Dalam berbagai literatur batasan atau definisi sosiologi agama (sociology of religion) hampir tidak ada perbedaan yang sangat berarti. Namun demikian, perlu saya kemukakan berbagai pengertian sosiologi agama menurut beberap ahli sosiologi agama.
J.Wach merumuskan sosiologi agama secara luas sebagai suatu studi tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan dan kelembagaan agama mempengaruhi dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi dan stratifikasi sosial adalah tepat.
Jadi seorang sosiolog agama bertugas menyelidiki tentang bagaimana tata cara masyarakat,kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama sebagaimana agama mempengaruhi mereka. Kelompok-kelompok pengaruh terhadap agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga-lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung maupun tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat dan sebagainya dan termasuk juga bidang penelitian sosiologi agama.
Menurut W.Goddjin sosiologi agama adalah bagian dari sosioologi umum yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profane dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kelompok keagamaan.
Definisi-definisi tersebut diatas kiranya sudah cukup jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa sosiologi agama pada hakekatnya adalah cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama (religious society) secara sosiolgis untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi untuk masyarakat agama itu sendiri dan umat atau masyarakat pada umumnya.
Lahir Dan Perkembangan Sosiologi Agama.
Kelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan prancis yang bernama august comte (1798-1857) yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai aliran macam pemikiran kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiric yang kuat.
Ilmu tentang masyarakat ini pada awalnya oleh august comte diberi nama “social physics” (fisika sosial) kemudian dirubahnya sendiri menjadi “sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang hamper bersamaan ternyata dipergunakan oleh seorang ahli statistic sosial berasal dari belgia bernama adophe quetelet. Selanjutnya August Comte dikenal sebagai “bapak sosiologi”.
Sedangkan minat mempelajari fenomena agama dalam masyarkat mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana barat terkenal seperti Edward B.Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Frederick H.Muller (1823-1917). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama-agama primitive akan tetapi pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina mulai sekitar tahun 1900. Mulai saat itu hingga menjelang munculnya buku-buku sosiologi agama yang sering disebut dengan nama sosiologi klasik.
Periode klasik ini dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari prancis (1858-1917) dengan karyanya anntara lain The Elementary Forms of Religious Life dan Max Webber dari Jerman (1864-1920) dengan karya yang monumentalnya yaitu The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism dan Ancient Judaism.
Dua sarjana tersebut lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama. Dikemudian hari tulisan-tulisan mereka digolongkan oleh para ahli sosiologi ke dalam bagian sosiologi umum.
Fungsi dan Peranan Sosiologi Agama dalam Masyarakat Agama
Seperti yang dijelaskan dimuka dalam definisi, sosiologi agama adalah cabang dan juga bagian vertikal dari sosiologi umum. Ia merupakan suatu ilmu yang menduduki tempay yang “profan”. Ia bukan ilmu yang sacral: bukan seperti ilmu teologi, tetapi ilmu profane, yang positif dan empiris yang dilakukan dan dibina oleh sarjan sosial,entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukan untuk membuktikan kebenaran(objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ihwal masyarakat agama. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapatlah dikatakan bahwasosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu sosial yang lain. Namun, bila dilihat sejarah kelahiran dan berkembangnya sosiologi agama itu, maka ilmu ini lebih merupakan ilmu terpakai dari pada ilmu teoritas murni. Ia diciptakan oleh pendukung-pendukungnya untuk kepentingan praktis, antara lain untuk memecahkan masalah sosio-religius yang timbul waktu di eropa akibat kurangnya pengetahuan tentang segi-segi sosiologis kehidupan beragama. Sudah barang tentu bahwa keterangan ilmiah yang merupakan hasil sementara dan masih bertambah jumlahnya, pada tahap berikutnya akan merupakan bahan-bahan yang berguna untuk menyusun dan mengembangkan sosiologo agama bercorak teori murni.
Kegunaan sosiologi dalam forum keilmuan merupakan sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sebagaimana sosiologi positif telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian pula sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah sosial nonkeagamaan. Dalam bidang teoritis dimana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangan. Terutama sosioogi keristen yang ternyata sudah lebih majudari pada sosiologi agama dari luar agama Kristen, dapat memberikan sumbangan yang berharga khususnya teologi tentang gereja,misiologi, dan juga teologi pastoral, pun pula kepada teologi kabebasan dan teologi pembangunan.
Beberapa buku sosiologi agama yang telah terbit dieropa dan amerika serikat yang membicarakan agama Kristen protestan dan Kristen katolik dapat diperoleh informasi bagaiman pentingnya peranan yang dimainkan sosiologi agama dalam kalangan mereka. Dr.H. Goddjin dan kawan-kawanya, misalnya, dalam bukunya mengatakan hal menarik mengenai sikap-sikap kalangan gereja dieropa. Setelah pejabat gerejani dalam waktu relative lama mengambil sikap negative terhadap sosiologi agama (bahkan menolak dan menuduh campur tangan kehidupan intern gereja), akhirnya mereka(kalangan itu berubah sikap dari negative menjadi positif. Jelasnya, mereka bukan saja mendukung tetapi bahkan menaruh harapan besar, malahan ada yang berlebihan terhadap sosiologi agama.mereka mengharapkan dalam waktu singkat sosiologi agama sanggup menciptakan tertib sosio-religius yang ideal,misalnya, pengorganisasian kehidupan paroki yang harmonis dan efisien,baik kedalam maupun keluar. Jika kita lihat masyarakat Indonesia sebagai Negara yang agamis, dimana kehidupan keagamaan masih memainkan peranan penting yang dominant bagi kehidupan bangsa dan Negara, namun sebaliknya juga sering merupakan sumber ketegangan(konflik) yang membawa banayk keresahan: maka kita dapatmembuat suatu praduga yang kuat bahwa sosiologi agama dapat lahir dan dibina dengan baik dan pecintanya, niscaya hal itu akan memberikan sumbangan yang sangat berharga dan kehadirannya akan disambut dengan rasa gembira, baik oleh kalangan sarjana ilmu sosial maupun kalangan pemerintah. Akan tetapi,itu baru praduga, suatu hipnotis yang belum diuji kebenarannya secara actual, karena memang belum ada ahli sosiologi yang menangani masalah kehidupan agama dengan teknik yang memenuhi persyaratan ilmiah.
Akhir-akhir ini masyarakat dihadapkan dengan masalah-masalah sosial yang semakin krusial yang tidak lepas dari kekuatan sosial yang bersumber dari persoalan politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Hal ini seringkali menimbulkan gejolak yang menjurus pada gerakan-gerakan negative yang bersifat kritis, dalam bentuk unjuk rasa, mimbar terbuka, demontrasi, dan lain sebagainya. Semua ini bersumber pada perbedaan presepsi dan kecemburuan sosial. Ini kadang-kadang, jika tidak terkendalikan, akan menjurus keberingasan massa. Masalah lain adalah keterbelakangan pendidikan dan pengajaran, dari persoalan buta huruf sampai kekurangan guru dan gedung sekolah, disamping masih terdapatnya sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi persyaratan mutu nasional akibat dari demonasi kurikulum agama, yang umumnya mengikuti pola pendidikan tradisional yang menutup anak didik dari nilai sekuler yang sudah menguasai masyarakat luas. Belum lagi problem besar kemiskinan, baik yang disebut kemiskinan structural dan non structural, yang apriori dapat dipastikan ada kaitannya dengan unsur-unsur “credo” keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh pemeluknya dan yang diterima dengan reladan tidak rela sebagai nasib yang dikehendaki tuhan. Lebih berat lagi dalah permasalahan kesatuan dari sekian banyak suku bangsa di tanah air, yang tidak dapat dipisahkan dari unsure-unsur keagamaan yang berbeda dan diyakini suku-suku sebagai pemeluknya yang berbeda pula. Bahkan, dewasa ini semakin disadari banyak cendekiawan yang yakin bahwa fenomena sosial yang disebut dengan ras, agama, suku merupakan problem nasional yang berat. Di samping itu, masih banyak dapat diketengahkan kesulitan-kesulitan yang bersumber pada masalah kurtural. Adanya tradisi budaya yang masih dipertahankan sebagai warisan bagi generasi muda yang kadang-kadang sebagian warisan itu menurut akal sehat kurang menguntungkan lagi bagi kelangsungan tata hidup masyarakat modern. Disini orang menghadapi bukan saja etnis, melainkan masalah sosiologi-kultural. Bukan lagi komunikasi antar suku bangsayang satu dengan yang lain,melainkan antara strata sosial yang satu dengan yang lain. Tegasnya antara bawahan dengan atasan atau sebaliknya, yang masih mempertahankanpola distansi vertikal tidak hanya sopan santunsehari-hari, bahkan dalam urusan fungsional yang dengan sendirinyamenuntut inisiatif dan tanggungb jawab pribadi. Hal seperti itu ternyata kadang-kadang masih sering dikorbankan untuk memenangkan kedudukan pimpinan dari golongan yang berkuasa.
Melihat begitu beratnya masalah yang dihadapi bangsa ini,maka dapat diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut,”Manakah ilmu pengetahuan dirasa kompetendan dapat diharapkan sanggup memecahkan masalah di atas dengan wajar, teknologi, teologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, antropologi budaya, atau ilmu hukum? “teologi saja, misalnya, tidak dapat diharapkan mampu memecahkan persoalan, apalagi teologi yang masih berpegang pada pola tradisional dan biasanya kurang menguasai pengetahuan sosiologis. Munculnya usaha pengembangan kearah teoritas dan praktis dalam teologi, seperti teologi sosial, teologi bisnis,dewasa ini sesungguhnya merupakan jawaban dari kesempatan makna teologi yang sampai sekarang ini dianut oleh mayoritas muslim di Indonesia. Dari teknologipun juga belum cukup, karena teknik pembangunan dari sarana-sarana fisik lain dari”teknik” menangani masalah sosial. Masyarakat tidak dapat digerakan dalam pembangunan ini dengan hanya menawari dengan teknologi yang canggih, melinkan perlu teknik-teknik penyadaran akan perlunya kehidupan yang lebih baik. Untuk itu butuh ilmu-ilmu, misalnya psikologi atau sosiologi umum.
Demikian pula ilmu ekonomi, hukum, antropologi, dan yang lain lagi, tidak dapat diharapkan memberikan jawaban yang khas dibutuhkan,karena sudut pandang dan tujuannya memang khusus. Maka, ilmu yang layak diharapkan sanggup memberikan jawaban yang khas dan tepat tepat dalam masalah-masalah tersebut diatas tinggalah sosiologi agama. Yang dimaksuddengan ketepan jawaban ialah bilamana dalam penelusuranmasalah itu orang terbentur pada urat nadi kesulitan yang berpangkal pada sumber-sumber keagamaan. Sekurangnya, demikian anggapan sejumlah agamawan terkemuka yang didukung penganutnya. Akan tetapi, apabila masalah itu dikaji secara sosiologis, masalah yang bergejolak bukanlah masalah ortodoksi(dogma dan moral), melainkan hanya masalah kebudayaan, pendeknya masalah sosiologis. Misalnya tentang kepemimpinan agama yang membuat pemeluknya tertekan dan menimbulkan ketegangan yang mencekam karena kurang memahami teknik organisasi dan penggunaan kekuasaan dalam situasi yang sudah berubah, yang menuntut pergantian struktur dan sistem yang sesuai.
J.Wach merumuskan sosiologi agama secara luas sebagai suatu studi tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan dan kelembagaan agama mempengaruhi dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi dan stratifikasi sosial adalah tepat.
Jadi seorang sosiolog agama bertugas menyelidiki tentang bagaimana tata cara masyarakat,kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama sebagaimana agama mempengaruhi mereka. Kelompok-kelompok pengaruh terhadap agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga-lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung maupun tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat dan sebagainya dan termasuk juga bidang penelitian sosiologi agama.
Menurut W.Goddjin sosiologi agama adalah bagian dari sosioologi umum yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profane dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kelompok keagamaan.
Definisi-definisi tersebut diatas kiranya sudah cukup jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa sosiologi agama pada hakekatnya adalah cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama (religious society) secara sosiolgis untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi untuk masyarakat agama itu sendiri dan umat atau masyarakat pada umumnya.
Lahir Dan Perkembangan Sosiologi Agama.
Kelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan prancis yang bernama august comte (1798-1857) yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai aliran macam pemikiran kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiric yang kuat.
Ilmu tentang masyarakat ini pada awalnya oleh august comte diberi nama “social physics” (fisika sosial) kemudian dirubahnya sendiri menjadi “sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang hamper bersamaan ternyata dipergunakan oleh seorang ahli statistic sosial berasal dari belgia bernama adophe quetelet. Selanjutnya August Comte dikenal sebagai “bapak sosiologi”.
Sedangkan minat mempelajari fenomena agama dalam masyarkat mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana barat terkenal seperti Edward B.Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Frederick H.Muller (1823-1917). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama-agama primitive akan tetapi pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina mulai sekitar tahun 1900. Mulai saat itu hingga menjelang munculnya buku-buku sosiologi agama yang sering disebut dengan nama sosiologi klasik.
Periode klasik ini dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari prancis (1858-1917) dengan karyanya anntara lain The Elementary Forms of Religious Life dan Max Webber dari Jerman (1864-1920) dengan karya yang monumentalnya yaitu The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism dan Ancient Judaism.
Dua sarjana tersebut lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama. Dikemudian hari tulisan-tulisan mereka digolongkan oleh para ahli sosiologi ke dalam bagian sosiologi umum.
Fungsi dan Peranan Sosiologi Agama dalam Masyarakat Agama
Seperti yang dijelaskan dimuka dalam definisi, sosiologi agama adalah cabang dan juga bagian vertikal dari sosiologi umum. Ia merupakan suatu ilmu yang menduduki tempay yang “profan”. Ia bukan ilmu yang sacral: bukan seperti ilmu teologi, tetapi ilmu profane, yang positif dan empiris yang dilakukan dan dibina oleh sarjan sosial,entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukan untuk membuktikan kebenaran(objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ihwal masyarakat agama. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapatlah dikatakan bahwasosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu sosial yang lain. Namun, bila dilihat sejarah kelahiran dan berkembangnya sosiologi agama itu, maka ilmu ini lebih merupakan ilmu terpakai dari pada ilmu teoritas murni. Ia diciptakan oleh pendukung-pendukungnya untuk kepentingan praktis, antara lain untuk memecahkan masalah sosio-religius yang timbul waktu di eropa akibat kurangnya pengetahuan tentang segi-segi sosiologis kehidupan beragama. Sudah barang tentu bahwa keterangan ilmiah yang merupakan hasil sementara dan masih bertambah jumlahnya, pada tahap berikutnya akan merupakan bahan-bahan yang berguna untuk menyusun dan mengembangkan sosiologo agama bercorak teori murni.
Kegunaan sosiologi dalam forum keilmuan merupakan sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sebagaimana sosiologi positif telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian pula sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah sosial nonkeagamaan. Dalam bidang teoritis dimana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangan. Terutama sosioogi keristen yang ternyata sudah lebih majudari pada sosiologi agama dari luar agama Kristen, dapat memberikan sumbangan yang berharga khususnya teologi tentang gereja,misiologi, dan juga teologi pastoral, pun pula kepada teologi kabebasan dan teologi pembangunan.
Beberapa buku sosiologi agama yang telah terbit dieropa dan amerika serikat yang membicarakan agama Kristen protestan dan Kristen katolik dapat diperoleh informasi bagaiman pentingnya peranan yang dimainkan sosiologi agama dalam kalangan mereka. Dr.H. Goddjin dan kawan-kawanya, misalnya, dalam bukunya mengatakan hal menarik mengenai sikap-sikap kalangan gereja dieropa. Setelah pejabat gerejani dalam waktu relative lama mengambil sikap negative terhadap sosiologi agama (bahkan menolak dan menuduh campur tangan kehidupan intern gereja), akhirnya mereka(kalangan itu berubah sikap dari negative menjadi positif. Jelasnya, mereka bukan saja mendukung tetapi bahkan menaruh harapan besar, malahan ada yang berlebihan terhadap sosiologi agama.mereka mengharapkan dalam waktu singkat sosiologi agama sanggup menciptakan tertib sosio-religius yang ideal,misalnya, pengorganisasian kehidupan paroki yang harmonis dan efisien,baik kedalam maupun keluar. Jika kita lihat masyarakat Indonesia sebagai Negara yang agamis, dimana kehidupan keagamaan masih memainkan peranan penting yang dominant bagi kehidupan bangsa dan Negara, namun sebaliknya juga sering merupakan sumber ketegangan(konflik) yang membawa banayk keresahan: maka kita dapatmembuat suatu praduga yang kuat bahwa sosiologi agama dapat lahir dan dibina dengan baik dan pecintanya, niscaya hal itu akan memberikan sumbangan yang sangat berharga dan kehadirannya akan disambut dengan rasa gembira, baik oleh kalangan sarjana ilmu sosial maupun kalangan pemerintah. Akan tetapi,itu baru praduga, suatu hipnotis yang belum diuji kebenarannya secara actual, karena memang belum ada ahli sosiologi yang menangani masalah kehidupan agama dengan teknik yang memenuhi persyaratan ilmiah.
Akhir-akhir ini masyarakat dihadapkan dengan masalah-masalah sosial yang semakin krusial yang tidak lepas dari kekuatan sosial yang bersumber dari persoalan politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Hal ini seringkali menimbulkan gejolak yang menjurus pada gerakan-gerakan negative yang bersifat kritis, dalam bentuk unjuk rasa, mimbar terbuka, demontrasi, dan lain sebagainya. Semua ini bersumber pada perbedaan presepsi dan kecemburuan sosial. Ini kadang-kadang, jika tidak terkendalikan, akan menjurus keberingasan massa. Masalah lain adalah keterbelakangan pendidikan dan pengajaran, dari persoalan buta huruf sampai kekurangan guru dan gedung sekolah, disamping masih terdapatnya sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi persyaratan mutu nasional akibat dari demonasi kurikulum agama, yang umumnya mengikuti pola pendidikan tradisional yang menutup anak didik dari nilai sekuler yang sudah menguasai masyarakat luas. Belum lagi problem besar kemiskinan, baik yang disebut kemiskinan structural dan non structural, yang apriori dapat dipastikan ada kaitannya dengan unsur-unsur “credo” keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh pemeluknya dan yang diterima dengan reladan tidak rela sebagai nasib yang dikehendaki tuhan. Lebih berat lagi dalah permasalahan kesatuan dari sekian banyak suku bangsa di tanah air, yang tidak dapat dipisahkan dari unsure-unsur keagamaan yang berbeda dan diyakini suku-suku sebagai pemeluknya yang berbeda pula. Bahkan, dewasa ini semakin disadari banyak cendekiawan yang yakin bahwa fenomena sosial yang disebut dengan ras, agama, suku merupakan problem nasional yang berat. Di samping itu, masih banyak dapat diketengahkan kesulitan-kesulitan yang bersumber pada masalah kurtural. Adanya tradisi budaya yang masih dipertahankan sebagai warisan bagi generasi muda yang kadang-kadang sebagian warisan itu menurut akal sehat kurang menguntungkan lagi bagi kelangsungan tata hidup masyarakat modern. Disini orang menghadapi bukan saja etnis, melainkan masalah sosiologi-kultural. Bukan lagi komunikasi antar suku bangsayang satu dengan yang lain,melainkan antara strata sosial yang satu dengan yang lain. Tegasnya antara bawahan dengan atasan atau sebaliknya, yang masih mempertahankanpola distansi vertikal tidak hanya sopan santunsehari-hari, bahkan dalam urusan fungsional yang dengan sendirinyamenuntut inisiatif dan tanggungb jawab pribadi. Hal seperti itu ternyata kadang-kadang masih sering dikorbankan untuk memenangkan kedudukan pimpinan dari golongan yang berkuasa.
Melihat begitu beratnya masalah yang dihadapi bangsa ini,maka dapat diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut,”Manakah ilmu pengetahuan dirasa kompetendan dapat diharapkan sanggup memecahkan masalah di atas dengan wajar, teknologi, teologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, antropologi budaya, atau ilmu hukum? “teologi saja, misalnya, tidak dapat diharapkan mampu memecahkan persoalan, apalagi teologi yang masih berpegang pada pola tradisional dan biasanya kurang menguasai pengetahuan sosiologis. Munculnya usaha pengembangan kearah teoritas dan praktis dalam teologi, seperti teologi sosial, teologi bisnis,dewasa ini sesungguhnya merupakan jawaban dari kesempatan makna teologi yang sampai sekarang ini dianut oleh mayoritas muslim di Indonesia. Dari teknologipun juga belum cukup, karena teknik pembangunan dari sarana-sarana fisik lain dari”teknik” menangani masalah sosial. Masyarakat tidak dapat digerakan dalam pembangunan ini dengan hanya menawari dengan teknologi yang canggih, melinkan perlu teknik-teknik penyadaran akan perlunya kehidupan yang lebih baik. Untuk itu butuh ilmu-ilmu, misalnya psikologi atau sosiologi umum.
Demikian pula ilmu ekonomi, hukum, antropologi, dan yang lain lagi, tidak dapat diharapkan memberikan jawaban yang khas dibutuhkan,karena sudut pandang dan tujuannya memang khusus. Maka, ilmu yang layak diharapkan sanggup memberikan jawaban yang khas dan tepat tepat dalam masalah-masalah tersebut diatas tinggalah sosiologi agama. Yang dimaksuddengan ketepan jawaban ialah bilamana dalam penelusuranmasalah itu orang terbentur pada urat nadi kesulitan yang berpangkal pada sumber-sumber keagamaan. Sekurangnya, demikian anggapan sejumlah agamawan terkemuka yang didukung penganutnya. Akan tetapi, apabila masalah itu dikaji secara sosiologis, masalah yang bergejolak bukanlah masalah ortodoksi(dogma dan moral), melainkan hanya masalah kebudayaan, pendeknya masalah sosiologis. Misalnya tentang kepemimpinan agama yang membuat pemeluknya tertekan dan menimbulkan ketegangan yang mencekam karena kurang memahami teknik organisasi dan penggunaan kekuasaan dalam situasi yang sudah berubah, yang menuntut pergantian struktur dan sistem yang sesuai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar