Nilai kerja dan nilai sosial
Seperti yang disebutkan dalam Bukunya Frederick Angel dalam Das Kapital Karl Mark, terbitan Hasta Mitra Jakarta 2002. Dalam melacak perkembangan modalnya, Marx berawal dan kenyataan sederhana yang teramat jelas bahwa kaum kapitalis mengubah modal mereka menjadi dana lewat pertukaran, mereka membeli barang-barang dengan uang mereka dan kemudian menjualnya dengan lebih banyak laba daripada harga pembeliannya.Untuk sebagai gambaran seorang kapitalis membeli sebungkus kapas dengan harga Rp. 1.000,- dan kemudian menjualnya dengan harga Rp.1.100,-,dengan demikian mendapat Rp. 100,-. Atas kelebihan ini disebut Marx atau nilai-lebih (Menurut Karl Marx). Dan mana datangnya nilai-lebih ini ? Menurut asumsi para ahli ekonomi, hanya nilai-nilai setara yang dipertukarkan dan dibidang teori abstrak benar adanya. Karenanya, pembelian kapan kemudian penjualannya sama-sama tidak menghasilkan nila-lebih. Tetapi nilai-lebih sama-sama tidak dapat lahir dan para penjual yang menjual barang-barang daganganya diatas nilainya, atau para pembeli membeli barang- barang dagangan itu dibawah nilai mereka, karena masing-masingnya secara bergilir akan menjadi sebagai pembeli atau penjual.Ia tidak dapat lagi lahir dan para pembeli dan penjual yang secara timbal balik melampaui satu sama lainnya, karena ini tidak akan menciptakan suatu nilai barang atau nilai-lebih, tetapi hanya akan mendistribusikan modal yang ada itu secara berbeda diantara kaum kapitalis. Sekalipun sang kapitalis kenyataannya membeli barang-barang dagangan itu menurut nilainnya dan menjualnya menunut nilainya, ia mendapatkan lebih banyak nilainya daripada yang ditanamnya.
Dalam kondisi-kondisi masyarakat sekarang sang kapitalis menemukan dipasar barang dagangan suatu barang-dagangan yang memiliki suatu sifat khusus , yaitu penggunaanya merupakan suatu sumber nilai baru, merupakan suatu pencipataan nilai baru. Barang-barang dagangan inilah yang disebut tenaga kerja.
Apakah nilai kerja itu? Nilai setiap barang-dagangan diukur dengan kerja yang diperlukan bagi produksinya.Tenaga kerja berada dalam bentuk pekerja yang hidup yang memerlukkan sejumlah kebutuhan hidup untuk dirinya dan juga untuk keluarganya, yang menjamin kesinambungan tenaga kerja bahkan sesudah kematiannya. Karenanya, waktu-waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi kebutuhan-kebutuhan hidup ini mewakili nilai tenaga kerja . Sang kapitalis membayarnya secara mingguan dan dengan begitu membeli penggunaan satu minggu kerja dan pekerja itu.
Sang kapitalis sekarang menetapkan pekerjaan para pekerja itu. Dalam suatu waktu tertentu sang pekerja akan menyerahkan waktu dan tenaganya senilai upah yang dibayar satu minggu itu. Andaikan bahwa upah mingguan dan sang pekerja itu mewakili tiga hari kerja, misalnya dia mulai bekerja pada hari senin pada hari rabu petang dia telah menggantikan nilai lebih bagi sang kapitalis, nilai penuh dan upah yang dibayar itu. Apakah pada hari rabu itu si buruh itu berhenti bekerja, tidak, karena sang kapitalis sudah membayar buruh itu bekerja dalam satu minggu. Berarti dalam hal ini sang kapitalis mendapat nilai lebih dan luar tiga hari kerja itu. Dalam hal ini sang kapitalis sudah mendapatkan sumber nilai-lebih, yakni sumber laba, sumber akumulasi modal yang terus bertambah.
Disisi lain sang buruh, atau boleh dikata dilihat dan segi aspek ekonomi sang buruh tidak dirugikan karena sudah melakukan perjanjian dengan sang bos, yakni kaum kapitalis itu. Sebab mereka sudah dibayar dengan upah untuk satu minggu atau satu bulan dengan perhitungan pertambahan nilai upah itu. Tapi bila kita lihat menurut sisi sosial sang buruh ini memang dirugikan karena sang kapitalis menjadikan buruh itu sebagai mesin pencetak uang bagi dirinya (kaum kapitalis), tapi walaupun begitu sang buruh sama seorang manusia yang mempunyai hak yang sama untuk diperhitungkan dani segi waktu tenaga. Ketidak sepahaman ini terbentur dengan hukum ekonomi yang berlaku, dimana adanya transaksi, sang buruh sepakat dengan apa yang ditawarkan sang kapitalis, dan sang kapitalis mempunyai kewajiban membayar upah buruh itu. Apalagi sering terjadi sang buruh yang selalu merasa tertindas dengan adanya sistem kerja paruh waktu, sistem kerja kontrak, sisitem upah perjam, dan yang paling menyedihkan lagi pabrik itu bangkrut dan sang buruh tidak menerima upah yang belum dibayar. Serta sang kapitalis mungkin bisa saja kabur ataupun menjalani hukuman dengan segala cara dia bisa terbebas dan tuntutan buruh itu, dan melakukan negosiasi untuk bisa bebas tanpa ada tuntutan apapun.
Sungguh jauh diluar pemikiran sosial untuk berasumsi bahwa kerja yang tidak bayar itu hanya lahir dan dibawah kondisi-kondisi sekarang, dimana produksi dijalankan oleh kaum kapitalis disatu pihak dan kaum buruh-upahan dilain pihak.
Sebaliknya kelas penindas pada semua zaman telah habis menyelenggarkan kerja yang tidak dibayar. Selama seluruh periode yang panjang ketika perbudakan merupakan suatu pengorganisasian kerja yang berlaku, kaum budak terpaksa melakukan pekerjaan yang lebih banyak dan daripada yang dikembalikan kepada mereka dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan hidup.
Hari-hari kerja pun bisa dijadikan strategi untuk kaum kapitalis, para buruh diberlakukan untuk bekerja selama enam atau tujuh hari kerja, dengan libur empat kali dalam sebulan, yang jadi persoalan lagi disini apa mungkin dan satu hari kerja itu sang buruh mendapatkan jam sesuai kebutuhan sang kapitalis, kami rasa tidak sang kapitalis terus memperjuangkan bagaimana bisa mendapatkan jam kerja yang panjang dalam satu hari yang dilakukan kaum buruh, entah itu delapan jam, dua belas atau bisa juga lima belas jam perhari, dengan tambahan upah yang dimasukan kedalam bayaran upah dia selama seminggu atau juga sebulan, dengan perhitungan uang lembur yang dihitung perjam.
Menjadi kepentingan kaum kapitalis untuk menjadikan jam kerja itu sepanjang mungkin. Semakin panjang hari kerja semakin banyak nilai lebih yang didapat dan hasil produksinya. Sementara sang buruh tetap melakukan pekerjaanya tapi tanpa disadari apa yang akan terjadi didalam tubuhnya dengan jam kerja yang begitu lama. Sang kapitalis berjuang untuk mendapatkan laba yang besar, dan sang buruh untuk kesehatannya, dan beberapa jam istirahat untuk bisa melakukan aktifitas yang lain kecuali bekerja, tidur dan makan, yang sangat lazim dibutuhkan sebagai seorang makhluk (manusia), dan secara tidak langsung terjadilah pembodohan.
Perjuangan untuk penetapan hari kerja sudah diperjuangkan sejak lama, semenjak tampilnya kaum pekerja bebas dalam sejarah hingga kini. Dalam berbagai bidang pekerjaan berlaku sebagai hari kerja tradisional tetapi kenyataannya itu jarang sekali diperlakukan. Hanya dimana undang-undang menetapkan hari kerja itu dan mengawasi tentang patuh atau tidaknya para pemilik pabrik ini. Para buruh yang mengharapkan hari kerja normal dengan asumsi jam kerja selama delapan jam dengan satu jam istirahat serta tambahan jam lembur paling lama delapan jam kerja, serta hari kerja mulai senin-jum’at dengan jam kerja sepuluh jam kerja, dan untuk hari sabtu dengan asumsi tujuh jam kerja. Peraturan atau undang-undang tentang hal ini sudah lama diperjuangkan dan dimenangkan oleh kaum buruh pabrik yang pertama di Inggris saat itu. Perjuangan yang selama bertahun-tahun dan mengalami penderitaan, melalui perjuangan yang kukuh dan ulet dengan para pemilik pabrik, melalui kebebasan pers, hak untuk berasosiasi dan berkumpul,dan juga melalui pemanfaatan momentum yang tepat saat terpecahnya dan jatuhnya kekuasaan itu sendiri.
Seperti yang disebutkan dalam Bukunya Frederick Angel dalam Das Kapital Karl Mark, terbitan Hasta Mitra Jakarta 2002. Dalam melacak perkembangan modalnya, Marx berawal dan kenyataan sederhana yang teramat jelas bahwa kaum kapitalis mengubah modal mereka menjadi dana lewat pertukaran, mereka membeli barang-barang dengan uang mereka dan kemudian menjualnya dengan lebih banyak laba daripada harga pembeliannya.Untuk sebagai gambaran seorang kapitalis membeli sebungkus kapas dengan harga Rp. 1.000,- dan kemudian menjualnya dengan harga Rp.1.100,-,dengan demikian mendapat Rp. 100,-. Atas kelebihan ini disebut Marx atau nilai-lebih (Menurut Karl Marx). Dan mana datangnya nilai-lebih ini ? Menurut asumsi para ahli ekonomi, hanya nilai-nilai setara yang dipertukarkan dan dibidang teori abstrak benar adanya. Karenanya, pembelian kapan kemudian penjualannya sama-sama tidak menghasilkan nila-lebih. Tetapi nilai-lebih sama-sama tidak dapat lahir dan para penjual yang menjual barang-barang daganganya diatas nilainya, atau para pembeli membeli barang- barang dagangan itu dibawah nilai mereka, karena masing-masingnya secara bergilir akan menjadi sebagai pembeli atau penjual.Ia tidak dapat lagi lahir dan para pembeli dan penjual yang secara timbal balik melampaui satu sama lainnya, karena ini tidak akan menciptakan suatu nilai barang atau nilai-lebih, tetapi hanya akan mendistribusikan modal yang ada itu secara berbeda diantara kaum kapitalis. Sekalipun sang kapitalis kenyataannya membeli barang-barang dagangan itu menurut nilainnya dan menjualnya menunut nilainya, ia mendapatkan lebih banyak nilainya daripada yang ditanamnya.
Dalam kondisi-kondisi masyarakat sekarang sang kapitalis menemukan dipasar barang dagangan suatu barang-dagangan yang memiliki suatu sifat khusus , yaitu penggunaanya merupakan suatu sumber nilai baru, merupakan suatu pencipataan nilai baru. Barang-barang dagangan inilah yang disebut tenaga kerja.
Apakah nilai kerja itu? Nilai setiap barang-dagangan diukur dengan kerja yang diperlukan bagi produksinya.Tenaga kerja berada dalam bentuk pekerja yang hidup yang memerlukkan sejumlah kebutuhan hidup untuk dirinya dan juga untuk keluarganya, yang menjamin kesinambungan tenaga kerja bahkan sesudah kematiannya. Karenanya, waktu-waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi kebutuhan-kebutuhan hidup ini mewakili nilai tenaga kerja . Sang kapitalis membayarnya secara mingguan dan dengan begitu membeli penggunaan satu minggu kerja dan pekerja itu.
Sang kapitalis sekarang menetapkan pekerjaan para pekerja itu. Dalam suatu waktu tertentu sang pekerja akan menyerahkan waktu dan tenaganya senilai upah yang dibayar satu minggu itu. Andaikan bahwa upah mingguan dan sang pekerja itu mewakili tiga hari kerja, misalnya dia mulai bekerja pada hari senin pada hari rabu petang dia telah menggantikan nilai lebih bagi sang kapitalis, nilai penuh dan upah yang dibayar itu. Apakah pada hari rabu itu si buruh itu berhenti bekerja, tidak, karena sang kapitalis sudah membayar buruh itu bekerja dalam satu minggu. Berarti dalam hal ini sang kapitalis mendapat nilai lebih dan luar tiga hari kerja itu. Dalam hal ini sang kapitalis sudah mendapatkan sumber nilai-lebih, yakni sumber laba, sumber akumulasi modal yang terus bertambah.
Disisi lain sang buruh, atau boleh dikata dilihat dan segi aspek ekonomi sang buruh tidak dirugikan karena sudah melakukan perjanjian dengan sang bos, yakni kaum kapitalis itu. Sebab mereka sudah dibayar dengan upah untuk satu minggu atau satu bulan dengan perhitungan pertambahan nilai upah itu. Tapi bila kita lihat menurut sisi sosial sang buruh ini memang dirugikan karena sang kapitalis menjadikan buruh itu sebagai mesin pencetak uang bagi dirinya (kaum kapitalis), tapi walaupun begitu sang buruh sama seorang manusia yang mempunyai hak yang sama untuk diperhitungkan dani segi waktu tenaga. Ketidak sepahaman ini terbentur dengan hukum ekonomi yang berlaku, dimana adanya transaksi, sang buruh sepakat dengan apa yang ditawarkan sang kapitalis, dan sang kapitalis mempunyai kewajiban membayar upah buruh itu. Apalagi sering terjadi sang buruh yang selalu merasa tertindas dengan adanya sistem kerja paruh waktu, sistem kerja kontrak, sisitem upah perjam, dan yang paling menyedihkan lagi pabrik itu bangkrut dan sang buruh tidak menerima upah yang belum dibayar. Serta sang kapitalis mungkin bisa saja kabur ataupun menjalani hukuman dengan segala cara dia bisa terbebas dan tuntutan buruh itu, dan melakukan negosiasi untuk bisa bebas tanpa ada tuntutan apapun.
Sungguh jauh diluar pemikiran sosial untuk berasumsi bahwa kerja yang tidak bayar itu hanya lahir dan dibawah kondisi-kondisi sekarang, dimana produksi dijalankan oleh kaum kapitalis disatu pihak dan kaum buruh-upahan dilain pihak.
Sebaliknya kelas penindas pada semua zaman telah habis menyelenggarkan kerja yang tidak dibayar. Selama seluruh periode yang panjang ketika perbudakan merupakan suatu pengorganisasian kerja yang berlaku, kaum budak terpaksa melakukan pekerjaan yang lebih banyak dan daripada yang dikembalikan kepada mereka dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan hidup.
Hari-hari kerja pun bisa dijadikan strategi untuk kaum kapitalis, para buruh diberlakukan untuk bekerja selama enam atau tujuh hari kerja, dengan libur empat kali dalam sebulan, yang jadi persoalan lagi disini apa mungkin dan satu hari kerja itu sang buruh mendapatkan jam sesuai kebutuhan sang kapitalis, kami rasa tidak sang kapitalis terus memperjuangkan bagaimana bisa mendapatkan jam kerja yang panjang dalam satu hari yang dilakukan kaum buruh, entah itu delapan jam, dua belas atau bisa juga lima belas jam perhari, dengan tambahan upah yang dimasukan kedalam bayaran upah dia selama seminggu atau juga sebulan, dengan perhitungan uang lembur yang dihitung perjam.
Menjadi kepentingan kaum kapitalis untuk menjadikan jam kerja itu sepanjang mungkin. Semakin panjang hari kerja semakin banyak nilai lebih yang didapat dan hasil produksinya. Sementara sang buruh tetap melakukan pekerjaanya tapi tanpa disadari apa yang akan terjadi didalam tubuhnya dengan jam kerja yang begitu lama. Sang kapitalis berjuang untuk mendapatkan laba yang besar, dan sang buruh untuk kesehatannya, dan beberapa jam istirahat untuk bisa melakukan aktifitas yang lain kecuali bekerja, tidur dan makan, yang sangat lazim dibutuhkan sebagai seorang makhluk (manusia), dan secara tidak langsung terjadilah pembodohan.
Perjuangan untuk penetapan hari kerja sudah diperjuangkan sejak lama, semenjak tampilnya kaum pekerja bebas dalam sejarah hingga kini. Dalam berbagai bidang pekerjaan berlaku sebagai hari kerja tradisional tetapi kenyataannya itu jarang sekali diperlakukan. Hanya dimana undang-undang menetapkan hari kerja itu dan mengawasi tentang patuh atau tidaknya para pemilik pabrik ini. Para buruh yang mengharapkan hari kerja normal dengan asumsi jam kerja selama delapan jam dengan satu jam istirahat serta tambahan jam lembur paling lama delapan jam kerja, serta hari kerja mulai senin-jum’at dengan jam kerja sepuluh jam kerja, dan untuk hari sabtu dengan asumsi tujuh jam kerja. Peraturan atau undang-undang tentang hal ini sudah lama diperjuangkan dan dimenangkan oleh kaum buruh pabrik yang pertama di Inggris saat itu. Perjuangan yang selama bertahun-tahun dan mengalami penderitaan, melalui perjuangan yang kukuh dan ulet dengan para pemilik pabrik, melalui kebebasan pers, hak untuk berasosiasi dan berkumpul,dan juga melalui pemanfaatan momentum yang tepat saat terpecahnya dan jatuhnya kekuasaan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar