Selasa, 11 Februari 2014

Anthony Giddens : Suatu Pengantar

Dualitas struktur dan pelaku menunjukkan bahwa pelaku dikepung struktur.  Sebaliknya,  sangatlah sulit untuk memahami bahwa struktur  mengandalkan pelaku. Itulah salah satu paparan yang dikemukakan oleh Herry Priyono, penulis  buku  saku Anthony  Giddens:  suatu  pengantar. Dalam  buku  tersebut,  ia  ingin  memetakan pemikiran dasar Giddens yang luas, tetapi hanya dalam bentuk buku saku. Ia menulis buku saku ini karena terkesan pada Giddens yang mengajarinya ”tidak ada aksi tanpa teori”. Sebagai  mahasiswa  program  doktor  bidang  Ekonomi-Politik  dan Sosiologi yang pada waktu itu dosennya adalah Anthony Giddens, Priyono berusaha  memahami  sosok  Giddens  sebagai  seorang  teoritikus  yang  tidak pernah memisahkan tindakan dari  teori. Pemetaan pemikiran dasar Giddens ini ditulis oleh Priyono dalam tiga bagian, yaitu pertama, refleksi diri Giddens terhadap  teori  lain,  kedua,  beberapa  terobosan  teori  Giddens,  dan  ketiga, ringkasan penerapan teorinya.
Priyono  menguraikan  cara  pandang  Giddens  dalam  mengelompokkan struktur pada halaman 24-26. Pertama, struktur signifikasi (signification), yaitu  struktur  yang  berhubungan  dengan  pengelompokan  dalam  simbol, pemaknaan  dan  wacana.  Kedua,  struktur  penguasaan  (domination),  yaitu struktur mencakup penguasaan orang dalam  pengertian  penguasaan politik dan  ekonomi.  Ketiga,  struktur  legitimasi  (legitimation),  yaitu  struktur  yang berkaitan  dengan  peraturan  normatif  yang  terdapat  dalam  tata  hukum. Uraiannya  diungkapkan  dalam  bentuk  tabel  dan  contoh-contoh  dengan mengambil situasi yang ada pada masa Orde Baru.
Kerangka berpikir Giddens dalam bidang ilmu-ilmu sosial berbeda dengan kerangka berpikir para teoritikus ilmu-ilmu sosial seperti Talcott Parsons, Karl Marx, dan Levi-Strauss, walaupun sebenarnya kerangka berpikir Giddens dibangun  berdasarkan  pemahaman  Giddens  melalui  kritikan-kritikan terhadap  teori  fungsionalisme,  marxisme,  dan  strukturalisme.  Menurut Giddens (1984: 12-20) dalam perspektif ilmu-ilmu sosial pemahaman dinamika masyarakat selalu dikaitkan dengan  ”ruang dan waktu”,  dan ”pelaku dan tindakan pelaku”.
Pandangan  Erving  Goffman  dan  Talcott  Parsons  tentang  pengertian ”pelaku dan tindakan pelaku” diuraikan oleh Priyono, bahwa setiap anggota masyarakat  adalah  pelaksana  peran  sosial  tertentu  yang  membentuk  satu sistem  sosial  dan  setiap  sistem  sosial  mempunyai  kebutuhan  yang  harus dipenuhi.  Priyono  (hlm.  9-10)  dalam  memaparkan  pandangan  Giddens mengungkapkan bahwa Giddens ingin menghapus istilah fungsi (function) dari  ilmu-ilmu  sosial  dan  ingin  mengembangkan  teori  strukturasi  sebagai suatu ”manifesto contra fungsionalism” karena Giddens tidak bisa menerima pandangan pada teori fungsionalisme yang mengatakan bahwa sebuah sistem sosial mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan pada teori fungsionalime mempunyai syarat fungsional yang harus dipenuhi, yaitu  goal   ‘tujuan’,  adaptation ‘adaptasi’,  intergration ‘integrasi’,  dan  latency ‘tuntutan’.
Giddens membeda kan dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan gejala sosial.  Hubungan antara ruang dan waktu bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri , karena pelaku dan tindakan tidak dapat  dipisahkan.  Priyono  memberikan  contoh,  bahwa  tindakan  dosen berbicara di ruang kelas pada jam-jam tertentu disebut ”berkuliah”  (hlm.  37). Maksudnya, ia   ingin  memetakan  pernyataan  Giddens  bahwa  tanpa ruang dan waktu  tidak ada tindakan , sedangkan dalam pandangan  Talcott Parsons, tindakan  dalam  bentuk  apapun  merupakan  pelaksana  peran-peran  sosial tertentu . Selain itu, setiap tatanan masyarakat selalu dikaitkan dengan peran sosial  dan  fungsi  (function).  Giddens  tidak  menyetujui  dengan  pernyataan Parsons  bahwa  di  dalam  sistem  sosial  terdapat  fungsi.  Menurut  Giddens, sistem  sosial  tidak  mempunyai  kebutuhan  apapun   terhadap  pelaku. Yang mempunyai kebutuhan adalah para pelaku  itu sendiri, k arena pelaku adalah peran sosial. Pada sistem sosial,  ada  nilai (value) yang  mengikat tindakan setiap individu sebagai anggota masyarakat dalam peran sosialnya, entah sebagai seorang  guru,  buruh,  murid  ataupun  manajer.   Terhadap  pernyataan  ini, Priyono (hlm. 12) mengungkapkan kritikan Giddens dengan cara membuat tabel logika terhadap bagian dan keseluruhan konsepsi dasar  fungsionalisme dan strukturasi.
Dalam  marxisme  klasik,  untuk  memahami  dinamika  masyarakat, pandangan  berbagai  segi  kehidupan  masyarakat  dikaitkan  dengan  sistem kapitalis. Priyono (hal. 32-39),  lebih banyak memaparkan kritikan Giddens terhadap  pemikiran  Karl  Marx  mengenai  sistem  kapitalisme.  Menurut Giddens, d inamika masyarakat terjadi bukan pada reduksi struktur dominasi pada  penguasaan  alokatif  ekonomi,  tetapi terjadi  karena  proses  stukturasi dalam  ben tuk  reproduksi  praktik  sosial  dan  sistem  kapitalisme.  Yang dimaksud struktur dominasi pada penguasaan alokatif ekonomi oleh Priyono, sebenarnya  mengacu  pada  hubungan  sosial  pada  tataran  struktur  dengan kekuasaan yang berhubungan dengan kapasitas keterlibatan dalam hubungan sosial itu. Kapitalisme membutuhkan teknologi dan inovasi teknologi. Hal ini dikoordinasi dalam praktik sosial yang berlangsung  melalui ruang dan waktu (lihat Giddens 1984).
Dalam  gagasan  marxisme,  pelaku  dan  struktur  bersifat  fungsional  karena    perubahan  terjadi  dalam  berbagai  kehidupan  masyarakat melalui kontradiksi sistem yang satu dengan sistem yang lain. Menurut Marx (hlm. 33), perubahan terjadi melalui mobilisasi struktur dominasi, maksudnya terbentuk dalam  dan  melalui  penguasaan  alokatif  terhadap  barang  dan  penguasaan otoritatif  terhadap  orang.  Menurut Giddens, dalam logika strukturasinya, dikatakan bahwa perubahan terjadi melalui transformasi yang muncul secara periodik.  Struktur  tidak  mengkoordinasi  suatu  interaksi  sosial  yang  baru, tetapi mengoordinasi perubahan yang terjadi dalam interaksi sosial. Setiap perubahan terjadi pada struktur dalam sistem sosial dan berkembang sangat cepat seiring perjalanan zamannya.
Strukturalisme yang dipelopori oleh Ferdinant de Saussure diterapkan dalam  analisis  bahasa  oleh  Claude  Levi-Strauss. Levi-Strauss cenderung menyingkirkan subjek dengan menempatkan sifat manasuka (arbitrary) dan perbedaan (difference) sebagai pembentuk identitas. Giddens  selalu melihat  fakta dan perbedaan sebagai subjek yang selalu dikaitkan dengan perbedaan dalam fakta, misalnya perbedaan antara bahasa (langue) dan ujaran (parole), the  agent ’pelaku’  dan  agency ’tindakan  pelaku’,  structure dan  structuration (lihat Giddens 1984). Priyono memberi contoh mengenai fakta dan perbedaan yang ada pada sistem kekuatan militer pada zaman Soeharto, tetapi uraian yang  disampaikan  oleh  Priyono  hanya  bersifat  informatif.  Dikatakannya bahwa  negara  dan  bangsa  pada  masa  itu  menunjukkan  prinsip  strutural dalam  konteks  militerisme.  Militer  mengkoordinasi  praktik  kontrol  atas  peran sosial (hlm. 43-44).
Giddens lebih dapat memahami pemikiran kaum strukturalisme daripada fungsionalisme,  walaupun  keduanya  menunjukkan  adanya  penyingkiran subjek. Giddens lebih menaruh simpati pada beberapa aspek strukturalisme daripada  fungsionalisme,  karena  kehadiran  subjek  dalam  strukturalisme masih tetap ada. Priyono  menuliskan  penjelasan  waktu  dan  ruang  berdasarkan  teori Giddens ,  yaitu   teori  strukturasi,  bukan  strukturalisme. Strukturasi  berarti kelangsungan suatu proses hubungan  antara pelaku tindakan dan struktur. Ia memberi contoh kehidupan masyarakat tradisional di daerah Jawa Tengah yang melakukan transaksi jual-beli tanpa ditentukan oleh kesatuan ruang dan waktu. Seseorang membeli barang di Wonosari, dan menjualnya di Kota Gede (hlm. 40). Proses jual-beli yang berulang kali memakai  keterikatan waktu dan ruang dalam konteks manajemen modern, menurut Priyono tidak sesuai bila menggunakan teori strukturasi. Menurut Giddens (hlm. 43), ada empat gugus reflektivitas-institusional yang membentuk dan menyangga modernitas, yaitu kapitalisme (capitalism), negara-bangsa (nation-state), kekuatan militer (military power), dan pembangunan (created environment).
Priyono menjelaskan juga konsep-konsep Giddens (hlm. 40-49), antara lain konsep ”relasi dualitas” Giddens, yaitu konsep yang menguraikan hubungan pelaku dan struktur, serta  hubungan ruang dan waktu. Kedua hubungan ini saling terkait dan membentuk pola hubungan dalam praktik sosial, karena  melalui peristiwa yang terjadi berulang kali akan  terpola hubungan dalam praktik sosial. Priyono juga menjelaskan  konsep ”objektivitas  struktur ” yang dikatakan  oleh  Giddens tidak  bersifat  eksternal  melainkan  melekat  pada tindakan  dan  praktik  sosial.  Priyono menyampaikan  bahwa  objektivitas struktur dalam strukturasi berbeda dengan struktur dalam fungsionalisme dan strukturalisme.
Konsep  hermeneutika  ganda  tidak  terlepas  dari  ilmu-ilmu    sosial  dan objek kajiannya. Giddens mengatakan, bahwa hermeneutika ganda (double hermeneutic) adalah arus timbal balik antara dunia sosial yang dilakukan oleh masyarakat  dan  wacana  ilmiah  yang  dilakukan  oleh  ilmuwan  sosial  (hlm. 52). Hal ini dipahami Priyono sebagai transformasi yang dibawa oleh sains dan teknologi, kemudian  melalui praktik sosial, peran dualitas pelaku dan struktur  melibatkan  konsep-konsep  dan  teori  oleh  ilmuwan  sosial.  Kaitan ilmu sosial dan praktik sosial merupakan hubungan timbal balik antara yang dikaji oleh para ilmuwan sosial. Bentuk (form) dan isi (content) dalam praktik sosial merupakan prasarana yang diperlukan.dalam menghadapi modernitas. Modernitas menghasilkan sejumlah profesional dalam sains dan teknologi.
Berdasarkan  konsep-konsep  Giddens,  Priyono   berusaha  memaparkan pemahaman  teori  Giddens  dalam  tiga  kategori  struktur,  yaitu  struktur penandaan, struktur penguasaan, dan struktur pembenaran. Dijelaskan oleh Priyono, bahwa penggunaan istilah kekuasaan perlu dibedakan dengan istilah dominasi pada tataran struktur. Dalam teori strukturasi Giddens, kekuasaan bukan gejala yang terkait dengan struktur atau sistem, melainkan tergantung dari kemampuan pelaku (subjek) dalam paktik sosial atau interaksi sosial. Perubahan kemampuan pelaku selalu terjadi dalam proses strukturasi.
Di dalam kesimpulannya,  Priyono mengatakan bahwa teori strukturasi mencerminkan  kerangka  pemikiran  karya-karya  Giddens. Dikatakan  pula bahwa Giddens  menyadari  bahwa    teori  struturasi  ada  kelemahannya dan  masih  jauh  lebih  memadai  daripada  lainnya.  Priyono  menilai  sebagai orang  yang  ingin  menunjukkan  adanya  keseimbangan  antara  analisis makro dan mikronya.  Priyono mengklasifikasikan konsep-konsep dan teori Giddens dengan membuat skema tentang signifikasi (signification), dominasi (domination), dan legitimasi (legitimation) (hlm. 25). Selain itu, ia juga membuat tabel  mengenai  stuktur  sosial,  sistem  sosial,  dan  praktek  sosial  (hlm.  32). Dari uraiannya, g agasan-gagasan  yang menjadi kerangka berpikir Giddens dapat  digunakan  dalam  berbagai  masalah,  baik  mengenai  negara,  bangsa, modernitas, globalisasi, maupun identitas diri.
Melalui buku saku ini, Priyono memperlihatkan usaha untuk memaparkan pemikiran  Giddens  dengan  memperkenalkan  teori  strukturasi  kepada pembaca. Dari segi isi, paparan teori sebagai sintesis baru sudah cukup jelas, walaupun dari segi keterbacaan banyak kalimat yang  sulit dicerna maknanya. Misalnya,  penggunaan  istilah  “strukturasi”  (structuration ),  yang  berarti menunjukkan hubungan pelaku dengan struktur sebagai relasi dualitas, atau penggunaan istilah  ”pencabutan” (disembedding), yang berarti ’pemisahan’ antara  ruang  dan  waktu.  Hal  ini    membuat  pembaca  harus  berulang  kali membacanya. Secara keseluruhan, buku ini dapat direkomendasikan untuk dibaca sebagai buku saku yang memuat informasi awal untuk mengetahui pemetaan  kerangka  berpikir  Giddens.  Walaupun  penjelasannya  tidak gamblang, pembaca  mudah mengenal teori strukturasi dengan sintesis baru yang menguraikan kinerja subjek dalam peran sosialnya. Buku ini menyajikan terobosan  sintesis  baru  Giddens  mengenai  dualitas  pelaku  dan  struktur  dengan mengangkat pelaku sebagai subjek tindakan.


Herry Priyono, Anthony Giddens: suatu pengantar.
WACANA VOL. 10 NO. 1, APRIL 2008
Cetakan kedua. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, 98 hlm. (Cetakan pertama 2002).
ISBN 979-9023-85-8.

Manusia yang Sempurna (Abraham H. Maslow)

Salah satu teori yang klasik dan abadi adalah yang dikembangkan Abraham Maslow tentang konsep pribadi yang teraktualisasi (self-actualizing people) dan keterkaitannya dengan motivasi seseorang dalam menghadapi situasi pribadinya yang dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik di masyarakat maupun lingkungkungannya. Konsep aktualisasi diri merupakan pemikiran yang dikembangkan oleh Abraham Maslow mengenai bagaimana manusia dapat mengembangkan potensi diri untuk menjadi manusia yang sempurna.
Manusia yang dapat mengembangkan diri menjadi manusia yang sempurna –menurut Abraham Maslow- adalah manusia yang mampu mengaktualisasikan seluruh potensi terbaiknya. Abraham Maslow melakukan penelitian pada orang-orang yang luar biasa untuk melihat bagaimana seseorang dapat menjadi manusia yang teraktualisasi. Proses aktualisasi ini merupakan perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau terpendam pada setiap orang.
Beberapa ciri umum orang luar biasa atau orang yang sempurna atau orang bisa mengakttualisasikan diri menurut Abraham Maslow adalah kemampuan mereka melihat hidup secara jernih, apa adanya, dan bukan menurut keinginan mereka. Mereka tidak bersikap emosional melainkan bisa melihat secara obyektif. Memiliki sikap yang lebih tegas, memiliki pemahaman yang jelas tentang benar dan salah. Memiliki sikap rendah hati dan mampu mendengrakan orang lain. Persepsi yang dimilikinya mampu sedikit dicemari oleh hasrat-hasrat, kecemasan, ketakutan, harapan palsu dan pesimisme.
Orang yang teraktualisasi membaktikan hidup pada pekerjaan, tugas, kewajiban dan panggilan tertentu yang dianggap penting. Memiliki sifat kreatif, fleksibel, spontan, berani membuat kesalahan, terbuka dan rendah hati. Mereka memiliki kadar konflik yang rendah dan suka pada manusia. Secara alami mereka menjadi berang (marah) terhadap hal-hal yang dianggapnya melanggar kebaikan atau keadilan. Mereka orang-orang yang otonom, tidak tergantung pada orang lain, tapi juga suka bergaul dan ramah.
Orang-orang yang teraktualisasi diri lebih gembira dan bahagia. Lugas dan kurang suka basa-basi, serta punya rasa harga diri yang tinggi. Orang-orang yang sempurna selalu ingin memahami. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas, bukan hanya pada hal-hal yang intelektual, tetapi juga musik dan kebudayaan.
Sebaliknya dengan keadaan yang membentuk manusia menjadi manusia yang sempurna adalah keadaan yang membentuk manusia yang mengalami skeptisme, nihilisme, anomi, alienasi, dan apatisme. Apatisme dan skeptisme terjadi karena orang mengalami keterasingan dari lingkungannya dan tidak dapat menemukan harapan dari tatanan sosial dan politiknya.
Motivasi manusia menurut Maslow adalah melakukan aktualisasi diri dan hanya dapat sampai pada tahap tersebut bila hirarki kebutuhan dasar terpenuhi. Mengenai konsep motivasi dipaparkan oleh Abraham Maslow dalam bukunya yang berjudul “Motivation and Personality” sebagai konsep “metamotivation” yaitu motivasi yang digerakkan oleh kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi yaitu berupa hasrat manusia untuk mencapai nilai-nilai hidup.
Abraham Maslow menggambarkan hirarki kebutuhan manusia yang terkenal dengan skema gambar berikut ini. Hirarki ini tidak berlaku kaku, namun secara relatif perlu dipenuhi terlebih dahulu kebutuhan yang paling dasar sebelum seseorang dapat mengaktualisasikan diri.
Orang yang digerakkan oleh motivasi yang kuat dan mampu mengaktualisasikan diri lebih bahagia. Bahagia atau kebahagiaan merupakan konsep politik yang menarik. Konstitusi Amerika menyatakan bahwa kebahagiaan adalah hak (the right to pursuit the happines). Apakah yang bisa membuat seorang bahagia? Manusia akan bahagia apabila kemanusiaannya hidup dan berkembang. Tidak tertindas. Dalam konsep Hak-hak Asasi Manusia (HAM), kemanusiaan yang paling mendasar adalah terpenuhinya hak-hak dasar, baik hak ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Untuk Negara berkembang seperti Indonesia, memang pertanyaan ini susah dijawab: mana yang seharusnya lebih dahulu, mensejahterakan masyarakat dulu (ekonomi) atau deemokratisasi dulu?.
Kalau melihat teori hirarki kebutuhan memang kebutuhan fisik yang meliputi kebutuhan dasar terlebih dahulu yang harus dipenuhi. Tetapi tidak selalu harus berurutan demikian. Kebutuhan untuk hal-hal yang lebih tinggi seperti rasa aman, penghargaan, dan harga diri adalah milik semua orang, termasuk orang-orang miskin yang hak-hak dasarnya belum terpenuhi.
Reformasi itu sendiri merupakan hasil gugatan nilai-nilai karena lebih banyak digerakkan oleh kalangan mahasiswa dan activist ketimbang rakyat.
Bila kita merunut kembali tuntutan perubahan Indonesia menjadi Negara (yang menuju) demokrasi yang mengemuka pada era Orde Baru adalah menggugat kekuasaan mutlak dan diktatorial selama 32 tahun oleh rejim militer Soeharto, tidak adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, sensor pers dan pengekangan hak politik rakyat, Pemilu yang tidak Jurdil, represi terhadap oposisi dan suara kritis yang sama sekali tidak ditolerir saat itu, monopoli ekonomi, serta kesenjangan sosial yang mencolok.
Sesudah reformasi, apakah manusia Indonesia tetap dapat mengembangkan diri sebagai manusia yang sempurna dalam situasi saat ini? Bagaimana manusia Indonesia mensikapi situasi yang terjadi sekarang dan bagaimana memandang masa depannya? Ataukah manusia Indonesia semakin terpuruk dalam situasi apatis, skeptis, anomi dan teralienasi yang berkelanjutan. Ataukah kemudian masyarakat yang demikian akan melahirkan gerakan perlawanan untuk melahirkan perubahan? Masa depan Indonesia itu akan seperti apa?.
Masyarakat Indonesia belum dioptimalkan potensinya agar bisa menjadi manusia yang teraktualisasi dengan sempurna sehingga memiliki motivasi dan metamotivasi yang dapat menggerakkan seluruh potensinya untuk bisa berkembang selain bagi kebahagiaan dirinya juga untuk memajukan masyarakat dan menjadi warga negara yang memiliki kapasitas sebagai asset Bangsa dan Negara.
Skeptisme dan apatisme masyarakat Indonesia –misalnya terhadap politik dengan semakin tingginya angka Golput dalam Pilkada maupun Pemilu yang terakhir- menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merasa tidak perlu mengekspresikan sikap politiknya yang merupakan kebutuhan di wilayah metamotivasi.
Fenomena populernya Jokowi dan dukungan masyarakat yang besar terhadap figur yang “melawan arus” dan menjadi anomail terhadap realita buruknya citra kalangan politisi dan pemimpin di Indonesia menunjukkan bangsa Indonesia punya sikap nilai terhadap lingkungan sosial-politik. Sehingga sikap Golput itu dapat diartikan sebagai sikap nilai juga untuk “melawan” atau menantang ketertindasan yang dialami dengan buruknya sistem politik dan kepemimpinan di Indonesia saat ini. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia punya kesadaran kritis.