Indonesia telah menjalankan mesin demokrasi untuk
mencapai cita-cita konstitusi selama hampir dua dekade sejak 1998.
Harapan publik luas terhadap demokrasi adalah
terbangunnya habitus kepemimpinan transformatif yang melakukan perubahan
berarti dari keterpurukan sosial ekonomi. Akan tetapi demokrasi Indonesia
ternyata lebih condong dikuasai oleh habitus kepemimpinan pencitraan dari level
nasional sampai daerah. Habitus kepemimpinan pencitraan berciri pada penonjolan
pesona bahasa politik untuk meraih simpati publik, dan komunikasi hegemonik
untuk memengaruhi publik demi kepentingan sempit (vested interest).
Konsekuensi dari habitus kepemimpinan pencitraan
adalah demokrasi yang tercedera. Demokrasi menjadi lumpuh kemampuannya untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebaliknya habitus
kepemimpinan transformatif dengan ciri komunikasi politik terbuka, diskursif,
dan kerja konkret di lapangan berdasarkan aspirasi publik masih belum terbangun
kuat.
Habitus
Kepemimpinan
Habitus, menurut Pierre Bourdieu (1984), merupakan
praktik sosial yang direproduksi melalui interaksi dinamis antara pengetahuan
subyektif dan konteks struktur. Terkait kepemimpinan politik, pengetahuan
subjektif merujuk pada ideologi yang berisi konsep tentang apa yang baik dan
buruk. Konsep itulah yang mendefinisikan kepentingan-kepentingan para elite
terhadap otoritas kekuasaannya.
Secara diametrikal ada dua konsep kepentingan
berseberangan yaitu kepentingan umum dan kepentingan sempit. Konteks struktur
kepemimpinan politik merupakan sistem, desain kelembagaan politik dan
birokrasi. Indonesia telah memilih demokrasi sebagai sistem politiknya daripada
otoritarianisme sehingga tatanan politik merupakan susunan kelembagaan yang
mendukung prinsip-prinsip demokrasi seperti partisipasi, transparansi,
kesetaraan, dan akuntabilitas lembaga-lembaga negara.
Habitus kepemimpinan transformatif merupakan praktik
ideal dari interaksi dinamis antara kepentingan umum dan konteks struktur yang
demokratis. Dengan begitu, elite kekuasaan dalam habitus kepemimpinan
transformatif memilih praktik komunikasi diskursif dengan publik secara
transparan dan partisipatif. Praktik komunikasi diskursif tersebut mengelola
konflik secara negosiatif dan inklusif antara konsep kekuasaan dan aspirasi
publik. Interaksi ideal konsep kepentingan publik dengan konteks struktur
demokratis menciptakan praktik-praktik kepemimpinan yang bekerja menciptakan
perubahan progresif.
Perubahan yang ditandai oleh kondisi yang lebih baik dari
berbagai masalah kompleks kebangsaan. Seperti petani gurem mampu memiliki lahan
garapan sendiri, rakyat kecil memiliki pekerjaan, perlindungan pada minoritas,
perlindungan pada TKI menguat, dan transportasi publik makin aman dan nyaman.
Sebaliknya elite kekuasaan dalam habitus kepemimpinan
pencitraan, praktek turun lapangan seringkali hanya bersifat seremonial,
kadang-kadang dan basa-basi. Praktik politik yang tidak menghidupkan komunikasi
diskursif secara intensif antara pemimpin dan rakyat akar rumput. Karena itu,
para elite kekuasaan dalam habitus kepemimpinan pencitraan seringkali
melahirkan kebijakan hipokrit.
Internalisasi
Masalah bangsa yang makin kompleks dan fenomena kebijakan pemerintahan pusat dan daerah yang tidak sehati dengan aspirasi rakyat merupakan imbas dari elite kekuasaan yang memupuk habitus kepemimpinan pencitraan. Sedangkan habitus kepemimpinan transformatif pada kenyataannya belum cukup kuat terbangun di republik. Perubahan progresif yang diharapkan oleh rakyat masih berada di jalan terjal.
Masalah bangsa yang makin kompleks dan fenomena kebijakan pemerintahan pusat dan daerah yang tidak sehati dengan aspirasi rakyat merupakan imbas dari elite kekuasaan yang memupuk habitus kepemimpinan pencitraan. Sedangkan habitus kepemimpinan transformatif pada kenyataannya belum cukup kuat terbangun di republik. Perubahan progresif yang diharapkan oleh rakyat masih berada di jalan terjal.
Kecuali para pemimpin nasional dan daerah tergerak
secara kolektif menanggalkan habitus kepemimpinan pencitraan dan membangun
habitus kepemimpinan transformatif. Proses tersebut tidak mustahil apabila para
elite kekuasaan yang telah membangun habitus kepemimpinan transformatif secara
aktif melakukan internalisasi yaitu proses memengaruhi lingkungan politik untuk
mempraktikkan kepemimpinan transformatif yang berbasis pada nilai dan prinsip
demokrasi.
Sebagian elite kekuasaan dalam pemerintahan, terutama
di tingkat daerah, sebenarnya telah membangun habitus kepemimpinan
transformatif. Sebut saja beberapa di antaranya Bupati Herman Sutrisno di
Kabupaten Banjar, Jawa Barat; Wali Kota Tri Rismaharini di Kota Surabaya, Jawa
Timur; sampai Bupati La Tinro La Tunrung di Kabupaten Enrekang, Sulawesi
Selatan. Pada konsistensi para elite kekuasaan tersebut disematkan harapan
proses internalisasi habitus kepemimpinan transformatif. Ada dua arah
internalisasi habitus kepemimpinan transformatif.
Pertama, internalisasi spesifik yang memengaruhi
jajaran kepemimpinan di dalam wilayah otoritas politik seperti wali kota
terhadap pejabat birokrasi, camat, dan lurah. Internalisasi spesifik ditandai
oleh kemauan dan intensitas pemimpin turun ke lapangan untuk mendorong kepemimpinan
di bawahnya menjalankan tugas kepemerintahan sesuai mandat konstitusi dan
demokrasi. Kedua, internalisasi umum yang ditujukan kepada semua pemimpin dalam
struktur kekuasaan daerah dan nasional. Internalisasi umum cenderung lebih
sulit dilakukan karena pluralitas kepentingan dan jejaring politik lebih
kompleks.
Kendati demikian, praktik habitus kepemimpinan
transformatif yang saat ini mulai mendapatkan dukungan publik luas memiliki
pengaruh kuat. Jika para pemimpin dalam struktur kekuasaan tetap memelihara
habitus kepemimpinan pencitraan, mereka akan ditinggalkan oleh publik. Jejaring
elite yang membangun habitus kepemimpinan transformatif merupakan urgensi
demokrasi Indonesia agar cita-cita konstitusi dalam menciptakan keadilan dan
kesejahteraan untuk bangsa bisa terwujud. KPU melaporkan bahwa tahun ini akan
dilaksanakan 15 pilkada provinsi, 104 pilkada kabupaten, dan 33 kotamadya.
Rakyat Indonesia perlu melakukan evaluasi kritis
terhadap para elite politik yang menjadi kandidat pemimpin daerah. Para
kandidat yang telah memiliki jejak rekam sebagai pemimpin yang korup, abai pada
aspirasi rakyat, dan enggan berdialog dengan rakyat perlu ditinggalkan. Dengan
begitu, pilkada tahun ini bisa dimenangkan oleh para elite politik yang
berkomitmen terhadap habitus kepemimpinan transformatif.●
Sosiolog Universitas Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar