Kota dan wilayah metropolis dari berbagai sudut pandangnya telah menjadi obyek studi berbagai disiplin ilmu di antaranya sosiologi, yang selanjutnya dikenal dengan sosiologi perkotaan. Kota pada saat ini, sudah sangat berbeda keadaannya dibandingkan dengan kota pada saat sosiologi perkotaan “dilahirkan”. Keadaan kota-kota saat ini, era milinium, mengalami perkembangan pesat.
Diantara kecenderungan itu menurut Saskia Sassen adalah globalisasi dan munculnya teknologi informasi baru, intensitas transnasional dan dinamika translokal, kehadiran budaya global. Masing-masing dari satu kecenderungan itu memiliki, isi, spesifikasi dan konsekuensi terhadap kota-kota. Dengan demikian pula, kepentingan sosiologi perkotaan, akan berimplikasi pula terhadap teori dan riset sosiologi perkotaan. Dalam hal ini terdapat tantangan bagi sosiologi perkotaan untuk mencakup kecenderungan ini. Kecenderungan inilah membuat, Saskia Sassen mempertanyakan, apakah perlu memproduksi ulang alat analisis untuk memahami transformasi besar ini.
Tiga kecenderungan yang disebut Saskia Sassen tersebut di atas yakni globalisasi dan munculnya teknologi informasi baru, intensitas transnasional dan dinamika translokal, kehadiran budaya global pada dasarnya cukup diwakili oleh satu kata kunci yakni globalisasi.
Globalisasi adalah suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa saling berhubungan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Tiga faktor yang mendorong globalisiasi ialah: kekuatan kaum pemodal internasional atau transnasional yang mampu beroperasi hampir diseluruh dunia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang teknologi informasi, dukungan negara dalam bentuk kebijakan dan masyarakatnya dalam bentuk kesediaan sebagai konsumen baik barang atau jasa serta “budaya”. Sedangkan globalisme atau neo-liberalisme (pengikut Ricardo dan Adam Smith) paham yang menyatakan bahwa kaum pemodal harus diberi kebebasan untuk berbisnis antar negara atau antar bangsa tanpa hambatan, agar sumber-sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin dan suatu negara harus mengadakan spesialisasi komoditi berdasar keunggulan yang mereka miliki.
Globalisasi dipahami juga sebagai proses perubahan budaya yang berdampak pada beralihnya beberapa otoritas negara kepada perusahaan transnasional. Globalisasi merupakan sejarah baru kehidupan manusia di mana negara tradisional telah menjadi tidak lagi relevan, lebih-lebih menjadi tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Globalisasi membawa serta gejala “denasionalisasi” ekonomi melalui pendirian jaringan-jaringan produksi perdagangan, dan keuangan transnasional. Pemerintahan nasional tidak lebih dari sekadar transmisi bagi pemodal global, atau sebagai institusi perantara di antara kekuatan translokal, antar lokal atau regional yang sedang tumbuh, melalui mekanisme pengaturan global.
Negara telah kehilangan perannya sebagai unit-unit partisipasi yang bermakna dalam ekonomi dunia yang tanpa batas. Peran mereka telah digantikan oleh “negara- negara kawasan” atau oleh kian meningkatnya peran aktor-aktor nonteritorial dan transnasional, seperti perusahaan-perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga internasional.
Dengan globalisasi, bumi seperti kampung kecil, penduduk dunia laksana para penghuni sebuah kampung, apa pun perilaku (gaya) seseorang cenderung menjadi rahasia umum, produk busana dan makanan di suatu negara mudah menjadi milik umum termasuk mata uang. Penampilan “bintang” dalam media, menjadi “kiblat” yang menjadi referensi untuk melakukan “imitasi diri”, sesuai dengan penampilan “bintang”. Tidak jarang terjadi duplikasi “budaya” antar kota.
Globalisasi yang sepintas terlihat sebagai persoalan ekonomi, tidak sekadar terbukanya hubungan ekonomi suatu negara dengan negara lain melalui perdagangan internasional. Tidak juga hanya gerak modal ke seluruh dunia melalui Multinational Corporations, bahkan lebih dari kecenderungan regionalisasi setiap kawasan di dunia.
Diantara kecenderungan itu menurut Saskia Sassen adalah globalisasi dan munculnya teknologi informasi baru, intensitas transnasional dan dinamika translokal, kehadiran budaya global. Masing-masing dari satu kecenderungan itu memiliki, isi, spesifikasi dan konsekuensi terhadap kota-kota. Dengan demikian pula, kepentingan sosiologi perkotaan, akan berimplikasi pula terhadap teori dan riset sosiologi perkotaan. Dalam hal ini terdapat tantangan bagi sosiologi perkotaan untuk mencakup kecenderungan ini. Kecenderungan inilah membuat, Saskia Sassen mempertanyakan, apakah perlu memproduksi ulang alat analisis untuk memahami transformasi besar ini.
Tiga kecenderungan yang disebut Saskia Sassen tersebut di atas yakni globalisasi dan munculnya teknologi informasi baru, intensitas transnasional dan dinamika translokal, kehadiran budaya global pada dasarnya cukup diwakili oleh satu kata kunci yakni globalisasi.
Globalisasi adalah suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa saling berhubungan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Tiga faktor yang mendorong globalisiasi ialah: kekuatan kaum pemodal internasional atau transnasional yang mampu beroperasi hampir diseluruh dunia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang teknologi informasi, dukungan negara dalam bentuk kebijakan dan masyarakatnya dalam bentuk kesediaan sebagai konsumen baik barang atau jasa serta “budaya”. Sedangkan globalisme atau neo-liberalisme (pengikut Ricardo dan Adam Smith) paham yang menyatakan bahwa kaum pemodal harus diberi kebebasan untuk berbisnis antar negara atau antar bangsa tanpa hambatan, agar sumber-sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin dan suatu negara harus mengadakan spesialisasi komoditi berdasar keunggulan yang mereka miliki.
Globalisasi dipahami juga sebagai proses perubahan budaya yang berdampak pada beralihnya beberapa otoritas negara kepada perusahaan transnasional. Globalisasi merupakan sejarah baru kehidupan manusia di mana negara tradisional telah menjadi tidak lagi relevan, lebih-lebih menjadi tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Globalisasi membawa serta gejala “denasionalisasi” ekonomi melalui pendirian jaringan-jaringan produksi perdagangan, dan keuangan transnasional. Pemerintahan nasional tidak lebih dari sekadar transmisi bagi pemodal global, atau sebagai institusi perantara di antara kekuatan translokal, antar lokal atau regional yang sedang tumbuh, melalui mekanisme pengaturan global.
Negara telah kehilangan perannya sebagai unit-unit partisipasi yang bermakna dalam ekonomi dunia yang tanpa batas. Peran mereka telah digantikan oleh “negara- negara kawasan” atau oleh kian meningkatnya peran aktor-aktor nonteritorial dan transnasional, seperti perusahaan-perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga internasional.
Dengan globalisasi, bumi seperti kampung kecil, penduduk dunia laksana para penghuni sebuah kampung, apa pun perilaku (gaya) seseorang cenderung menjadi rahasia umum, produk busana dan makanan di suatu negara mudah menjadi milik umum termasuk mata uang. Penampilan “bintang” dalam media, menjadi “kiblat” yang menjadi referensi untuk melakukan “imitasi diri”, sesuai dengan penampilan “bintang”. Tidak jarang terjadi duplikasi “budaya” antar kota.
Globalisasi yang sepintas terlihat sebagai persoalan ekonomi, tidak sekadar terbukanya hubungan ekonomi suatu negara dengan negara lain melalui perdagangan internasional. Tidak juga hanya gerak modal ke seluruh dunia melalui Multinational Corporations, bahkan lebih dari kecenderungan regionalisasi setiap kawasan di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar