Globalisasi
telah mengubah cara pandang kita dalam memahami keadilan sosial. Apabila sebelumnya keadilan dipahami
semata-mata dalam konteks sosio-redistributif (alokasi dan pembagian barang dan
jasa secara adil), interaksi terbuka antar-orang per orang yang menembus lintas
batas bangsa menghadirkan makna baru keadilan sebagai keadilan sosio-kultural
dalam pengertian pentingnya penghormatan dan kepedulian terhadap yang lain
sebagai manusia yang setara.
Dalam berbagai kasus ketidakadilan
sosial, sering kali problema keadilan sosial dalam makna distribusi kerap kali
berjalin-kelindan dengan problema ketidakadilan kultural.
Kasus-kasus seperti amuk ribuan
karyawan lokal PT Drydoc di Kota Batam yang terjadi beberapa waktu lalu dan
didorong oleh kemarahan atas pekerja asing yang mengungkapkan kata-kata
menyinggung kepada pekerja lokal, ibarat lapisan tipis gunung es dari gejolak
persoalan yang begitu kuat yang ada di dalamnya. Dimensi ketidakadilan sosio
ekonomi dan kultural ini hadir dalam realitas ketimpangan pendapatan yang
diperoleh para pekerja asing yang rata-rata bergaji 1.500 dollar Singapura
(setara Rp 9,8 juta) per bulan.
Sementara upah dasar pekerja lokal
rata-rata Rp 1,1 juta per bulan yang direkrut melalui praktik sistem kerja
outsourcing. Problema ketimpangan berbasis identitas berimpitan dengan
ketidakadilan redistribusi dalam kasus konflik industrial yang terjadi di
Batam.
Meminjam pandangan intelektual
post-marxist Nancy Fraser (2007) dalam Re-framing Justice in a Globalizing
World, ia menguraikan pentingnya memahami problema keadilan sosial dalam dua
konstelasi politik progresif yang tengah berkembang di era globalisasi.
Pertama, perjuangan politik
progresif berbasis keadilan redistributif sebagai tanggapan terhadap akselerasi
ekonomi global yang melahirkan tatanan neo-liberalisme. Kedua, politik
progresif dalam bentuk tren politik kepedulian dan penghargaan terhadap yang
berbeda (recognition politics) terhubung dengan interaksi antara tiap-tiap
orang dalam konteks kebudayaan yang semakin berkarakter multikultural sehingga
dalam proyek politik progresif ini hadirnya kebebasan yang dibawa oleh
pelembagaan demokrasi memberikan arena bagi perjuangan untuk menghadirkan keadilan
berdimensi sosial-ekonomi ataupun sosial-budaya.
Demokrasi
nir-keadilan
Anehnya, saat memahami realitas
sosial-politik di Indonesia, kita mendapati realitas keberlangsungan
konsolidasi pelembagaan demokrasi tidak berjalan seiring konsolidasi pelembagaan
keadilan sosial sebagai sesuatu yang terintegrasi dalam 12 tahun berjalannya
reformasi. Realitas ini akan semakin terpahami ironis, terutama saat kita
memandang secara historis bahwa para pendiri bangsa sejak awal dalam konstitusi
UUD 1945 ataupun Pancasila berusaha mengonsolidasikan keadilan sosial sebagai
tujuan utama proyek berbangsa dan bernegara Indonesia.
Inovasi-inovasi yang telah muncul
dalam penguatan demokrasi prosedural baik dalam bentuk penataan pemilu
legislatif, pemilu presiden langsung, sampai pilkada tidak hadir bersamaan
dengan inovasi menghadirkan keadilan sosial bagi warga Indonesia. Proses
reformasi yang salah satunya melahirkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Tata
Kelola Pemerintahan Daerah yang di dalamnya mengatur tentang pelembagaan
instalasi demokrasi lokal, misalnya, tidak memunculkan produk
perundang-undangan serupa yang menjamin hadirnya keadilan sosial dalam dinamika
politik yang mempertemukan arus global dengan dinamika di tingkat lokal.
Sebaliknya, dalam konteks kebijakan
perburuhan, misalnya, seperti tertuang dalam Pasal 64-66 UU Nomor 13/2003
tentang Ketenagakerjaan, negara memfasilitasi sistem outsourcing yang memberi
kesempatan kepada pemilik modal menekan upah buruh atas alasan menekan biaya
produksi, dan sekaligus membuka ekses ketimpangan berbasis identitas akibat
jauhnya jarak penggajian antara pekerja ekspatriat dan lokal.
Dimensi konsolidasi keadilan yang
terlupakan dalam 12 tahun reformasi ini berlangsung dalam berbagai
persoalan-persoalan kewargaan di Indonesia yang tidak hanya menimpa kaum
pekerja di Indonesia.
Dalam konteks kebijakan eksplorasi
migas di Indonesia, misalnya, betapa kepentingan menghadirkan investasi asing
dan menggali kekayaan alam atas nama kepentingan memperoleh keuntungan ekonomi
sampai saat ini masih meninggalkan problema ketidakadilan sosial dan kultural
bagi warga penduduk lokal.
Bayangkan betapa jauh tingkat
kemakmuran dan kesejahteraan dari wilayah New Orleans pusat dari PT Freeport
McMoran dengan problema kemiskinan dan persoalan gizi buruk di masyarakat
Papua. Dalam dimensi keadilan kultural, kebijakan negara terkait eksplorasi
migas betapa kebijakan yang ada tidak sensitif atas tata-budaya suku Amungme di
Papua yang melihat alam dan seisinya sebagai manifestasi Ibu Pertiwi tempat
mereka hidup, bercocok tanam dan mendistribusikan sumber daya secara adil di
antara komunitas mereka sendiri (Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani 2006;
184).
Masih banyak persoalan lain yang
muncul di republik ini, seperti kasus lumpur Lapindo, penggusuran pedagang
pasar dan kaki lima atas nama pembangunan mal-mal, dan masalah lainnya akibat
terabaikannya proses keadilan sosial ekonomi ataupun budaya dalam 12 tahun
proses reformasi di Indonesia. Sudah saatnya bagi kekuatan gerakan sosial,
masyarakat sipil, ataupun partai politik memperjuangkan institusionalisasi
keadilan sosial seiring dengan pelembagaan demokrasi di Indonesia.
Seperti diuraikan Soekarno pada 1 Juni 1945
dalam karyanya, Lahirnja Pantjasila, bahwa prinsip keadilan sosial haruslah
menjadi landasan dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia yang bersendikan
demokrasi baik dalam arena politik maupun ekonomi. Demokrasi liberal yang hanya
melindungi kebebasan individual semata tidaklah memadai sebagai prinsip dasar
berdemokrasi di Indonesia karena prinsip tersebut tidak menjamin terciptanya
kesejahteraan umum dan terpenuhinya hak-hak dasar dalam dimensi sosial dan
ekonomi warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar