Najwa Shihab adalah salah
satu wartawan atau reporter populer Metro TV yang kemudian menjadi presenter
atau pembawa acara Metro TV. Najwa lahir di Makassar (Sulawesi Selatan) 16
September 1977. Acara yang dipandu oleh Najwa antara lain menjadi anchor
program berita prime time Metro Hari Ini dan program talk show Today’s
Dialogue. Najwa adalah puteri kedua Quraisy Shihab, Menteri Agama era Kabinet
Pembangunan VII. Nana menikah dengan Ibrahim Assegaf, dan sudah memiliki satu
orang anak laki-laki yang akrab dipanggil Izzat. Najwa Shihab sendiri akrab
dengan panggilan Nana.
Najwa adalah alumni Fakultas
Hukum UI tahun 2000. Semasa SMA ia terpilih mengikuti program AFS, yang di
Indonesia program ini dilaksanakan oleh Yayasan Bina Antarbudaya, selama satu
tahun di Amerika Serikat. Merintis karier di RCTI, tahun 2001 ia memilih
bergabung dengan Metro TV karena stasiun TV itu dinilai lebih menjawab minat
besarnya terhadap dunia jurnalistik.
Pada tahun 2005, ia
memperoleh penghargaan dari PWI Pusat dan PWI Jaya untuk lapora-laporannya dari
Aceh, saat bencana tsunami melanda kawasan itu, Desember 2004. Liputan dan
laporannya dinilai memberi andil bagi meluasnya kepedulian dan empati masyarakat
luas terhadap tragedi kemanusiaan tersebut.
Najwa tiba di Aceh pada
hari-hari pertama bencana, menjadi saksi mata kedahsyatan musibah itu, berada
di tengah tumpukan mayat yang belum terurus, dan menjadi saksi pula betapa
pemerintah tidak siap menghadapinya. Tak heran beberapa laporan live-nya amat
emosional. Meski demikian ia tidak kehilangan daya kritis dan ketajamannya,
kendati orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas penanganan
pasca-bencana adalah Alwi Shihab, Menko Kesra waktu itu, yang tak lain adalah
pamannya. Pakar komunikasi UI, Effendi Ghazali yang terkesan dengan
laporan-laporannya, menyebut fenomena itu sebagai Shihab vs Shihab.
Tahun 2006 ia terpilih
sebagai Jurnalis Terbaik Metro TV, dan masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik
Panasonic Awards. Pada tahun yang sama, bersama sejumlah wartawan dari berbagai
negara, Najwa terpilih menjadi peserta Senior Journalist Seminar yang
berlangsung di sejumlah kota di AS, dan menjadi pembicara pada Konvensi Asian
American Journalist Association.
Tahun 2007, pengakuan
terhadap profesionalisme Najwa tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga
manca negara. Terbukti, selain kembali masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik
Panasonic Awards, ia juga masuk nominasi (5 besar) ajang yang lebih bergengsi di
tingkat Asia, yaitu Asian Television Awards untuk kategori Best Current
Affairs/Talkshow presenter. Pengumuman pemenang dilangsungkan bulan November
2007 di Singapura. Jika pada Panasonic Awards pemenang dipilih dari jumlah sms
terbanyak, maka penentuan pemenang pada Asian TV Awards dilakukan oleh panel
juri yang beranggotakan TV broadcaster senior dari berbagai negara di Asia.
Salah satu acara yang
dipandu Najwa Shihab dan cukup membekas di benak publik, adalah debat kandidat
Gubernur DKI Jakarta. Debat yang mempertemukan pasangan Fauzi Bowo-Priyanto dan
Adang Daradjatun-Dani Anwar itu diselenggarakan oleh KPUD DKI Jakarta,
disiarkan secara langsung oleh Metro TV dan Jak TV. Najwa terpilih sebagai
pemandu debat menyisihkan sejumlah pembawa acara yang diseleksi KPUD DKI
Jakarta.
Kendati telah memutuskan
untuk total di dunia jurnalistik dan TV broadcast, Najwa terus menerus berupaya
memperkuat dan memperkaya wawasan keilmuannya. Awal 2008 mendatang dia akan
terbang ke Australia sebagai peraih Full Scholarship for Australian Leadership
Awards. Ia akan mendalami hukum media.
Tahun 2010, kembali Najwa
Shihab masuk sebagai nominasi Presenter Berita Terbaik Panasonic Awards.
Walaupun pada akhirnya Putra Nababan lah sebagai pemenangnya.
Najwa termasuk wartawan yang
pertama mewawancarai Presiden SBY, tidak lama setelah pelantikan. Hampir semua
tokoh politk nasional pernah ia wawancarai. Tokoh mancanegara yang pernah ia
wawancarai, antara lain adalah mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar
Ibrahim.
Presenter Najwa Shihab dari
MetroTV meraih penghargaan Young Global Leader (YGL) 2011 dari World Economic
Forum (WEF) yang berkedudukan di Geneva, Swiss.
Penghargaan YGL diberikan
WEF setiap tahun terhadap para profesional muda berusia di bawah 40 tahun dari
seluruh dunia.
Ribuan kandidat diseleksi
secara ketat oleh sebuah Komite Seleksi yang diketuai Ratu Rania Al Abdullah
dari Yordania. Najwa Shihab terlilih sebagai YGL 2011 setelah Komite Seleksi
melakukan penyaringan yang sangat ketat terhadap ribuan profesional muda di
berbagai disiplin ilmu dan profesi, dari seluruh dunia.
Dalam surat yang
ditandatangani oleh Executive Chairman The Forum of Young Global Leaders, Klaus
Schwab dan Senior Director Head of The Forum of Young Global Leaders, David
Aikman, Najwa Shihab terpilih sebagai YGL 2011 karena pencapaian profesional,
komitmen terhadap masyarakat dan kontribusinya yang potensial dalam membentuk
masa depan dunia dengan kepemimpinannya yang memberi inspirasi terhadap kaum
muda lainnya.
Dengan pencapaian itu, Najwa
Shihab diundang untuk menjadi anggota aktif dari The Forum of Young Global
Leaders. Forum ini merupakan jaringan profesional muda pilihan dari seluruh
dunia yang diharapkan mampu memberikan dampak yang signifikan bagi penyelesaian
masalah global. Najwa Shibab bergabung dengan Metro TV sebagai news presenter
sejak 2000 dan kini ia menjadi anchor program Mata Najwa.
Pujian untuk Nana pun
meluncur dari pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendy Gazali. Dia
menyitir judul film drama komedi terkenal Amerika, Kramer Vs Kramer yang
dianalogikannya menjadi “Shihab Vs Shihab”.
Shihab pertama adalah Najwa
Shihab, kedua Alwi Shihab, yang masih punya hubungan saudara dengan Nana.
“Najwa mengkritik penanganan bencana yang dilakukan pemerintah yang diwakili
oleh Menko Kesra Alwi Shihab,” kata Effendy Ghazali. Dalam reportasenya, Najwa
menyampaikan bahwa bantuan terlambat dan tak terkoordinasi, sementara
mayat-mayat bergelimpangan tidak tertangani.
“Shihab Vs Shihab”, kata
Effendy, untuk menggambarkan bagaimana Najwa Shihab sebagai wartawan tetap
garang dalam menyuarakan kepentingan publik dan korban tsunami di Aceh.
Wanita kelahiran 16
september 1977 ini hidup dalam keluarga religius. Nana kecil, saat di Makasar,
sudah masuk TK Al-Quran. Dia masih ingat betul, kalau melakukan kesalahan, sang
guru memukulnya dengan kayu kecil. Sekolah Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nurul
Hidayah (1984-1990), lalu SMP Al-Ikhlas, Jeruk Purut, Jakarta Selatan, pada
1990-1993. Aktivitas sampai SMU, dipimpin ibunya, Nana dengan lima orang saudaranya
sejak magrib harus ada di rumah. “Jadi berjamaah magrib, ngaji Al-Quran, lalu
ratib Haddad bersama. Itu ritual keluarga sampai saya SMU.” Setelah kuliah,
karena banyak kegiatan, Nana baru boleh keluar setelah magrib.
Keluarganya memang sangat
memprihatikan faktor pendidikan. “Pendekatan pendidikan di keluarga tidak
pernah dengan cara-cara yang otoriter. Saya rasa itu sangat mempengaruhi,
bagaimana pola didik orang tua ke anak akan mempengaruhi perilaku,” ujarnya.
Pendidikan, bagi keluarga
Shihab, adalah nomor wahid, tidak bisa ditawar-tawar. Dulu waktu kelas dua SMU,
Nana dapat kesempatan AFS (America Field Service), program pertukaran pelajar
ke Amerika. Sempat keluarga menolak karena harus melepas selama setahun anak
cewek yang baru usia 16 tahun tinggal di keluarga asuh. “Sempat terjadi
perdebatan keluarga. Waktu itu yang paling mendukung ayah saya. Apa pun untuk
pendidikan akan diperbolehkan, dalam usia itu pun beliau sudah memberikan
kepercayaan, walaupun di sana dia sudah dibekali agama, mereka percaya
shalatnya tidak akan ditinggal. Dan alhamdulillah saya bisa menjaga kepercayaan
itu,” cerita Nana.
Quraish Shihab, pakar tafsir
itu, bagi Nana, adalah sosok bapak yang santai. “Seneng joke-joke Abu Nawas,
ketawa-ketawa,” kisahnya. Jadi beliau, kata Nana, membebaskan pilihan kepada
anak-anaknya untuk sekolah ke mana saja.
Tidak hanya persoalan
pendidikan, kebebasan juga diberikan oleh sang bapak untuk menentukan pasangan
hidupnya. “Bahkan saat saya memutuskan untuk nikah muda, 20 tahun, ayah memberi
kepercayaan. Bagi beliau yang penting kuliah selesai.” Menjelang pernikahan,
kata Nana, keluarga sempat ragu, tapi karena pengalaman kakak yang nikah saat
usia 19 tahun akhirnya diizinkan. Tapi sebelum itu mereka sekeluarga umroh
dulu. “Di sana ayah bertanya, ‘udah mantep?’ saya jawab, ‘udah’. Ya sudah
diizinkan,” tutur Nana.
Kendati dalam keluarga
religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan. Menurut Nana, kalau orang
pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga tidak apa-apa. “Saya sih
seperti itu dan saya percaya itu.”
Karena memang, kata Nana,
alasan ayahnya yang lebih penting adalah terhormat. Karena bukan berarti yang
berjilbab tidak terhormat dan yang berjilbab sangat terhormat, karena kan masih
banyak interpretasi tentang hal itu. Menurut Nana, yang penting tampil
terhormat dan banyak cara untuk terhormat selain dengan jilbab. “Tidak pernah
ada keharusan untuk berjilbab,” ucapnya.
Dengan cara berpakaian
seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang komplain. “Karena mungkin melihat
ayah, kalau ditanya orang pendapatnya membolehkan, membebaskan berjilbab atau
tidak. Jadi banyak alasan dari ayah saya. Kalau ada yang komplain, paling pas
bercanda. Dan saya selalu bilang: ya insyaallah mudah-mudahan suatu saat. Yang
pasti hatinya berjilbab kok.”
Nana kagum pada yang pakai
jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai jilbab, mungkin suatu saat.
“Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban atau beban untuk berjilbab,”
katanya, “Karena sejauh saya bisa menjalankan kewajiban saya sebagai muslimah tidak
masalah berjilbab atau tidak.”
Meski kini ada rekan
reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak terpengaruh. Sampai saat ini, dia
merasa apa yang dilakukannya sudah berada pada jalur yang benar. Kalau nanti
ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan memakai jilbab, tanpa ragu Nana akan
memakainya. “Apa yang dilakukan orang kan bukan berarti kita akan terpengaruh.
Kalau sekarang ada yang berjilbab kemudian saya ikut. Menurut saya, rugi kalau
berjilbab alasannya itu,” ujarnya.
Bambang Widjojanto merupakan
seorang pengacara, pernah memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan
merupakan pendiri Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan) bersama almarhum Munir. Pada tahun 1993 pemegang gelar master hukum
dari University of London, Inggris ini pernah mendapat penghargaan Robert F.
Kennedy Human Right Awards karena dinilai konsisten membela hak-hak warga
Papua.
Bambang Widjojanto banyak
beraktivitas dalam kegiatan lembaga swadaya masyarakat, meski juga tercatat
sebagai advokat.
Latar belakang pendidikannya
beragam. Dia menyelesaikan studi di di Universitas Jayabaya pada tahun 1984 dan
kemudian menempuh sejumlah pendidikan formal dan non formal terkait dengan hak
azasi manusia di Amerika Serikat, Belanda dan Inggris.
Sepak terjangnya dalam
bidang HAM, membuatnya meraih penghargaan Kennedy Human Rights Award. Dia juga
aktif dalam gerakan antikorupsi di Indonesia Corruption Watch dan Partnership
of Governance Reform. Dia bahkan aktif dalam berbagai aktifitas Yayasan Tifa
dan Kontras.
Bambang Widjojanto memiliki
kualitas yang lebih tinggi untuk memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dr. Bambang Widjojanto,
kelahiran Jakarta 18 Oktober 1959, seorang advokat pembenci koruptor. Mantan
Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia (1995-2000), ini lebih rela
menangani kasus perceraian daripada menjadi pengacara untuk tersangka korupsi.
Di mata dia, korupsi adalah kejahatan terbesar terhadap rakyat dan kemanusiaan.
Sikap yang menunjukkan
kebencian kepada koruptor ini tampaknya telah menjadi 'kekuatan' yang membuat
dirinya layak dijagokan menjadi salah satu calon kuat ketua KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi). Dia memang dikenal seorang
Aktivis antikorupsi. Dia
salah seorang advokat yang ikut mendirikan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Di mata publik dia terkesan sebagai seorang advokat yang punya sikap tegas dan
berani memerangi korupsi.
Publik yang awam hukum
sangat terkesan dengan sikap lebih rela menangani kasus perceraian daripada
menjadi pengacara untuk tersangka korupsi itu. Namun, bagi orang yang melek
hukum, sikap mengharamkan diri menjadi pengacara untuk tersangka korupsi, yang
bermakna sangat membenci tersangka korupsi, itu justru menunjukkan strata
pemahamannya tentang prinsip hukum untuk menegakkan keadilan, belum mencapai
tingkat yang mumpuni. Apalagi untuk memimpin sebuah lembaga yang mempunyai
kewenangan luar biasa, seperti KPK, yang terkesan superbody (superpower), jika
tidak dilaksanakan sesuai prinsip hukum untuk menegakkan keadilan, sangat
berpotensi melanggar hak azasi manusia.
Tidak ada manusia yang
sempurna, demikian juga Bambang Widjojanto, bukanlah malaikat. Walaupun
semangat pada awal pembentukan KPK, ada harapan memilih 'manusia setengah
malaikat' untuk memimpin KPK. Tapi semangat 'membenci koruptor' yang telah
dimilikinya bisa bernilai positif bila diterapkan dengan filosofi dan cita
hukum serta asas penegakan hukum yang berkeadilan. Sehinga penegakan hukum
(peberantasan korupsi) tidak didikte oleh publik, LSM, dan pers (trial by the
public pressure dan trial by the press).
Padahal, sangat diyakini,
sebagai seorang doktor ilmu hukum, Bambang sangat hafal asas praduga tak
bersalah atau "presumption of innocence". Apalagi seorang advokat dan
pimpinan KPK, sangat mutlak untuk memahami asas praduga tak bersalah itu. Asas
di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan
bersalah. Bukankah asas ini sangat penting pada demokrasi modern di negara
berasas hukum? Bukankah seorang tersangka penjahat yang diancam hukuman di atas
lima tahun diwajibkan didampingi pengacara? Bukankah sebuah asas hukum bahwa
seorang tersangka penjahat (korupsi atau teror sekalipun) layak didampingi
pengacara. Justru itulah tugas mulia pengacara (pembela), sebagaimana mulianya
tugas jaksa (penuntut umum) dan hakim (pengadil).
Sekadar mengingatkan, dalam
konsiderans UU tentang Bantuan Hukum yang baru disahkan DPR dan pemerintah,
disebut bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.
Maka selain keberanian,
ketegasan, komitmen dan ke-Aktivisan antikorupsi (yang tentu sangat penting),
juga terpenting kedalaman pemahaman tentang filosofi dan cita hukum yang
diamanatkan dalam UU Antikorupsi dan UU KPK itu sendiri. Bagaimana pimpinan KPK
memahami dan mengimplementasikan UU tersebut harus menjadi landasan keberanian
memerangi korupsi.
Perjalanan waktu, selama
proses seleksi, diharapkan membuat Bambang lebih matang. Banyak pihak tidak
meragukan hal ini, walaupun ada juga pihak yang meragukannya. Sepak terjang
Bambang sebagai seorang advokat, penggiat LBH dalam menegakkan hak asasi
manusia dan aktivitasnya dalam kegiatan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi
sebuah jaminan tentang komitmennya memberantas korupsi. Apalagi karena
ketekunannya di bidang hak azasi manusia, dia telah memperoleh penghargaan
Kennedy Human Rights Award pada 1993.
Nama Bambang semakin
melambung saat aktif sebagai Tim Pembela Bibit dan Chandra. Selain itu, dia
juga pernah aktif sebagai panitia seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana
korupsi (Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 154/2009); Anggota Gerakan Anti
Korupsi (Garansi); Anggota Koalisi untuk Pembentukan UU Mahkamah Konstitusi (MK);
Anggota Tim Gugatan Judicial Review untuk kasus Release and Discharge; Anggota
Tim Pembentukan Regulasi Panitia Pengawas Pemilu; Pendiri Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN); Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan
(Kontras); dan Pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW).
Bambang Widjojanto meraih
gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jayabaya pada 1984.
Sebelumnya, dia sempat nyambi kuliah Sastra Belanda di Universitas Indonesia
(UI). Kemudian, dia menempuh berbagai pendidikan formal maupun non formal
terkait hak azasi manusia, di Amerika Serikat dan Belanda. Dia juga menempuh
program postgraduate di School of Oriental and Africand Studies, London
University. Lalu pada tahun 2009 telah memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari
Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.
Karir hukumnya diawali
sebagai advokat (Aktivis) lembaga bantuan hukum (LBH), di LBH Jakarta dan LBH
Jayapura pada 1986 sampai 1993.Kemudian, dia menggantikan Adnan Buyung Nasution
menjadi Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia (1995-2000).
Tidak ada manusia yang
sempurna, demikian juga Bambang Widjojanto, bukanlah malaikat. Walaupun
semangat pada awal pembentukan KPK, ada harapan memilih 'manusia setengah
malaikat' untuk memimpin KPK. Tapi semangat 'membenci koruptor' yang telah
dimilikinya bisa bernilai positif bila diterapkan dengan filosofi dan cita
hukum serta asas penegakan hukum yang berkeadilan. Sehinga penegakan hukum
(peberantasan korupsi) tidak didikte oleh publik, LSM, dan pers (trial by the public
pressure dan trial by the press).
Mahfud MD terlahir dengan
nama lengkap Mohammad Mahfud dilahirkan pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang
Madura, Mahfud MD saat ini tercatat sebagai Ketua MK (Mahkamah Konstitusi)
Indonesia, Mahfud MD terlahir dari pasangan Mahmodin dan Suti Khadidjah.
Mahmodin, pria asal Desa Plakpak, Kecamatan Pangantenan ini adalah pegawai
rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Mahmodin lebih dikenal
dengan panggilan Pak Emmo (suku kata kedua dari Mah-mo-din, yang ditambahi
awalan em). Dalam bislit pengangkatannya sebagai pegawai negeri, Emmo diberi
nama lengkap oleh pemerintah menjadi Emmo Prawiro Truno. Sebagai pegawai
rendahan, Mahmodin kerap berpindah-pindah tugas. Setelah dari Omben, ketika
Mahfud berusia dua bulan, keluarga Mahmodin berpindah lagi ke daerah asalnya
yaitu Pamekasan dan ditempatkan di Kecamatan Waru. Di sanalah Mahfud
menghabiskan masa kecilnya dan memulai pendidikan sampai usia 12 tahun. Dimulai
belajar dari surau sampai lulus SD.
Mahfud MD adalah anak
keempat dari tujuh bersaudara, Tiga kakaknya antara lain Dhaifah, Maihasanah
dan Zahratun. Sementara ketiga adiknya bernama Siti Hunainah, Achmad Subkhi dan
Siti Marwiyah. Latar kehidupan keluarganya yang berada di lingkungan taat
beragama membuat pemberian nama arab tersebut penting. Khusus bagi Mahfud, arti
dari nama “Mahfud” sendiri adalah “orang yang terjaga”. Dengan nama itu
diharapkan Mahfud senantiasa terjaga dari hal-hal yang buruk. Adapun inisial MD
di belakang nama Mahfud adalah singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin, dan bukan
merupakan gelar akademik seperti sebagian orang menganggapnya. Sebenarnya
sampai lulus SD tidak ada inisial MD di belakang nama Mahfud. Baru ketika ia
memasuki sekolah lanjutan pertama, tepatnya masuk ke Pendidikan Guru Agama
(PGA), tambahan nama itu bermula. Saat di kelas I sekolah tersebut ada tiga
murid yang bernama Mohammad Mahfud. Hal itu membuat wali kelasnya meminta agar
di belakang setiap nama Mahfud diberi tanda A, B, dan C. Namun karena kode
tersebut dirasa seperti nomer becak, wali kelas lalu memutuskan untuk memasang
nama ayahnya masing-masing dibelakang nama mahfud. Jadilah Mahfud memakai nama
Mahfud Mahmodin sedangkan teman sekelasnya yang lain bernama Mahfud Musyaffa’
dan Mahfud Madani. Dalam perjalanannya, Mahfud merasa bahwa rangkaian nama
Mahfud Mahmodin terdengar kurang keren sehingga Mahmodin disingkatnya menjadi
MD. Tambahan nama inisial itu semula hanya dipakai di kelas, tetapi pada waktu
penulisan ijazah kelulusan SMP (PGA), inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa
terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi, dan Guru Besar. Hal itu disebabkan
karena nama pada ijazah di setiap tingkat dibuat berdasarkan nama pada ijazah
sebelumnya. Berangkat dari situlah nama resmi Mahfud menjadi Moh. Mahfud MD.
Secara umum, pendidikan atau
sekolah Mahfud MD cenderung zig-zag. Maksudnya, rangkaian pendidikannya
merupakan kombinasi dari pendidikan agama dan pendidikan umum. Mahfud mengenyam
pendidikan dasar dengan belajar agama Islam dari surau dan madrasah diniyyah di
desa Waru, utara Pamekasan. Masuk usia tujuh tahun, Mahfud disibukkan dengan
belajra setiap harinya. Pagi hari menjalani pendidikan Sekolah Dasar, belajar
di madrasah ibtidaiyah pada sorenya, dan menghabiskan waktu malam hingga pagi
di surau. Setamat dari SD, Mahfud dikirim belajar ke Sekolah Pendidikan Guru
Agama (PGA) Negeri di Pamekasan. Pada masa itu, ada kebanggaan tersendiri
bagiorang Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz, kyai atau guru
agama. Lulus dari PGA setelah 4 tahun belajar, Mahfud terpilih mengikuti
Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan unggulan milik
Departemen Agama yang terletak di Yogyakarta. Sekolah ini merekrut lulusan
terbaik dari PGA dan MTs seluruh Indonesia.
Mahfud tamat dari PHIN pada
1978, rencananya hendak melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu
al-Qur'an) di Mesir. Sementara menunggu persetujuan beasiswa, Mahfud coba-coba
kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Sastra
(Jurusan Sastra Arab) UGM. Tapi rupanya karena telanjur betah di Fakultas
Hukum, Mahfud memutuskan meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia yang dirangkapnya dengan kuliah di Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Gadjah Mada Jurusan Sastra Arab. Namun kuliahnya di Fakutas Sastra
tidak berlanjut karena merasa ilmu bahasa Arab yang diperoleh di jurusan itu
tidak lebih dari yang didapat ketika di pesantren dulu. Mengingat kemampuan
ekonomi orang tua yang pas-pasan, Mahfud giat mencari biaya kuliah sendiri
termasuk gigih mendapatkan beasiswa. Hal itu tidak sulit bagi Mahfud, melalui
tulisan-tulisan yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Masa Kini,
Mahfud berhasil mendapatkan honorarium. Begitu juga, beasiswa Rektor UII,
Yayasan Supersemar dan Yayasan Dharma Siswa Madura berhasil diperolehnya.
Sejak SMP MD, Mahfud remaja
tertarik menyaksikan hingar bingar kampanye pemilu. Disitulah bibit-bibit
kecintaannya pada politik terlihat. Pada masa kuliah kecintaannya pada politik
semakin membuncah dan disalurkannya dengan malang melintang diberbagai
organisasi kemahasiswaan intra universiter seperti Senat Mahasiswa, Badan
Perwakilan Mahasiswa, dan Pers Mahasiswa. Sebelumnya Mahfud juga aktif di
organisasi ekstra universiter Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihannya pada HMI
didorong oleh pemahamannya terhadap medan politik di UII. Saat itu untuk bisa
menjadi pimpinan organisasi intra kampus harus berstempel sebagai aktivis HMI.
Namun dari beberapa organisasi intra kampus yang pernah ia ikuti, hanya Lembaga
Pers Mahasiswa yang paling ia tekuni. Sejarah mencatat ia pernah menjadi
pimpinan di majalah Mahasiswa Keadilan (tingkat fakultas hukum), ia juga
memimpin Majalah Mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena begitu kritis
terhadap pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang pernah dipimpinnya pernah
dibreidel sampai dua kali. Pertama dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo (tahun
1978) dan terakhir dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada tahun
1983.
Lulus dari Fakultas Hukum
pada tahun 1983, Mahfud tertarik untuk ikut bekerja, mengajar di almamaternya
sebagai dosen dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sekian waktu
menggeluti ilmu hukum, Mahfud menemukan berbagai kegundahan terkait peran dan
posisi hukum. Kekecewaannya pada hukum mulai terungkap, Mahfud menilai hukum
selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Berangkat dari kegundahan
itu, Mahfud termotivasi ingin belajar Ilmu Politik. Menurut Mahfud, hukum tidak
dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Dia
melihat bahwa energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum sehingga
ia ingin belajar ilmu politik. Oleh sebab itu, ketika datang peluang memasuki
Program Pasca Sarjana S-2 dalam bidang Ilmu Politik pada tahun1985 di UGM,
Mahfud tanpa ragu-ragu segera mengikutinya. Di UGM, Mahfud menerima kuliah dari
dosen-dosen Ilmu Politik terkenal seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar
Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhamin, Amien Rais, dan lain-lain.
Keputusannya mengambil Ilmu
Politik yang notabene berbeda dengan konsentrasinya di bidang hukum tata negara
bukan tanpa konsekuensi. Sebab sebagai dosen (PNS), bila mengambil studi lanjut
di luar bidangnya tidak akan dihitung untuk jenjang kepangkatan. Karena itulah
selepas lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud kemudian mengikuti
pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana
UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993). Disertasi doktornya tentang
“Politik Hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana
bidang ketatanegaraan pada berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang
mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.
Dalam sejarah pendidikan
doktor di UGM, Mahfud tercatat sebagai peserta pendidikan doktor yang menyelesaikan
studinya dengan cepat. Pendidikan S-3 di UGM itu diselesaikannya hanya dalam
waktu 2 tahun 8 bulan. Sampai saat itu (1993) untuk bidang Ilmu-Ilmu Sosial di
UGM hampir tidak ada yang bisa menyelesaikan secepat itu, rata-rata pendidikan
doktor diselesaikan selama 5 tahun. Tentang kecepatannya menyelesaikan studi
S-3 itu Mahfud mengatakan bukan karena dirinya pandai atau memiliki
keistimewaan tertentu, malainkan karena ketekunan dan dukungan dari para
promotornya yaitu Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono, dan
Prof. Affan Gaffar. Selain selalu tekun membaca dan menulis di semua tempat
untuk keperluan disertasinya, ketiga promotor tersebut juga mengirim Mahfud ke
Amerika Serikat, tepatnya ke Columbia University (New York) dan Northern
Illinois University (DeKalb) untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan
hukum selama satu tahun.
Ketika melakukan studi
pustaka di Pusat Studi Asia, Columbia University, New York Mahfud berkumpul
dengan Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII yang sekarang
menjadi hakim agung, sedangkan ketika menjadi peneliti akademik di Northern
Illinois University, DeKalb Mahfud berkumpul dengan Andi A. Mallarangeng yang
sekarang menjadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu Andi
Mallarangeng menjadi Ketua Perhimpunan Muslim di wilayah itu sehingga Mahfud
diberi satu kamar tanpa menyewa di sebuah kamar yang dijadikan masjid dan
tempat berkumpulnya keluarga mahasiswa muslim di berbagai negara. Perjalanan
karier pekerjaan dan jabatan Mahfud MD termasuk langka dan tidak lazim karena
begitu luar biasa. Bagaimana tidak, dimulai dari karier sebagai kemudian secara
luar biasa mengecap jabatan penting dan strategis secara berurutan pada tiga
cabang kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Mahfud MD memulai karier
sebagai dosen di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, pada tahun 1984 dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada
1986-1988, Mahfud dipercaya memangku jabatan Sekretaris Jurusan Hukum Tata
Negara FH UII, dan berlanjut dilantik menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
UII dari 1988 hingga 1990. Pada tahun 1993, gelar Doktor telah diraihnya dari
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Berikutnya, jabatan sebagai Direktur Karyasiswa
UII dijalani dari 1991 sampai dengan 1993. Pada 1994, UII memilihnya sebagai
Pembantu Rektor I untuk masa jabatan 1994-1998. Di tahun 1997-1999, Mahfud
tercatat sebagai Anggota Panelis Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Mahfud sempat juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UII pada 1998-2001.
Dalam rentang waktu yang sama yakni 1998-1999 Mahfud juga menjabat sebagai
Asesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Puncaknya, Mahfud MD
dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor bidang Politik Hukum pada tahun
2000, dalam usia masih relatif muda yakni 40 tahun.
Mahfud tercatat sebagai
dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih derajat Doktor pada tahun
1993. Dia meloncat mendahului bekas dosen dan senior-seniornya di UII, bahkan
tidak sedikit dari bekas dosen dan senior-seniornya yang kemudian menjadi
mahasiswa atau dibimbingnya dalam menempuh pendidikan pascasarjana. Didukung
oleh karya tulisnya yang sangat banyak, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun
makalah ilmiah, dari Lektor Madya, Mahfud melompat lagi, langsung menjadi Guru
Besar. Jika dihitung dari awal menjadi dosen sampai meraih gelar guru besar,
Mahfud hanya membutuhkan waktu 12 tahun. Hal itu menjadi sesuatu yang cukup
berkesan baginya. Sebab umumnya seseorang bisa merengkuh gelar Guru Besar
minimal membutuhkan waktu 20 tahun sejak awal kariernya. Dengan rentang waktu
tersebut, Mahfud memegang rekor tercepat dalam sejarah pencapaian gelar Guru
Besar. Pencapain itu diraih Mahfud saat usianya baru menginjak 41 tahun. Tidak
heran jika pada waktu itu, Mahfud tergolong sebagai Guru Besar termuda di
zamannya. Satu nama yang dapat disejajarkan adalah Yusril Ihza Mahendra, yang
juga meraih gelar Guru Besar pada usia muda.
Karier Mahfud MD kian
cemerlang, tidak saja dalam lingkup akademik tetapi masuk ke jajaran birokrasi
eksekutif di level pusat ketika di tahun 1999-2000 didaulat menjadi Pelaksana
Tugas Staf Ahli Menteri Negara Urusan HAM (Eselon I B). Berikutnya pada tahun
2000 diangkat pada jabatan Eselon I A sebagai Deputi Menteri Negara Urusan HAM,
yang membidangi produk legislasi urusan HAM. Belum cukup sampai di situ,
kariernya terus menanjak pada 2000-2001 saat mantan aktivis HMI ini dikukuhkan
sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Persatuan Nasional di era pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, Mahfud ditawari jabatan Jaksa Agung
oleh Presiden Abdurrahman Wahid tetapi menolak karena merasa tidak memiliki
kemampuan teknis. Selain menjadi Menteri Pertahanan, Mahfud sempat pula
merangkap sebagai Menteri Kehakiman dan HAM setelah Yusril Ihza Mahendra
diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman dan HAM oleh Presiden Gus Dur pada 8
Februari 2001. Meski diakui, Mahfud tidak pernah efektif menjadi Menteri
Kehakiman karena diangkat pada 20 Juli 2001 dan Senin, 23 Juli, Gus Dur
lengser. Sejak itu Mahfud menjadi Menteri Kehakiman dan HAM demisioner.
Ingin mencoba dunia baru,
Mahfud MD memutuskan terjun ke politik praktis. Mahfud sempat menjadi Ketua
Departemen Hukum dan Keadilan DPP Partai Amanat Nasional (PAN) di awal-awal
partai itu dibentuk dimana Mahfud juga turut membidani. Sempat memutuskan untuk
kembali menekuni dunia akademis dengan keluar dari PAN dan kembali ke kampus.
Meski memulai karier di PAN, Mahfud tak meneruskan langkahnya di partai yang
dia deklarasikan itu, justru kemudian bergabung dengan mentornya, Gus Dur di
Partai Kebangkitan Bangsa. Tidak menunggu lama, Mahfud dipercaya menjadi Wakil
Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2002-2005.
Di tengah-tengah kesibukan berpolitik itu, Universitas Islam Kadiri (Uniska)
meminang Mahfud MD untuk menjadi Rektor periode 2003-2006. Meski bersedia,
namun beberapa waktu kemudian Mahfud mengundurkan diri karena khawatir tidak
dapat berbuat optimal saat menjadi Rektor akibat kesibukan serta domisilinya
yang di luar Kediri. Kiprahnya terus berlanjut, kali ini di dunia politik,
Mahdud terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2008. Mahfud MD bertugas di
Komisi III DPR sejak 2004.bersama koleganya di Fraksi Kebangkitan Bangsa. Namun
sejak 2008, Mahfud MD berpindah ke Komisi I DPR. Di samping menjadi anggota
legislatif, sejak 2006 Mahfud juga menjadi Anggota Tim Konsultan Ahli pada
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Depkumham).
Belum puas berkarier di
eksekutif dan legislatif, Mahfud MD mantap menjatuhkan pilihan mengabdi di
ranah yudikatif untuk menjadi hakim konstitusi melalui jalur DPR. Setelah
melalui serangkaian proses uji kelayakan dan kepatutan bersama 16 calon hakim
konstitusi di Komisi III DPR akhirnya Mahfud bersama dengan Akil Mochtar dan
Jimly Asshiddiqie terpilih menjadi hakim konstitusi dari jalur DPR. Mahfud MD
terpilih menggantikan hakim Konstitusi Achmad Roestandi yang memasuki masa
purna tugas. Pelantikannya menjadi Hakim Konstitusi terhitung sejak 1 April
2008, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 14/P/Tahun 2008, yang ditetapkan
di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2008. Selanjutnya, pada pemilihan Ketua
Mahkamah Konstitusi, yang berlangsung terbuka di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, Selasa 19 Agustus 2008, Mahfud MD terpilih menjadi Ketua
Mahkamah Konstitusi periode 2008-2011 menggantikan ketua sebelumnya, Jimly
Asshiddiqie. Dalam pemungutan suara, Mahfud menang tipis, satu suara yakni
mendapat 5 suara sedang Jimly 4 suara. Secara resmi, Mahfud MD dilantik dan
mengangkat sumpah Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, pada
Kamis 21 Agustus 2008.
Agus Hadi Sudjiwo atau lebih
dikenal dengan nama Sujiwo Tejo adalah seorang budayawan Indonesia. Ia adalah
lulusan dari ITB. Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu
berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang.
Selain itu ia juga sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film
seperti Janji Joni dan Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama
teatrikal KabaretJo yang berarti “Ketawa Bareng Tejo”. Ia lahir di Jember, Jawa
Timur, 31 Agustus 1962.
Dalam aksinya sebagai
dalang, dia suka melanggar berbagai pakem seperti Rahwana dibuatnya jadi baik,
Pandawa dibikinnya tidak selalu benar dan sebagainya. Ia seringkali menghindari
pola hitam putih dalam pagelarannya.
Saat kuliah di jurusan
Matematika dan jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, hasrat
berkesenian Sujiwo mulai berkembang. Saat itu Sujiwo Tejo menjadi penyiar radio
kampus, main teater, dan mendirikan Ludruk ITB bersama budayawan Nirwan
Dewanto. Sujiwo Tejo juga menjabat Kepala Bidang Pedalangan pada Persatuan Seni
Tari dan Karawitan Jawa di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1981-1983 dan
pernah membuat hymne jurusan Teknik Sipil ITB pada Orientasi Studi tahun 1983.
Sujiwo Tejo yang mendalang
wayang kulit sejak anak-anak, mulai mencipta sendiri lakon-lakon wayang kulit
sebagai awal profesinya di dunia wayang dengan judul Semar Mesem (1994). Ia
juga menyelesaikan 13 episode wayang kulit Ramayana di Televisi Pendidikan
Indonesia tahun 1996, disusul wayang acappella berjudul Shinta Obong dan lakon
Bisma Gugur. Pergumulannya dengan komunitas Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI),
memberinya peluang untuk mengembangkan dirinya secara total di bidang kesenian.
Selain mengajar teater di EKI sejak 1997, Sujiwo Tejo juga memberikan workshop
teater di berbagai daerah di Indonesia sejak 1998. Berlanjut pada tahun 1999,
Tejo memprakarsai berdirinya Jaringan Dalang. Tujuannya adalah untuk memberi
nafas baru bagi tumbuhnya nilai-nilai wayang dalam kehidupan masyarakat masa
kini. Bahkan pada tahun 2004, Sujiwo Tejo mendalang keliling Yunani.
Pada tahun 1998, Sujiwo Tejo
mulai dikenal masyarakat sebagai penyanyi (selain sebagai dalang) berkat
lagu-lagunya dalam album Pada Suatu Ketika. Video klip “Pada Suatu Ketika”
meraih penghargaan video klip terbaik pada Grand Final Video Musik Indonesia
1999, dan video klip lainnya merupakan nominator video klip terbaik untuk Grand
Final Video Musik Indonesia tahun 2000. Kemudian diikuti labum berikutnya yaitu
Pada Sebuah Ranjang (1999), Syair Dunia Maya (2005), dan Yaiyo (2007).
Selain ndalang, Sujiwo Tejo
juga aktif dalam menggelar atau turut serta dalam pertunjukan teater. Antara
lain, membuat pertunjukan Laki-laki kolaborasi dengan koreografer Rusdy
Rukmarata di Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu, 1999. Sujiwo Tejo
juga menjadi Sang Dalang dalam pementasan EKI Dancer Company yang bertajuk Lovers
and Liars di Balai Sarbini, Sabtu dan Minggu, 27-28 Februari 2004.
Selain teater, Sujiwo Tejo
juga bermain dan menjadi sutradara film. Debut filmnya adalah Telegram (2001)
arahan Slamet Rahardjo dengan lawan main Ayu Azhari. Film ini bahkan meraih Best
Actress untuk Ayu Azhari dalam Asia-Pacific Film Festival. Kemudian dilanjutkan
Kafir (2002), Kanibal (2004) menjadi Dukun Kuntetdilaga, Janji Joni (2005), dan
Kala (2007). Bersama Meriam Bellina, Sujiwo Tejo membintangi Gala Misteri SCTV
yang berjudul Kafir-Tidak Diterima di Bumi (2004).
Sujiwo Tejo juga menggarap
musik untuk pertunjukan musikal berjudul Battle of Love-when love turns sour,
yang digelar 31 Mei sampai 2 Juni 2005 di Gedung Kesenian Jakarta. Hasil
pertunjukan karya bersama Rusdy Rukmarata (sutradara & koreografer) dan
Sujiwo Tejo (komposer musik) akan digunakan untuk membiayai program pendidikan
dan pelatihan bagi anak-anak putus sekolah yang dikelola oleh Yayasan Titian
Penerus Bangsa. Sujiwo Tejo juga menyutradarai drama musikal yang berjudul
‘Pangeran Katak dan Puteri Impian’ yang digelar di Jakarta Convention Center
tanggal 1 dan 2 Juli 2006.
Pandji Pragiwaksono, Lahir
di Singapura, 18 Junu 1979 adalah seorang penyiar radio, presenter televisi,
dan aktor Indonesia. ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan
Desain ITB angakatan 1997 dan merupakan salah satu alumni SMA Kolese Gonzaga
angakatan ke 8. Pandji menikah dengan Gamila pada tahun 2006. Pandji
Pragiwaksono Wongsoyudo mengawali karir sebagai penyiar radio, sebelum kemudian
terkenal sebagai pembawa acara reality show KENA DEH dan kuis HOLE IN THE WALL.
Pria yang biasa dipanggil
Pandji ini, kemudian juga merilis album perdananya bertajuk PROVOCATIVE
PROACTIVE PANDJI. Album yang bergenre Rap dan R&B itu, melibatkan penyanyi
jazz Tompi dan istri Pandji sendiri, Gamila Arif yang nimbrung dengan
menyanyikan lagu You Think You Know.
Album berisikan dua belas
lagu itu merupakan hasil obsesi karyanya yang menurutnya tidak memperhitungkan
utung maupun rugi. Bahkan setengah dari tiap pembelian CD akan disumbangkan
kepada anak-anak yang menderita kanker melalui C3 atau Community for Children
with Cancer.
Lagu ciptaan ayah satu anak
yang diproduksi Rizky Record ini di antaranya Bajak Lagu Ini, Morning People
feat Steny Agustaf, Dulu Dia Bukan Siapa-Siapa, Ghost Song, Ada Yang Salah feat
Tompi, Untuk Indonesia feat Joeniar Arief, Drusteelo, Tabib Qiu, HipHop Help,
Mulanya Biasa Saja feat Angga 'Maliq & D`Essentials' Puradireja, Di Bayang
Masa Lalu, Kembali Tertawa dan I Know (Kan Kembali).
Pada 2009, Pandji kembali
merilis album keduanya, YOU'LL NEVER KNOW WHEN SOMEONE COMES IN AND PRESS PLAY
ON YOUR PAUSED LIFE. Dan di awal 2010, pada 21 Januari bersama para penyiar
yang tergabung di MRA, Pandji menyumbangkan suaranya di album THIS IS ME, yang
merupakan album charity. Penjualan dan keuntungan album ini akan diberikan pada
yayasan Onkologi Anak Indonesia.
Pandji Pragiwagsono, menulis
sebuah buku di blognya, yang berjudul "Nasional Is Me" dalam tulisan
itu saya merasakan bahwa semangat Nasional yang sangat membara dari
tulisan-tulisan dia, tulisan-tulisan sangat sederhana tapi itu sangat
inspiratif, di dalam bukunya itu dia sangat menonjolkan rasa nasionalisme yang
dia punya dan kesederhanaan-kesederhanaan dari dia. Rasa Nasionalisme dijaman
sekrang memang sudah sangat menurun, rasa peduli kita tentang namanya
nasionalisme itu sudah sangat kurang sekali. seiring perkembangan zaman, rasa
nasionalisme itu pun pudar, kebudayaan baru yang sekarang ini masuk jadinya
mulai menipis nasionalisme dengan bangsa kita.
Pandji Pragiwaksono
merupakan sosok yang membuat saya kagum, dimana dia masih bertahan dengan rasa
nasionalisme dia, dan selalu mendengungkan itu dimana-mana, dia pun mempunyai
cara sendiri untuk menerbitkan lagu-lagu yang baru saja ia relise, seorang yang
kritis dalam menanggapi masalah-masalah yang sedang update sekarang, apalagi
dia sekarang ngebawain acara Provoactive proactive beuhh makin keren aja si mas
Pandji.