Demokrasi
menyediakan konsep representasi kekuasaan yang bermakna bahwa setiap elite
politik yang dipilih, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, harus
memperjuangkan suara masyarakat umum.
Mekanisme representasi kekuasaan tersebut sering disebut sebagai pemerintahan
demokratis (democratic governance).Mekanisme dalam pemerintahan demokratis
secara substansial berlangsung pada proses interaksi timbal balik antara elite
politik dalam kekuasaan, dan masyarakat luas.
Pemerintahan demokratis tentu saja adalah dambaan rakyat Indonesia. Namun,
demokrasi multipartai Indonesia sedang menyajikan fenomena perilaku para elite
politik yang jauh dari upaya merealisasikan pemerintahan demokratis.
Sebaliknya, mereka mempraktikkan satu manipulasi politik ke manipulasi lainnya.
Tujuan utamanya mencuri kekayaan negara.
Politisi Manipulatif
Pemerintahan demokratis selalu disemai oleh komunikasi timbal balik secara
transparan, inklusif, dan bebas dominasi yang difasilitasi para elite politik.
Para elite politik yang mengupayakan praktik pemerintahan demokratis akan
menciptakan peluang-peluang terelaborasinya pendapat dan gagasan secara
dialektis konstruktif dengan masyarakat.
Karena itu, terkreasilah proses politik yang disarati dinamika perbedaan
konseptual, tetapi mampu menciptakan formulasi kebijakan yang diamini bersama
karena sifat kebaikan umumnya. Pada interaksi pemerintahan di tingkat nasional,
komunikasi tatap muka yang melibatkan seluruh aktor memang sulit.
Namun, suara-suara masyarakat yang ditransmisikan di ruang publik oleh media
massa mampu membangun dimensi interaksi pemerintahan secara luas dan intensif.
Selain harus “turun ke bawah” menemui langsung masyarakat, para elite politik
perlu rajin membaca media massa dan melakukan penelitian harapan umum
masyarakat tentang kebijakan pemerintahan.
Bagi elite politik yang memiliki integritas terhadap tugas-tugas
konstitusionalnya, pendapat dan harapan masyarakat yang dikomunikasikan di
ruang publik akan direspons atau diperjuangkan. Seperti harapan masyarakat
tentang kebijakan yang berfokus pada pembangunan infrastruktur nasional,
penciptaan sistem jaminan sosial bagi rakyat, peningkatan layanan pendidikan
dan kesehatan, sampai harapan tentang sistem perizinan usaha yang tidak berbelit.
Namun saat ini pada kenyataannya, para politisi yang memiliki posisi dalam
struktur kekuasaan telah lepas dari integritas konstitusional. Mereka yang
didaulat sebagai pemimpin dalam struktur kekuasaan tersebut sering kali
mempraktikkan politik manipulatif secara kolektif di dalam proses interaksi
pemerintahan demokratis.
Jika kita meminjam istilah Bart Westerweel (1997), mereka telah melakukan
kebohongan kekuasaan (political fable) secara sistematis dalam praktik
pemerintahan. Bentuknya dengan menyimpangkan nilai dan prinsip kepentingan umum
menjadi kepentingan sempit.
Para politisi dan politik manipulatifnya itu rajin membombardir ruang publik
dengan wacana-wacana tentang kepentingan rakyat dalam setiap kebijakan
negara.Namun pada banyak keputusan politik mereka tentang kebijakan
pembangunan, sering kali memarjinalisasi konsep kebaikan bersama dan
kepentingan umum.
Kasus terakhir yang jadi sorotan publik adalah praktik korupsi yang diduga
dilakukan M Nazaruddin dalam kasus gedung Wisma Atlet SEA Games di Palembang.
Masyarakat semakin mendapatkan bukti empiris bahwa politisi dalam struktur
kekuasaan, terutama di DPR,melakukan manipulasi politik demi keuntungan bagi
dirinya sendiri.
Persepsi masyarakat tentang politik manipulatif pun mulai meluas ke
pemerintahan eksekutif. KPK, yang dianggap bagian dari lembaga eksekutif bidang
pemberantasan korupsi, terkesan lamban dalam persepsi publik.Satuan TugasAnti
Mafia Hukum pun seolah jalan di tempat.
Imbas dari persepsi masyarakat tentang para politisi yang manipulatif tampaknya
diwujudkan dalam hasil jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) beberapa
waktu lalu yang memperlihatkan penurunan kepercayaan sangat besar pada partai
politik yang menjalankan roda kekuasaan negara.
Penguatan Peran Masyarakat
Para politisi dengan politik manipulatifnya menjadi jurang gelap penghalang
terciptanya kebijakan negara yang berorientasi pada kepentingan umum.Fenomena
ini memberi kesimpulan miris bahwa para politisi nasional mengalami krisis
kepemimpinan.
Padahal, kepemimpinan adalah kapasitas mengelola kekuasaan secara bijaksana
dengan melandaskan pada prinsip-prinsip kebaikan umum sebagaimana tercermin di
dalam konstitusi Republik Indonesia. Krisis kepemimpinan para elite politik
yang melanda Republik ini merupakan salah satu sumber mengapa kekuasaan
demokratis tidak berjalan optimal.
Sebagaimana Pierre Rosanvallon (Counter Democracy, 2008), melalui risetnya
tentang praktek demokrasi dunia,melihat bahwa di banyak negara demokrasi tampak
masih belum berhasil. Ketidakberhasilan tersebut ditandai banyaknya kebijakan
tak berbasis pada aspirasi masyarakat dan tingginya tingkat korupsi para elite
politik.
Kondisi tersebut bersumber pada dominannya elite’s rule (dominasi elite
politik) atas berbagai kebijakan negara. Mereka enggan mendengar suara
masyarakat. Menurut Rosanvallon, jalan satu-satunya mendobrak elite’s rule
adalah memperkuat peran masyarakat dalam partisipasi politik demokrasi.
Merujuk pendapat Rosanvallon, peran masyarakat Indonesia dalam demokrasi
tampaknya belum sampai pada level “memaksa” para elite politik mendengarkan
suara mereka. Sering kali masyarakat menganggap fenomena politik seperti
infotainment semata, hanya riuh diperbincangkan sesaat setelah itu hilang.
Masyarakat perlu terus menyuarakan tuntutan atas suatu kebijakan negara dan
kontrol atas perilaku para elite politik. Masyarakat harus menyadari bahwa
selalu dibutuhkan kesabaran dan intensitas menciptakan pemerintahan demokratis
yang bersih dari praktik politik manipulatif dan korupsi.
Dengan begitu, dambaan untuk memiliki pemerintahan demokratis yang mampu
menyejahterakan rakyat bisa terealisasi (Sumber: Harian Seputar Indonesia, 17
Juni 2011)
Tentang penulis:
Novri Susan, Sosiolog Unair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar