Rabu, 03 Oktober 2012

Hukum dan Moral dalam Masyarakat Majemuk

PRINSIP "yang legal belum tentu moral" biasanya menjadi pegangan pakar moral untuk membongkar argumen hukum. Paham positivisme hukum tidak menerima begitu saja prinsip itu. Positivisme hukum mau menjamin kepastian hukum. Tetapi, argumen kepastian hukum ini sering disalahgunakan oleh mereka yang kuat. Sedangkan hukum kodrat dan bentuk-bentuk pendekatan moral lainnya lebih memberi prioritas pada rasa keadilan.
Pendekatan ini sering dituduh tidak menjamin kepastian hukum. Kemajemukan masyarakat menambah ruwet lagi, karena terkait dengan sumber hukum. Pendekatan filosofis dengan mempertimbangkan tujuan hukum, sumber-sumber hukum dan normativitasnya, mencoba memetakan pola hubungan moral dan hukum dalam masyarakat majemuk.
Bagaimana "de facto" hukum berfungsi?
Upaya sweeping buku-buku kiri dengan mendasarkan pada Ketetapan (Tap) MPRS 25/1966 dan munculnya kelompok-kelompok sipil bersenjata dengan dalih memerangi kelompok separatis atau memberantas praktik-praktik maksiat yang dilarang hukum menggambarkan bagaimana positivisme hukum berfungsi. Kekuatan adalah yang menentukan. Praktik pemaksaan melalui kekuatan dengan pendasaran hukum sejak dulu sudah ditengarai para filsuf politik.
"Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat", kata Trasymachus. Pernyataan ini diungkapkan dalam konteks perdebatan dengan Socrates mengenai masalah keadilan yang ditulis Plato dalam The Republic. Trasymachus berpendapat, keadilan adalah yang menguntungkan bagi yang lebih kuat. Pandangan ini bertitik tolak dari definisi "adil" adalah yang sesuai dengan hukum atau sesuai dengan yang dianjurkan kebiasaan dan hukum di dalam Polis (negara-kota). Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Padahal setiap rezim, menurut Trasymachus, membuat hukum untuk mempertahankan kekuasaannya dan demi keuntungannya.
Pada abad ke XV-XVI, digambarkan ketidakberdayaan moral di dalam politik. Machiavelli dalam The Prince menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum. Dia menyatakan, tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya. Hanya sesudahnya hak dan hukum akan melegitimasi kekuatan itu. Hukum adalah nama yang diberikan a posteriori oleh penguasa pada kelupaan atas asal-usul kekuasaan. Asal kekuasaan adalah kekerasan. Dalam politik, kekuatan menentukan, sedangkan moralitas tidak berdaya. Machiavelli menghapuskan jarak antara hukum dan kekuatan.
Dengan nuansa positivisme hukum yang lebih kental, Thomas Hobbes menyatakan, "Perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong" (Leviathan XVIII). Menurut Hobbes, harus ada penguasa yang kuat untuk bisa memaksakan hukum. Hukum kodrat tidak mempunyai kekuatan dan tidak menuntut kewajiban sehingga membiarkan individu dalam keadaan perang satu melawan yang lain.
Pandangan hukum dari zaman yang berbeda itu mengisyaratkan dominasi positivisme hukum dan bagaimana de facto hukum berfungsi. Pertama, dari pandangan Trasymachus dapat disimpulkan, hukum merupakan kendaraan untuk kepentingan-kepentingan mereka yang kuat. Kedua, pendapat Machiavelli memperlihatkan, hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan dan dalam arti tertentu menjadi alat pembenaran kekerasan. Ketiga, perspektif Hobbes menunjukkan, hukum tak berdaya bagi mereka yang tidak mempunyai kekuatan atau yang dalam posisi lemah.
Masalah filosofis paling kontroversial: Sumber hukum?
Ketiga perspektif hukum itu mengabaikan tujuan pokok hukum yang pada dasarnya mencari keadilan, kesejahteraan umum, perlindungan individu, dan solidaritas reaksi dari berbagai kelompok tentu akan sepakat mengutuk praktik semacam itu. Kelompok-kelompok yang berseberangan pun bila menyangkut keempat tujuan hukum itu, dengan mudah akan bekerja sama. Tujuan hukum itu bisa menjadi perekat masyarakat karena sifatnya yang membuka kesempatan untuk pengembangan baik bagi individu maupun kelompok, melindungi dan mengatur hubungan antarpribadi atau kelompok.
Persoalannya menjadi rentan konflik ketika sudah menyangkut sumber-sumber hukum. Georges Gurvitch, pemikir positivisme hukum, mengatakan, "Pada prinsipnya, pada kemampuannya memecahkan masalah sumber-sumber hukum positif, orang dapat menilai kekuatan atau kelemahan suatu teori hukum atau metode penelitian hukum."
Sumber-sumber hukum dipahami dalam beberapa pengertian. Pertama, sumber hukum sebagai asal-usul hukum, asal-usul teknis yuridis, seperti dari mana datangnya hukum, pengalaman yuridis macam apa yang kita ketahui di dalam masyarakat.
Pengertian kedua, adalah asal-usul teknis yuridis bukan dalam arti sejarawi, tetapi dasar-dasar metafisiknya, misalnya, apa yang memberi pembenaran adanya hukum dalam masyarakat? Kehendak Tuhan, hukum kodrat, kesejahteraan umum?
Ketiga, sumber hukum sebagai isi normatif hukum yang berlaku, berbagai norma hukum yang membentuknya. Pengertian ketiga ini dibagi dua, sumber material dan sumber formal.
Sumber material menyangkut dua pengertian. Di satu pihak, istilah itu menunjuk faktor-faktor yang mempengaruhi isi reglementasi hukum, substansi hukum, unsur-unsur yang memberi inspirasi kepada pembuat hukum dan mempengaruhinya dalam membuat hukum, seperti sejarah, perilaku masyarakat, peta hubungan kekuatan-kekuatan sosial, lingkungan alam, dan sebagainya. Di lain pihak, istilah sumber material ini mengacu pada dasar dari berbagai norma hukum: yang memberi pembenaran, yang memberi nilai atau validitas. Cicero mengatakan, sumber pendasaran moral dan hukum adalah rasio (logos).
Sedangkan sumber formal dimengerti sebagai berbagai ragam cara pemberlakuan hukum, maklumat atau dekrit, berbagai prosedur perumusan norma hukum (misalnya tindakan hukum unilateral atau kontraktual, yurisprudensi, dan sebagainya), atau dokumen-dokumen itu sendiri, dan tindakan-tindakan pemberlakuan hukum lainnya. Biasanya positivisme hukum hanya akan mengakui sumber-sumber formal ini sebagai yang paling obyektif. Dalam arti ini, termasuk sumber hukum adalah hukum-hukum yang ada, kebiasaan, yurisprudensi, pengajaran, prinsip-prinsip umum hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Lima pola hubungan moral dan hukum
Persoalan pokok yang menimbulkan banyak ketegangan adalah sumber hukum, baik sumber material maupun sumber formal. Termasuk di dalamnya masalah normativitas hukum (mengapa hukum ini mengatur?). Di dalam masyarakat majemuk, sumber material amat beragam sehingga amat rentan terhadap konflik.
Pengertian sumber material pertama itu amat mudah menyulut kecurigaan antarkelompok agama dan diskriminasi hukum, misal PP 10/1981 Perkawinan yang monogam dicurigai sebagai pengaruh Katolik, SKB Menag dan Mendagri dalam hal izin mendirikan tempat ibadat lebih ditafsirkan sebagai hukum yang mempersulit orang Kristen mendirikan gereja. Pengertian sumber material yang menyangkut masalah dasar pembenaran hukum, yang memberi nilai dan validitas mudah menyulut konflik, karena yang dipertaruhkan adalah pendasaran moral, berarti pembenaran ideologis (teologis) dan simbolis. Dalam konteks ini, perbedaan pendapat amat sulit dijembatani. Sedangkan masalah yang timbul dari sumber formal hukum terkait dengan bentuk legitimasi sistem politik yang berlaku dan pola hubungan moral-hukum.
Ada lima pola hubungan moral-hukum yang bisa dibagi dalam dua kerangka pemahaman. Kerangka pemahaman pertama, moral sebagai bentuk yang mempengaruhi hukum. Moral tidak lain hanya bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai ciri universalitas. Sebagai bentuk, moral belum mempunyai isi. Sebagai gagasan masih menantikan pewujudan. Pewujudan itu adalah rumusan hukum positif.
Hubungan moral sebagai jiwa hukum ini dibagi dalam tiga pola. Pertama, moral dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, keadilan sosial. Upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apa pun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal itu. Bagi penganut paham hukum kodrat, ini merupakan pola hubungan hukum kodrat dan hukum positif.
Kedua, hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yang berlaku, sanggup memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif. Pewujudan cita-cita moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi (kecuali dalam bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, pewujudan moral tidak hanya melalui tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan, tempat di mana dibangun realitas moral (partai politik, birokrasi, hukum, institusi-institusi, pembagian sumber-sumber ekonomi).
Pola ketiga adalah voluntarisme moral. Di satu pihak, hanya dalam kehidupan nyata moral bisa memiliki makna; di lain pihak, moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang transenden yang tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik. Satu-satunya cara untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkret adalah menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni. Implikasinya akan ditatapkan pada dua pilihan yang berbeda: Di satu pihak, pilihan reformasi yang terus-menerus. Pilihan ini merupakan keprihatinan agar moral bisa diterapkan dalam kehidupan nyata, tetapi sekaligus sangsi akan keberhasilannya. Maka yang bisa dilakukan adalah melakukan reformasi terus-menerus. Di lain pihak, pilihan berupa revolusi puritan. Dalam revolusi puritan, misalnya Taliban di Afganistan, ada kehendak moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan moral itu bisa dilakukan dengan memaksakannya kepada semua anggota masyarakat. Kecenderungannya ialah menggunakan metode otoriter.
Kerangka pemahaman kedua menempatkan moral sebagai sesuatu yang di luar politik dan tidak dapat direduksi menjadi politik. Moral dilihat sebagai suatu bentuk kekuatan yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan sejarah atau politik kecuali dengan melihat perbedaannya. Dalam kelompok ini ada dua pola hubungan antara moral dan hukum. Dalam pola keempat, moral tampak sebagai di luar politik. Dimensi moral menjadi semacam penilaian yang diungkapkan dari luar, sebagai ungkapan dari suatu kewibawaan tertentu. Tetapi, kewibawaan ini bukan merupakan kekuatan yang efektif, karena tidak memiliki organ atau jalur langsung untuk menentukan hukum. Pola hubungan ini mirip dengan posisi kenabian. Nabi dimengerti sebagai orang yang mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang sedang berlangsung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena ada di luar permainan politik. Tetapi, nabi memiliki kewibawaan tertentu. Dalam perspektif ini, hubungan antara moral dan hukum atau politik biasanya bersifat konfliktual. Dalam rezim ini ada pemisahan antara masalah agama dan masalah politik.
Dalam pola kelima, politik dikaitkan dengan campur tangan suatu kekuatan dalam sejarah. Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang berhasil melandaskan diri pada mesin institusional. Moral dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah, sebagai etika konkret bukan hanya bentuk dari tindakan. Dengan demikian moral berbagi lahan dengan politik. Di satu pihak, moral hanya bisa dipahami melalui praktik politik. Melalui politik itu moral menjadi efektif: melalui hukum, lembaga-lembaga negara, upaya-upaya dalam masalah kesejahteraan umum. Tetapi, moral tetap tidak bisa direduksi ke dalam politik. Di lain pihak, politik mengakali moral. Sampai pada titik tertentu, politik (dalam arti ambil bagian dalam permainan kekuatan) hanya mempermainkan moral karena politik hanya menggunakan moral untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
 
Relevansi pemetaan hubungan moral-hukum
Paham positivisme hukum lebih dekat dengan pola kedua (moral diwujudkan melalui perjuangan dalam pertarungan kekuatan dan kekuasaan), ketiga (voluntarisme moral dengan cara revolusi puritan), dan kelima (politik tidak lepas dari suatu kekuatan sejarah). Sedangkan faham hukum kodrat dan pendekatan-pendekatan moral lebih sejalan dengan pola hu-bungan pertama (moral menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, keadilan sosial), ketiga (reformasi terus-menerus) dan bisa juga masuk ke pola hubungan kelima sejauh moral berbagi lahan dengan hukum positif.
Dengan pemetaan pola hubungan moral-hukum, kita bisa menempatkan kurang lebih di mana dimungkinkan peran berbagai agama/ideologi dalam penentuan hukum. Pemetaan itu dapat memperlihatkan pola mana akan lebih memberi pemecahan yang damai, pola mana cenderung konfliktual, pola mana mengarah ke penyelesaian melalui kekerasan. Pola pertama lebih akan menawarkan pemecahan damai, karena hukum agama atau moral agama tidak akan berperan langsung sebagai yurisprudensi, tetapi terbatas sebagai jiwa atau sumber inspirasi hukum. Perjuangan masing-masing penganut agama lebih diarahkan pada merumuskan pesan agamanya dalam bahasa hukum yang bisa dimengerti dan diterima kelompok-kelompok lain. Dimensi universalitas pesan suatu agama dituntut untuk bisa diwujudkan. Kalau dewasa ini dengan paham post-modernisme orang cenderung menolak konsep universalitas, maka pesan agama dituntut memiliki tingkat understandability dan communicability.
Pola kedua tidak bisa dilepaskan dari proses legitimasi sistem politik yang berlaku. Pengaruh agama akan sangat tergantung pada kemenangan partai yang membawa aspirasi agama yang bersangkutan dan pada politikus-politikus pemegang kekuasaan. Secara politis masuknya aspirasi agama tertentu dalam penerapan sistem hukum negara melalui cara ini legitim, tetapi akan meminggirkan atau mengabaikan aspirasi kelompok minoritas. Pola kedua ini yang sedang berlangsung di Indonesia dan rentan terhadap konflik bukan hanya antaragama, tetapi juga intern agama. Tuntutan understandability dan communicability penting, tetapi bisa diabaikan karena dengan mayoritas suara tidak terlalu sulit menggolkan aspirasinya.
Pola ketiga yang lebih mengandalkan pada reformasi moral terus-menerus memberi peluang kepada semua agama untuk ikut menyumbangkan di dalam pembangunan sistem hukum negara melalui perdebatan teoretas, debat tentang nilai dan diskusi tentang prioritas yang selalu diperbarui. Maka tuntutan understandability dan communicability menjadi syarat utama. Sedangkan pola ketiga yang memiliki revolusi puritan arahnya jelas pada pemaksaan dan kekerasan.
Pola keempat mengarah pada pemecahan damai, tetapi sering tidak efektif dan seperti berteriak di padang gurun. Pola keempat ini biasanya menekankan pemisahan yang jelas antara masalah agama dan masalah politik. Maka hukum yang tidak adil akan dikritik, tetapi agama tidak memiliki saluran langsung untuk ikut serta mengoreksi kecuali melalui penganut-penganutnya yang berusaha memperjuangkan aspirasinya.
Pola kelima tidak jauh berbeda dengan pola kedua bahwa perjuangan moral harus melalui perjuangan di tengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan, hanya agama tidak lebur dalam politik dan hukum, tetapi mengambil jarak dan berbagi lahan. Dengan demikian kegagalan sistem politik dan hukum tidak bisa dikatakan sebagai kegagalan agama.
Prinsip-prinsip agar tujuan hukum dijamin
Apa pun pola yang dipakai, kecuali revolusi puritan, tujuan hukum (keadilan kesejahteraan umum, perlindungan individu, solidaritas) perlu menjadi kriteria utama. Maka beberapa prinsip akan membantu agar finalitas hukum itu tercapai.
Pertama, adanya political-will untuk mengubah orientasi politik yang sangat bias kepada negara menuju ke politik yang memihak warga negara. Tolok ukur keberhasilan politik semacam ini ialah pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari warga negara. Pertimbangan bukan pada kelompok, tetapi perlindungan individu warga negara. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia sejak Orde Baru (Orba) hingga kini masih banyak didominasi pertimbangan kelompok (agama, etnis, suku) sehingga produk-produk hukum yang diskriminatif amat banyak. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban sama, atau kesamaan di depan hukum. Hukum yang diskriminatif pada dirinya sudah menjadi sumber ketidakadilan. Dalam konteks ini, penting adanya penyadaran agar masyarakat mengefektifkan dan mengoptimalkan penggunaan jalur hukum. Selain agar bisa terwujud apropriasi hukum oleh masyarakat, juga agar perubahan dalam perjuangan keadilan dapat mengubah secara struktural kondisi yang tidak adil melalui aturan permainan legal dan bukan dengan cara kekerasan.
Kedua, pemberdayaan masyarakat melalui civil society terus diupayakan. Tetapi, pengelompokan civil society supaya lebih terbuka pada semua golongan, tujuan-tujuan hukum bisa menjadi perekat asosiasi-asosiasi, LSM dan gerakan pemberdayaan lainnya. Civil society berkembang bila prinsip subsidiaritas diterapkan. Prinsip ini menegaskan, apa yang bisa diurus dan diselesaikan kelompok lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada, kelompok yang lebih besar jangan campur tangan.
Ketiga, urgensi membangun institusi-institusi sosial yang adil. Institusi-institusi sosial merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka harus diperbaiki supaya mampu mendistribusikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dasariah serta menentukan pembagian keuntungan-keuntungan hasil kerja sosial. Dengan demikian, membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Maka, keadilan prosedural perlu menjadi orientasi utama.
Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum dan undang-undang. Jadi prosedur ini terkait legitimasi. Misalnya kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan, "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi pertama-tama dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik. Sistem hukum yang baik menghindarkan pembusukan politikus.
Memang bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor bisa divonis bebas karena alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Bila prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan? Semua diperlukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga negara terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas, individu terhadap kelompok. Prinsip epieikeia ini mengandalkan integritas hakim, penguasa, atau yang berkompetensi menafsirkan hukum dan menerapkannya. 

Primordialisme dan Etnosentrisme

Primordialisme adalah suatu pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Secara etimologis, primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial.


Manfaat :
Sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya, sehingga budaya tersebut dapat dipertahankan secara asli (tidak dipengaruhi budaya lain) agar nantinya dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.

Mudharat :
Sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.

Sebagai konsekuensi dari identitas etnis muncullah etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain. Salah satu contoh dari fenomena ini adalah ketika terjadi pengusiran terhadap etnis Madura di Kalimantan, banyak etnis Madura di lain tempat mengecam pengusiran itu dan membantu para pengungsi.

Perbedaan Antara Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur


Puji syukur kami panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah sosiologi yang berjudul “Perbedaan Antara Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur” tepat pada waktunya.
         
Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih jauh dari kesempurnaan. Seperti halnya pepatah “ tak ada gading yang tak retak “, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah kami selanjutnya.

            Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Serta kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Amin

                                                                                                Surabaya, 25 Oktober 2011
                                                                                     
                                                                             PENYUSUN


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Batasan Masalah
D.    Tujuan
BAB II
A.    Pengartian Kebudayaan Barat
B.     Pengertian Kebudayaan Timur
C.     Letak Perbedaan Antara Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur
BAB III
A.    Kesimpulan
B.     Saran
REFERENSI


BAB I
A.    Latar Belakang
Manusia, pada hakikatnya merupakan mahluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna karena memiliki akal, perasaan dan pikiran yang lebih dibanding mahluk lainnya. Manusia adalah mahluk sosial yang secara perspektif merupakan mahluk yang tak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Kehidupan manusia saling berkaitan satu sama lain, karena di dunia ini tidak ada manusia yang tidak membutuhkan orang lain. Hal ini terwujud dengan adanya organisasi-organisasi masyarakat dan keterkaitan yang saling membutuhkan antar individu yang berbeda-beda profesi. Selanjutnya manusia merupakan mahluk yang berkembang biak. Manusia di dunia ini terus mengalami regenerasi. Semua hakikat manusia tersebut mendatangkan konsekuensi dan memerlukan pertanggungjawaban yang besar sebagai individu dapat mengarahkan dirinya sendiri kearah yang lebih baik dan dapat pula menentukan sendiri jalan hidupnya.
Apabila kita bicara tentang manusia pasti tidak lepas dari cara hidup dan tata cara sosialisasinya. Yaa, kebudayaan pun turut memengaruhi kehidupan manusia. Kebudayaan merupakan filosofi, cara hidup dan cara pandang yang terbentuk dari sekelompok manusia dan mencerminkan kepribadian kelompok tersebut. Namun, akhir-akhir ini mayoritas masyarakat kita salah dalam mengartikan persepsi kebudayaan yang sebenarnya. Dapat dikatakan bahwa arti kebudayaan mengalami penyempitan makna, karena kita lebih sering memandang arti kebudayaan hanya dilihat dari sisi seninya saja. Padahal termasuk di dalamnya kebudayaan adalah kesenian, kepribadian, cara hidup, kepercayaan, dan adat istiadatnya yang secara global mencerminkan jiwa suatu kelompok masyarakat.
Di dunia ini, begitu banyaknya manusia pasti memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Secara global, kebudayaan dibagi menjadi 2, yaitu: Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Pengertian kebudayaan barat?
2.      Apa pengertian kebudayaan timur?
3.      Apakah perbedaan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur?
C.    Batasan Masalah
1.      Pengartian kebudayaan barat
2.      Pengertian kebudayaan timur
3.      Perbedaan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur

D.    Tujuan
1.      Mengetahui definisi dari kebudayaan barat
2.      Mengetahiu definisi kebudayaan timur
3.      Mengetahui letak perbedaan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur


BAB II
A.    Pengertian Kebudayaan Barat 
            Kebudayaan barat adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya dengan cara mamahami ilmu pengtahuan dan filsafat. Mereka melakukan berbagai macam cara diskusi dan debat untuk menemukan atau menentukan makna seperti apa yang sebenarnyamurni /asli dari kesadaran. Mereka banyak belajar dan juga mengajar yang awalnya datang dari proses diskusi dan perdebatan yang mereka lakukan. Melalui proses belajar dan mengajar, para ahli kebudayaan barat dituntut untuk pandai dalam berceramah dan berdiskusi. Hal itu dilakukan karena pada akhirnya akan banyak yang mengikuti ajarannya.
            Kebudayaan Barat tak bisa langsung diartikan kebudayaan yang datang dari barat. Kebudayaan barat yang di tulis sebagai western culture. Western culture diakui oleh negara belahan dunia manapun sebagai kultur yangberada di Eropa barat bukan Amerika, bukan Australia, dan bukan Negara Eropa Timur atau Selatan. Namun seiring perkembangan, terjadilah pembatas yang membatasi budaya barat dan timur. Mungkin karena perbedaan ras, Agama, persamaan kebudayaan di beberapa belahan negara, sehingga muncul istilah tersebut. Jadi, jika kita langsung melogika. Budaya barat bukanlah sebuah istilah sebuah arah mata angin yaitu budaya pada bagian barat kita  melainkan sebuah istilah yang berawal dari kawasan eropa barat.

Ada 3 ciri dominan dalam budaya Barat:
Pertama adalah “penghargaan terhadap martabat manusia”. Hal ini bisa dilihat pada nilai-nilai seperti: demokrasi, institusi sosial, dan kesejahteraan ekonomi.

Kedua adalah “kebebasan”. Di Barat anak anak berbicara terbuka di depan orang dewasa, orang orang berpakaian menurut selera masing-masing, mengemukakan pendapat secara bebas, tidak membedakan status sosial dsb.

ketiga adalah “penciptaan dan pemanfaatan teknologi” seperti pesawat jet, satelit, televisi, telepon, listrik, komputer dsb. orang Barat menekankan logika dan ilmu. orang Barat cenderung aktif dan analitis.


B.     Pengertian Kebudayaan Timur
            Kebudayaan Timur adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya dengan cara melakukan berbagai macam pelatihan fisik dan mental. Pelatihan fisik dapat dicontohkan dengan cara menjaga pola makan dan minum ataupun makanan apa saja yang boleh dimakan dan minuman apa saja yang boleh di minum, karena hal tersebut dapat berpengaruh pada pertumbuhan maupun terhadap fisik. Sedangkan untuk pelatihan mental yaitu dapat berupa kegiatan yang umumnya/mayoritas dilakukan sendiri, seperti : bersemedi, bertapa, berdo’a, beribadah, dll.
            Kebudayaan timur yang dimaksud disini adalah sebuah kebudayaan diluar kebudayaan orang-orang eropa barat (bangsa eropa barat dan jajahannya). Kebudayaan timur muncul sebagai pembeda dari negara-negara yang pernah dijajah oleh bangsa eropa barat. Oleh karena itu munculah sebuah istilah barat dan timur.
Hal yang paling dominan dari kebudayaan timur adalah adat istiadat yang masih dipegang teguh.Walaupun adat istiadat saat ini mulai pudar dan berubah. Selain itu hal yang dominan adalah konsep gotong royong,kebersamaan menjadi hal yang paling utama

C.    Letak Perbedaan Antara Kebudayaan Barat dan Timur
Secara umum perbedaan antara kebudayaan barat dan timur ada 19 item yaitu:

1. Opini/Pendapat
Orang Timur cenderung berbelit-belit dalam hal berargumen, terkadang harus berputar-putar dulu untuk mengatakan sesuatu, padahal maksudnya/tujuannya tidak serumit yang dimaksud. Sangat berbeda dengan orang Barat, mereka langsung ke pokok masalah dan mereka nggak biasa basa-basi.

2. Waktu
Orang Timur terkenal kurang menghargai waktu kalau ada janji kadang tidak tepat waktu. Berbeda dengan orang Barat mereka sangat menghargai waktu, sebab mereka paling enggak suka kalau janji jam karet alias telat waktu.

3.Gaya Hidup.
Orang Timur khususnya Indonesia sangat senang kalau tetap deket sama keluarga, makan kaga makan yang penting kumpul. Berbeda dengan orang Barat mereka cenderung individualis.

4.Hubungan.
Karna orang Timur sangat bersosialisasi atau menjalin hubungan lebih komplek, makanya situs jaring Facebook ataupun Friendster lebih banyak diminati oleh orang Timur, khususnya Indonesia. Berbeda dengan orang Barat mereka lebih individualis/sangat jarang menjalin hubungan dangan orang lain.

5. Perayaan / pesta
Jika ada perayaan atau pesta orang Timur lebih suka mengundang orang sebanyak, mungkin kalau sedikit rasanya nggak afdol / (kaga sah kali ya), Contohnya dalam acara pernikahan, benar-benar pemborosan, berbeda dengan orang Barat, mau acara pernikahan saja undangannya lewat Fax. dan nggak semua orang diundang, cukup kerabat atau teman dekat, lebih sederhana dan nggak boros biaya.

6. Terhadap sesuatu yang Baru
Orang Timur kalau ada sesuatu yang baru, belum puas kalau belum sampai memilikinya, makanya nggak heran kalau orang Indonesia banyak yang konsumtive, punya handphone gonta ganti, bahkan ada yang koleksi HP, mobil tiap tahun gonta-ganti, hanya karena nggak mau ketinggalan model. Berbeda dengan orang Barat Barat kalau ada sesuatu yang baru, tidak serta merta keblinger pengen tahu dan pengen memiliki atau memakainya , hanya sekedar tahu saja..

7. Anak
Dikeluarga orang Timur terutama di Indonesia, perlakuan orang tua terhadap anak sudah sangat memanjakan, sehingga anak tidak mandiri, sampai usia dewasapun sang orang tua tetap masih aja ngurusin anaknya, dengan harapan keturunan mereka bisa lebih langgeng dan sukses. Berbeda dengan keluarga orang Barat, anak-anak mereka dididik supaya mandiri semenjak kecil, setelah dewasa orang tua sudah melepaskannya.

8.Trendi
Jika orang Barat lebih seneng sesuatu yang berbau traditional dan alami, kebalikannya kalau orang Asia belum disebut trendi kalau tidak bergaya ke barat-baratan, contoh : orang Timur lebih merasa gengsi kalau makan di tempat fast food, padahal dinegara asalnya makanan tersebut bisa dibilang makanan biasa saja.

9.Atasan/Bos
Ini yang menarik, orang Timur/Asia umumnya memperlakukan atasan lebih dari yang lainnya, dan sang atasannya pun senang diperlakukan seperti itu. Berbeda jika di Barat, atasan tidak terlalu menonjolkan diri sebagai yang punya kuasa penuh, tetap sejajar dengan bawahan, namun tetap punya kekuasaan dan diakui sebagai atasan.

10.MasaTua
Kalau orang Timur masa tua lebih banyak ngurusin cucu, kalau di Barat nggak ada namanya ngasuh cucu, paling banter sekedar ketemuan itu pun kalau kangen saja, karena hidupnya sudah masing-masing.

11. Transportasi
Dahulu orang Barat sewaktu muda lebih suka pakai mobil, sekarang malah lebih suka pakai sepeda, mungkin karena faktor pentingnya kesehatan berbeda dengan orang Timur, kalau dulu masih pakai sepeda (mampunya beli sepeda) sekarang sudah harus pakai mobil, kalau mampu lagi pakai supir pribadi.

12.Di tempat makan
Ditempat makan, kalau orang Barat cenderung tertib jika sedang makan, nggak rame dan seberisik orang Timur.

13.Wisata
Kalau lagi wisata, orang Timur paling suka foto-foto, sangat beda sama orang Barat, kalau ke tempat wisata mereka lebih suka mengamati keindahan suasana ketibang foto-foto.

14.Keindahan tubuh ideal
Orang Barat merasa ideal punya warna kulit tubuh kecoklat-coklatan, makanya sering berjemur dipantai, beda kalau orang Timur terutama orang Indonesia, malah sangat mendambakan warna kulit putih.

15.Menghadapi masalah
Kalau orang Timur lebih umum berpikiran bagaimana supaya bisa menghindari masalah, berbeda dengan orang Barat, bagaimana jika saya menghadapi suatu masalah. Makanya jangan heran kalau di Indonesia orang mau sukses ambil jalan pintas, mau bisnis sukses, main suap rekan bisnis, mau anak sukses jadi pegawai negeri, main suap sana suap sini, mau jadi caleg, asal punya duit jadi deh nomor urut 1, nggak sedikit yang datang ke dukun supaya lebih tercapai cita-cita jadi anggota dewan.

16.Marah
Kalau orang Barat lagi marah memang benar-benar marah, beda kalau orang Asia lebih banyak memedam amarah, terkadang ada istilah dibalik senyuman ada kebencian.

17.Percaya Diri
Suka tidak suka orang Barat lebih percaya diri dibanding orang Timur.

18.Hari Minggu
Orang Timur lebih suka menghabiskan waktu hari libur Sabtu dan Minggu pergi jalan-jalan sekedar pergi ke Mall, nonton bisokop, kongkow-kongkow, beda dengan orang Barat, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dibanding pergi jalan-jalan.

19.Makan
Umumnya orang Barat makan dibagi 3, makan pembuka, makanan Utama, dan makanan penutup, beda kalau orang Timur ketiga-tiganya makanan utama.


BAB III

A.    Kesimpulan
Kebudayaan barat adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya dengan cara mamahami ilmu pengtahuan dan filsafat. Sedangkan Kebudayaan Timur adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya dengan cara melakukan berbagai macam pelatihan fisik dan mental. Dan diantara kedua kebudayaan tersebut terdapat 19 item pembeda dalam kehidupan sehari-hari secara umum dalam hal: beropini, disiplin waktu, gaya hidup (lifestyle), hubungan antar manusia dalam proses sosialisasi, perayaan / pesta, sikap konsumtif terhadap sesuatu yang baru, anak, trendstyle, atasan/ bos, kehidupan di masa tua, transportasi yang digunakan, tempat wisata, saat dalam jamuan makan, wisata, keindahan tubuh ideal bagi setiap individunya, sikap saat menghadapi masalah, mimik muka saat marah, sifat percaya diri yang dimiliki, aktifitas saat weekend, tahapan perjamuan makan.
B.     Saran
Setelah mamelajari tentang kaidah budaya yang dalam analogi antara budaya barat dan budaya timur maka dari basis tersebut kami menyarankan agar pembaca bisa membandingkan budaya satu dengan yang lain , selain itu pembaca kami saran kan agar bisa mempelajari perbedaan antar budaya setiap wilayah serta bisa menyesuaikan dengan tempat dimana mereka berada seperti pribahasa dimana bumi berpijak di situ langit dijinjing.