitif lain yang tidak bisa diciptakan oleh bangsa lain.
Persoalannya adalah bagaimana budaya mampu memberikan kontribusi  sehingga tercapai sustainabilitas pembangunan ekonomi?  Bangsa dan negara yang mampu membangun ekonomi secara berkelanjutan adalah yang  mampu membangun dan menciptakan keunggulan kompetitif karena mereka  mampu mengelola sumberdaya, kapabilitas dan kompetensi intinya secara  efektif termasuk didalamnya budaya.
Dalam konteks  Indonesia, secara alamiah  yang sudah dianugerahkan oleh Tuhan  menjadikan Indonesia memiliki berbagai keunikan budaya dan alam. Keunikan tersebut menjadikan daya tarik yang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh negara lain. Keunikan inilah idealnya menjadi kapital,  khususnya kapital budaya.
Ambil sebuah contoh negara Singapura yang tidak memiliki berbagai kekayaan alam seperti Indonesia, mampu menciptakan keunikan yang menjadi daya tarik. Berbagai event, eksibisi, atau hanya sekedar meeting telah banyak dilakukan oleh pebisnis manca negara.   Demikian juga Cina daratan  yang memiliki wisata tradisional dan  Hongkong  sebagai tujuan wisata modern.  

Ekuitas Intergenerasi
Ekuitas intergenerasi merujuk pada keadilan distribusi kemakmuran, utilitas  atau distribusi sumberdaya antar generasi.  Prinsip dasar ekuitas intergenerasi dapat dipahami  dalam  konteks horison waktu antar generasi. Minyak dan gas bumi dapat difungsikan sebagai penggerak ekonomi suatu negera, namun keduanya bersifat terbatas dan hanya bisa diekploitasi dalam kurun waktu tertentu. Terlebih keduanya adalah termasuk sumber daya alam yang tak bisa terbarukan (non renewable resources) atau paling tidak membutuhkan waktu yang sangat lama. Sehingga,  sumber daya alam yang tak terbarukan akan habis dalam satu atau beberapa generasi saja.
Berbeda dengan sumber daya alam minyak atau gas, yang memiliki sifat tidak bisa difungsikan oleh generasi-generasi berikutnya, budaya malah sebaliknya. Jika merujuk pada konsep budaya diatas, bahwa budaya  bukan merupakan produk akhir namun merupakan hasil dialektika suatu masyarakat. Hasil dialektika tersebut akan memunculkan inovasi dan pembaruan sehingga akan mewarnai budaya yang sudah ada atau bahkan memperkaya.
Proses memperkaya dan mewarnai budaya yang ada dilakukan oleh masyarakat dalam peradaban tertentu, dalam konteks tertentu seperti konteks Keindonesiaan. Sehingga akan terus berlangsung dari generasi ke generasi. Pada akhirnya akan menjadi suatu modal sendiri yang mahal nilainya bagi suatu generasi.  Budaya yang lebih kaya akan menjadi modal sendiri (ekuitas) dari generasi ke generasi selanjutnya (intergenerasi). Budaya hasil kreasi generasi akan menjadi daya tarik tersendiri yang mampu menopang ekonomi bangsa.

Sustainabilitas Ekonomi
Pembangunan berkelanjutan (sustainabity development) adalah sebuah konsep pembangunan yang telah  di kenal sejak 1970-an.  Konsep  tersebut  menekankan bahwa pembangunan suatu bangsa perlu mempertimbangkan atau memikirkan  generasi yang akan datang.  Pembangunan berkelanjutan   mencakup beberapa lingkup  antara lain pembangunan ekonomi dan  pembangunan sosial.   PBB  dalam World Summit 2005  menyebut  dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001)  artikel ke 3 tentang  Cultural diversity  as a factor in development  disebutkan bahwa Cultural diversity widens the range of options  open to everyone; it is one of the roots of development, understood not simply in terms of economic growth, but also as a means to achieve a more satisfactory intellectual, emotional, moral and spiritual existence.
Konsep pembangunan berkelanjutan memiliki arti  bahwa  pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual. Dalam pandangan ini,  keragaman budaya merupakan salah satu kebijakan  yang menjadi bagian dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Seperti terlihat pada gambar 1, budaya dan keberagaman budaya menjadi salah satu pilar dasar pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan selain kekayaan alam yang bersifat  fisik kasat mata. Dengan demikian penempatan budaya sebagai modal pembangunan menjadi  suatu yang urgen. Bangsa dan nagara yang memiliki modal tersebut idealnya menjadi negara yang memiliki kompetensi dan keunggulan bersaing bagi pembangunan ekonominya.

Penutup
Budaya merupakan aset bangsa yang bewujud maupun tidak berwujud sebagai hasil dari proses dialektika bertahap.  Budaya tersebut akan tercipta dengan ciri dan keunikan tersendiri berbeda antar adaerah satu dengan yang lain, antara bangsa satu dengan bangs ayang lain. Keunikan inilah yang menjadi pembeda sekaligus menjadi daya tarik yang memiliki potensi bagi sustainabilitas ekonomi suatu bangsa.
Jika budaya memiliki peran yang strategis bagi kelangsungan hidup bangsa, maka budaya harus diposisikan sebagai harta, kapital, atau ekuitas  milik bangsa yang harus selalu dipelihara. Pemeliharaan kapital budaya dari generasi ke generasi dari waktu ke waktu sehingga tercipta ekuitas intergenerasi dan menjadi sumber daya yang mahal  bagi keberlangsungan ekonomi suatu bangsa.

Daftar Pustaka

Steward, Black J.  and  Lyman W  Porter. Management: Meeting New Challenges.  New Jersey: Prentice Hall Inc. 2000.

Hit, Michael A., R. Duane Ireland dan Robert Hoskinson. Manajemen Strategis: Daya Saing dan Globalisasi. Jakarta:  Salemba Empat. 2001.

Husaini M. “Mencermati Misteri Globalisasi”.  Majalah Usahawan Indonesia. Edisi N. 01/TH.XIX Januari/2000. 

Kayam, Umar.  “Kebudayaan dan Budaya Perusahaan”.  Manajemen Usahawan Indonesia No. 07/TH XXV Juli/1996.

Krzyztof Piech and Slavo Radosvice. The Knowledge Based Economy In Central And Eastern Europe.  Palgrave Mcmilan. 2006.

Landiyanto, Erlangga Agustino and Wardaya, Wirya. “Framework of Regional Development in  Agenda 21: Sustainability and Environmental Vision”.  Airlangga University dalam  http://mpra.ub.uni-muenchen.de/2381/ diakses 17 November 2009 jam 14.23 WIB.

Marilyn, M. Helms, Clay Dibrell and Peter Wright. “Competitive Strategies and Business Performance: Evidence From the Adhesive and Sealants Industry”  Management Decision. MCB University Press. 1997.

Robin Stephen. Organizational Behavior.  Prentice Hall International Inc. 2002.

Susanto, A.B., Sujanto FX., Wijanarko Himawan et. al.  “Corporate Culture Organization Culture”,   The Jakarta Consulting Group. 2008.

Throsby, David. “Sustainability and Culture: Some Theoritical Issues”. The Internationa Journal  of Culture Policy. JCPOEW 4 (1) 1-242. 1997.

UNESCO, Universal Declaration On Cultural Diversity 2002. www.unesco.org/culture  diakses 16 Nopember 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar