Memasuki era globalisasi dan teknologi informasi, bahasa Indonesia tidak saja dilihat sebagai aset kebudayaan melainkan merupakan sarana perhubungan dan aset di bidang ekonomi, politik, dan strategi hubungan global, misalnya semakin dipelajarinya bahasa Indonesia di Jepang, Australia, Amerika, dll. Dengan demikian bahasa Indonesia telah menjadi bahasa kedua di negara-negara berbahasa asing yang dipelajari dan diajarkan, khususnya untuk kepentingan politik, ekonomi dan pengembangan hubungan global. Untuk itulah yang perlu dipertanyakan kembali, apakah orang asing yang belajar bahasa Indonesia, hanya belajar bahasa sebagai ilmu bahasa (linguistik) dan untuk kepentingan berkomunikasi dengan penduduk penutur bahasa Indonesia. Kenyataan secara asumtif masih demikian, bahasa Indonesia diajarkan dalam bentuk aturan-aturan linguistik tanpa melihat bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menyebabkan nilai rasa dan aspek rohaniah masyarakat mempengaruhi bentuk dan makna bahasa Indonesia yang diucapkan. Untuk itu perlu sekali penutur bahasa asing yang belajar bahasa Indonesia harus mempelajari juga aspek psikologis masyarakat Indonesia. Pemahaman aspek kebudayaan dan psikologi masyarakat dan kaitannya dengan berbahasa Indonesia perlu dikenalkan dan diajarkan kepada penutur asing yang sedang belajar bahasa Indonesia.
Secara historis telah diketahui bahwa bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional sejak Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan “Kami Bangsa Indonesia mengaku Berbahasa yang Satu Bahasa Indonesia”. Padahal bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa persatuan merupakan salah satu bahasa daerah di Nusantara yaitu bahasa Melayu, sedangkan di luar daerah berbahasa Melayu, masih banyak bahasa daerah lain yang kalau dilihat dari sejarah kebudayaan, sastra dan penuturnya lebih besar, seperti bahasa Jawa, dll. Oleh karena itulah secara psikologis, terdorong oleh sifat nasionalisme yang tinggi serta “beberapa kearifan lokal” menjadikan suku-suku lain menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dengan nama Bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi, bahasa negara dan bahasa nasional dan dikukuhkan dalam UUD 1945 pasal 36.
Secara historis telah diketahui bahwa bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional sejak Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan “Kami Bangsa Indonesia mengaku Berbahasa yang Satu Bahasa Indonesia”. Padahal bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa persatuan merupakan salah satu bahasa daerah di Nusantara yaitu bahasa Melayu, sedangkan di luar daerah berbahasa Melayu, masih banyak bahasa daerah lain yang kalau dilihat dari sejarah kebudayaan, sastra dan penuturnya lebih besar, seperti bahasa Jawa, dll. Oleh karena itulah secara psikologis, terdorong oleh sifat nasionalisme yang tinggi serta “beberapa kearifan lokal” menjadikan suku-suku lain menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dengan nama Bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi, bahasa negara dan bahasa nasional dan dikukuhkan dalam UUD 1945 pasal 36.
Dalam pertumbuhannya, bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi antarpenduduk, antarsuku bangsa, yang sudah tentu memiliki latar belakang sosio-kultural yang beragam. Akibatnya bahasa Indonesia yang dituturkan oleh penutur dari Jawa berbeda dengan penutur dari Sunda, Madura, Batak, Bali, Melayu, Irian, Makassar, dll. Persamaan akar bangsa memungkinkan “toleransi pemahaman dan pemaknaan”. Selain itu karena faktor politik, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, yang lebih “berbau” Jawa, karena Pak Harto orang Jawa, berpengaruh terhadap kosa kata sampai pada penamaan gedung-gedung pemerintah dan istilah politik. Suku lain meskipun sulit untuk melafalkan, masih mudah (berusaha) untuk memahami. Persoalan yang timbul bagaimana kalau bahasa Indonesia ini dituturkan oleh penutur asing? Meskipun secara tatabahasa mungkin dapat dipelajari tetapi bagaimana dengan makna yang tersirat yang berhubungan dengan psikologis masyarakat Indonesia yang multikultural dan majemuk? Terlebih bagaimana implikasi pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia Penutur Asing), apakah cukup mengenalkan aspek linguistiknya saja? Tentunya tidak. Perlu pemahaman psikologi masyarakat majemuk Indonesia melalui pendekatan silang budaya. Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah pemangku “nation state”, Indonesia adalah sebuah gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah sebuah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah pentingnya kesukuan yang terwujud dalam sistem komunitas suku bangsa sebagai acuan utama bagi jati diri manusia Indonesia. Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia merupakan upaya membangun citra diri yang didasarkan pada yang dimilikinya dibandingkan dengan berdasar kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini sudah lebih diandalkan pada pemilikan ( to have).
Dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah pemangku “nation state”, Indonesia adalah sebuah gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah sebuah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah pentingnya kesukuan yang terwujud dalam sistem komunitas suku bangsa sebagai acuan utama bagi jati diri manusia Indonesia. Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia merupakan upaya membangun citra diri yang didasarkan pada yang dimilikinya dibandingkan dengan berdasar kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini sudah lebih diandalkan pada pemilikan ( to have).
Kenyataan yang menunjukkan bahwa orang Indonesia yang berbahasa Indonesia pada hakikatnya adalah orang dari suku-suku bangsa yang memiliki karakter jiwa kebudayaan lokalnya yang berbicara dengan bahasa nasional dan bahasa persatuannya. Untuk itu orang asing yang berkomunikasi dengan orang Indonesia dengan bahasa Indonesia yang telah dipelajarinya, paling tidak ia telah mempelajari linguistik bahasa Indonesia dalam konteks ruang dan waktu kebudayaan, kepribadian, dan pola-pola tindakan “manusia” Indonesia. Itulah sebabnya melalui pendekatan silang budaya dengan pendidikan heuristik dan pola-pola empatik sangat dimungkinkan linguistik bahasa Indonesia mendapat “roh” yang sangat “Indonesianis”.
Daftar Pustaka
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University Press
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). (terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.
Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Budiman, Maneke 1999. ‘Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di Indonesia: Mengubah Kendala Menjadi Aset’, Jurnal Wacana FSUI.No.1 April 1999. Vol 1. hal. 3
Hamengkubuwono X. 2001. ‘Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan dan Persatuan Bangsa, Mungkinkah?’ Makalah seminar Nasional. Surakarta: Univet.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang
Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es.
Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.
Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soeparmo, dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya Indonesia. Surabaya: Unair Press.
Tampublon, Daulat. 2000. ‘Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa’. Jurnal MLI. hal.69.
Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta : Gema Insani.
Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung: Alumni
Widdowson, H.G, 1995. Stilistika dan Pengajaran Sastra (terj. Sudijah). Surabaya: Unair Press.
Yanti, Yusrita. 1999. ‘Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan Penutur Minangkabau’. Jurnal MLI. hal. 93
Daftar Pustaka
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University Press
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). (terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.
Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Budiman, Maneke 1999. ‘Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di Indonesia: Mengubah Kendala Menjadi Aset’, Jurnal Wacana FSUI.No.1 April 1999. Vol 1. hal. 3
Hamengkubuwono X. 2001. ‘Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan dan Persatuan Bangsa, Mungkinkah?’ Makalah seminar Nasional. Surakarta: Univet.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang
Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es.
Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.
Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soeparmo, dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya Indonesia. Surabaya: Unair Press.
Tampublon, Daulat. 2000. ‘Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa’. Jurnal MLI. hal.69.
Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta : Gema Insani.
Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung: Alumni
Widdowson, H.G, 1995. Stilistika dan Pengajaran Sastra (terj. Sudijah). Surabaya: Unair Press.
Yanti, Yusrita. 1999. ‘Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan Penutur Minangkabau’. Jurnal MLI. hal. 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar